Mengapa Sih Tidak Berdoa Sendiri?

Oktober 16, 2008

Sejak lama saya memiliki keheranan besar dengan sikap umumnya Muslim Indonesia. Saya dibesarkan dalam lingkungan Nahdhiyin sampai beranjak remaja. Dalam tradisi Nahdhiyyin ada suatu kebiasaan yang sangat sulit saya mengerti. Hal itu telah dirasakan sejak lama. Ternyata, tradisi seperti itu juga banyak dianut di Jawa Barat, Depok, Jakarta, dan lainnya.

Dalam Surat Al Fatihah disebutkan, “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in” (hanya kepadamu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan). Begitu agungnya ayat ini sehingga menginspirasi Ibnul Qayyim Al Jauziyyah untuk menilis Zaadul Ma’ad. Beliau bahas ayat itu sedalam-dalamnya, -mungkin paling dalam dari ulama manapun lainnya.

Dengan bahasa sederhana, tanpa takwil macam-macam, ayat itu mengajarkan dua hal, yaitu: al ikhlas (memurnikan ibadah hanya kepada Allah saja) dan doa (memohon pertolongan hanya kepada Allah). Dua hal ini merupakan bekal hidup orang beriman, dalam mengarungi kehidupan dunia dan mencari Mardhatillah di sisi Allah di Akhirat nanti.

Tetapi di tengah masyarakat kita banyak sekali kaum Muslimin yang minder. Mereka minder untuk berdoa dan memohon langsung kepada Allah. Mereka tidak percaya diri, merasa kotor, merasa tidak berharga, sehingga untuk urusan doa, harus selalu melalui perantara (wasilah). Wasilahnya bisa macam-macam, misalnya: berkah wali, doa orang shalih, berkah kuburan keramat, berkah Syaikh Abdul Qadir Jailani, jah Rasulullah, barakah Al Fatihah, dll. Banyak sekali bentuknya, tetapi intinya merasa minder dengan dirinya sendiri.

Baca entri selengkapnya »


Balada Naik KA Ekonomi Lebaran

Oktober 16, 2008

Ada sebuah tip bagi Anda kalau pulang “mudik” dengan KA ekonomi. KA ekonomi saat mudik identik dengan sengsara yang butuh banyak kesabaran. Wih, tak terlukiskan deh “duka laranya” (ye…kok jadi melankolik amat ya). Tapi bener Akhi wa Ukhti, naik KA ekonomi saat Idul Fithri sungguh butuh kesabaran.

Tetapi ingatlah, seberat-beratnya beban kita, ada tip untuk mengatasi derita ini, yaitu dengan menyadari bahwa, “Kesulitan ini hanya sebentar saja. Paling lama 20 jam. Setelah tiba di tempat tujuan, segalanya akan berubah jadi baik, insya Allah.” Dengan kesadaran ini, alhamdulillah kita merasa kuat untuk melawan kesulitan. Pokoknya, ingat selalu bahwa penderitaan itu akan segera berakhir, begitu KA sampai di stasiun tujuan. Tetapi, agar selamat dan Anda dimudahkan, jangan lupa tetap shalat saat di KA. Boleh dijamak dua waktu shalat, tapi jangan ditinggalkan. Tidak perlu malu saudaraku!

Saya jadi ingat ketika berkunjung ke Museum Brawijaya di Malang. Disana ada “Gerbong Maut”, yaitu semacam gerbong KA yang diisi manusia sebanyak-banyaknya, sehingga sesak, sempit, panas, dan banyak manusia mati kehabisan nafas dan udara. Itu cara licik setan Belanda di masa lalu dalam menyiksa para pendahulu kita. Meskipun tentu PT KAI tidak ada niat melestarikan “Gerbong Maut” itu, tetapi derita di KA ekonomi itu sungguh tidak ringan lho.

Baca entri selengkapnya »


Pengamen di Bus Cirebon

Oktober 16, 2008

Kemarin saya pulang kampung dengan angkutan Idul Fithri kelas ekonomi. Ya Allah, betapa butuhnya kesabaran saat masuk dalam pusaran angkutan “Lebaran” ini, baik ketika ke Jawa Timur, maupun ketika kembali ke Jawa Barat.

Saat kembali ke Bandung, saya pakai KA ekonomi tujuan Jakarta, turun di Cirebon. Dari Cirebon ke Bandung naik bis ekonomi juga, ongkos 25 ribu rupiah (sekilas info nih…).

Sejak dari Cirebon sampai Palimanan, banyak pengamen masuk bus. Kalau tidak salah ada 6-7 gelombang pengamen masuk. Uniknya sebagian besar pengamen itu cuma “jualan orasi”, tidak bernyanyi atau main musik. Mereka berorasi dengan gaya anak-anak aktivis Sosialis, kekiri-kirian. Padahal dari paras dan penampilan, mereka tampak bisa “ngurus diri” (pinjam istilah kaum wanita). Mereka tidak tampak kumal, tidak “burket”, khas aktivis Sosialis. Sayangnya, mereka agak meneror perasaan penumpang bis. Kalau tidak diberi recehan, mereka agak marah-marah.

Baca entri selengkapnya »


Seorang Teman di SMA

Oktober 13, 2008

Saya sekolah di SMA 3 Malang. Ini SMA paling favorit di Malang. Wah, cerita tentang hal itu mungkin akan berkepanjangan. Pendeka kata, setiap anak SMP memiliki obsesi masuk sekolah ini. Berkali-kali sekolah ini mendapat penghargaan sekolah teladan tingkat nasional.

Tapi, namanya juga sekolah favorit, itu gaya borju-nya masya Allah deh. Borju banget. Kebetulan saya dan sebagian teman termasuk yang “tidak masuk kalkulasi” borjuisme. Tidak dipandang lah dari sisi materi, style, dan segala pernik-perniknya. Alhamdulillah, kami waktu itu secara mandiri membentuk benteng oposisi budaya. (Walah, apa lagi ini?). Maksudnya, kami bersama sebagian teman tidak mau terseret ke arus borjuisme itu. Disini, waktu itu masih kelas I, kami punya dua teman baik anak Katholik. Namanya Bayu dan Taufik. Bayu sudah Katholik sejak awal, tetapi Taufik dia Katholik karena pindah agama dari Islam. Konon, Bayu juga punya kakek yang Muslim.

Baca entri selengkapnya »


Kenangan Partai Keadilan (PK)

Oktober 12, 2008

Dulu awal 1998 saya masih terlibat dalam Jamaah Tarbiyah. Kebetulan waktu itu disepakati, jamaah dakwah terjun di arena politik. Sejujurnya, saya lebih mendukung jamaah ini tetap dalam lintasan dakwah. Untuk urusan politik, ikut saja PBB yang didukung Dewan Dakwah Islamiyyah (DDII). Tetapi dari informasi Murabbi, beliau mengatakan, saat ini adalah momentum yang tidak boleh disia-siakan. Kata beliau, sebenarnya rencana masuk partai politik itu masih 15 tahun lagi (sejak 1998). Berhubung ada kesempatan dan khawatir kesempatan itu tertutup lagi, gerakan Tarbiyah masuk politik 15 tahun lebih cepat dari rencana.

Di kemudian hari, ada berita dari seorang ikhwan, bahwa tidak semua pendukung gerakan Tarbiyah setuju membentuk partai politik. Konon, 70 % anggota kader inti setuju, 30 % tidak. Maka yang 30 % diminta legowo menerima keputusan terjun ke dunia politik praktis. Saya sendiri waktu itu manut saja, bagaimana keputusan qiyadah dakwah. Kami ini hanya bisa dengar, memahami, lalu mendukung. No other choice!

Satu kenangan indah saya dapatkan ketika awal-awal terlibat dalam Partai Keadilan (PK). Waktu itu Murabbi sangat menekankan sebuah prinsip yang sangat bagus. Kata beliau, “Kalau dakwah ini benar, kita pasti akan mengalami cobaan-cobaan seperti yang menimpa para Shahabat di jaman Rasulullah dulu. Tetapi kalau keadaan tenang-tenang saja, berarti ada yang salah dengan dakwah ini.” Begitu kurang lebih kata beliau. Saya sangat teringat penjelasan ini dan begitu terkesan dengan kelugasannya.

Apalagi waktu itu PK dianggap sebagai “kuda hitam” ancaman oleh PDIP Megawati. Dimanapun kami merasa berhadap-hadapan dengan partai “kerbau gemuk” itu. Saya dengar sendiri bahwa banyak akhwat Muslimah ketakutan kalau melihat mata simbol PDIP itu. Matanya memerah, menakutkan.

Dan ingat pula seorang Syahidah pertama dalam perjuangan PK, seorang gadis mahasiswi IAIN Jakarta (?). Beliau terbunuh secara misterius, ketika dalam perjalanan ke kampus. Beritanya dibahas di majalah Sabili. Saat-saat menjelang Pemilu 1999 tekanan psy war kami rasakan begitu kuat. Sampai sebagian ikhwan harus terus memonitor keluarga-keluarga kader PK, khawatir ada tindakan-tindakan kekerasan atas mereka. Kami sendiri menghadapi kenyataan, PDIP memiliki massa besar di Bandung. Setiap ada kampanye konvoi PDIP, jalanan serasa penuh teror. Sikap beringas, massa besar, teriakan-teriakan, dandanan sangar, kebut-kebutan, memainkan knalpot, belum lagi warna merah darah dimana-mana. Pendek kata, berat sekali tekanan psikologis waktu itu. (Meskipun sayang, semua ini sudah dilupakan).

Tekanan sangat berat saya rasakan saat PK kalah telak dalam Pemilu 1999. Ya Rabbi, kami telah bekerja sekuat kesanggupan, namun inilah hasilnya. Kami kalah dan harus rela tereliminasi dari Pemilu selanjutnya. (Kami harus membuat partai baru, bukan PK lagi). Membela sebuah partai dengan misi menegakkan keadilan adalah kebanggaan di hati kami; tapi menyaksikan ia terkubur di usia muda, kalah dalam pertarungan politik, adalah kenyataan yang sangat-sangat perih. Demi Allah, saya masih sering terharu, mata berkaca-kaca kalau melihat bendera PK (bukan PKS) berkibar-kibar. Ia mengingatkan akan sebuah tonggak perjuangan yang telah tenggelam.

Begitu indahnya perjuangan itu. PK sampai peduli dengan seruan JIHAD dari bumi Ambon dan Maluku Utara. Allahu Akbar wa lillahil hamd. Ketika di media-media massa beredar banyak berita negatif yang memojokkan Islam, secara resmi DPP PK mengeluarkan klarifikasi tentang kronologi munculnya kerusuhan di Ambon. Luar biasa, inilah satu-satunya partai yang berani tegas bicara tentang jihad. Saya kalau teringat rekaman perjuangan jihad di Ambon yang diambil oleh relawan-relawan PK, masya Allah begitu mengharukan. Disana ratusan pemuda-pemuda Muslim yang semula jauh dari agama, mereka memakai pita putih dan siap mempertahankan Islam, sampai titik darah penghabisan. Hingga anak-anak dan ibu-ibu, dengan segala kesederhanaan dan kepolosannya, mereka berjuang membela IZZAH Islam. Allahu Akbar, sangat mengharukan perjalanan ini. Menurutku, nasyid terbaik yang pernah lahir di Indonesia, setelah Jundullah adalah Kami Kembali, yang dibuat oleh Izzatul Islam. Khususnya versi sebelum dicampur musik menghentak itu. Masih versi aslinya, with human voice only.

Di atas semua itu, kami masih merasa sebagai laki-laki, hidup dalam kejujuran, mengejar ridha Allah dengan ketulusan hati. Kesederhanaan dimana-mana, kesungguhan dan pengorbanan menjadi stamina untuk menggerakkan roda kehidupan. Pendek kata, upaya menegakkan Kalimah Allah, masih ada disana. Bahkan kalau Anda membaca Piagam Deklarasi PK atau Manifesto Politik PK, luar biasa isinya. Sangat menyentuh hati dan mengharukan. Disana sangat tampak gambaran Islam sebagai ideologi, sebagai minhaj kehidupan, dan cita-cita sejarah.

Saya sedih luar biasa, ketika dalam kampanye Pemilu 1999 kami telah berjuang habis-habisan, tidak kenal waktu siang dan malam. Segalanya telah dilakukan, termasuk berdoa, berdzikir, menangis kepada Allah, shalat malam, dan apa saja yang hak dilakukan. Namun kami harus melihat hancurnya partai ini di usianya yang masih sangat muda. Kesedihan lain yang lebih menyesakkan adalah: Anak-anak kami tidak mengerti bahwa PK kalah dalam Pemilu 1999.

Saya menjerit pilu saat teringat Abdurrahman (anak kedua) keluar rumah sambil mengibar-ngibarkan bendera PK. Dia sangat antusias mengibarkan bendera itu, sebab sering kami ajak ikut dalam kampanye. Dia kibarkan bendera di sekitar rumah sambil berteriak-teriak. Dia tidak tahu, bahwa abi-umminya sedang menahan malu luar biasa. Mengapa? Semula kami optimis akan menang, atau memperoleh suara besar. Semua orang di sekitar tahu akan optimisme itu. Ternyata, hasilnya jauh dari harapan.

Saya tidak bisa menyalahkan anak, sebab mereka masih kecil. Tetapi itulah kenyataan, kami kalah, semua optimisme nyaris hancur. Kalau Anda tahu, perasaan kecewa dan trauma itu juga melanda sebagian besar ikhwan dan akhwat. Nyaris mereka lemas untuk bicara tentang PK. Hingga, kami harus berusaha keras untuk membangkitkan semangat mereka, atas ijin Allah. Bahkan saya harus terlibat dalam konflik dengan sebagian ikhwan karena perkara seperti ini.

Di atas semua itu, saya masih teringat kata-kata Murabbi saya dulu. Beliau pernah jadi dosen Teknik di ITB. Saya selalu terkenang penjelasan beliau, bahwa kalau partai ini menghadapi banyak ombak, aral melintang, batu cadas dan kerasnya jalanan, ia pertanda telah meniti jalan yang tepat. Tetapi kalau jalannya bertabur bunga, penuh puja-puji, penuh semerbak wangi, sentuhan luxuries, melesat di atas lalu lintas rekening Miliaran rupiah, road show dengan segudang entertainment, lip service, manipulasi opini, dst. ya Anda tahu sendiri, jalan apa yang sedang dijalaninya?

Saat ini, semakin PKS membesar hati ini terasa ngilu, sebab misi Syariat Islam berbanding terbalik dengan pertumbuhan partai. Alih-alih bicara soal hukum Islam, sekedar ingat perjuangan PK dulu saja, rasanya mereka sudah lupa. Ya sudah, tidak perlu banyak polemik. Percuma, dengan 1000 atau 2000 dalil pun tidak akan mengubah keadaan. Yang jelas, kata-kata Murabbi dulu telah terbukti. Ia menjadi realitas yang kini terjadi. Partai itu telah menjadi partai al wahn, yang sangat lembek saat berhadapan dengan godaan-godaan materi. Ia tidak berjalan sesuai Sunnah perjuangan para Shahabat.

Salam hormat dan rahmat kepada para Mujahidin PK di masa lalu. Dimanapun kita berada, ada tanggung-jawab yang harus kita tunaikan, yaitu menyelamatkan Ummat ini, sekuat kemampuan dan atas ijin Allah Ta’ala. Silakan lakukan apa saja yang bermanfaat bagi Ummat, selagi kesempatan beramal itu ada. Kalau ia sudah tertutup, hendak kemana hati akan mengadu? Bayangkan, jika Rabb-mu telah menolak amal-amalmu, apa yang bisa engkau lakukan?

Wallahu a’lam bisshawaab.

Malang, 12 oktober 2008.

AM. Waskito.

NB.: Maaf, pada edisi sebelumnya ada kesalahan-kesalahan yang mengganggu. Alhamdulillah, kini sudah diperbaiki.


Islam Mataram dan Derita Muslim Indonesia

Oktober 12, 2008

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Sejak lama, bangsa kita tidak pernah bahagia. Bahagia hanya ada di ujung lidah, tidak terwujud dalam realitas sebenarnya. Selama ratusan tahun, 350 tahunan, bangsa kita berada di bawah kolonialisme asing (VOC, Belanda, Inggris, Jepang). Setelah merdeka kita berada dalam penderitaan di bawah kepemimpinan putra-putra pribumi. Zhahirnya merdeka, tetapi hakikatnya masih dijajah bangsa lain. Malah penjajahan era sekarang sangat dahsyat, sebab operatornya multi nasional.

Apa yang disebut kehidupan adil-makmur, gemah ripah loh jinawi, hanyalah fantasi, hanyalah mimpi untuk menina bodokan kesadaran bangsa ini. Kita tidak pernah sampai ke keadaan itu, sejak jaman kolonial sampai saat ini. Tidak usah jauh-jauh, sekedar setara dengan kondisi bangsa Malaysia saja, kita tidak mampu. Para pemimpin, cendekiawan, pakar, ulama, dll. kerja mereka hanya dan hanya membohongi Ummat dengan kata-kata manis, untuk menyembunyikan kebobrokan sebenarnya.

Saudaraku, disini saya akan mengajak Anda memahami latar-belakang penderitaan hidup kaum Muslimin Indonesia. Marilah kita jujur dalam berkata, tidak perlu berbasa-basi lagi, sampaikan kebenaran apa adanya, tidak perlu ditutup-tutupi. Agar, anak-anak kita nanti merasa memiliki teladan dalam pembelaan terhadap kebenaran, bukan terus-menerus ditipu oleh manusia-manusia berlidah manis, namun bengis hatinya. Ghafarallahu liy wa lakum wa lil Muslimina wal Muslimat. Amin.

Baca entri selengkapnya »


Menjernihkan Masalah ‘Khawarij’

Oktober 11, 2008

Ada satu fakta sejarah yang sangat penting di era kepemimpinan Khalifah Ali Ra., yaitu: menghadapi sekte Khawarij! Hal ini sangat penting, sebab saat itu perkembangan Khawarij mencapai puncaknya, hingga Khalifah Ali memutuskan untuk memerangi mereka. Setelah itu sekte Khawarij memudar, ide-idenya menyebar secara sporadis dalam sekte-sekte, atau kemudian ia mewujud dalam bentuk gerakan-gerakan politik tidak jelas.

Fitnah Khawarij sudah muncul sejak jaman Khalifah Utsman Ra., tetapi matang di era Khalifah Ali. Ummat Islam mengambil teladan dalam menyikapi Khawarij dengan melihat cara Khalifah Ali memperlakukan mereka. Khalifah Ali memerangi kaum Khawarij dan menumpas mereka di Nahrawan, setelah sebelumnya mengutus Ibnu Abbas Ra. untuk menyadarkan mereka. Setelah tidak bisa disadarkan dengan dakwah dan keberadaan mereka semakin mengganggu Ummat Islam, tidak ada pilihan lain, selain mereka diperangi.

Fitnah Khawarij di Era Modern

Di era modern, fitnah Khawarij ternyata muncul kembali. Bentuknya yang paling nyata ialah: (1) Memisahkan diri dari kehidupan jumhur kaum Muslimin, dan mencukupkan diri dengan kelompok eksklusif; (2) Mengkafirkan sesama Muslim, yaitu orang-orang yang berada di luar kelompok mereka; (3) Menentang kepemimpinan Islami, setelah sebelumnya mengkafirkan kepemimpinan itu. Demikian kurang lebih wajah Khawarij dalam konteks modern.

Fitnah itu makin menjadi-jadi ketika muncul fitnah dari arah lain. Sebagian orang bermudah-mudah menuduh sesama Muslim sebagai Khawarij, dan menetapkan bagi mereka sanksi-sanksi seperti yang menimpa Khawarij di jaman dulu. Sesama Muslim dituduh sebagai “anjing-anjing neraka”, “seburuk-buruk makhluk di kolong langit”, dilancarkan tahdzir, jarah, dan hajr, serta mereka direkomendasikan agar ditumpas sampai ke akar-akarnya oleh aparat negara.

Dialog dengan pihak yang dituduh tidak pernah ditempuh, debat terbuka belum dilakukan, menghilangkan keraguan, kejahilan, dan halangan-halangan belum ditempuh, tetapi sudah masuk ke area sanksi tertinggi. Seperti disebut dalam ungkapan, “Mereka hendak menaiki kepalanya sendiri.”

Alasan mereka sangat sederhana, siapa saja yang memberontak kepada penguasa yang sah, itulah Khawarij. Paham seperti ini tidak dikenal dalam Islam, sebab memang tidak ada dasarnya dan teladan dari jaman Salaf. Bisa jadi para pejuang Islam di Indonesia pada jaman dulu akan juga dituduh Khawarij karena memberontak kepada penguasa Kompeni Belanda. Atau Ummat Islam yang menentang Pemerintah NASAKOM di era Orde Lama juga disebut Khawarij. Bahkan kaum Sunni di Iran yang tertindas setelah berdiri Revolusi Syiah Iran, mereka juga disebut Khawarij. Para pejuang Moro di Mindanao disebut Khawarij, pejuang Pattani disebut Khawarij, pejuang Kashmir disebut Khawarij, dan seterusnya.

Tuduhan Khawarij akhirnya menjadi fasilitas yang sangat lezat untuk melanggengkan kekuasaan, apapun bentuk dan orientasi kekuasaan itu. Seolah, ajaran Islam seperti “centeng” yang menjaga kekuasaan apa saja, baik yang halal atau haram. Na’udzubillah min dzalik.

Baca entri selengkapnya »


Musdah Mulia dan Nikah Beda Agama

Oktober 11, 2008

Pengantar

Akhir-akhir ini sangat banyak masalah yang dihadapi Ummat Islam Indonesia. Selesai satu persoalan, segera muncul persoalan-persoalan lain. Sementara respon kita atas masalah-masalah itu rata-rata lambat, lemah, dan sporadis. Saat suara kalangan Islam phobia bisa berpengaruh kuat mengarahkan kebijakan publik, maka suara dakwah Islam terdengar sangat lemah. Hal semacam ini terjadi berulang kali menyebabkan kekalahan-kekalahan di berbagai medan pertarungan pemikiran melawan ideologi-ideologi sekuler. Pada gilirannya nanti, kekalahan itu semakin terakumulasi, meresap dalam, mengkristal, dan akhirnya terstrukturisasi dalam bentuk kekalahan peradaban. Di titik itu, seruan-seruan para dai seperti “angin yang membentur karang”, tidak didengar, tidak dihargai, hanya diacuhkan saja.

Saat kita merasa sepele atas serangan-serangan yang terus dilancarkan kalangan Islam phobia (apapun ideologi mereka); atau kita terlalu paranoid sehingga tidak berani berbuat apapun, meskipun sekedar bersuara; atau kita selalu berlindung di balik alasan “sekarang belum waktunya”; sebenarnya saat itu kita sedang bersungguh-sungguh menggali kekalahan Islam, sedalam-dalamnya. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik. Lihatlah, betapa kreatifnya para pemuda Islam saat mencari alasan, hujjah, atau dalil untuk menghindari resiko perjuangan. Mereka terus mencari-cari udzur (alasan pembenar), bahkan udzur yang sangat mustahil sekalipun; pada saat yang sama mereka mencela para munafikin Madinah yang selalu meminta udzur kepada Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam. Saat ini, kegemilangan Islam hanya tinggal retorika saja, tanpa wujud dan eksistensi. Memalukan memang; tetapi apalah artinya rasa malu ketika kita telah terbiasa menikmati hidup tanpa perasaan itu, dimanapun dan kapanpun. Allahu Akbar, walillahil hamdu.

Ya Allah, kuatkanlah diri kami, luaskanlah rahmat-Mu, lindungi kami dari kezhaliman musuh-Mu. Semata kepada-Mu kami menghiba dan mengadukan kemalangan diri. Ya Allah, tidak ada yang sia-sia dalam kesungguhan, kepedulian, dan pengorbanan, sebab Engkau tidak menyalahi janji. Rahmati kami ya Rahmaan ya Rahiim. Allahumma amin.

Baca entri selengkapnya »


Kecepatan 200 km/…

Oktober 5, 2008

Ada banyak hal yang lucu dengan “acara” kebut-kebutan motor di jalan.

Secara teori, saya tidak suka dengan kebut-kebutan, bahkan merasa takut ngebut. Alasannya sederhana, memacu motor dengan kecepatan 40 km/jam, hal itu sudah cukup menjadi sebab kecelakaan fatal. Kalau seseorang dengan kecepatan itu membentur tembok, pohon, truk, batu besar, dan lainnya, dia bisa meninggal. Minimal bisa mengalami luka berat. Padahal itu baru 40 km/jam. Bagaimana kalau 80 km/jam, 100 km/jam, apalagi sampai 120 km/jam?

Saya mengira, orang-orang yang suka ngebut itu telah menunjukkan rahasia pribadinya. Mereka orang gelisah, orang stress, bahkan orang frustasi. Logikanya, kalau mereka normal, pasti akan menyayangi hidupnya sendiri. Sedangkan ngebut itu bisa dianggap sebagai = menantang maut! Terus terang, saya tidak simpati dengan para pengebut. Mereka lebih kelihatan sebagai manusia gelisah!

Anak-anak kami sangat sensitif kalau melihat orang-orang ngebut, apalagi dengan memakai kenalpot sangat melengking. Mereka bisa dianggap brutal, tidak berpikir sehat, arogan, sampai ada ungkapan, “Mereka tidak memiliki telinga.” Sampai kami sering berseloroh, ketika melihat anak-anak muda yang ngebut dengan knalpot melengking, “Oh, dia ketinggalan telinganya di rumah.” Kita saja yang mendengar sangat pekak, apalagi dia sepanjang jalan ditemani suara memekakkan itu.

Pernah, saya dibonceng seorang teman di Yogya. Dia membonceng saya melaju di jalan Ringroad Yogyakarta yang panjang melingkar itu. Dia sejak awal mengingatkan supaya saya memakai jaket, jangan memakai baju biasa. Selama di jalan, wah kencang sekali laju motor teman ini. Mungkin kecepatan rata-ratanya 80 km/jam. Kalau melihat kehandalan dan keberaniannya dalam mengebut, setidaknya dia dua tingkat di bawah Valentino Rossi, jagoan MotoGP itu. (He he he…sok tahu). Pokoknya dia sangat kencang, sampai mata melihat ke depan saja berat oleh tiupan angin. Trus terang, kalau nanti dibonceng seperti itu, saya akan memilih turun.

Saya sering mengantar anak-anak berangkat sekolah. Kadang harus terlambat-terlambat. Saat seperti itu mereka sering mengeluh, “Kenapa sih lambat? Agak cepat dikit dong!” Tapi saya punya jawaban yang bagus atas keluhan semacam itu. Saya sering katakan, “Sekarang kita memilih yang mana, terlambat 10 atau 15 menit, atau kita masuk rumah sakit selama sebulan?” Kalau ditanya balik begitu, biasanya mereka akan diam, dan memilih jalan normal, asal selamat.

Masih di Yogya, dengan teman lain lagi. Sama juga masih di seputar Ringroad. Waktu itu saya sering dibonceng seorang ikhwan. Sama, ini jagoan ngebut juga. Cepat sekali laju motornya. Kalau dengan ikhwan di atas, hanya sekali itu kencang sekali, tetapi dengan ikhwan ini, sering beliau ngebut. Sampai pernah dia ditegur ikhwan lain karena tidak hati-hati naik motor. Saya pernah mengingatkan dia sambil menyindir, “Wah, ini pembalap Ahlus Sunnah!” Dia hanya tertawa mendengar sindiran seperti itu. Jujur lho, dalam kitab-kitab ulama tidak dibahas tentang “keutamaan ngebut” di jalan.

Lho, mana humornya? Kok masih garing…

(Ya, sabar napa. Sabar dikit, ntar juga keluar. Kalau “energi sudah maksimal”, tetapi belum terasa humornya. Wah, mungkin aku nih belum bakat gabung sama Abdel dan Temon. He he he…).

Di Bandung saya pernah beberapa kali menemukan sticker “pesan moral”, agar para pengemudi motor/mobil jangan suka ngebut. Kira-kira tulisan dalam sticker itu begini: “Kalau memang tidak lagi kebelet mau ke WC, mengapa harus ngebut?” Saya kira bagus nih sticker dimasyarakatkan. Bisa juga ditambahkan, misal dengan ungkapan: Ngebut di jalan ? Maklum aja, lagi kebelet! Ya begitulah…

Dan ada sindiran halus yang sungguh santun tapi mengena. Di beberapa mobil terpasang sticker agak besar, tulisannya menarik. Kira-kira begini: Speed 200 km/…

Kalau orang keranjingan ngebut, titik-titik itu akan diisi dengan kata hour (jam). Tetapi tidak, disana ditulis week (minggu). Jadi kecepatan 200 km per minggu. Dengan kecepatan begini, berarti kendaraan itu memang lelet amat, malahan mungkin terlalu sering berhenti. Ya, itu untuk nyindir para ngebuter mania, yang kurang sayang sama dirinya sendiri itu.

Tapi ngomong-ngomong, apa saya pernah ngebut? Pernah sih, sekali sekali saja. Kecepatan maksimal sekitar 80 km/jam. Itu pun di jalan layang yang memang tidak boleh pelan, kecepatan standar 60 km/jam. Berarti, pernah ngebut juga kan? Iya sih, pernah memang, sekedar untuk merasakan gimana rasanya sensasi para pengebut itu. Maklum, untuk “bahan dakwah”. (He he he…cari pembenaran ya!).

Ngoeeeeennng….ngoeeennng…..huuuuuuugggg……. gubraks, crash, klontang-klontang, seeer, hiu-hiu-hiu, dem…. glethak.

Ambulan pun datang, sirine memekakkan telinga. Esok hari berita di koran, “Telah meninggal dunia dengan tidak tenang, seorang pembalap amatir, yang sedang kebelet ke WC…”

Jangan ngebut ya…