Dulu awal 1998 saya masih terlibat dalam Jamaah Tarbiyah. Kebetulan waktu itu disepakati, jamaah dakwah terjun di arena politik. Sejujurnya, saya lebih mendukung jamaah ini tetap dalam lintasan dakwah. Untuk urusan politik, ikut saja PBB yang didukung Dewan Dakwah Islamiyyah (DDII). Tetapi dari informasi Murabbi, beliau mengatakan, saat ini adalah momentum yang tidak boleh disia-siakan. Kata beliau, sebenarnya rencana masuk partai politik itu masih 15 tahun lagi (sejak 1998). Berhubung ada kesempatan dan khawatir kesempatan itu tertutup lagi, gerakan Tarbiyah masuk politik 15 tahun lebih cepat dari rencana.
Di kemudian hari, ada berita dari seorang ikhwan, bahwa tidak semua pendukung gerakan Tarbiyah setuju membentuk partai politik. Konon, 70 % anggota kader inti setuju, 30 % tidak. Maka yang 30 % diminta legowo menerima keputusan terjun ke dunia politik praktis. Saya sendiri waktu itu manut saja, bagaimana keputusan qiyadah dakwah. Kami ini hanya bisa dengar, memahami, lalu mendukung. No other choice!
Satu kenangan indah saya dapatkan ketika awal-awal terlibat dalam Partai Keadilan (PK). Waktu itu Murabbi sangat menekankan sebuah prinsip yang sangat bagus. Kata beliau, “Kalau dakwah ini benar, kita pasti akan mengalami cobaan-cobaan seperti yang menimpa para Shahabat di jaman Rasulullah dulu. Tetapi kalau keadaan tenang-tenang saja, berarti ada yang salah dengan dakwah ini.” Begitu kurang lebih kata beliau. Saya sangat teringat penjelasan ini dan begitu terkesan dengan kelugasannya.
Apalagi waktu itu PK dianggap sebagai “kuda hitam” ancaman oleh PDIP Megawati. Dimanapun kami merasa berhadap-hadapan dengan partai “kerbau gemuk” itu. Saya dengar sendiri bahwa banyak akhwat Muslimah ketakutan kalau melihat mata simbol PDIP itu. Matanya memerah, menakutkan.
Dan ingat pula seorang Syahidah pertama dalam perjuangan PK, seorang gadis mahasiswi IAIN Jakarta (?). Beliau terbunuh secara misterius, ketika dalam perjalanan ke kampus. Beritanya dibahas di majalah Sabili. Saat-saat menjelang Pemilu 1999 tekanan psy war kami rasakan begitu kuat. Sampai sebagian ikhwan harus terus memonitor keluarga-keluarga kader PK, khawatir ada tindakan-tindakan kekerasan atas mereka. Kami sendiri menghadapi kenyataan, PDIP memiliki massa besar di Bandung. Setiap ada kampanye konvoi PDIP, jalanan serasa penuh teror. Sikap beringas, massa besar, teriakan-teriakan, dandanan sangar, kebut-kebutan, memainkan knalpot, belum lagi warna merah darah dimana-mana. Pendek kata, berat sekali tekanan psikologis waktu itu. (Meskipun sayang, semua ini sudah dilupakan).
Tekanan sangat berat saya rasakan saat PK kalah telak dalam Pemilu 1999. Ya Rabbi, kami telah bekerja sekuat kesanggupan, namun inilah hasilnya. Kami kalah dan harus rela tereliminasi dari Pemilu selanjutnya. (Kami harus membuat partai baru, bukan PK lagi). Membela sebuah partai dengan misi menegakkan keadilan adalah kebanggaan di hati kami; tapi menyaksikan ia terkubur di usia muda, kalah dalam pertarungan politik, adalah kenyataan yang sangat-sangat perih. Demi Allah, saya masih sering terharu, mata berkaca-kaca kalau melihat bendera PK (bukan PKS) berkibar-kibar. Ia mengingatkan akan sebuah tonggak perjuangan yang telah tenggelam.
Begitu indahnya perjuangan itu. PK sampai peduli dengan seruan JIHAD dari bumi Ambon dan Maluku Utara. Allahu Akbar wa lillahil hamd. Ketika di media-media massa beredar banyak berita negatif yang memojokkan Islam, secara resmi DPP PK mengeluarkan klarifikasi tentang kronologi munculnya kerusuhan di Ambon. Luar biasa, inilah satu-satunya partai yang berani tegas bicara tentang jihad. Saya kalau teringat rekaman perjuangan jihad di Ambon yang diambil oleh relawan-relawan PK, masya Allah begitu mengharukan. Disana ratusan pemuda-pemuda Muslim yang semula jauh dari agama, mereka memakai pita putih dan siap mempertahankan Islam, sampai titik darah penghabisan. Hingga anak-anak dan ibu-ibu, dengan segala kesederhanaan dan kepolosannya, mereka berjuang membela IZZAH Islam. Allahu Akbar, sangat mengharukan perjalanan ini. Menurutku, nasyid terbaik yang pernah lahir di Indonesia, setelah Jundullah adalah Kami Kembali, yang dibuat oleh Izzatul Islam. Khususnya versi sebelum dicampur musik menghentak itu. Masih versi aslinya, with human voice only.
Di atas semua itu, kami masih merasa sebagai laki-laki, hidup dalam kejujuran, mengejar ridha Allah dengan ketulusan hati. Kesederhanaan dimana-mana, kesungguhan dan pengorbanan menjadi stamina untuk menggerakkan roda kehidupan. Pendek kata, upaya menegakkan Kalimah Allah, masih ada disana. Bahkan kalau Anda membaca Piagam Deklarasi PK atau Manifesto Politik PK, luar biasa isinya. Sangat menyentuh hati dan mengharukan. Disana sangat tampak gambaran Islam sebagai ideologi, sebagai minhaj kehidupan, dan cita-cita sejarah.
Saya sedih luar biasa, ketika dalam kampanye Pemilu 1999 kami telah berjuang habis-habisan, tidak kenal waktu siang dan malam. Segalanya telah dilakukan, termasuk berdoa, berdzikir, menangis kepada Allah, shalat malam, dan apa saja yang hak dilakukan. Namun kami harus melihat hancurnya partai ini di usianya yang masih sangat muda. Kesedihan lain yang lebih menyesakkan adalah: Anak-anak kami tidak mengerti bahwa PK kalah dalam Pemilu 1999.
Saya menjerit pilu saat teringat Abdurrahman (anak kedua) keluar rumah sambil mengibar-ngibarkan bendera PK. Dia sangat antusias mengibarkan bendera itu, sebab sering kami ajak ikut dalam kampanye. Dia kibarkan bendera di sekitar rumah sambil berteriak-teriak. Dia tidak tahu, bahwa abi-umminya sedang menahan malu luar biasa. Mengapa? Semula kami optimis akan menang, atau memperoleh suara besar. Semua orang di sekitar tahu akan optimisme itu. Ternyata, hasilnya jauh dari harapan.
Saya tidak bisa menyalahkan anak, sebab mereka masih kecil. Tetapi itulah kenyataan, kami kalah, semua optimisme nyaris hancur. Kalau Anda tahu, perasaan kecewa dan trauma itu juga melanda sebagian besar ikhwan dan akhwat. Nyaris mereka lemas untuk bicara tentang PK. Hingga, kami harus berusaha keras untuk membangkitkan semangat mereka, atas ijin Allah. Bahkan saya harus terlibat dalam konflik dengan sebagian ikhwan karena perkara seperti ini.
Di atas semua itu, saya masih teringat kata-kata Murabbi saya dulu. Beliau pernah jadi dosen Teknik di ITB. Saya selalu terkenang penjelasan beliau, bahwa kalau partai ini menghadapi banyak ombak, aral melintang, batu cadas dan kerasnya jalanan, ia pertanda telah meniti jalan yang tepat. Tetapi kalau jalannya bertabur bunga, penuh puja-puji, penuh semerbak wangi, sentuhan luxuries, melesat di atas lalu lintas rekening Miliaran rupiah, road show dengan segudang entertainment, lip service, manipulasi opini, dst. ya Anda tahu sendiri, jalan apa yang sedang dijalaninya?
Saat ini, semakin PKS membesar hati ini terasa ngilu, sebab misi Syariat Islam berbanding terbalik dengan pertumbuhan partai. Alih-alih bicara soal hukum Islam, sekedar ingat perjuangan PK dulu saja, rasanya mereka sudah lupa. Ya sudah, tidak perlu banyak polemik. Percuma, dengan 1000 atau 2000 dalil pun tidak akan mengubah keadaan. Yang jelas, kata-kata Murabbi dulu telah terbukti. Ia menjadi realitas yang kini terjadi. Partai itu telah menjadi partai al wahn, yang sangat lembek saat berhadapan dengan godaan-godaan materi. Ia tidak berjalan sesuai Sunnah perjuangan para Shahabat.
Salam hormat dan rahmat kepada para Mujahidin PK di masa lalu. Dimanapun kita berada, ada tanggung-jawab yang harus kita tunaikan, yaitu menyelamatkan Ummat ini, sekuat kemampuan dan atas ijin Allah Ta’ala. Silakan lakukan apa saja yang bermanfaat bagi Ummat, selagi kesempatan beramal itu ada. Kalau ia sudah tertutup, hendak kemana hati akan mengadu? Bayangkan, jika Rabb-mu telah menolak amal-amalmu, apa yang bisa engkau lakukan?
Wallahu a’lam bisshawaab.
Malang, 12 oktober 2008.
AM. Waskito.
NB.: Maaf, pada edisi sebelumnya ada kesalahan-kesalahan yang mengganggu. Alhamdulillah, kini sudah diperbaiki.