10 Hal yang Tidak Dijumpai pada Daulah Nabawiyah

Juli 3, 2014

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Ada baiknya di bulan Ramadhan ini kita mengkaji sedikit tentang karakter Daulah Islamiyah sesuai praktik yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Daulah semacam itu bisa disebut Daulah Nabawiyah, karena memang sesuai amanat Kenabian. Atau banyak di antara para aktivis dan dai-dai Islam menyebut dengan istilah: Daulah ‘ala minhaji Nubuwwah (tatanan negara di atas metode Kenabian).

Di sini kami tak akan menyebutkan ciri-ciri Daulah Nabawiyah itu, tapi menyebutkan ciri-ciri perkara yang tidak mungkin ada pada Daulah Nabawiyah. Hal-hal tersebut memang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, tidak pernah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin RA, dan tidak pernah menjadi bagian dari Syariat Islam. Jika kita menjumpai hal-hal itu pada sebuah Daulah, berarti ia bukan termasuk Daulah Nabawiyah yang disyariatkan dalam Islam.

Jalan Kebenaran, Bukan Kedustaan.

Jalan Kebenaran, Bukan Kedustaan.

Berikut perkara-perkara yang tidak mungkin ada pada Daulah Nabawiyah:

[1]. Melanggar kesepakatan atau janji yang telah disepakati.

Hal ini tidak pernah terjadi pada diri Nabi SAW. Beliau disebut Al Amin, karena memang memegang amanat, menunaikan janji-janji. Dalam membuat kesepakatan dengan siapapun, beliau selalu memenuhinya, hatta dengan orang kafir. Para ahli sejarah menjelaskan, sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah, beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib RA untuk menyerahkan barang-barang titipan orang musyrik Makkah yang dititipkan kepada beliau kepada pemiliknya. Begitu juga ketika beliau mengikat perjanjian dengan Yahudi, kabilah-balilah Arab di Madinah, juga perjanjian Hudaibiyah; beliau tak pernah menciderai janji dan kesepakatan.

Ada kalanya seorang pemimpin mengaku sudah terikat dengan suatu bai’at (perjanjian loyalitas), tapi kemudian dengan mudah mengingkarinya. Bahkan dia membuang begitu saja bai’at itu dan mengajak pendukungnya untuk menghancurkan pimpinan yang semula dia bai’at. Cara demikian bukan ciri pelaksana Daulah Nabawiyah.

[2]. Biasa berdusta di hadapan manusia.

Tegaknya Daulah Islamiyah, salah satunya adalah untuk memantapkan akhlak mulia dan moralitas. Nabi SAW mencontohkan sikap akhlak mulia kepada siapapun. Beliau mengutamakan kejujuran, dan mencela kedustaan; apalagi di hadapan khalayak ramai. Salah satu golongan yang mendapatkan nikmat dari Allah adalah kalangan Ash Shadiqin (selain Anbiya’, Syuhada’, dan Shalihin). Bahkan kita diperintahkan: “Wa kunuu ma’as shadiqin” (hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur). Para ulama menyebut salah satu sifat Nabi SAW sebagai Ash Shidiq. Bahkan Abu Bakar RA juga dijuluki sebagai Ash Shidiq. Dalam riwayat Nabi berkata: “Innal kidzba yahdi ilal fujur wa innal fujur yahdi ilan naar” (sesungguhnya kedustaan itu menuntun kepada kejahatan dan kejahatan itu menuntun ke arah neraka). Daulah Islamiyah menegakkan kejujuran dan memberantas kebohongan.

Tapi ada kalanya suatu kaum begitu mudah berdusta. Dari satu dusta diiringi dusta-dusta yang lain, dan menganggap semua itu bagian dari Syariat. Dia mengklaim tidak mengkafirkan Ummat, padahal jelas-jelas mengkafirkan; dia mengklaim tidak membunuh pejuang, padahal membunuh; dia mengklaim menegakkan Syariat, padahal merusak Syariat; dan seterusnya. Banyak kebohongan-kebohongan yang dihasilkan lewat pernyataan publiknya.

[3]. Mengkafirkan kaum Muslimin.

Rasulullah SAW tidak mengkafirkan kaum Muslimin, yaitu orang-orang yang telah beriman kepada beliau dan menerima Syariat-nya. Beliau pernah marah besar kepada Usamah bin Zaid RA karena dia telah membunuh seseorang yang telah mengucapkan “Laa ilaha illa Allah”. Hal ini adalah satu petunjuk Syariat, bahwa Islam sangat menghargai keislaman manusia; sekali pun di alam peperangan, karena konteks peristiwa Usamah itu saat perang. Nabi SAW juga tidak mengkafirkan kaum Muslimin di Makkah yang belum hijrah ke Madinah. Tak ada bukti Syariat bahwa orang-orang yang belum hijrah dari Makkah ke Madinah itu divonis kafir. Tidak ada.

Tapi sebagian orang dengan semena-mena memvonis sesama Muslim sebagai kafir, hanya karena yang bersangkutan hidup di negara demokrasi, terlibat politik demokrasi, atau mendukung partai-partai Islam dalam kancah politik demokrasi. Bukan hanya mengkafirkan, mereka juga siap memerangi negara-negara Muslim yang menerapkan sistem politik demokrasi. Tidak lupa, mereka membunuhi rakyat sipil, hanya dengan dasar klaim secara sepihak.

[4]. Membunuhi para pejuang Islam.

Nabi SAW sangat menghargai para pejuang Islam. Banyak sekali hadits-hadits Nabi yang menunjukkan keutamaan para Mujahidin, mati syahid, Jihad Fi Sabilillah. Banyak sekali dan hal itu sudah terkenal di sisi para ulama. Bahkan Nabi SAW memuliakan siapa saja yang berjasa kepada Islam, sekalipun mereka bukan Muslim. Nabi SAW sangat menghargai jasa pamannya, Abu Thalib, atas jasa-jasanya membela Nabi. Beliau juga pernah memuji Muth’im bin Ady, tokoh musyrikin Makkah, yang pernah berjasa memberi perlindungan kepada beliau. Nabi juga memuji Mukhairiq sebagai sebaik-baik Yahudi, karena dia ikut terlibat dalam perang Uhud di pihak Ummat Islam. Begitu juga, Nabi SAW memperbolehkan orang-orang musyrikin Makkah membantu kaum Muslimin dalam perang Hunain, lalu memberi mereka bagian ghanimah. Termasuk ketika Hathib bin Abi Rabi’ah RA melakukan pengkhianatan atas rencana Nabi untuk menaklukkan Makkah, maka beliau memaafkan Hathib dengan asumsi dia pernah terlibat dalam Perang Badar. Demikianlah contoh-contoh sikap Kenabian yang sangat baik dan pemurah kepada para pembela Islam.

Namun di sana, di sebuah negeri yang diklaim sebagai “Daulah Islam”, para elit politiknya begitu mudah memerintahkan anak buahnya menyerang para Mujahidin, merebut markas-markas, menyita harta benda dan senjata, membunuh para pejuang, membunuh pimpinan pejuang dan keluarganya, hatta anak-anaknya yang masih kecil. Katanya, semua itu tuntunan Syariat. Na’udzubillah wa na’udzubillah tsumma na’udzubillah min kulli dzalik. Dari mana mereka mengambil hukum seperti itu? Apakah Islam mengajarkan hal tersebut? Tunjukkan bukti-bukti kebenaran kalian!

Daulah Menjaga Kehidupan Ummat.

Daulah Menjaga Kehidupan Ummat.

[5]. Membunuh utusan perdamaian.

Di antara etika diplomasi dalam Islam, adalah menghormati utusan-utusan, menghormati delegasi-delegasi, menghormati juru runding, menghargai tamu kehormatan. Hal ini selaras dengan etika diplomasi yang diakui hukum internasional modern. Rasulullah SAW tidak pernah membunuh utusan musuh, juru runding, dan sebagainya. Berkali-kali beliau menerima utusan kaum Quraisy ke Madinah, juga utusan Yahudi, kabilah Arab. Tidak ada satu pun yang dibunuh oleh Nabi SAW. Termasuk ketika Abu Sufyan datang ke Madinah, meminta jalan damai, setelah kaum Quraisy melanggar perjanjian Hudaibiyah; Nabi menjamin keamanan dirinya, sampai pulang kembali ke Makkah. Para utusan itu memang hakikatnya tidak boleh dibunuh.

Suatu perkara yang ajaib. Ketika terjadi konflik antar pejuang Muslim di Irak-Suriah, datang utusan damai dari mujahidin senior, untuk mendamaikan atau mencari solusi. Tetapi sayang, saat berada di suatu tempat di Suriah, utusan itu dibunuh dengan serangan “bom manusia”. Pihak tertentu bersumpah tidak terlibat dalam pembunuhan; tapi saksi-saksi yang ditangkap, mereka menyatakan mendapat perintah dari pimpinan kelompok itu, bahkan menjanjikan hadiah. Dari mana mereka mendapatkan syariat seperti itu?

[6]. Menebar ancaman kepada kaum Muslimin.

Islam disebut sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin karena memang ia berkomitmen menyebarkan rahmat ke seluruh alam. Dalam Islam tidak dikenal istilah penjajahan, invasi, penindasan, dan semacamnya. Islam menaklukkan wilayah-wilayah, tetapi selalu dilakukan dengan cara-cara kesatria yaitu melalui peperangan yang sama-sama dimaklumi. Nabi SAW menghalalkan perang kepada kaum musyrikin Makkah, karena mereka memang memusuhi Islam dan selalu ingin menghancurkannya. Sebelum Nabi hijrah, kabilah-kabilah Makkah sepakat untuk membunuh Nabi di rumahnya, namun rencana itu digagalkan oleh Allah Ta’ala. Musyrikin Makkah juga memerangi kaum Muslimin di medan Badar dan Uhud, serta mengepung dalam perang Khandaq. Meskipun begitu, tatkala mereka meminta disepakati perundingan damai, Nabi SAW mengulurkan tangan terbuka, sehingga disepakati perjanjian Hudaibiyah. Begitu juga, saat Nabi SAW menaklukkan Makkah, beliau memberikan amnesti kepada penduduk Makkah, kecuali beberapa orang musuh berbahaya Islam. Itulah cara perlakuan Nabi SAW kepada kaum kufar, musyrikin Makkah. Keindahakan akhlak para prajurit Islam juga sangat terlihat ketika panglima Abu Ubaidah bin Jarrah RA berhasil merebut Kota Yerusalem di Palestina yang mayoritas penghuninya Nashrani. Kedatangan para pejuang Islam bukan membuat rakyat Yerusalem ketakutan, justru sangat mensyukuri. Tatkala pasukan harus kembali ke Madinah, kaum Nasrani menangis meminta mereka tidak pergi.

Tapi anehnya, di suatu tempat ada “Daulah Islam” yang selalu menebar ancaman kepada kaum Muslimin lewat pernyataan-pernyataannya. Mereka berniat memerangi seluruh negara-negara di Timur Tengah dan Afrika, baik negara demokrasi maupun kerajaan. Tidak ada yang selamat dari ancaman mereka, selain dirinya sendiri. Mereka berniat melanggar semua batas-batas wilayah dan tak mengakuinya. Mereka berniat membatalkan semua bentuk ikatan loyalitas, organisasi, jamaah, tanzhim, brigade, dan sebagainya. Ini daulah rahmah, atau daulah hakalah?

[7]. Tidak mau tunduk kepada mahkamah Syariat.

Rasulullah SAW adalah pemimpin daulah yang konsisten menegakkan Syariat Islam. Kata Aisyah RA, beliau bisa sabar untuk hal-hal yang bersifat pribadi; tetapi akan bersikap tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran Syariat. Nabi SAW memuji seorang wanita yang telah berzina, lalu meminta diberi hukuman Syariat. Kata Nabi, ampunan bagi wanita itu cukup jika diberikan kepada 70 orang penduduk Madinah. Nabi juga melarang para Shahabat RA memaki seorang Muslim yang berkali-kali dihukum karena minum khamr. Kata Nabi SAW, dalam hati orang itu ada iman. Nabi SAW sendiri sehari-hari bertindak sebagai hakim bagi kaum Muslimin yang bersengketa. Beliau sering diminta putusan atau pendapat atas masalah-masalah yang ada.

Enggan dengan Mahkamah Syariah.

Enggan dengan Mahkamah Syariah.

Namanya Daulah Islam seharusnya pro Syariat, tidak membelakangi Syariat, dan tidak phobia atas keberadaan Mahkamah Syariat yang independen. Tapi suatu kelompok selalu enggan untuk menyelesaikan konflik dengan mengacu ke mahkamah yang netral. Mereka selalu beralasan: “Kami kan sebuah Daulah. Kami bukan jamaah dakwah. Seharusnya mereka yang kami putuskan masalahnya, bukan kami diputuskan oleh siapapun.” Ini cara pandang picik. Bagaimana jika orang-orang daulah itu merugikan kepentingan pihak dari daulah lain? Apakah daulah lain harus tunduk kepada keputusan mereka? Bagaimana jika mereka tak setuju, dengan asumsi khawatir dicurangi oleh pengadilan daulah tersebut? Berarti ini bukan suatu tatanan hukum, tapi tirani.

Misalnya saja, Anda dan keluarga suatu saat mengalami tindak kezhaliman oleh suporter bola. Kendaraan Anda dihancurkan mereka, anak isteri Anda dianiaya sampai terluka. Barang-barang berharga Anda dijarah oleh mereka. Lalu Anda laporkan perampok itu kepada pihak berwajib, sehingga para pelaku ditangkap dan mau diadili. Saat hendak diadili, mereka protes. Mereka berkata: “Kami ini bukan suporter biasa. Kami punya asosiasi suporter yang anggotanya ribuan orang. Kami bukan pribadi-pribadi seperti korban. Kami tidak mau diadili oleh pengadilan netral. Kalau mereka mau, mari meminta keadilan kepada pengadilan yang diadakan oleh kelompok kami.” Coba bayangkan, bagaimana akan tercipta keadilan dengan cara begitu? Bukankah dulu Nabi SAW tatkala berselisih dengan kaum musyrikin Makkah, beliau mau berunding. Begitu juga, Khalifah Ali RA tatkala terlibat konflik dengan Muawiyah RA, beliau juga mau berunding; peristiwa perundingan itu terkenal dengan nama TAHKIM.

[8]. Tidak menghargai ijtihad pihak lain.

Nabi SAW dalam memimpin daulah, sangat menghargai ijtihad manusia. Beliau berkali-kali menerima pendapat Umar bin Khatthab RA. Beliau menerima usulan seorang Shahabat RA terkait strategi dalam Perang Badar. Beliau berunding dengan para Shahabat RA untuk menghadapi serangan kaum kufar Makkah, baik saat Perang Uhud maupun Khandaq. Beliau juga memuji Muadz bin Jabbal RA atas ijtihadnya, sebelum berangkat menjadi gubernur di Yaman. Peristiwa yang sangat terkenal adalah tentang “Shalat Ashar di kampung Bani Quraidhah”. Nabi SAW jelaskan, bagi seorang hakim yang berijtihad, jika benar mendapat dua pahala, jika salah mendapat satu pahala.

Namun ada satu kelompok yang menamakan diri “Daulah Islam” bermaksud membabat semua pendapat-pendapat di tengah kaum Muslimin. Mereka tidak mengakui ada otoritas ilmiah apapun, selain dari diri mereka sendiri. Orang-orang yang berbeda pendapat dianggap melawan daulah, tidak loyal, dituduh sebagai shahawat murtad. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Sangat terkenal pernyataan pemimpin mereka ketika menyerang Presiden Mursi dan partai Islam di Mesir, karena mereka terlibat dalam politik demokrasi. Padahal partisipasi dalam politik itu adalah bentuk ijtihad. Dalam kaidah fiqih disebutkan: “Al ijtihadi laa yunqadhu bil ijtihad” (satu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain; karena keduanya berkadar sama-sama ijtihad).

[9]. Menyerukan (atau memperparah) perpecahan antar kaum Muslimin.

Salah satu missi besar Daulah Islamiyah adalah menyatukan kaum Muslimin, merapatkan barisan, meminimalisir persengketaan, menubuhkan Jamaah, membangun wibawa Ummat. Banyak dalil-dalil tentang keutamaan persatuan Ummat ini. Nabi SAW sendiri sangat mengutamakan persatuan Ummat. Beliau katakan, kalau ada satu pemimpin sudah dibai’at, lalu datang pemimpin lain yang mengaku dibai’at juga, maka enyahkan pemimpin kedua itu. Beliau juga katakan, bahwa kaum Muslimin melaksanakan shalat jamaah, berhari raya, dan berjihad di belakang seorang Imam; terserah apakah dia adil atau jahat. Jika ada suatu kaum yang membangkang, maka mereka harus ditundukkan agar kembali kepada kesatuan Jamaah. Hingga beliau tegaskan, siapa yang keluar dari Al Jamaah, dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.

Ada suatu kaum yang aktif mengadu-domba antar para pejuang Islam. Satu kelompok pejuang diharapkan bermusuhan dengan kelompok yang lain. Mereka membelah para pejuang Islam atas pilihan mendukung dirinya, atau anti terhadapnya. Mereka menuduh kaum Muslimin yang tidak menerima dirinya, telah keluar dari millah Islam. Saat ini kaum Mujahidin sedunia dirundung masalah besar, konflik internal, yang diakibatkan kelancangan kelompok ini dan keberaniannya dalam mengoyak persatuan kaum Muslimin. Itu baru dari kalangan Mujahidin. Belum lagi kaum Muslimin lain yang pemahamannya jauh berbeda dengan kelompoknya. Mungkin inilah yang dianggap sebagai “barakah sebuah daulah”? Nas’alullah al ‘afiyah.

[10]. Jahil terhadap Syariat.

Tidak mungkin jika Daulah Nabawiyah dibangun di atas kejahilan. Sangat tidak mungkin. Dalam riwayat shahih, Nabi SAW berkata di hadapan 3 orang Shahabat yang baru bertanya bertanya kepada Aisyah RA tentang ibadah beliau. Nabi SAW berkata: “Inni atqakum billah wa ahsyakum lahu, walakin aqumu wa arqud, wa ashumu wa ufthir, wa atazauwajun nisa’, wa man raghiba ‘an sunnati fa laisa minni” (aku ini lebih bertakwa kepada Allah dari kalian dan lebih takut kepada-Nya; meskipun begitu, aku berdiri shalat dan istirahat, aku puasa dan aku berbuka, dan aku menikahi wanita; maka siapa yang membenci Sunnahku, dia bukan bagian dariku). Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi SAW adalah paling berilmu di antara manusia di zaman-nya; bahkan paling berilmu di hadapan semua manusia sesudahnya. Di sini ada kaitan antara ilmu dan rasa takut kepada Allah, seperti disebut dalam Al Qur’an: “Innama yahsyallahu min ‘ibadihil ulama.” Yang membedakan Daulah Islamiyah dengan daulah jahiliyah, adalah faktor ilmu tersebut.

Namun jika suatu kaum jahil dari ilmu, tidak mau tunduk kepada Syariat, dan hanya berhajat kepada fanatisme golongan, merasa kelu untuk menerima kebenaran hanya karena alasan-alasan emosional dan subyektif; serta adanya sifat menghakimi manusia dalam dirinya, yaitu bermudah-mudah menetapkan vonis kafir kepada orang lain; jika demikian adanya, ya tidak ada sesuatu kebaikan yang diharapkan dari urusan seperti ini. Sebaiknya mereka mundur dari urusan BESAR dan SERIUS ini, karena tampaknya mereka tidak mampu mengemban perkara ini. Bukan hanya kekuatan senjata yang dibutuhkan untuk membangun peradaban; tapi juga kekuatan ilmu. Oleh karena itu Allah SWT mensifati Thalut dengan kata: Basthatan fil ‘ilmi wal jism (memiliki keluasan ilmu dan kekuatan fisik); sifat ilmiah didahulukan sebelum sifat jismiyah.

Demikianlah di antara perkara-perkara yang tidak mungkin ada dalam sebuah Daulah Nabawiyah. Maka siapapun yang mengklaim sedang menegakkan Daulah Islamiyah, harus membuktikan kebenaran klaimnya. Kita tidak boleh mendustai manusia, membohongi Ummat, dan memerangkap mereka dalam musibah gelap, perih, sangat menyakitkan. Sebelum segalanya menjadi malapetaka yang bisa berakibat hancurnya Jihad Fi Sabilillah, hancurnya kehormatan para Mujahidin, hancurnya cita-cita Daulah Islamiyah; sebaiknya semua ini diperbaiki terlebih dulu. Jangan mengklaim hal-hal besar, sebelum memenuhi syarat-syaratnya.

Dan terakhir, sebuah diskusi kecil namun sangat penting. Jika di hadapan kita ada dua perkara, kita hanya boleh memilih salah satu saja. Jika kita mengambil satu perkara, maka otomatis kita akan meninggalkan perkara yang lain. Jika kita disuruh memilih antara menegakkan Syariat Islam atau membangun sebuah negara; kita akan memilih yang mana? Sekali lagi hanya satu pilihan, tidak ada dua pilihan atau pilihan tengah-tengah.

Maka yang hakiki di sisi Allah adalah menegakkan Syariat Islam, karena inilah perintah Allah kepada kita semua, yaitu untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun sifat ketaatan itu dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk; bisa berupa sistem pemerintahan, tatanan negara, aturan kelompok, adab keluarga, sifat kepribadian, dan sebagainya. Jika mesti menegakkan sebuah negara, jangan sampai nanti di sana keberadaan negara menjadi sebab rusaknya pelaksanaan Syariat; sebab dalam sejarah Islam kadang terjadi kezhaliman serius terhadap tatanan Syariat, meskipun bentuk negara Islam sudah tercapai.

Kalangan yang pro Syariat sejati, tidak menafikan kebaikan-kebaikan Syariat yang ada di sekitarnya; sekecil apapun itu. Sedangkan kalangan yang “terlalu politis” menjadikan konsep negara (daulah) sebagai inti akidah, ibadah, dan perjuangan mereka. Meskipun banyak melanggar Syariat, kalau tujuannya menegakkan negara, dianggap benar. Justru cara-cara begitu yang akan menjauhkan kita dari tujuan menegakkan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Semoga risalah sederhana ini dapat dipahami dan tertangkap dengan baik. Amin Allahumma amin.

Billahi taufiq wal huda wan nashr. Mohon dimaafkan atas segala kesalahan dan kekurangan yang ada. Wa akhiru da’wana, anil hamdu lillahi Rabbil ‘alamiin.

(Mine).