Antara Barongsai dan Kembang Api…

April 10, 2013

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Baru-baru Ust. Yusuf Mansur dan PPPA Darul Qur’an mengadakan Wisuda Akbar “Indonesia Menghafal Qur’an” (IMQ) angkatan ke-4 di GBK, pada 30 Maret 2013. Acara ini selain mengundang seorang ulama Al Qur’an, Syaikh Al Ghamidi, juga diramaikan dengan atraksi-atraksi.

Salah satu atraksi yang menghebohkan adalah pertunjukan Barongsai. Pertunjukan seni oriental (Chinese) ini menyulut kritik keras seorang ustadz di Jakarta. Beliau menulis tulisan sederhana dengan judul: “Kemusyrikan yang Dibungkus dengan Wisuda Akbar Penghafal Qur’an.” Waduh, serem banget judulnya.

Judul itu terasa dramatik. Barongsai yang tadinya hanya sebagai komplemen (pelengkap) saja; seolah berubah menjadi menu utama. Sedangkan acara wisuda penghafal Al Qur’an yang utama, diposisikan seperti “cover” saja.

Tapi kalau saya baca tulisan sang ustadz; sejatinya beliau tidak menuduh acara pertunjukan Barongsai sebagai menu utama, sedangkan acara wisuda hafalan Al Qur’an-nya sebagai menu sampingan. Dalam tulisannya, beliau tidak menyimpulkan begitu. Mungkin ini semacam “permainan jurnalistik” saja untuk menarik perhatian pembaca.

Persoalannya, bagaimana hukum pertunjukan Barongsai? Apakah murni syirik atau ada toleransi tertentu?

Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, dibutuhkan studi yang detail dari para ahli-ahli Islam. Dalam konteks ini, saya merasa tidak memiliki kapasitas untuk berkata lebih jauh.

Tapi mari kita melihat persoalan ini dari perspektif yang lebih luas. Mari kita pelajari beberapa fakta tertentu…

[1]. Di TV sering ditayangkan film China, Wong Fei Hong. Semacam cerita legenda pendekar Kungfu dari China. Biasanya diperankan oleh Jet Li. Dalam sebagian cerita itu dikisahkan tentang kontes Barongsai. Disana para ahli Kungfu berlomba merebut medali, melalui pertarungan antar Barongsai.

Kalau melihat film tersebut, Barongsai tampaknya sudah melekat menjadi permainan sosial (social game) bangsa China. Disana tidak ada ritualnya sama sekali. Ia semacam olah-raga ketangkasan memainkan Barongsai itu sendiri.

Tetapi kalau dalam acara Imlek dan sejenisnya, Barongsai mempunyai makna ritual dan mistik. Ia merupakan bagian dari acara ritual yang tidak boleh ditinggalkan. Hal demikian jelas sudah keluar dari konteks akidah Islam.

[2]. Di Indonesia, khususnya di Ponorogo, ada seni yang mirip Barongsai, yaitu Reog Ponorogo. Dalam konteks aslinya, seni itu juga bernuansa ritual dan mistik; disana ada prosesi-prosesi ritual yang tidak sesuai dengan akidah dan Syariat Islam. Seperti contoh, seorang Warok (pemain Reog) pada asalnya harus laki-laki dan seumur hidup tidak boleh menikah. Menikah menjadi pantangan baginya.

Tetapi dalam suasana berbeda, seni Reog dimainkan sebatas seni belaka, semacam pertunjukan tarian, tanpa unsur ritual dan mistik. Maka dibuatlah sarana-sarana pertunjukan Reog yang dikenal dengan nama Barongan; dalam wujud lebih simple dari aslinya. Disana pertunjukan Reog semata-mata untuk seni pertunjukan tari saja, bukan didedikasikan untuk ritual.

[3]. Di zaman modern kita mengenal petasan dan kembang api. Biasanya, kalau menjelang Ramadhan, Idul Fithri, atau tahun baru; banyak orang menyulut petasan dan kembang api. Mereka memainkan kedua benda berapi itu di berbagai tempat dan suasana.

Padahal asalnya, petasan dan kembang api itu merupakan sarana-sarana ritual di masyarakat China. Keterikatan mereka dengan akidah dewa-dewi dan aneka ikon kemusyrikan, menyebabkan mereka membuat ritual-ritual aneh; termasuk memakai petasan dan kembang api.

Kalau petasan dan kembang api dikaitkan dengan tradisi ritual China; jelas disana mengandung unsur syirik, harus dijauhi. Tetapi kalau kedua benda itu dimainkan tanpa pertimbangan ritual/mistik sama sekali, tentu berbeda pula akibat hukumnya. Hingga disini ada kaidah: “Innamal a’malu bin niyat” (bahwa amal itu tergantung niatnya).

Sebab begini, dari teknologi petasan dan kembang api bangsa China itu, masyarakat dunia lalu terinspirasi untuk membuat bahan peledak, amunisi, bom, dan seterusnya. Nah, apa kalau sekarang para pejuang Islam memakai amunisi (peledak) untuk membela agamanya; mereka bisa disebut sebagai melestarikan ritual/mistik China?

[4]. Kenyataan ini mirip dengan pesta Halloween di Amerika. Setiap tahun orang Amrik melakukan pesta begitu dengan menggunakan buah Labu. Mereka juga melakukan pesta Thanks Giving dengan memasak Kalkun sebagai menu utama. Pesta terakhir ini semacam acara untuk mensyukuri nikmat yang mereka terima kepada Tuhan.

Baik Halloween maupun Thanks Giving, keduanya memiliki makna ritual/mistik. Tetapi bukan berarti, kalau kita memakan buah Labu atau Kalkun, keduanya lantas haram karena dipakai bangsa Amrik untuk acara yang mengandung ritual/mistik.

[5]. Sama persis seperti acara Misa Paskah kalangan Nasrani. Dalam acara ritual itu, mereka membagikan potongan-potongan roti dan minuman anggur, sebagai bagian dari ritual ibadah. Tidak berarti lalu roti dan buah anggur yang dipakai disana lalu haram kita makan (sebagai Muslim).

[6]. Di Jepang ada tradisi “Minum Teh“. Tradisi ini juga mengandung makna ritual, meskipun bentuknya tidak jelas. Disana, orang yang terlibat acara “Minum Teh” harus memakai pakaian Kimono ala Jepang, dan mematuhi aturan-aturan kesopanan tertentu. Seseorang harus menghormati minuman teh dalam cangkir kecil, secara berlebihan. Ya tidak tahu, apa alasan bangsa Jepang membuat tradisi seperti itu?

Kalau misalnya acara “Minum Teh” ini diklaim sebagai bentuk kegiatan ritual, seperti di Jepang, lalu bagaimana nasib kaum Muslimin di Indonesia yang sudah puluhan tahun minum Teh Botol Sosro dan Teh Sariwangi? Termasuk Teh Tubruk yang ampasnya kadang menempel di bibir itu?

Kalau ingin dicari hikmahnya…

Acara Barongsai atau Reog; kalau dimainkan dalam acara ritual/mistik, dengan didasari keyakinan-keyakinan non Islam; hal itu jelas melanggar batas-batas akidah Islam dan harus dijauhi.

Tetapi kalau ia dimainkan sekedar sebagai permainan seni belaka, seni ketangkasan, seni keindahan tari; tanpa unsur ritual, mistik, dan keyakinan aneh-aneh; ya berikanlah toleransi. Minimal bersikaplah agak lembut; jangan cepat menyebut pertunjukan seperti itu sebagai kemusyrikan.

Seni atau pertunjukan itu sesuatu yang ringan, karena menyangkut hiburan. Tetapi tuduhan kemusyrikan itu sesuatu yang berat. Ia merupakan batas antara iman dan kufur, Tauhid dan syirik, serta surga dan neraka.

Setidaknya ada kaidah umum Ahlus Sunnah, bahwa: Tidak setiap yang melakukan perbuatan bid’ah, otomatis dituduh ahli bid’ah; tidak setiap yang melakukan perbuatan kufur, otomatis disebut kafir; tidak setiap yang melakukan perbuatan syirik, otomatis disebut musyrik! Perlu dilihat dulu syarat dan kondisinya.

Kita bisa mengambil ibrah dari Manasik Haji. Manasik Haji sesuai Sunnah Ibrahim ‘Alaihissalam adalah benar; tetapi kemudian setelah berlalu masa yang lama dari ajaran Tauhid Ibrahim, Manasik Haji itu menjadi bercampur-baur dengan ritual-ritual kemusyrikan Arab jahiliyah. Setelah Islam datang, ritual musyriknya dibersihkan, sedangkan yang baik-baik, sesuai Sunnah Alu Ibrahim, dipertahankan sampai sekarang. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

Tetapi, jika mau bersikap ketat, dengan menghindari simbol-simbol kemusyrikan secara total; itu juga boleh, sebagai bagian dari sikap IKHTIYATH (berhati-hati). Itu silakan. Hanya jangan cepat-cepat menuduh sesama Muslim telah melakukan syiar kemusyrikan. Ini serius.

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

(Abi Syakir).