Fatwa Tentang ABORSI

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Baru-baru ini ada artikel bagus yang dimuat di hidayatullah.com. Judulnya, “Darul Ifta’: Aborsi Haram Secara Mutlak“. Fatwa ini menarik, sebab ditulis dengan judul “haram secara mutlak”. Padahal persoalan aborsi selama ini ada yang dilakukan karena alasan kesehatan (medical). Untuk lebih jelasnya, mari kita simak artikel dari hidayatullah.com secara penuh -dengan sedikit perbaikan redaksional-:

Darul Ifta’ Al Mishriyah, lembaga fatwa resmi Mesir mengeluarkan keputusan mengenai haramnya aborsi secara mutlak, baik itu dilakukan sebelum ditiupnya ruh kepada janin, maupun sesudahnya, baik janin dalam keadaan cacat ataupun normal. Kecuali jika kehamilan menyebabkan terancamnya nyawa si ibu.

Darul Ifta’ juga menjelaskan sebelumnya bahwa pengguguran janin setelah ditiupnya ruh, yakni setelah berumur 120 hari merupakan perbuatan yang diharamkan menurut kesepakatan ulama. Dan hal itu dihitung sebagai pembunuhan jiwa yang diharamkan.

Adapun pengguguran janin sebelum berumur 120 hari, Darul Ifta’ memilih pendapat yang mengharamkannya secara mutlak. Kesimpulan ini diperoleh setelah Darul Ifta’  mengkaji pendapat para fuqaha di berbagai madzhab. Kecuali dalam kondisi darurat, pengguguran boleh dilakukan jika dinilai keberadaan janin membahayakan kehidupan ibu yang mengandungnya. Dan hal ini dilakukan atas pertimbangan dokter yang terpercaya (tsiqah) dan terjaga kesalihannya (adl).

Darul Ifta’ menilai bahwa pengguguran janin sebelum berumur 120 hari atau sesudahnya merupakan perbuatan yang sama sama berdosa, baik janin dalam keadaan cacat atau normal. Mempertimbangkan bolehnya pengguguran, jika keberadaan janin mengancam kehidupan sang ibu karena melihat bahwa kehidupan lebih nyata dibanding kehidupan janin.

Penjelasan yang dipublikasikan dalam situs resmi Darul Ifta’ (11/4/02) ini merupakan jawaban kepada Lajnah As Syu’un As Sihiyah (Komite Urusan Kesehatan) dalam lembaga legislatif Republik Arab Mesir, atas permintaan penjelasan hukum aborsi ditinjaui dari pandangan Syariat. [tho/dft/hidayatullah.com].

Artikel di atas memberikan banyak informasi penting yang layak diketahui oleh setiap Muslim. Khususnya ketika kita berbicara tentang hukum aborsi. Informasi-informasi itu antara lain sebagai berikut:

[=] Fatwa di atas ialah fatwa resmi Darul Ifta’ Mesir. Kalau di Indonesia semacam fatwa MUI itulah. Kalau di Saudi ada Lajnah Daimah, komisi fatwa di bawah “MUI Saudi”. Sejak lama fatwa-fatwa Darul Ifta’ dihargai di Dunia Islam, bahkan termasuk salah satu otoritas fatwa yang berpengaruh besar.

[=] Secara umum, aborsi dibedakan atas 2 kondisi: Aborsi sebelum janin berusia 120 hari (umur 0-120 hari) dengan sifat belum ditiupkan ruh ke atas janin tersebut; dan aborsi setelah janin berusia di atas 120 hari dengan sifat sudah ditiupkan ruh ke janin tersebut. Dua kondisi ini berbeda.

[=] Hukum melakukan aborsi, setelah janin berusia 120 hari (setelah ditiupkan ruh padanya), haram mutlak, menurut pendapat jumhur ulama. Tidak ada toleransi padanya. Membunuh janin dalam kondisi seperti itu sama saja dengan membunuh jiwa manusia.

[=] Hukum melakukan aborsi bagi janin di bawah usia 120 hari juga haram. Namun dalam kondisi darurat aborsi boleh dilakukan, demi menyelamatkan nyawa ibu yang mengandung janin. Alasannya, menyelamatkan ibu janin yang sudah hidup lebih diutamakan, daripada menyelamatkan janin dalam kandungan. Dengan syarat, keputusan aborsi dilakukan atas pertimbangan dokter yang terpercaya (secara profesi) dan shalih (secara moral).

[=] Secara umum, aborsi apapun alasannya, dalam fase yang manapun, adalah perbuatan dosa. Tidak peduli janin yang dikandung itu normal atau cacat. Tetapi ada kalanya, aborsi boleh dilakukan jika keberadaan janin tersebut dikhawatirkan bisa membahayakan jiwa sang ibu.

JIHAD menyelamatkan kehidupan insan.

Kalau disampaikan dalam bahasa yang mudah, kira-kira sebagai berikut:

“Aborsi terhadap janin yang berusia di atas 120 hari, yaitu ketika janin tersebut sudah ditiupkan ruh padanya, haram dilakukan. Hal itu sama saja dengan membunuh jiwa manusia, sebab janin tersebut sudah berjiwa. Namun dalam kondisi tertentu, aborsi pada janin dengan usia di bawah 120 hari boleh dilakukan, yaitu atas pertimbangan medis yang terpercaya.”

Bukan bermaksud menggurui, membantah, atau mendebat fatwa dari Daarul Ifta’ Al Mishriyyah. Disini saya coba kemukakan beberapa CATATAN untuk melengkapi fatwa tersebut. Kalau melihat realitas, Daarul Ifta’ belum membahas realitas aborsi lebih lengkap. Perlu diberikan catatan-catatan untuk menyempurnakan, bi idznillah.

Di antara realitas-realitas yang belum tercakup dalam fatwa di atas, antara lain:

<=> Kondisi seorang ibu yang sulit mendapatkan anak, lalu dia berusaha dengan berbagai cara (yang halal) untuk memperoleh anak. Namun setelah mengandung, ia divonis oleh dokter “tidak boleh mengandung”, karena dikhawatirkan membahayakan jiwa sang ibu.

<=> Kondisi seorang ibu yang sudah hamil di atas 4 bulan (120 hari), namun oleh vonis dokter ia dinyatakan “tidak boleh hamil”. Apakah boleh melakukan aborsi dalam kondisi itu?

<=> Kondisi seorang ibu yang sangat memuliakan janin dalam rahimnya, lalu dia rela mati seandainya hal itu harus terjadi, demi kelahiran anaknya. Dia meyakini, meninggal karena melahirkan adalah meninggal syahid.

<=> Kondisi seorang gadis yang diperkosa oleh laki-laki bejat, lalu dia mengalami kehamilan.

<=> Kenyataan yang banyak terjadi, bahwa rekomendasi dokter bersifat sangat relatif. Kadang benar, kadang salah. Apakah petunjuk dokter itu merupakan batasan yang bersifat mutlak?

<=> Bahwa proses aborsi merupakan bentuk tindakan medik yang sangat rumit, bahkan berbahaya, jika tidak dilakukan oleh para ahli yang profesional dan dapat dipercaya. Kenyataan selama ini (di Indonesia) banyak wanita mati karena aborsi yang gagal.

Ya, tidak pantas saya mendebat fatwa Darul Ifta’ tersebut, namun realitas-realitas di atas belum dibahas secara memadai. Bagaimana kita akan mengatakan, bahwa hukum haram dalam aborsi itu bersifat mutlak? Juga bagaimana kita akan mengatakan, bahwa petunjuk dokter bisa mengesahkan tindakan aborsi, tanpa mempertimbangkan aspek-aspek lain, seperti kerelaan ibu pemilik janin, wewenang ayah janin itu, doa keluarga mereka, dan lain-lain?

Berikut ini catatan-catatan tambahan yang bisa saya sampaikan:

[a] Aborsi yang dilakukan terhadap korban perkosaan yang usia janin-nya masih di bawah 120 hari, hal itu boleh dilakukan. Alasannya, kalau kelak anak hasil perkosaan itu lahir, dengan tiada satu pun laki-laki yang bersedia mengakui anak tersebut sebagai anaknya, hal ini akan melahirkan kerusakan sangat besar. Sang ibu akan mengalami trauma besar, sang bayi akan dibenci oleh ibunya sendiri, juga terjadi kerusakan nasab (jalur keturunan) dari anak hasil perbuatan perkosaan. Menggugurkan janin yang belum bernyawa, bisa diibaratkan seperti melakukan amputasi atas sebagian anggota tubuh manusia, demi menyelamatkan hidupnya. Dalam kasus serupa, seperti seorang gadis yang dihamili secara paksa oleh ayahnya sendiri, atau pamannya.

[b] Aborsi dalam poin “a” yang dimaksudkan untuk menghindari kerusakan yang lebih besar, hanya bisa dilakukan secara legal melalui instrumen medism resmi, dijamin secara hukum, dan dilakukan dengan tindakan operasi yang aman dan menjamin keselamatan wanita yang mengandung janin. Jika janin itu digugurkan dengan cara-cara ilegal dan tradisional yang membahayakan jiwa seorang wanita, HARAM dilakukan. Lebih baik seorang wanita mengandung janin itu sampai melahirkan, daripada dirinya mati karena proses aborsi yang tidak bertanggung-jawab.

[c] Aborsi yang dilakukan terhadap korban perkosaan yang usia janin-nya lebih dari 120 hari, hukumnya HARAM secara mutlak, sebab sang janin sudah memiliki ruh (jiwa). Berbagai kesusahan yang terjadi karena kelahiran anak hasil perkosaan, masih lebih ringan daripada membunuh jiwa seorang manusia. Apapun resikonya, kalau janin sudah di atas 4 bulan (di atas 120 hari), ia harus diselamatkan sampai lahir. Nanti setelah lahir, bayi tersebut bisa dirawat oleh negara atau panti asuhan, bila ibunya tidak ridha atas kelahiran bayi itu.

[d] Hendaklah pertimbangan dokter untuk memutuskan, apakah seorang ibu yang hamil harus menjalani aborsi atau tidak, tidak dijadikan pertimbangan utama. Harus juga didengar bagaimana pandangan sang ibu janin, sang ayah, keluarganya, dan pihak-pihak lain. Siapa tahu, dengan memohon doa kepada Allah dan kesungguhan keluarganya mengusahakan kebaikan ibu dan janinnya, Allah selamatkan jiwa ibu sekaligus anaknya. Aborsi dilakukan harus benar-benar atas KERELAAN hati sang ibu dan ayahnya. Jangan semata-mata karena pertimbangan medis saja.

[e] Fatwa terkait dengan aborsi janganlah menghalangi niat sebagian ibu-ibu Muslimah untuk berjihad dalam proses kelahiran. Jangan karena masalah medik sedikit saja, langsung divonis “tidak boleh hamil”. Toh, sebagian ibu-ibu Muslimah ada yang wafat ketika melahirkan, meskipun tidak ada vonis “tidak boleh hamil” dari kalangan dokter. Wafatnya seorang Muslimah demi melahirkan hamba-hamba Allah, insya Allah syahid.

[f] Jika usia janin sudah di atas 7 bulan, dimana janin itu sudah bisa hidup di muka bumi dalam keadaan premature, maka tindakan aborsi haram dilakukan. Kalau ada kekhawatiran tentang keselamatan sang ibu dan janinnya, bisa ditempuh cara kelahiran dengan metode Cesar.

Saya menduga, wallahu A’lam bisshawaab, tindakan aborsi itu tidak perlu dilakukan terhadap janin di atas usia 120 hari, apapun alasannya. Kalau seorang wanita hamil karena diperkosa laki-laki bejat, negara atau panti asuhan Islam bisa membantu dia melahirkan dan memikul beban memelihara anak tersebut sampai dewasa. Kalau seorang wanita diperkirakan tidak kuat melahirkan, karena lemah fisiknya, dia disarankan melakukan operasi Cesar, demi menyelamatkan ibu dan bayinya. Jika janin berusia antara 4 bulan sampai 7 bulan (usia bisa lahir premature), ya janin itu tinggal dijaga sebaik-baiknya agar ibunya tidak mengalami pendarahan hebat. Doa pihak keluarga sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan jiwa sang janin.

Dapat disimpulkan: “Aborsi bagi bayi berusia di atas 120 hari, tidak diperlukan dengan alasan apapun. Adapun bagi bayi di bawah usia 120 hari, boleh dilakukan jika seorang wanita mengalami kehamilan karena tindakan perkosaan. Serta ijin dan keridhaan orangtua sangat penting untuk memutuskan aborsi atau tidak. Hasil pertimbangan dokter yang memvonis seorang ibu ‘tidak boleh hamil’ bisa dikalahkan dengan DOA kepada Allah Ta’ala.”

Demikian, semoga tulisan ini bermanfaat. Jika ada saran, kritik, atau masukan, silakan sampaikan. Semoga Allah Ta’ala memudahkan kita mencapai keridhaan-Nya. Allahumma amin.

Wallahu A’lam bisshawaab.

AMW.

Tinggalkan komentar