[12]. Belajar Ilmu Kebahagiaan

Kebahagiaan adalah impian, harapan, dan cita-cita semua orang. Tetapi umumnya manusia tidak serius ingin mencapai kebahagiaan ini. Buktinya, mereka tidak sungguh-sungguh untuk mempelajarinya. Katanya sangat ingin bahagia, tetapi untuk mempelajari malas.

Lalu bagaimana cara paling praktis untuk mencapai kebahagiaan?

Disini kita bisa menemukan banyak jawaban, dari pandangan orang yang berbeda-beda. Tetapi ada satu cara yang efektif untuk mencapai kebahagiaan, yaitu: belajar kepada seseorang yang sudah terbukti hidup bahagia.

Kalau mau ahli mereparasi motor, belajarlah kepada teknisi yang sudah bertahun-tahun gelut dengan motor; kalau mau ahli menanam padi, belajarkan kepada petani kawakan; kalau mau pintar berenang, belajarlah kepada atlet yang telah meraih medali; kalau mau pintar ceramah, belajarlah kepada pakar komunikasi publik; dan seterusnya.  Maka kalau mau bahagia, belajarlah kepada ahlinya, bergurulah kepada masternya. Begitu teorinya.

Maka seorang Muslim, harus belajar ilmu kebahagiaan ini kepada ustadz, syaikh, guru, mursyid, dan seterusnya. Belajarlah kepada mereka, pelajari jalan-jalan yang akan membuatmu menemukan ketenangan jiwa dan ketentraman batin. Kejarlah ilmu itu sebagai landasannya; lalu lengkapi dengan ilmu-ilmu lain. Sebab, betapa malangnya seorang Muslim, kalau seumur-umur tidak pernah merasakan kebahagiaan; lebih malang lagi kalau dia tidak mengerti, bahwa Islam diturunkan untuk membahagiakan manusia (baca Surat Al An’aam: 125).

Kebahagiaan Itu Seperti Intan yang Harus Dikejar dengan Segala Pengorbanan.

Kebahagiaan Itu Seperti Intan yang Harus Dikejar dengan Segala Pengorbanan.

Sebagian orang mungkin mengatakan: “Ini jalan tasawuf!” Bukan, jalan ketenangan hati adalah jalan Islam, jalan Syariat. Buktinya, dalam Al Qur’an dikatakan: “Qad aflaha man tazakka, wa dzakara isma Rabbihi fa shalla” (sungguh beruntung orang yang mensucikan dirinya, lalu mengingati nama Rabb-nya, lalu mengerjakan shalat). Begitu juga: “Wan nafsi wa maa sauwaha, fa alhamaha fujuraha wa taqwaha, qad aflaha man zakkaha wa qad khaba man dassaha” (demi jiwa beserta penciptaannya, maka telah diilhamkan kepada jiwa itu jalan kejahatan dan takwanya; sungguh beruntung siapa yang mensucikan jiwanya, dan sangat merugi siapa yang mengotori jiwanya).

Bahkan diutusnya seorang Rasul ke tengah suatu kaum, adalah dalam rangka membersihkan jiwa-jiwa mereka. “Sungguh Allah benar-benar telah memberi karunia kepada orang-orang beriman, yaitu ketika Dia membangkitkan untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri; dia membacakan ke atas mereka ayat-ayat-Nya, mensucikan jiwa mereka, mengajarkan kepada mereka Al Kitab dan Al Hikmah (Sunnah); padahal sebelum itu mereka benar-benar berada di atas kesesatan yang nyata.” (Ali Imran: 164).

Seorang Muslim harus sungguh-sungguh mempelajari ilmu yang akan menghantarnya meraih ketenangan batin dan ketentraman jiwa. Caranya, ialah dengan menjalankan amanat-amanat Syariat, sedikit demi sedikit, setahap demi setahap; hingga ia mampu menjalankannya secara totalitas. Dan untuk menuju kesana, perlu pembimbing, perlu guru, perlu murabbi. (Maksud murabbi disini ialah pembimbing spiritual secara umum, bukan istilah yang menjadi label kelompok tertentu).

Jalan yang benar, ialah mengajarkan jalan ketenangan hati, dengan tetap mengacu kepada koridor Syariat Islam. Syariat ini, kalau dilaksakan dengan baik dan konsisten, pasti buahnya ketenangan hati. Sebaliknya, ketenangan hati yang dicapai dengan melanggar batas-batas Syariat; pastilah tidak akan melahirkan ketenangan hati sebenarnya. Ia hanyalah ilusi palsu.

Jika Anda mesti berkorban untuk mempelajari ilmu kebahagiaan ini, ya berkorbanlah. Kalau tidak mau berkorban, ya sudah nikmati saja kehidupan yang sudah Anda dapatkan. Tetapi mesti hati-hati dan waspada; karena banyak orang mengaku sebagai penggembala domba, padahal sejatinya dia adalah srigala yang sedang mencari mangsa.

Mohonlah hidayah, taufiq, dan rahmat Allah, agar Dia membimbingmu menuju kehidupan sakinah di dunia dan akhirat. Amin Allahumma amin. []

3 Responses to [12]. Belajar Ilmu Kebahagiaan

  1. dwi andriyanto berkata:

    Sy butuh guru pembimbing.ust amw kalo boleh tahu dmn kajiannya?

  2. carnosine eye berkata:

    Kalau ngak lulus sekolah berarti ngak punya ijazah. Padahal kalau mau kerja, syarat utamanya harus punya ijazah. Kalau nggak punya ijazah bagaimana mau kerja? Ya nggak bisa. Lha, berarti ngak kerja. Ya, iya-lah, kecuali mau kerja sebagai buruh kasar yang ngak perlu ijazah.

  3. abisyakir berkata:

    @ Carnosine Eye…

    Kalau ngak lulus sekolah berarti ngak punya ijazah. Padahal kalau mau kerja, syarat utamanya harus punya ijazah. Kalau nggak punya ijazah bagaimana mau kerja? Ya nggak bisa. Lha, berarti ngak kerja. Ya, iya-lah, kecuali mau kerja sebagai buruh kasar yang ngak perlu ijazah.

    Komentar: Kalau sekolah niatnya cuma untuk kerja, hanya akan dapat DUIT, bukan mendapat ILMU dan HIKMAH. Nanti yang berubah dompetnya saja, bukan perilaku dan sifat manusiawinya. Sebenarnya, kalau mau dapat duit, mudah kok. Ajari saja ilmu dagang, bertani, atau beternak sejak kecil. Kalau anak SD diajari terus, sampai usia SMA, dia akan dapat cari uang sendiri; tanpa mesti kerja jadi “buruh” orang lain.

    Tidak ada yang mengatakan, bahwa orang tak berijazah akan menjadi buruh kasar. Tidak ada itu. Banyak orang sukses dengan tidak mengandalkan ijazah, tetapi mengandalkan skill dan pengalaman. Makanya Bob Sadino itu pernah membuat pernyataan kontroversial, katanya anak-anak muda gak usah kuliah lah, hanya buang-buang waktu. Jangan berpikir sempit tentang ilmu.

    Admin.

Tinggalkan komentar