Politik Praktis dan Etika Tabayun

September 3, 2010

Tema tentang “tabayun” ini sebenarnya sudah beberapa kali disinggung. Dalam sebagian diskusi-diskusi internet pun, ada yang membahasnya. Intinya, sebagian pengikut parpol tertentu, sering menjadikan kaidah tabayun (klarifikasi atau recheck) sebagai alasan untuk membela diri, ketika partainya mendapat kritik. Seolah, setiap kritik masyarakat baru dinyatakan sah, kalau sudah tabayun ke partai itu. Sebelum tabayun, kritik tersebut tidak dianggap.

Tabayun atau klarifikasi adalah salah satu etika penting dalam Islam. Dalilnya adalah ayat ini:

Wahai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka lakukanlah klarifikasi (mengecek kebenaran berita itu), agar kalian tidak menimpakan hukuman kepada suatu kaum, tanpa didasari informasi yang benar. Maka kalau kalian lakukan hal itu, kalian akan menjadi menyesal.” (Surat Al Hujuraat: 6). Inilah dalil utama tentang tabayun.

Harus Komitmen & Integritas !!!

Sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan Al Harits bin Dharar Al Khuza’i Ra. Al Harits diajak oleh Rasulullah Saw masuk Islam, dan bersedia. Setelah itu dia diajak membayar Zakat, juga bersedia. Lalu Al Harits menyampaikan tekadnya untuk mengajak kaumnya masuk Islam dan mau membayar Zakat. Rasulullah Saw memberi persetujuan kepada Al Harits untuk melaksanakan tekadnya.

Setelah waktu berlalu cukup lama, tidak ada khabar berita dari Al Harits. Rasulullah cemas memikirkan apa yang terjadi dengan Al Harits di tengah kaumnya. Maka Nabi pun mengutus Al Walid bin Uqbah untuk mendatangi Al Harits dan memeriksa apa yang terjadi disana. Ketika Al Walid sampai di tengah jalan menuju perkampungan Al Harits, dia merasa takut, lalu seketika itu pulang ke Madinah. Tugas belum dilaksanakan, Al Walid sudah pulang ke Madinah.

Di Madinah, Al Walid segera menemui Rasulullah Saw dan menceritakan, bahwa Al Harits menolak memberikan Zakat dan ingin membunuh dirinya. Tentu saja Rasulullah tidak terima dengan perlakuan Al Harits. Beliau segera mengirim sebuah tim ekspedisi untuk menghadapi kemungkaran Al Harits.

Saat tim itu bertemu Al Harits, terjadi dialog. Al Harits bertanya, untuk apa tim ekspedisi itu datang? Kata pimpinan tim, untuk menhadapi Al Harits. Tentu saja Al Harits sangat terkejut. Lebih terkejut lagi ketika dia mendengar khabar bahwa Al Harits dikhabarkan menolak membayar Zakat dan hendak membunuh utusan Nabi, Al Walid. Di hadapan tim ekspedisi itu Al Harits bersumpah: “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan kebenaran, aku sama sekali tidak melihat Al Walid, dia tidak pernah datang kepadaku.” Sumpah serupa disampaikan lagi oleh Al Harits di hadapan Rasulullah Saw di Madinah. Demikian setting kisahnya. Menurut Ibnu Katsir, para mufassirin sepakat dengan kebenaran peristiwa tersebut.

Singkat kata, Al Walid bin Uqbah telah memfitnah Al Harits dengan perkataan dusta. Hampir saja Rasulullah Saw menghukum Al Harits karena cerita dusta yang disampaikan Al Walid. Disini kaum Muslimin diajari untuk berhati-hati kalau menghadapi khabar orang fasik. [Termasuk bagi kita di jaman modern ini, hendaknya hati-hati saat menerima berita dari media-media sekuler anti Islam, seperti MetroTV yang punya slogan “knowledge to elevate”].

Kembali ke topik parpol di atas. Ayat seputar tabayun ini kerap dipakai untuk membela diri, atau menolak kritik-kritik yang dialamatkan ke pihak tertentu. Kalau suatu kritik ingin diakui kebenarannya, harus ditabayunkan dulu kepada mereka. Meskipun ada 100 kritik, jika semua itu belum diklarifikasikan ke pihak tersebut, kritik-kritik itu tidak dianggap kebenaran. Di mata mereka, kebenaran adalah apa saja yang secara resmi mereka akui dan setujui. Kalau di luar pandangan mereka, dianggap nothing. Itu adalah sikap fanatik berlebihan.

Nabi Saw mengatakan: “Tidak masuk syurga, seseorang yang di hatinya ada sebutir debu rasa kesombongan.” Kesombongan yang dimaksud ialah, batharal haq (menolak kebenaran) dan ghamtun naas (merendahkan manusia yang lain).

Seputar masalah tabayun ini, ada beberapa kritik mendasar yang ingin disampaikan disini:

[1] Dalam politik, dalam UU politik, dalam dunia demokrasi terbuka, tidak ada satu pun aturan yang mewajibkan masyarakat tabayun ke suatu partai ketika menghadapi isu-isu politik tertentu. Kalau tidak percaya, coba cari UU/aturannya, apakah ada ketentuan tabayun itu?

[2] Dunia politik praktis berbeda dengan dunia dakwah, dunia ormas, dunia fatwa, dunia amal sosial, dunia pendidikan, dunia keilmuwan, dunia informasi, dll. Dalam dunia politik, faktor etika biasanya kurang diperhatikan. Semua orang pasti tahu ungkapan semacam ini, “Dalam politik tidak ada kawan abadi atau lawan abadi, yang ada ialah kepentingan abadi.” Ungkapan ini menjelaskan sisi pragmatis kehidupan dunia politik. Kaidah tabayun itu umumnya berlaku di forum-forum yang terkenal menjunjung tinggi prinsip etika, seperti dalam dakwah, ormas, fatwa ulama, kegiatan sosial, pendidikan, dll. Sebagai contoh, kalau ada tokoh agama diisukan melakukan selingkuh, padahal dia tidak melakukan hal itu, maka tabayun sangat dibutuhkan untuk memastikan informasi yang valid dari yang bersangkutan. Berbeda ketika seorang politisi berkata di media, “Saya mencalonkan Mbah Marijan untuk maju dalam Pilpres tahun 2014.” Pernyataan seperti ini, andaikan tidak dilakukan tabayun, tidak masalah. Sebab ucapan politisi itu berubah-ubah, kadang A, kadang B, kadang C, dan sebagainya, tergantung target politik yang ingin dia capai.

[3] Dalam sistem politik terbuka, di alam demokrasi seperti di Indonesia saat ini, berbicara tentang kaidah etika seperti ghibah, fitnah, tabayun, hasad, dll. itu tidak relevan. Sebuah partai politik sudah menjadi institusi terbuka, ia sudah face to face dengan dunia publik. Terserah masyarakat akan bersikap apapun kepada partai itu. Wong, memang UU menjamin hak warga negara untuk memilih sikap politik tertentu. Andai ada orang yang meyakini suatu prinsip seperti ini, “Andaikan Partai X berhasil memimpin bangsa Indonesia, sehingga setiap orang di negeri ini berhasil mereka beri emas masing-masing 5 kg. Saya tetap membenci Partai X, saya tetap anti Partai X.” Secara etika, sikap demikian tidak adil. Tetapi dalam format politik terbuka, itu boleh. Itu hak politik rakyat yang dijamin UU. Dalam konsitusi disebutkan, setiap warga negara memiliki hak menyatakan sikap politiknya.

[4] Adalah sangat tidak adil, ketika suatu partai politik meminta orang-orang yang mengkritiknya untuk tabayun terlebih dulu. Sementara partai itu, sebelum menetapkan kebijakan-kebijakan politik, tidak pernah tabayun kepada segmen politik atau pendukungnya. Ini adalah suatu ketidak-adilan, atau mencerminkan sikap tidak fair. Misalnya, ada partai yang memilih koalisi dengan SBY, mengklaim koalisi dengan SBY, mencalonkan pemimpin pemerintahan wanita, koalisi dengan partai sekuler, acuh dengan kasus-kasus terorisme, tak peduli dengan maraknya Kristenisasi, dll. Pernahkah mereka tabayun dulu kepada Ummat Islam, sebelum melakukan semua itu? Kalau orang lain mengkritik, disuruh tabayun dulu; sementara diri sendiri, bebas-bebas saja menempuh apa yang diinginkan. Tidak fair.

[5] Semakin profesional sebuah partai, dia cenderung semakin sedikit menuntut. Justru dia akan banyak melayani masyarakat. Slogan yang kerap dipakai oleh bisnis-bisnis professional sebagai berikut, “Kalau Anda kecewa, silakan datang kepada kami. Kalau Anda puas, silakan kabarkan kepada teman.” Ini slogan kaum professional sejati, yaitu selalu mengacu kepada pelayanan maksimal. Contoh aktual yang bisa disebut. Ketika Ary Ginanjar dan ESQ mendapat kritik dari berbagai cendekiawan Muslim, tim ESQ tidak menanti datangnya klarifikasi dari orang-orang yang mengkritiknya. Tetapi mereka mendatangi pihak-pihak yang mengkritik itu untuk melakukan klarifikasi aktif. Itu contoh sikap professional. Kita tidak bisa memaksa orang untuk datang ke markaz-markaz politik untuk mendapat kejelasan. Politik modern lebih menjurus ke sikap melayani publik.

[6] Prinsip tabayun itu sebenarnya tidak dipakai untuk semua kondisi. Ada syarat-syarat yang membatasi penggunaan etika tabayun. Dalam Surat Al Hujuraat ayat 6 di atas disebutkan pembatasnya, yaitu: In jaa-akum faasiqun bi naba’in (apabila datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita). Kalimat ini menjadi pembatas etika tabayun. Apabila datang orang fasik membawa berita, maka periksa dulu berita itu. Artinya, kalau yang membawa berita itu orang Mukmin yang sudah dikenal kejujuran dan keadilannya, tak perlu tabayun lagi. Begitu pula, tabayun itu berlaku untuk urusan-urusan yang samar, yang tidak diketahui secara pasti kebenarannya. Kalau untuk suatu fakta, suatu kenyataan, yang semua orang sedunia sudah pada tahu, tidak berlaku lagi etika tabayun. Misalnya, sebuah partai politik selama 10 tahun terakhir mengkampanyekan boikot produk Amerika/Yahudi. Tetapi kemudian dia mengadakan Munas II di hotel Amerika/Yahudi. Ini kenyataan, ini fakta, semua orang sedunia sudah tahu. Jadi tidak perlu tabayun lagi.

[7] Dalam politik praktis, tidak ada ketentuan tabayun. Andaikan ada yang senang menghujat suatu partai, tanpa mau memakai etika tabayun, itu sah-sah saja. Itu konsekuensi kebebasan politik. Tetapi kalau ada yang mau tabayun, bahkan mau datang ke kantor suatu partai untuk tabayun, itu juga silakan. Meskipun sifatnya tidak ada kewajiban demikian. Harusnya, kalau sudah masuk gelanggang politik terbuka, harus dibedakan dengan saat masih menjadi gerakan dakwah murni. Ya, tahu sendirilah, beda tempat, tentu beda pula aturannya.

[8] Apa yang terjadi kalau kita benar-benar tabayun kepada mereka? Apakah tabayun itu akan menyelesaikan masalah? Belum tentu. Ini harus dicatat tebal-tebal, BELUM TENTU. Mengapa? Ketika suatu organisasi sudah masuk pusaran politik terbuka, mereka lebih peduli dengan urusan kekuasaan, bukan lagi urusan etika. Itu alasan fundamentalnya. Kalau kita datang tabayun kepada mereka, kemungkinan hasilnya ada tiga: Pertama, kritik kita diterima, lalu mereka mengakui kesalahannya. Tetapi kecil kemungkinan, setelah itu mereka akan menyatakan bersalah di depan umum, dan menganulir kebijakannya yang salah. Sangat kecil peluang kesana. Kedua, kritik kita ditolak, lalu mereka buktikan kalau kritik kita salah. Konsekuensinya, kita diminta meminta maaf kepada mereka, dan menyatakan hal itu secara terbuka di media-media. Bahkan mereka akan menjadikan kekalahan kita itu sebagai bahan untuk membanggakan diri. Ketiga, antara pengkritik dan yang dikritik sama-sama kokoh dengan pendiriannya. Tidak ada yang mau secara gentle mengakui kesalahannya. Jika demikian yang terjadi, maka tabayun itu menjadi percuma saja. Tidak ada nilainya. Kalau disimpulkan, tabayun dalam konteks politik praktis ini, lebih banyak merugikan pihak konsumen politik (bukan parpol).

[9] Ada kalanya suatu partai bersikap “standar ganda”. Saat berbicara tentang hak-hak dirinya, partai itu menetapkan standar etika yang sangat tinggi. Mereka tidak boleh digunjing, tidak boleh dikritik, tidak boleh dikejam, tidak boleh dicurigai, tidak boleh diprasangkai buruk, dll. Demi memenuhi hak-haknya, mereka menetapkan standar etika yang tinggi. Tetapi ketika giliran kewajiban mereka memenuhi hak-hak Ummat Islam, mereka tidak bertanggung-jawab. Ada gerakan ekonomi Neolib, diam saja; ada terorisasi aktivis-aktivis Islam, diam saja; ormas Islam menjadi bulan-bulanan media TV, diam saja; merebak paham SEPILIS, masih diam; mencuat kasus Ahmadiyyah, diam juga; ada tuntutan kasus Bank Century dituntaskan, tidak terdengar suaranya; kuatnya dominasi bisnis asing, tak bereaksi; merebak video mesum, malah pelakunya akan diterima sebagai anggota; dan lain-lain. Untuk hak-hak mereka, menuntut pelayanan istimewa. Sementara untuk hak-hak Ummat, diabaikan. Ini jelas sangat aneh.

[10] Sebenarnya, ada satu alasan kuat yang memberi peluang kepada kita untuk melakukan etika tabayun ke partai tertentu. Alasannya, jika ia adalah partai Islam yang komitmen memperjuangkan nilai-nilai Islam. Dari sisi aturan politik, kalau sudah masuk pergolakan politik, etika tabayun tidak menjadi kewajiban untuk dilaksanakan. Setiap orang bebas mengutarakan pendapat politik. Tetapi jika ada elemen-elemen Islam yang komitmen memperjuangkan Islam, boleh kita tabayun, dengan niatan mendukung perjuangan politik Islami itu. Asalkan, ia memang benar-benar politik Islami, bukan politik oportunis. Tandanya, partai semacam itu intensif menyuarakan Syariat Islam, ia bekerja keras menyatukan barisan politik Ummat, ia aktif menasehati penguasa agar tunduk kepada Hukum Allah, ia melaksanakan nahyul munkar, bahkan mengajak kaum non Muslim masuk Islam. Terhadap partai yang Islami, konsep tabayun penting dikembangkan. Hak-hak yang baik tentu diberikan kepada kerja politik orang-orang Mukmin yang komitmen dengan Islam. Kalau tidak komitmen, atau oportunis, jelas tidak perlu diberikan hak-hak etika seperti tabayun itu. Jangankan ke partai politik, ke penguasa politik saja kalau mereka zhalim dan tidak berakhlak, tidak layak dihormati.

Dalam politik ada fatsoen (kesopanan politik). Ya mbok dipakai konsep fatsoen itu. Adab politik yang tinggi kan sebenarnya demi kebaikan mereka juga. Kalau suatu partai sudah diidentifikasi secara negatif, hal ini susah untuk memenangi kompetisi. Kecuali kalau mereka memakai cara-cara tangan besi untuk berkuasa. Itu lain. Seharusnya, kelompok anak-anak muda bisa menunjukkan dirinya sebagai elemen masyarakat yang energik, produktif, idealis, komitmen tinggi, penuh inovasi, jujur, moralis, dan lain-lain. Seharusnya begitu, bukan lebay.

Ya, setidaknya Anda semua bisa memahami cara meletakkan konsep TABAYUN secara benar. Tabayun adalah bagian penting dari etika Islami. Semoga bermanfaat, dan selamat menyambut datangnya hari nan mulia: Idul Fithri 1431 H. Semoga menjadi hamba yang kembali suci dan mendapat kemenangan. Minal ’a-idzina wal fa’izin, kullu aamin wa antum bi khair. Allahumma amin.

(Politische).