Peran Produsen dan Konsumen dalam Melestarikan Tata Nilai Halal-Haram

Agustus 17, 2010

PENGANTAR: Berikut ini adalah sebuah tulisan seorang kontributor. Tulisan yang bagus, mencerminkan rasa kritis yang kuat, berpijak pada realitas, dan konsisten dengan nilai-nilai Syariat. Ide pokok, tentang tanggung-jawab produsen dan konsumen dalam memelihara standar nilai halal-haram. Semoga bermanfaat!

_____________________________________________________________________________________

Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillahi alladzi anzala rasulahu bilhudaa wa diinilh haqq li yuzhhuirahu ‘alaa diini kullihi walaw karihal musyrikuun. Ashalaatu wa salaamu ‘alaa man laa nabiyya ba’dahu.

Saya teringat beberapa waktu lalu beberapa sahabat saya mengajak saya untuk berjualan cokelat pada saat momen valentine. Sebenarnya dalam hati saya menolak untuk ikut-ikutan karena bagi saya itu masih syubhat, namun saya tidak langsung mengungkapkannya di depan teman-teman saya tersebut.

Tidak Sekedar Produksi dan Konsumsi. Ada Tanggung-jawab Menjaga Moral Masyarakat.

Sebenarnya, teman-teman saya tahu bahwa merayakan hari raya orang kafir itu haram, dalam hal ini valentine, namun mereka berpendapat dengan kaidah “Innamal a’malu binniyat” . Mereka bilang, “Jadi tergantung niatnya, jualan cokelat mah jualan aja, niat kita cuman jualan aja kok, terserah mereka mau dipake untuk apa”. Walaupun saya pada saat itu dalam hati tetap menolak, tapi sejujurnya pada saat itu saya belum punya argumen yang kuat karena saya benar-benar blank ilmunya, sehingga saya mengurungkan niat untuk angkat berbicara. Untunglah pada momen berjualan, saya ada di Jakarta menghadiri walimahan sepupu, sehingga saya punya alasan untuk tidak ikut berjualan dan tidak terlalu menyinggung mereka.

Alhamdulillah, beberapa waktu kemudian Allah menunjukkan ilmunya melalui sebuah literatur ilmiyah tentang masalah tersebut. Ada beberapa hadits dan atsar yang perlu kita kaji tentang kaidah produksi dan distribusi, hadits tersebut adalah:

1. Perkataan Umar Radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya berdagang tidak halal melainkan dalam sesuatu yang halal dimakannya dan diminumnya.”

2. Atsar dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, “Tidak halal berdagang melainkan apa yang halal dimakan dan diminum dari barang-barang konsumtif. Jika tidak dalam arti seperti ini, maka disana terdapat sesuatu yang tidak halal memakannya, tapi halal memperdagangkannya, seperti keledai kampung dan burung pemangsa.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari 4 : 484-485).

3. Hadits Nabi yang mengatakan, “Barangsiapa yang menahan anggur pada masa petik hingga dijualnya kepada Yahudi, Nasrani, atay orang yang menjadikannya khamar, maka sesungguhnya dia masuk ke neraka atas kemauan sendiri.”

4. Riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Sampai kepada Umar bahwa Fulan menjual khamr, maka dia berkata, ‘Allah mengutuk Fulan! Tidakkah dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was Sallam bersabda, ‘Allah mengutuk Yahudi, karena diharamkan kepada mereka lemak (babi), lalu mereka mengumpulkannya kemudian mereka jual.”’ Ibnu Hajar menjelaskan hadits ini dengan menyebutkan beberapa bentuk, diantaranya bahwa orang disebut dalam kisah tersebut “menjual anggur kepada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr.”

BISNIS MENGIKUTI PERMINTAAN

Sudah lumrah jika jumlah permintaan konsumen besar maka produsen akan memproduksi barang yang diinginkan konsumen tersebut. Jika konsumen butuh beras maka para petani selaku produsen menghasilkan beras; jika konsumen membutuhkan pakaian yang lagi nge-trend di zamannya maka para produsen pakaian berlomba-lomba menghasilkan baju-baju yang trendi tersebut walaupun baju-baju seksi yang membuat mata para lelaki hampir copot; jika konsumen sedang gila music maka banyak dapur rekaman yang memproduksi kaset, CD, dan MP3 berisikan lagu-lagu dari artis-artis ternama; jika novel-novel romance menjadi bahan bacaan kosumen maka banyak para penulis yang berlomba-lomba untuk menulis novel tersebut; jika momen valentine tiba maka produsen-produsen cokelat menjadi rajin, bukan hanya cokelat, namun pernak pernik serba pink pun ditingkatkan jumlah produksinya. Itu sudah lumrah, dan begitulah hukumnya, orang-orang yang hanya mencari profit materi semata selalu melayani perimintaan kosumen tanpa melihat apakah barang yang dihasilkannya berdampak buruk atau tidak.

Beberpa hadits di atas mengandung kaidah syar’i yang penting, yaitu tentang peran produsen dan konsumen dalam menjaga nilai-nilai halal-haram di suatu komunitas masyarakat yang juga sebagai konsumen. Dalam beberapa riwayat tersebut mengandung makna keharaman menjual anggur kepada pembuat khamr, atau mendistribusikan anggur kepada konsumen yang gemar menkonsumsi khamr. Kesimpulannya, sebagai produsen yang baik tidak seharusnya memproduksi dan mendistribusikan barang yang haram atau barang yang halal namun mendistribusikannya kepada konsumen yang sudah jelas gemar melakukan kegiatan yang haram dengan menggunakan produk yang halal tersebut.

Disinilah perbedaan perdangan dan ekonomi Islam dengan perdagangan dan ekonomi konvensional, fungsi dari dari Ekonomi Islam adalah bekerja membersihkan dunia dari hal-hal yang haram membahayakan sesuai dengan kaidah syar’i, sedangkan ekonomi konvensional tujuannya hanya profit semata tanpa mengindahkan kaidah halal-haram.

Keduanya, baik produsen maupun konsumen perlu menyadari nilai halal-haram suatu produk dan kegiatan. Bila produsen memproduksi barang-barang yang haram maka hendaknya para konsumen membuat sepi pasaran produsen tersebut, dan jika konsumen menginginkan produk yang haram atau produk yang halal namun ingin digunakan untuk hal yang haram maka hendaknya produsen menahan diri untuk memproduksi dan mendistribusikan barang tersebut. Disinilah mengapa keduanya berperan sebagai pelestari nilai kehalalan dan keharaman.

Walaupun dalam beberapa kasus di Indonesia misalnya, produsen yang mestinya lebih berperan, karena produsenlah yang berkuasa membuat produk dan menargetkan pasar. Produsen dengan mengeluarkan produk-produk yang baik tentunya bisa “mengajarkan” perilaku yang baik kepada konsumen. Misalnya, mengeluarkan produk jilbab untuk muslimah; celana di atas mata kaki untuk laki-laki; makanan yang halal dan thayyib, secara tidak langsung para produsen ini berperan untuk mendidik konsumen untuk berperilaku yang baik. Tapi kalau keduanya sama-sama rusak, ya mau bagaimana lagi? Selaku orang-orang yang paham akan ilmu syar’i terpaksa harus “terasing” sembari memperjuangkan dan mempertahankan kaidah-kaidah syar’i.

CONTOH APLIKATIF

Untuk lebih jelas saya berikan beberapa contoh:

(a). Memproduksi dan berjualan celana jeans ketat untuk wanita. Kita lihat realitanya sekarang, kita harus jujur untuk apa kebanyakan para konsumen -khususnya wanita- membeli celana jeans itu? Sebagai mode pakaian yang dipakai di tempat umum kan? Sedikit sekali wanita yang mebeli celana jeans ketat yang niatnya hanya untuk dipakai di rumah untuk membahagiakan suaminya. Nah, simpulkan sendiri apa hukumnya menjual celana jeans ketat?

(b). Menjual cokelat di saat valentine. Cokelat secara zatnya memang halal jika memang diproses secara halal pula. Namun budaya jahiliyah valentine masih sangat melekat di kalangan masyarakat kita. Lagi-lagi kita harus jujur melihat realita, kira-kira apa yang ada di benak seorang yang mempunyai kekasih atau pada saat ingin “nembak” kecengannya, lalu dia belum paham bahwa valentine itu haram, dan dia membutuhkan cokelat. Tentunya sebagai produsen dan distributor cokelat mesti paham apa yang harus dilakukan, dia harus menahan memproduksi dan mendistribusikan cokelat pada momen itu, karena apa? Jika kita kekeuh memproduksi dan mendistribusikan cokelat pada saat itu sama saja kita melestarikan budaya valentine yang haram tersebut.

(c). Berjualan alat kontrasepsi berupa kondom di tempat prostitusi, jelas haram karena di tempat tersebut kondom itu mau digunakan untuk apa lagi selain untuk berzina? Berbeda jika ada sales kondom (ini misalnya ya, walaupun saya belum pernah melihat sales kondom) yang berjualan door to door kepada pasangan suami istri yang sudah legal.

(d). Menjual anggur kepada masayarakat yang gemar memfermentasikan anggur sehingga menjadi minuman keras, ini jelas keharamannya seperti disebutkan dalam hadits di atas.

(e). Menjual buku-buku yang mengajarkan pemahaman-pemahaman dan nilai yang sesat seperti budaya-budaya jahiliyah, pluralisme, sekularisme, bid’ah, khurafat dan takhayul. Ini juga jelas keharamannya.

Itulah beberapa kaidah yang harus dipahami oleh produsen dan konsumen. Hikmahnya sebagai muslim yang baik kita harus bahkan wajib berambisi menguasai pasar dan produksi sehingga nilai-nilai syar’i dapat ditanamkan di tengah-tengah masyarakat. Dengan memproduksi dan mendistribusikan barang yang halal, thayyib, dan bermanfaat maka sangat berperan dalam mendidik nilai-nilai kebaikan di tengah-tengah masyarakat.

Sesungguhnya korelasi antara produksi dan konsumsi berdampak pada perlindungan sumber-sumber ekonomi kaum muslimin, yaitu dengan eksplorasi produk-produk halal yang mencerminkan kebutuhuan hakiki bagi manusia, sehingga didapatkan keberkahan sumber-sumber ekonomi yang dikaruniakan Allah kepada kaum muslimin. Dalam hal ini Umar Radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya dunia adalah kesenangan yang menawan. Barangsiapa yang mengambilnya dengan benar, dia akan diberikan keberkahan oleh Allah di dalamnya; dan barang siapa yang mengambil dengan selain itu, maka dia seperti orang yang makan dan tidak kenyang.” Lain halnya dengan ekonomi konvensional, yang sumber-sumber ekonomi dieksploitasi dalam produk-produk yang bermanfaat dan juga yang bermudharat, selama mendatangkan keuntungan bagi produsennya.

Wallahua’lam bishawwab.

Iziz Al-Ghariib.

Lihat situs Gerakan Ekonomi Islam. Terdapat tulisan yang sama, dengan susunan redaksional sedikit berbeda. Semoga bermanfaat! Amin.