Bangsa Indonesia Terlalu Sering Ditipu Media Massa, Pengamat, Politisi, Akademisi, Lembaga Surve Abal-abal, dan Sejenisnya

Maret 22, 2014

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Apa yang kita saksikan sekarang ini berupa Euforia Jokowi bukanlah kejadian pertama dalam kehidupan bangsa kita. Kita sudah sangat sering mengalami gegap-gempita pemberitaan semacam itu. Hasilnya, kita ditipu, ditipu, dan kembali ditipu. Para penipu girang karena mendapat uang, bonus, honor, insentif, dan seterusnya. Sedang sebagian besar rakyat menderita akibat semua penipuan itu.

"Kasihanilah Rakyat dan Bangsamu!"

“Kasihanilah Rakyat dan Bangsamu!”

Pangkal masalahnya ialah karena bangsa kita MUDAH LUPA, GAMPANG DITIPU, dan MANUT SAJA mengikuti apapun yang diberitakan media. Mereka tidak memiliki nalar kritis, sikap mandiri, atau kedaulatan sikap sebagai manusia merdeka. Para ahli sering mengatakan keadaan ini dengan ungkapan, the short memory lost. Bangsa kita begitu mudah lupa terhadap kejadian-kejadian yang belum lama terjadi.

Kondisi ini lalu dimanfaatkan oleh kaum VIRUS BANGSA untuk mengelabui rakyat ini, membodoh-bodohkan mereka, menipu, menindas, dan mengeksploitasi sedalam-dalamnya. Para virus bangsa itu adalah: media-media massa, para pengamat politik, para politisi, para akademisi bayaran, lembaga surve order minded, dan sejenisnya. Mereka ini disebut virus bangsa karena memang tidak memiliki rasa belas kasihan sama sekali atas nasib ratusan juta anak bangsa yang menderita akibat semua kelakuan mereka. “Selagi Gue bisa happy-happy, bodo amat dengan rakyat. Emang mereka mikiran Gue?” Begitulah ungkapan tidak tahu malu yang sering menjadi motto kehidupan mereka.

Sampai batas tertentu, para penipu atau virus bangsa itu sampai meyakini hal-hal semacam ini:

“Zaman sekarang yang penting duit, duit, duit Bos. Sudahlah gak usah munafik. Kamu suka duit juga kan. Kalo punya duit kamu bisa main cewek, bisa makan di restoran mahal, bisa pelesir ke luar negeri, bisa belanja barang-barang branded. Kamu juga nanti dipuja-puja keluarga besarmu, disebut orang sukses. Kamu dielu-elukan almamatermu, didaulat memberi orasi ilmiah, diminta mengisi pengajian tentang hikmah Maulid Nabi. Kamu terhormat, mobil minimal Camry, punya kans jadi politisi Senayan, punya banyak fans, porto folio diterima baik oleh bank, dan sebagainya. Maka itu, sudahlah, tidak usah munafik. Dalam hidup ini jangan alim banget. Jangan saleh banget. Kalau mau sukses, kamu harus berani kejam. Kamu harus berani memakai manajemen mafia. Rakyat itu bodo-bodo, sampah, tak berguna. Jalan termudah jadi orang keren, hebat, happy-happy adalah menjual nasib rakyat dan bangsa. Persetan dengan cinta tanah air. Persetan dengan agama. Persetan dengan dosa-neraka. Aku tak peduli. Yang penting happy, happy, happy forever forever.”

Orang-orang begini inilah yang telah sekian lama membuat bangsa ini menderita, susah hidupnya, melarat terus, kezhaliman merata, korupsi menggurita. Ya karena kaum virus bangsa ini sangat banyak, ada di mana-mana. Mereka hidup sehari-hari seperti binatang. Tidak ada nikmat ruhani sedikit pun dalam jiwanya. Semakin bertambah syahwat yang mereka reguk, semakin menderita jiwanya. Mereka telah melupakan Allah, lalu Allah pun membuat mereka lupa pada dirinya sendiri. Na’dzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

Apakah Anda pernah menyangka, merasa, atau menduga, bahwa kehidupan ini sepenuhnya berada dalam kendali manusia-manusia moral rendah sejenis itu? Apakah mereka berkuasa atas alam kehidupan ini? Apakah mereka bisa menunda kematian atau memperlama kehidupan? Tidak sama sekali. Mereka hanyalah obyek kehidupan. Segala hal tetap dan pasti di Tangan Allah Ta’ala.

Manusia-manusia durjana itu bisa senang-senang, tertawa ngakak, dan terus menipu manusia, karena belum habis jatah nikmat bagi mereka. Pintu-pintu hedonisme terus terbuka sampai habis jatahnya. Kalau sudah habis…hendak bersembunyi ke mana pun mereka akan dikejar oleh tentara-tentara Allah (para Malaikat-Nya). Itu hanya menanti waktu saja.

Oh ya, mari kembali ke topik semula, rentetan panjang penipuan publik yang biasa dilakukan kaum virus bangsa: media massa sekuler, pengamat politik, politisi busuk, akademisi bayaran, surve abal-abal, dan sejenisnya. Di sini kami ingin kembali ingatkan fakta-fakta sejarah yang sudah banyak dilupakan bangsa ini. Intinya, gegap gempita pencitraan Jokowi saat ini, ia bukan pertama kali terjadi. Itu sudah sering dan sering terjadi.

Mari kita buka fakta sejarah satu demi satu, bismillah…

[1]. Tahun 1997 Soeharto menghadapi Krismon. Dia ingin menempuh solusi Krismon secara mandiri. Tapi media-media massa dan para pengamat ekonomi terus berkoar-koar: “Minta bantuan IMF! Minta bantuan IMF! Ini sangat darurat. Tidak ada jalan lain, minta bantuan IMF!” Begitulah teriakan media-media dan para pengamat. Akhirnya Soeharto menyerah. Dia tak sanggup hadapi tekanan opini media. Soeharto pun minta bantuan IMF sehingga ditanda-tangani LoI. Setelah LoI disepakati, ekonomi Indonesia ancur-ancuran, sampe sekarang. Direktur IMF sendiri dengan bangga mengklaim, bahwa dirinyalah yang telah menghancurkan Soeharto.

[2]. Tahun 1998 terjadi demonstrasi massal di seluruh Indonesia. Penggeraknya para mahasiswa kampus. Para demonstran didukung penuh oleh semua media, politisi, pengamat. Mereka serukan: “Soeharto mundur! Soeharto mundur! Gantung Soeharto!” Puncaknya pada Mei 1998 terjadi kerusuhan besar di Jakarta. Akhirnya Soeharto pun menyerah, dia mundur. Sejak Soeharto mundur, masuklah bangsa Indonesia ke era Reformasi. Faktanya, sejak masuk zaman Reformasi, kehidupan rakyat Indonesia tidak lebih baik.

Sedikit komparasi data, biar anak-anak muda zaman sekarang tahu. Waktu itu harga beras termahal sekitar Rp. 1000/kg. Sekarang harga beras standar Rp. 10.000/kg. Harga bensin di era Soeharto sekitar Rp. 700,- per liter, sekarang hampir Rp. 7000,- per liter. Di era Soeharto listrik murah, biaya sekolah murah, buku paket diberikan/dipinjami oleh negara, biaya obat/klinik juga murah, mencari pekerjaan mudah, jenjang karier PNS/TNI/Polri jelas dan stabil. Jauh sekali dengan kondisi saat ini. Di era Reformasi, rakyat berpolitik secara bebas, tapi kehidupan sosial kaliren (sengsara).

[3]. Tahun 1999 Presiden BJ. Habibie mau ikut pencalonan sebagai presiden. Beliau baru memimpin menggantikan Soeharto sekitar 1,5 tahun. Melihat kenyataan itu media-media, pengamat, politisi, sepakat mengeroyok Habibie. “Jangan Habibie. Dia koruptor. Dia anak emas Soeharto. Pokoknya jangan Habibie.” Banyak sekali seruan untuk menghadang Habibie. Padahal dia terbukti berhasil mengendalikan kondisi bangsa setelah diamuk Krisis Moneter. Alhasil Habibie tak bisa menjadi presiden lagi karena dibarikade oleh kaum virus bangsa. Yang terpilih justru Gusdur. Namanya Gusdur, sudah lumpuh, buta, kontroversial, tak punya pengalaman memimpin negara. Akibatnya negara morat-marit gak karuan. Nyaris negara ini hancur kalau Gusdur lebih lama memimpin. Padahal media-media massa, pengamat, politisi, akademisi, dan sejenisnya itulah yang sebelumnya mengelu-elukan citra Gusdur. Terbukti, dia tak bisa apa-apa. Habibie yang berkualitas ditolak, Gusdur yang gak bisa apa-apa didaulat menjadi pemimpin.

[4]. Kondisi yang mengitari Jokowi saat ini mirip sekali seperti kondisi menjelang Pilpres 2004.  Waktu itu media-media massa, pengamat, politisi, akedemisi kacung sepakat mengelu-elukan SBY. “SBY harapan baru indonesia. Orang ini hebat. Santun, tegas, cerdas. Kasihan dia dizhalimi Megawati. Indonesia akan maju di tangan SBY. I love U full.” Begitulah segala puja dan puji mendukung SBY. MetroTV termasuk yang amat “I love U full” ke SBY. Ini semua terjadi karena SBY sudah direstui oleh jaringan pengusaha China asal Medan-Jakarta-Surabaya. Apa akibatnya setelah SBY jadi Presiden? Luar biasa, baru saja memimpin Indonesia “diberi hadiah” Tsunami terbesar sedunia. Dan rentetan bencana seolah tak ada habisnya di tangan orang ini. Tahun 2005 SBY naikkan BBM lebih dari 100 persen. Rakyat semua megap-megap.

[5]. Tahun 2009 SBY nyalon lagi. Sebenarnya potensi SBY kalah sangat besar, karena kepemimpinan dia selama 2004-2009 sangat menyengsarakan. Tapi SBY cerdik, dia pandai memanfaatkan media dan lembaga-lembaga surve untuk memenangkan citra. LSI, Saiful Mujani, Deny JA. termasuk yang sangat agressif mendukung SBY. Media-media TV juga terus mengelu-elukan SBY. SBY juga memainkan instrumen BLT untuk merebut simpati rakyat. Dan dia juga masuk ke sistem kalkulasi online KPU. Sistem software KPU inilah yang sangat mengancam proses pemilu secara jujur. Setelah SBY jadi presiden lagi, penderitaan rakyat semakin panjang dan lama. Selain itu banyak terkuak kasus-kasus korupsi yang melibatkan elit-elit Demokrat.

[6]. Ada kejadian sangat aneh sekitar tahun 2008-2009, yaitu Mega Skandal Bank Century. Ketika itu SBY, jajaran menterinya, Boediono, para pengamat ekonomi UI, dan media-media partner secara intensif menipu publik: “Kalau Bank Century tidak diberi bailout, nanti akan menyebabkan dampak sistemik. Waktu itu sedang terjadi Krisis Global.” Padahal nilai aset Bank Century tidak ngaruh dalam industri perbankan nasional. Kalau pun bailout itu dibenarkan, mengapa dana talangan yang semula disepakati sekitar 600 miliar membengkak sepuluh kali lipat menjadi 6,7 triliun? Bahkan pencairan yang triliunan rupiah itu dilakukan di hari Sabtu dan Minggu, tanpa melapor Wapres (Jusuf Kall)? Tetapi SBY dan media-media partner terus berkilah “dampak sistemik”. Ya begitulah, rakyat terus ditipu, ditipu, dan ditipu lagi.

[7]. Media-media massa, pengamat, akademisi, politisi, juga berperanb sangat kuat dalam menggulirkan opini seputar Bibit-Chandra (dua ketua KPK). Waktu itu keduanya sedang berhadapan dengan Susno Duadji. Media mengangkat isu “Cicak Vs Buaya”. Semua media waktu itu sepakat berdiri di belakang Bibit Samad dan Chandra Hamzah. Keduanya menyebut istilah “kriminalisasi KPK”. Alhasil kedua pimpinan KPK mendapat dipensasi hukum. Mereka tidak diadili atas tuduhan apapun. Padahal menurut Muhammad Nazaruddin, Chandra Hamzah pernah datang ke rumahnya, lalu menerima titipan uang. Terbukti kemudian pengakuan Nazaruddin sering terbukti di persidangan. Media-media massa dan pengamat begitu bernafsu membela Bibit-Chandra, sampai mereka lupa bahwa SBY sudah melakukan campur tangan hukum dengan membentuk tim pencari fakta. Itu pelanggaran tatanan kenegaraan.

[8]. Ingatlah saat pergantian Ketua PSSI, Nurdin Halid. Kami tak butuh apapun dari masalah sepak bola ini. Hanya ingin mengingatkan betapa bodohnya bangsa ini ketika ditipu media terus-menerus. Waktu itu media massa terus-menerus mendesak agar Nurdin mundur, diganti orang lain. Katanya, “Kalau Nurdin mundur, beres semua masalah PSSI.” Aksi-aksi suporter bola terjadi dimana-mana. Mereka menuntut Nurdin Halid mundur. Begitu hebohnya sampai sebagian bonek asal Surabaya sengaja membuat kemah di Senayan, di depan sekretariat PSSI. Lalu apa yang terjadi setelah Nurdin mundur? Apakah PSSI semakin solid? Apakah urusan sepak bola Indonesia semakin hebat? Ya semua sudah tahu, pengurus PSSI malah pecah dan saling menghujat. Kompetisi PSSI terbelah dua, LSI dan LPI. Konflik semakin tajam. Nasib PSSI tambah runyam. Sampai saat ini, akibat konflik itu masih ada.

[9]. Terkait perkembangan dakwah Islam. Media-media massa, para pengamat, politisi, akademisi, pejabat, dan seterusnya sepakat mengelu-elukan dai kondang, Aa Gym. Semua TV punya siaran terkait Aa Gym. Kalau bulan Ramadhan tiba, Aa Gym menjadi “raja media”. Aa Gym disukai karena: tak pernah bilang “orang kafir”, tak pernah bilang “orang sesat”, tak pernah bilang “Syariat Islam”, tak pernah menyinggug perasaan penganut agama lain, dan seterusnya. Tetapi ketika Aa Gym ketahuan melakukan poligami, seketika itu dia dihujat, dihajar habis, dikuyo-kuyo sampai tandas, dizhalimi sedalam-dalamnya. Alhasil Aa Gym merasa “sakit hati” dan tidak seramah dulu ke media-media massa. Masyarakat sebagai pengagum Aa Gym pun tinggal mengikuti saja. Apapun yang dikatakan media massa, mereka amini. Media bilang A, ya diikuti A; media bilang merah, diikuti merah; media bilang ‘kacau’, rakyat pun ikut berseru ‘kacau’. Kok gak meras malu ya…

[10]. Tahun 2012 Jokowi-Ahok jadi kandidat Gubernur DKI. Media-media, pengamat, politisi, juga ramai-ramai dukung keduanya agar jadi gubernur DKI. Semua sepakat Jokowi-Ahok harus gusur “kumisnya” Foke. Hanya beberapa lama setelah terpilih jadi gubernur, Jokowi keteteran. Ahok kerjaannya marah-marah mulu, seperti orang stress. Dan lebih parah lagi, Jokowi akhirnya lebih banyak bekerja untuk PERSIAPAN JADI PRESIDEN, bukan bekerja membereskan masalah DKI Jakarta. Lha, orang ini katanya jujur, amanah, rendah hati, tidak neko-neko; tapi justru kemaruk jabatan. Satu belum kelar, sudah nafsu ingin jabatan lain. Kata orang Sunda, ngurauk ku siku. Mau merengkuh apa saja dengan sikunya, karena saking rakus.

Sampai di sini kita jadi paham, bahwa memang rakyat kita begitu mudah dibodoh-bodohi. Sedangkan kaum cerdik-cendekia, para ilmuwan dan terpelajar, sibuk menyelamatkan urusan ekonomi masing-masing. Mereka tak berani turun ke landasan untuk mencerahi masyarakat. Untuk menyalakan suluh kebenaran. Mereka bersembunyi di balik segala kemapanan dan keenakan hidup yang sudah dinikmati.

Media-media massa, pengamat, politisi, akademisi bayaran, dan seterusnya mereka terus-menerus berdzikir dengan kata-kata: “Demi Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika.” Tapi kelakuan mereka busuk. Moral mereka lacur. Mereka gadaikan kehidupan rakyat dan bangsa, demi memenuhi syahwat hedonismenya. Kaum virus bangsa itu tak henti-hentinya menipu, menipu, menipu, dan menipu rakyat yang kebanyakan pelupa dan tidak kritis.

Ya Allah ya Rabbi, sampai kapan negeri ini terus dikuasai para penipu, penjilat, dan pengkhianat? Ya Allah haturkan ke tengah kami belas kasihan atas nasib berjuta saudara-saudara kami. Mereka manusia, mereka berharga, mereka punya kehidupan. Ya Allah ya Rabbi, selamatkan kami dan bangsa ini dari segala tipu daya para setan berwujud manusia. Ya Rabbana atina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah, wa qinaa adzaban naar. Amin Allahumma amin.

Salam hormat, kasih sayang, dan peduli bagi sesama anak bangsa yang lemah, tercecer, dan menderita. Haraplah kepada Allah Rabbul ‘alamiiin, ada masa depan baik menantimu, Saudaku.

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

(Abah).


Jokowi Punya Kemampuan, Tapi Masalah Jakarta Sangat Komplek. Foke Punya Pengalaman, Tapi Cenderung Arogan.

November 28, 2012

Baru juga Jokowi memimpin Jakarta, masalah-masalah klasik di provinsi ini mulai bermunculan. Minimal, soal banjir dan macet. Dalam masalah banjir, Jokowi sempat bilang bahwa dirinya “kalah cepat” dibandingkan kedatangan banjir; dalam masalah kemacetan, yang semula Jokowi tidak setuju dengan pembangunan jalan tol dalam kota, akhirnya sepakat untuk merealisasikan pembangunan dua ruas jalan tol. Banyak masalah-masalah Jakarta yang sedang menanti “tangan dingin” Jokowi.

Menurut sebagian analisis, nama besar Jokowi yang meriah di mata media dan rakyat, tak urung membuat Megawati dan kawan-kawan merasa “gerah” juga. Sebab dikhawatirkan Jokowi akan mengganggu “nama besar” Megawati di mata para PDIP-ers. Ibaratnya, hanya boleh ada satu bola lampu yang menyala terang. Nah, itu masalah lain lagi.

Intinya begini lah…Pak Jokowi ini punya kemampuan, punya leadership, juga punya pengalaman. Minimal dalam memimpin Kota Solo. Dengan kemampuan yang ada itu, dia insya Allah bisa mengadakan perbaikan-perbaikan di Jakarta pada sektor-sektor tertentu. Tapi untuk memperbaiki Jakarta secara fundamental, untuk mengubah wajah Jakarta, untuk menata-ulang wajah provinsi ini sebaik-baiknya; hal itu tidaklah mudah. Alasan utamanya, masalah Jakarta terlalu komplek.

Jakarta Terlalu Ruwet untuk Dihadapi Seorang Diri.

Jakarta bisa diibaratkan sebagai “ruang tamu” sekaligus “dapur” bangsa Indonesia. Ia adalah pajangan bagi dunia luar; tetapi sekaligus pusat bisnis bagi dunia dalam. Jakarta itu inti magnet kehidupan nasional. Di dalamnya bermain banyak sekali tangan-tangan yang berkepentingan. Ada pemda & pemkot, serta pejabat-pejabat mereka; ada pemerintah pusat dan departemen-departemen; ada BUMN dan swasta yang berkantor pusat disana; ada perusahaan swasta, pebisnis, pedagang dan seterusnya; ada media-media massa, baik cetak maupun elektronik; ada aparat keamanan dan hukum, yang juga punya kepentingan bisnis dan politik; ada asosiasi-asosiasi; ada partai-partai politik; ada masyarakat marginal; ada kepentingan negara-negara asing; ada jaringan perusahaan-perusahaan multi nasional, dan seterusnya dan seterusnya. Jakarta seperti “pasar tradisional” tempat bertemunya aneka macam jenis manusia, kepentingan, ambisi, serta tingkah-polahnya.

Pihak-pihak yang bermain di Jakarta ini bisa dikelompokkan menjadi 3 golongan: [1]. Kelompok mapan (settled). [2]. Kelompok oposisi yang anti kelompok mapan. [3]. Kelompok eksperimen yang berusaha keras mencari kemapanan.

Kelompok pertama adalah kalangan yang telah mendominasi Jakarta, dan sangat banyak mendapatkan keuntungan secara ekonomi, bisnis, finansial, politik, dan sosial. Kelompok ini punya kekuatan dana, power politik, media, serta agen-agen loyal yang selalu bekerja keras untuk mempertahankan dominasinya di Jakarta. Kelompok kedua adalah barisan siapa saja, terutama rakyat dan mahasiswa, yang ingin ada perubahan di Jakarta. Kelompok satu dan dua ini selalu berseteru. Jokowi disebut-sebut sebagai bagian dari “kelompok perubahan” ini; tetapi bisa juga dimaknai, dia disetir oleh kelompok pertama. Sementara kelompok ketiga, adalah kaum pragmatis-oprtunis yang terus mencari celah untuk menguasai Jakarta, dengan prinsip ekonomi: bermodal pengorbanan sekecil-kecilnya untuk meraup untung sebesar-besarnya.

Selagi kebijakan Jokowi tidak membahayakan kelompok pertama, dia akan dibiarkan aman, selamat, dan sentosa. Tetapi kalau sudah mulai mengganggu, Jokowi akan diserang dengan aneka macam senjata; mulai dari yang paling halus, semi halus, agak kasar, kasar, hingga sangat kasar. Tinggal pilih, mana selera yang cocok. Saya perhatikan, media-media tertentu sudah mulai gatel menjadikan Jokowi sebagai “sansak”; sebagaimana media-media lain berpura-pura bego atas kasus yang membelit Dahlan Iskan, sewaktu menjadi Dirut PLN.

Pertanyaan, di atas semua kenyataan ini, mungkinkah Jokowi bisa mengatur Jakarta sebaik-baiknya?

Kemunculan Jokowi di Jakarta, tidak lepas dari peranan sebagian politisi senior (di Gerindra dan PDIP); bukan agenda Jokowi sendiri; itu tandanya dia tidak mandiri, secara politik. Dengan keadaan demikian, bisakah Jokowi membereskan kompleksitas Jakarta dengan segala elemennya? Kalau secara hitung-hitungan teoritis, itu sangat sulit.

Tapi soal Jokowi akan bisa mengadakan perbaikan-perbaikan tertentu di Jakarta, insya Allah bisa, sebab beliau punya pengalaman. Namun jika berharap banyak padanya, untuk membereskan segala keruwetan Jakarta, rasanya sangat sulit. Kita seperti mengharap seekor tupai untuk mendorong truk trailer sampai ke pelabuhan.

Adapun Foke (Fauzi Bowo), secara umum dia punya pengalaman, 30 tahunan di birokrasi pemda/pemkot. Dia juga meraih gelar doktor dari Jerman. Dari sisi ini sudah bagus, sudah layak untuk jabatan selevel gubernur. Tapi pembawaan Foke kurang bagus. Sikap kepribadiannya cenderung arogan. Pencitraan dengan kumis tebal yang dipotong “kotak” itu, semakin menambah kesan arogansinya. Sementara masyarakat Indonesia kurang suka dengan sikap arogan. “Meskipun pintar, kalau arogan, kita gak suka. Meskipun bodoh, kalau ramah dan sopan, kita demen tuh.” Begitu kira-kira prinsip kultural masyarakat kita.

Kita jangan terlalu memberi beban ke pundak Jokowi, sebab kemampuan dia sangat terbatas dibandingkan masalah komplek yang ada di Jakarta. Mesti bersikap proporsional. Tetapi boleh juga berharap, dia akan melakukan perbaikan-perbaikan tertentu yang bersifat sektoral. Jakarta itu bisa berubah secara drastis, jika pola pikir (software), elit-elit dominator (processor), kesadaran umum masyarakat (motherboard), serta fasilitas fisik (hardware) Jakarta juga berubah.

Oke Pak Jokowi, selamat bekerja dan berjuang demi kebaikan hidup masyarakat Jakarta. Dan bagi rakyat Jakarta, para pengamat, para netters, dan seterusnya…jangan berhenti untuk berharap, bahwa: “Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, hari esok harus lebih baik dari hari ini.” Amin.

(Blogadmin).


Biarkan Jokowi “Hedon” 3 Bulan…

Oktober 16, 2012

Hhmm…

Maksud hedon” disini bukan artinya senang-senang, menghamba hawa nafsu, seperti yang ditulis di bagian lain. Maksudnya ialah, bersantai, tenang-tenang, enak-enakan, bermesra-mesra dengan media, memungut puji-puji segunung, dan seterusnya. Biarkan Pak Jokowi enak-enak, menikmati posisi Gubernur DKI selama 3 bulanan pertama. Dia perlu dapat “hiburan manis” setelah susah-payah berjuang menuju GDKI-1 (posisi Gubernur DKI…he he he).

Eeee…

Apa ya, Jakarta itu kota yang super komplek, sangat rumit, tidak sesederhana yang dibayangkan. Jakarta adalah provinsi paling rumit di seluruh Indonesia. Ia provinsi, sekaligus kota; kota tetapi provinsi. Dari sisi ini saja, kita sudah merasa puyeng. Kok ada sebuah kota sebesar provinsi…

Siapa Nih? Bang Haji apa Maradona? Napa Die Ada Dimari…

Jakarta itu rumit sekali. Ia bukan Solo yang merupakan sebuah kota penting di Jawa Tengah. Jakarta berbeda dari Solo, dalam sebagian besar konstruksi kota dan tipikal rakyatnya. Beda, beda, beda sekali.

Sudah banyak pemimpin gagal di Jakarta ini; dalam artian, gagal mewujudkan impian dan harapan warga Jakarta dan sekitarnya. Kini ujug-ujug Jokowi muncul, bersama sosok pemimpin gagal Ahok. Jokowi secara gagah mengatakan, bahwa Jakarta butuh: pemimpin yang berkarakter, manajemen yang kuat, dan tindakan nyata. Tapi ya semua itu baru sebatas teori atau retorika.

Haaa…

Masalah terbesar Jokowi di Jakarta bukan soal minimnya dukungan dari DPRD, karena dia cuma didukung PDIP dan Gerindra; tetapi ya realitas jaringan kekuasaan politik-ekonomi-sosial yang selama ini mendominasi kehidupan rakyat Jakarta. Itu masalah utamanya. Jokowi pemain baru, tidak mudah baginya untuk menerobos jaring-jaring kekuasaan politik-sosial-ekonomi yang sudah sangat kuat di Jakarta. Jangankan dia, Pak SBY saja tak mampu kok. Mafia PBB (Politik-Birokrasi-Bisnis) di Jakarta sangat kuat… Mereka tak akan begitu saja memberi cek kosong kepada Jokowi.

Kalau diibaratkan sebuah kerajaan, Jokowi ini seperti seorang menteri yang baru dilantik. Di Jakarta, dia akan berhadapan dengan raja (presiden), permaisuri (isteri presiden), para pangeran (keluarga dan anak buah presiden), para panglima (jendral-jendral), para menteri lain (menteri-menteri kabinet, pimpinan BUMN), para bangsawan (kaum elit, para pengusaha, bisnisman), para pejabat asing (orang-orang ekspatriat yang membawa missi asing), dan lain-lain.

Tapi kalau baca program-program Jokowi, seperti yang dimuat dalam situs KPUD Jakarta, tentang program-program semua kandidat Gubernur DKI 2012. Program dia justru sangat kapitalistik-liberal. Ini sangat mengherankan. Program dia paling kapitalistik-liberal dibandingkan calon-calon lain. Satu sisi, hal itu seperti tidak selaras dengan ide-ide ekonomi kerakyatan Gerindra; di sisi lain, Jokowi selama memimpin Solo mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang merakyat. Kok bisa begini ya? Mana yang benar? Apa program-program itu cuma formalitas belaka? Atau kesan “merakyat” di Solo hanya kamuflase, sebelum akhirnya mengeluarkan jurus kapitalisme-liberal untuk Jakarta? Tak tahulah awak…

Tapi sejujurnya, langkah Jokowi akan menghadang banyak rintangan. Misalnya, dia ingin memindahkan Busway ke pinggiran kota Jakarta.  Itu artinya, dia harus membuat pengganti Busway untuk angkutan di tengah kota.  Apa penggantinya? Monorail atau MRT? Atau apa?

Misalnya dia memilih Monorail, maka dia harus koordinasi dengan Departemen Perhubungan, dengan Badan Pertanahan (untuk soal lahan lintasan Monorail), dengan Departemen Keuangan untuk investasi, dengan PLN untuk menyediakan listrik, dengan kepolisian untuk rekayasa lalu-lintas, dengan DLLAJR, dengan PT. KAI, dengan developer, dengan penyedia prinsipal teknologi, dengan partai politik, dengan media massa, dengan ini dan itu, sangat banyak urusannya. Jadi, tidak sekejap Jokowi bilang “bikin Monorail”, lalu seketika bulan depan terwujud. Tidak begitu.

Jadi menurut saya, Jokowi itu hanyalah seorang politisi (pemimpin) yang sengaja dikorbankan, atau diabuang; ketika dia didapuk untuk memimpin Jakarta. Setelah 3 bulan memimpin, dia akan dicaci-maki, dia akan diolok-olok, atau bahkan dibuatkan kartun yang sifatnya mengejek. Intinya, Jokowi ini seorang pemimpin yang akan “dikubur” di Jakarta.

Sebenarnya, letak kesalahannya ialah pada janji-janji Jokowi yang terlalu tinggi. Dia menjanjikan perubahan dramatik, sesuatu yang dinanti semua orang, tapi sangat susah direalisasikan. Sekarang Jokowi jalan-jalan dari kampung ke kampung; masalahnya, orang Jakarta beda dengan orang Solo. Warga Solo sopan-santunnya tinggi, kalau Jakarta tau sendiri. Jalan-jalan blusukan kampung itu bukan solusi untuk Jakarta; tetapi kalau untuk melihat masalah riil masyarakat, itu boleh sepenuhnya.

Sangat unik melihat pada sosok Amien Rais, ketika dia menyerang Jokowi dengan sangat pedas dan kasar. Kelihatan seolah dia “sakit hati” ke Jokowi, mungkin karena teori-teori politiknya sering gagal. Amien menyerang Jokowi sedemikian rupa agar Jokowi gagal, tetapi terbukti dia sukses jadi gubernur. Lalu apa pengaruh dari kemarahan dan emosi Amien Rais yang kemarin-kemarin? Apakah dia sampai sekarang masih emosi atau tambah emosi? Entahlah, kadang dibutuhkan kemarahan tertentu agar wakil yang didukung PAN sukses dalam pertarungan politik; meskipun akibatnya kalah lagi, kalah lagi.

Tetapi kita melihat, tanpa harus dimarahi juga, Jokowi pasti gagal. Gagalnya bukan karena dia tak bisa memimpin; tapi dia terlalu keburu sesumbar ingin menyelesaikan masalah Jakarta dalam waktu cepat. Itu kesombongan. Itu tidak bagus. Pak Jokowi terlalu PD, dan media-media sekuler bergemuruh tepuk-tangan dan sorak-soray mengkampanyekan sosok Jokowi.

Wwwuuihh…

Maaf ya Pak Jokowi, Pak Gubernur. Bukan kami tidak mendukung, atau bersikap negative thinking. Bukan itu. Tetapi Anda terlalu under estimate terhadap problematika di Jakarta. Seolah problema itu sangat mudah diatasi. Tidak semudah itu Pak. Melalui analisa sains pun, tidak semudah itu. Contohnya, ya Mobil SMK yang Bapak kampanyekan itu. Terbukti sampai saat ini tidak jelas bagaimana hasilnya. Gimana nasib Mobil SMK itu? Ya ini hanya sekedar renungan saja, agar kita jangan terlalu sombong dalam membuat pernyataan atau janji-janji.

Okeh Pak Jokowi, silakan bekerja, silakan berkarya… Kota Jakarta telah menantikan segala daya dan upayamu. Adapun soal Amien Rais marah-marah dan emosi; ya biasalah, kadang manusia makin senja usia semakin sensitif. Jangan terpengaruh itu.

Masa 3 bulan cukuplah untuk bermesra-mesraan dengan media dan segunung puja-puji masyarakat. Setelah itu…ya itulah Jakarta. Ia adalah kota yang dinamakan Jaya Karya, kota yang berjaya. Nama ini terambil dari inspirasi Surat Al Fath: Inna fatahna laka fathan mubina (sesungguhnya Kami telah memenangkan kamu dengan kemenangan yang nyata).

Jadi Jakarta itu, kalau mau berjaya, harus dipimpin oleh manusia yang kuat, luas wawasan, bermental baja, pemberani, lembut hati, dan Mukmin sejati. Kalau selain itu, apalagi kalau tipikalnya seperti anggota boyband, waduh sangat tidak bagus…

Udeh…gitu aje ye Bank Kowi. Selamat “hedon”, eh maksudnya selamat santai-santai, enak-enak, untuk 3 bulan pertama ini.

Mine.


Antara Jokowi dan Siyasah Islamiyah

Januari 23, 2012

Bismillahirrahmaanirrahim.

Jokowi atau Joko Widodo. Dia adalah walikota Solo. Saat ini memimpin untuk periode ke-2. Tokoh satu ini menyita perhatian publik ketika dengan terang-terangan mendukung peluncuran mobil ESEMKA dan menjadikan mobil itu sebagai kendaraan dinas, menggantikan mobil Toyota Chamry yang sebelumnya digunakan.

Masyarakat Membutuhkan Pemimpin Sungguhan...

Peranan Jokowi sebenarnya bukan semata dalam soal mobil ESEMKA itu. Ia justru sudah muncul sejak awal-awal kepemimpinannya. Reputasi kepemimpinan Jokowi mengagetkan banyak pihak. Banyak orang tak percaya bahwa di Indonesia masih ada sisa-sisa pemimpin yang memiliki integritas dan berhati luhur seperti dirinya. Alhamdulillah. Jokowi muncul di tengah packelik kepemimpinan melanda bangsa Indonesia. Ia menjadi sebuah inspirasi besar yang seolah ingin menyampaikan pesan: “Di negeri ini masih ada orang waras!”

Sekedar kita catat beberapa sikap kepemimpinan Jokowi yang patut diteladani. Hal ini berdasarkan informasi-informasi yang beredar di media atau kabar-kabar yang sampai kepada kita.

[=] Saat Jokowi mulai memasukan pusaran bursa kepemimpinan politik di Solo, dia bukanlah orang miskin, atau pengangguran, atau sarjana yang sangat butuh pekerjaan demi anak-isterinya. Jokowi seorang pengusaha meubel yang memiliki penghasilan cukup. Jadi dia sudah mampu sebelum masuk ke gelanggan politik.

[=] Jokowi saat maju mencalonkan diri sebagai kandidat Walikota Solo, dia memakai uang sendiri. Katanya, biaya yang dia keluarkan sekitar Rp. 5 miliar. Itu dana sendiri, atau mungkin mendapat bantuan dari keluarga, rekanan, atau kawan. Dia tidak memakai dana negara, tidak memakai uang hasil korupsi, uang hasil kejahatan; atau uang hasil memeras para kader di bawah yang notabene miskin-miskin. Jokowi dengan terpaksa harus memakai uang itu, sebab hanya dengan cara itu dia akan bisa menduduki jabatan walikota.

[=] Ketika sudah menjadi walikota, Jokowi tidak mengambil gaji. Ada yang mengatakan, sikap tidak mengambil gaji ini masih berjalan sampai saat ini. Dia juga menandatangani surat perjanjian yang isinya, dia rela dipenjara atau didenda uang sejumlah tertentu, jika selama memimpin melakukan korupsi.

[=] Ketika diberi kendaraan dinas, Jokowi memilih memakai kendaraan-nya sendiri. Kalau terjadi kerusakan, kendaraan itu diperbaiki. Demikian seterusnya, sampai kemudian dia  mau memakai Toyota Chamry sebagai kendaraan dinas. Sebelum akhirnya, mobil itu juga diganti dengan mobil ESEMKA yang belum lulus uji macam-macam.

[=] Dalam kepemimpinan Jokowi, dinas-dinas di Solo dibersihkan dari korupsi, pungli, mark-up anggaran, dll. Hasilnya, Kota Solo memiliki performa birokrasi yang sehat. Solo termasuk birokrasi yang relatif bersih dari korupsi.

[=] Jokowi sering mendapat iming-iming hadiah, uang suap, atau gratifikasi, dari para pengusaha bisnis yang ingin membuka mall-mall dan aneka usaha bisnis di Solo. Tetapi Jokowi menolak semua pemberian itu. Dia lebih mengutamakan hak-hak masyarakat Solo daripada melayani ambisi bisnis pengusaha-pengusaha kapitalistik.

[=] Jokowi juga terkenal sebagai pemimpin birokrasi yang tidak main kekerasan untuk menyelesaikan masalah-masalah pedagang kaki lima, asongan, dll. yang biasanya berjualan di pinggir-pinggir jalan. Dia terkenal tidak “memakai pentungan” untuk menertibkan para pedagang itu. Jokowi menempuh cara persuasif, dialog, datang langsung ke tengah para pedagang dan mendengar keluhan-keluhan mereka. Ada kalanya para pedagang diajak makan-makan, lalu dibuka dialog untuk mencapai solusi terbaik.

[=] Sifat lain yang sangat menonjol ialah sikap rendah hati. Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, pernah secara terang-terangan menyebut Jokowi sebagai pemimpin yang bodoh. Namun tuduhan itu dibalas dengan rendah hati, “Memang benar, saya adalah pemimpin yang bodoh. Dari dulu saya tahu, kalau saya memang bodoh.” Masya Allah…lihatlah tokoh satu ini. Dia tidak membela diri, tidak mencari-cari alasan, tidak berdalih dengan kata-kata seperti: Itu ghibah, fitnah, memecah-belah, merasa benar sendiri, tidak tabayun, hanya bisa gomong doang, dll.

[=] Dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan.

Terlepas dari siapa sebenarnya sosok Jokowi? Apa agendanya, dan siapa pendukungnya? Sejujurnya, kepemimpinan seperti itulah yang diinginkan oleh Islam. Islam memiliki berkas-berkas sejarah yang sangat banyak, yang menjelaskan karakter kepemimpin yang mulia, memiliki integritas, komitmen kepada kejujuran, menjunjung-tinggi keadilan, serta menyayangi masyarakat luas. Tentang hal seperti ini, Islam memiliki banyak hal, dari sisi teori dan praktik sejarah.

Kita sebut sebagian contoh. Ketika Nabi Yusuf As menyediakan dirinya untuk menjaga perbendarahaan makanan rakyat Mesir, beliau menyebut dirinya memiliki sifat Hafizhun ‘Alim (pandai menjaga dan berwawasan luas pula). Dalam riwayat disebutkan perkataan Nabi Saw yang populer: “Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatih” (setiap kalian adalah pemimpin, setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya). Begitu pula ada ungkapan hikmah yang berbunyi: “Sayyidul qaum khadimuhum” (pemimpin suatu kaum, adalah pelayah kaum itu). Juga disebutkan tentang pentingnya amanh diserahkan kepada ahlinya: “Idza wussidatil amanata li ghairi ahliha fantazhirus sa’ah” (jika amanah diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancuran). Ketika ada seorang Shahabat yang meminta jabatan, Nabi mengingatkan bahwa jabatan itu amanah yang berat: “Innaka dhaif, wa innaha amanah, saya’ti yaumal qiyamati hizyun wan nadamah” (engkau itu lemah, sedangkan (apa yang engkau minta) itu amanah, maka ia akan datang di hari kiamat nanti sebagai kehinaan dan penyesalan). Dan lain-lain ajaran yang sangat mulia dan mengesankan.

Dasar-dasar teori itu pada akhirnya ditujukan untuk mencapai kualitas kepemimpinan dan kehidupan birokrasi yang bersih, adil, jujur, pengasih, serta benar-benar menjaga masyarakat dari berbagai keburukan lahir-batin, dunia akhirat, dalam segala urusan. Biasanya, dalam kajian seperti ini, kita akan disebutkan contoh-contoh pemimpin adil dari khazanah sejarah Islam.

Coba kita sebut sedikit contoh dari teladan pemimpin-pemimpin Islam di Nusantara ini, khususnya setelah memasuki era kemerdekaan. Bapak M. Natsir pernah menjadi Perdana Menteri di era Orde Lama. Sikap hidup beliau sederhana, tidak memperkaya diri, bahkan rumah tempat tinggal pun diberi hadiah oleh seorang dermawan. Bapak Syafruddin Prawiranegara, dikenal sebagai Gubernur BI pertama. Beliau termasuk pelopor konsep investasi di bidang ekonomi dan pembangunan. Beliau pernah menerapkan kebijakan redenominasi, atau dikenal masyarakat dengan istilah “pemotongan uang”. Meskipun begitu, beliau juga hidup sederhana, tidak korupsi, dan tidak gila kekuasaan. Hingga ketika esok hari kebijakan “pemotongan uang” akan dilakukan, pada malam harinya beliau memotongi sendiri uang-uang kertas itu, tanpa memberitahu isterinya. (Andaikan isterinya sudah diberitahu lebih dulu, mungkin mereka akan buru-buru belanja, sebelum uang dipotong). Termasuk sosok Burhanuddin Harahap, Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Muhammad Roem, dll. Mereka rahimahumullah jami’an dikenal sebagai para pemimpin intelek, ilmunya luas, cekatan dalam birokrasi; namun bersih, tidak korup, dan tidak memperkaya diri.

Saat masuk era Reformasi, sebenarnya karakter pemimpin seperti itu yang kita harapkan, didamba masyarakat, dinantikan oleh bangsa. Ummat Islam seharusnya bisa melahirkan pemimpin seperti ini, sebab kita memiliki acuan ajaran yang sangat banyak, dan catatan-catatan sejarah juga sangat banyak. Bahkan sejarah pemimpin nasional yang Islami juga banyak.

Sempat ada gebrakan harapan dari partai tertentu yang menyandang label sebagai partai Islam, partai dakwah, partai kader. Wah, kita semua merasa tercengang ketika menyaksikan, para pemimpin di partai itu memiliki sifat-sifat mulia misalnya: Tidak mau memakai mobil dinas dengan merk Volvo, memilih mobil sendiri dengan merk “Kijang”; kalau pulang kampung ke Kuningan memilih memakai bus umum, bukan memakai kendaraan pribadi; tidak mau menerima gratifikasi berupa amplop, cindera mata, hadiah, dll.; kalau ada rapat di Senayan, memilih pulang ke rumah, bukan menginap di hotel. Dan lain-lain sikap yang menerbitkan harapan di hati rakyat Indonesia. Apalagi partai itu mengusung motto: “Bersih dan peduli!”

Tapi tampaknya, suasana kegembiraan itu seolah tak boleh lama-lama. Suasana harapan harus segera dikubur dengan kegelapan; suasana hati yang bahagia, harus diubah menjadi cemas dan getir kembali; kemenangan moral kesederhanaan, harus disirnakan lagi oleh serakah dan ambisi syahwat yang menggelegak; wajah-wajah manusia shalih dan alim, harus segera ditukar dengan wajah-wajah brengsek, mulut-mulut pendusta, omongan-omongan kualitas sampah. Dan seterusnya… Seolah, di negeri ini, di zaman ini, kita tidak boleh berlama-lama bahagia dan merasakan sakinah di hati. Seolah, rakyat tak boleh berharap perbaikan; seolah rakyat hanya boleh diberi balasan berupa pengkhinatan, kebohongan, korupsi, penindasan, dan kezhaliman. Na’udzubillah wa na’udzubillah tsumma na’udzubillah min kulli dzalik.

Belum lama kita berharap pada kader-kader muda, sarjana-sarjana intelek harapan bangsa itu, mereka semula dipuji oleh Dahlan Iskan sebagai komunitas yang bersih dari getah-getah Orde Baru. Tapi apa hendak dikata, ternyata perilaku politik orang-orang itu semakin menampakkan wajah aslinya. Antara lain: Sangat berambisi kekuasaan (dari level Presiden, menteri, sampai bupati/walikota, ingin direbut juga), mendukung regim neo-liberalisme (termasuk dengan akrobat-akrobat politik sangat memuakkan), tidak peduli dengan masalah-masalah serius yang sedang dihadapi Ummat Islam (seperti isu terorisme, aliran sesat, liberalisme pemikiran, dekadensi moral, dll), memakai dana-dana tak jelas untuk memenangkan pertarungan politik, elit-elit politiknya memperkaya diri, sebagian tersangkut kasus korupsi, dll. Yang paling parah, ada salah satu anggota DPR mereka, tertangkap kamera sedang membuka konten pornografi, saat lagi sidang paripurna DPR.

Hal-hal demikian jelas sangat ironis. Bukan hanya bagi partai “bersih dan peduli” itu. Tetapi  bagi partai-partai lain juga yang berlabel Islam (atau partai basis Muslim). Sebenarnya, orang-orang ini apa tujuannya masuk dunia politik? Mau memperkaya dirikah? Mau terlibat korupsi dan penggunaan dana-dana gelapkah? Mau hidup mewah di atas pijakan harta, tahta, dan wanitakah? Atau mereka murni mau memperjuangkan kehidupan masyarakat dan bangsa?

Saya punya sebuah teori sederhana. Ia bisa dibuktikan dalam kehidupan riil. Bunyi teori ini sebagai berikut: “Kalau seorang presiden, menteri, anggota DPR, gubernur, walikota/bupati; setelah 6 bulan menempati jabatan atau posisi masing-masing, dalam kondisi negara sedang ruwet seperti ini, lalu mereka menjadi gemuk (bengkak tubuhnya) dan bisa tidur nyenyak, itu pertanda mereka adalah para pejabat PENDUSTA.

Negara kita saat ini sedang sakit dan banyak penyakit. Seharusnya, kalau seorang pemimpin benar-benar ikhlas, peduli dengan rakyat, mati-matian membela masyarakat, dia selalu memikirkan keadaan rakyatnya siang-malam; seharusnya, setelah menjadi pemimpin mereka akan semakin kurus, atau cepat tua. Minimal tubuhnya konstan seperti semula. Karena masalah-masalah rakyat sangat banyak. Tidak mungkin seseorang bisa menjadi pejabat birokrasi atau anggota DPR dalam keadaan seperti ini, mereka bisa makan kenyang, atau tidur pulas. Dia pasti akan dilanda tekanan batin terus-menerus. Maka itu resikonya, pemimpin nasional sulit akan gemuk, kecuali kalau dia setiap hari mengkhianati rakyat.

Mungkin sebagian orang akan menjawab: “Tapi kan kami sudah memenuhi tugas kami. Hadir di kantor dengan tepat waktu, tidak pernah bolos. Kami kerjakan tugas sesuai juklak dan juknis yang telah disusun. Kami gunakan anggaran sesuai porsinya. Kami tidak menerima uang, kecuali yang merupakan hak kami sesuai UU.”

Andaikan ada yang benar-benar seperti itu, masya Allah sudah sangat baik. Ia layak diacungi jempol. Bravo, bavo, bravo! Tetapi masalahnya, amanah kepemimpinan publik (sebagai anggota DPR dan pejabat birokrasi) tidak dibatasi hanya dalam ruang-ruang administrasi. Mereka bertanggung-jawab penuh memikirkan setiap jiwa rakyat dan kehidupannya, person by person, sesuai amanah kepemimpinan mereka. Itulah amanah pemimpin publik, bukan manajer administrasi.

Kembali ke sosok Jokowi di atas. Tanpa bermaksud memuji-muji manusia melebihi maqam-nya, kepemimpinan beliau layak diapresiasi (meskipun secara politik Jokowi didukung oleh PDIP, bukan partai-partai Islam/Muslim). Seharusnya, para politisi yang bergelar ustadz itu yang memainkan peranan seperti Jokowi. Mereka lebih tahu tentang ajaran Islam, secara teori maupun contoh-contoh teladan dalam sejarah.

Tapi kenyataan ini sangat ironis. Orang umum, bukan ustadz, didukung PDIP lagi…tetapi mengerti tentang aspek-aspek aplikasi ajaran Islam dalam kepemimpinan. Sementara para politisi dari kalangan ustadz, doktor syariah, aktivis Islam, tokoh ormas Islam, dll. ternyata memble memble aje… Apa tidak malu ya mereka? Sangat ironis!

Kepemimpinan Jokowi -dengan segala kelebihan dan kekurangannya- telah memberikan dua pelajaran berharga bagi kita semua. Pertama, ternyata di negara kita masih ada pemimpin yang waras. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Kedua, kepemimpinan itu menjadi tamparan keras bagi para politisi Muslim yang kerap menjadikan Islam (atau komunitas Muslim) sebagai tunggangan untuk memuaskan syahwat di bidang harta, tahta, dan wanita.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya kaum Muslimin dan para pemimpin politik mereka. Amin Allahumma amin.

AMW.