Alhamdulillah, Kita Berhari Raya Bersama…

Agustus 18, 2012

Idul Fithri 1433 H. Kita Berhari Raya Secara Global. Alhamdulillah.

Alhamdulillah, pada tahun ini kita merayakan Idul Fithri bersama-sama. Semua serentak merayakan Yaumul Fithri pada 1 Agustus 2012 M (hari Ahad). Baik ormas Islam seperti JAT, Muhammadiyah, NU, Departemen Agama RI, para ahli hisab dan rukyat; semua sepakat menetapkan Yaumul Fithri pada hari yang sama. Hebatnya, alhamdulillah, secara global kaum Muslimin juga berhari-raya pada hari Ahad itu. Seolah ini sebuah pertanda Ilahiyah, kaum Muslimin sedunia sepakat berhari-raya pada hari Ahad.  Ahad kan artinya satu atau tauhid; sebuah gambaran Kesatuan Ummat.

Penetapan hari raya esok hari (1 Syawwal 1433 H atau 19 Agustus 2012) berdasarkan pertimbangan…

[1]. Pantauan hilal pada sore hari tanggal 18 Agustus 2012, hilal sudah terlihat di Kupang (NTT), Makassar 6 derajat, Gresik di atas 3 derajat, Sukabumi di atas 2 derajat, dan di Lembang (Boscha). Dengan demikian, sesuai Sunnah “Wa afthiruu li ru’yatihi” (dan berbukalah dengan melihat hilal). Syarat ini terpenuhi sudah, walhamdulillah.

[2]. Hasil keputusan Sidang Itsbat Departemen Agama, tanggal 18 Agustus 2012, sekitar pukul 18.30, di Jakarta, sudah memutuskan esok hari 19 Agustus 2012 telah masuk 1 Syawwal 1433 H. Dalam sidang ini disebutkan dua kesaksian hilal di Kupang dan Makassar oleh tim Depag RI, anggota ormas Islam, dan ahli astronomi.

[3]. Keputusan negara-negara Timur Tengah dan kaum Muslimin di Barat, mereka serentak melaksanakan Idul Fithri pada esok hari, 19 Agustus 2012. Hal ini bisa dianggap sebagai hasil keputusan berdasarkan suara mayoritas kaum Muslimin.

Intinya, alhamdulillah kita esok hari bisa berhari raya Idul Fithri scara serentak, di seluruh dunia. Kalaupun ada yang menyelisihi adalah Jamaah An Nazhir di Sulawesi, Naqshabandiyah di Padang, dan orang-orang semisal. Mereka punya ketentuan sendiri yang menyelisihi kaidah Al Jamaah kaum Muslimin sedunia. Pesan Nabi Saw, “‘Alaikum bil jamaah, wa iyyakum minal furqah” (hendaklah kalian bersatu dengan jamaah kaum Muslimin, dan tidak berpecah-belah).

Sejujurnya, inilah yang kita harapkan, yaitu adanya kesatuan kaum Muslimin. Kalangan Islam yang sering berseberangan dengan pemerintah; kalangan Muhammadiyah yang kukuh dengan metode hisab; perwakilan pemerintah (Departemen Agama RI); ormas-ormas Islam; para ahli falak dan astronomi; masyarakat Muslim independen; negara-negara Muslim, khususnya Arab Saudi; serta saudara-saudara kita kaum Muslimin di Barat; semua serentak menetapi hari raya yang sama. Saya masih ingat, bahwa Al ‘Allamah Nashiruddin Al Albani rahimahullah; beliau termasuk sangat mendambakan kondisi kesatuan seperti ini.

Sebagian kalangan mengkritik pendapat Syaikh Al Albani rahimahullah tentang Jihad. Disebutkan Asy Syaikh berpendapat, bahwa saat ini belum berlaku hukum Jihad Fi Sabilillah, karena belum adanya sebuah kepemimpinan Islami. Pendapat ini mendapat kritik keras dari berbagai sisi, khususnya saudara-saudara kita kalangan Jihadis. Apa yang dikatakan Asy Syaikh ialah terkait Jihad ofensif seperti yang dulu dilakukan Sultan-sultan Islam; sedangkan terkait Jihad defensif, pastilah beliau mendukung. Karena dalam Sunnah, membela harta-benda saja, kalau sampai wafat, statusnya syahid.

Di sisi lain, ada sebuah makna yang terlewat dari pandangan Asy Syaikh rahimahullah. Makna itu adalah, bahwa saat ini belum ada satu kepemimpinan Islami (baca: Khalifah) yang bisa menyatukan suara kaum Muslimin. Kita mesti memahami, bahwa ternyata Syaikh Al Albani juga mengakui bahwa saat ini belum ada kepemimpinan Islam secara global; dengan lain kata, beliau tidak ridha dengan kepemimpinan non Islami yang ada saat ini. Untuk selevel ulama, ya tidak harus bicara secara blak-blakan; kaum Muslimin mesti bisa memahami makna tersirat di balik yang tersurat.

Dalam kesempatan lain, Asy Syaikh rahimahullah ditanya tentang hukum menonton TV. Dalam sebagian fatwanya, beliau mengatakan, kurang-lebih: “Andaikan ada sebuah Daulah Islam yang bisa mengatur tayangan TV ini sebaik-baiknya, sehingga bisa memaksimalkan maslahat dan menghindari madharat, maka ketika itu aku tidak hanya akan mengatakan boleh menonton TV, bahkan aku akan mengatakan wajib menonton TV.” Fatwa ini bisa dibaca secara rinci dalam Biografi Syaikh Al Albani, karya Mubarak Bamu’allim. Ternyata, Syaikh Albani juga pro Daulah Islamiyyah, seperti kerinduan beliau atas tayangan TV yang Islami.

Bagi saudara-saudaraku dari kalangan Mujahidin rahimahumullah jami’an, semoga ke depan bisa menerima kenyataan ini, bahwa Asy Syaikh rahimahullah adalah seperti kita-kita juga; sama-sama mendambakan kemenangan Islam, sama-sama mendambakan Daulah Islamiyyah serta kepemimpinan Islam sedunia, yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Adapun tentang tafsiran “kufrun duna kufrin”, mungkin itu sebuah kekhilafan; dan setiap manusia bisa khilaf; atau beliau memaksudkan hal itu agar tidak muncul takfir global yang nanti bisa menjadi fitnah yang lebih besar. Tidak ada salahnya kita berikan udzur untuk ulama-ulama yang telah mengabdikan hidupnya dengan Khidmah Islami; layaknya kita berikan udzur kepada sosok seperti An Nawawi, Ibnu Hajar, As Suyuthi, atau yang semisal itu rahimahumullah.

Kerinduan Asy Syaikh rahimahullah terhadap satu kepemimpinan Islam (baca: Khalifah) adalah kerinduan kita semua. Kaum Muslimin saat ini -meminjam istilah Rizki Ridyasmara- adalah laksana anak ayam yang kehilangan induk, hidup “menggelandang” tanpa kepemimpinan yang jelas. Dan momen Idul Fithri 1433 H ini sedikit mengobati kerinduan itu. Alhamdulillah ya Allah, hamdan laka ya Ra’uf tahmidan katsira kamaa ‘adada nikmatika ‘ala kulli khalqika. Ya ikhwah sekalian, kita berharap kesatuan Ummat di hari Ahad esok adalah cerminan kembalinya Khilafah Islamiyah di muka bumi. Amin ya Mujibas sa’ilin.

Inilah makna indah dari Idul Fithri 1433 H ini. Kita diberi nikmat oleh Allah Azza Wa Jalla untuk berhari-raya secara serentak di muka bumi, di hari Ahad, 1 Syawwal 1433 H (19 Agustus 2012 M). Di sisi lain, bagi kami (pengelola blog ini), ingin memberikan apresiasi, penghormatan, serta doa kebaikan bagi Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah. Bagaimanapun juga, beliau adalah seorang ulama yang mendambakan satu kepemimpinan Islam (Khilafah Islamiyyah).

Kita Semua Mendambakan Kesatuan Ummat Islam Secara Global.

Akhirnya, terucap seindah-indah kata dari blog abisyakir…

Selamat Merayakan Idul Fithri 1433 H. Taqabbalallahu minna wa minkum. Ja’alanallahu wa iyyakum minal a’idina wal fa’izin, kullu aamin wa antum bi khair. Mohon dimaafkan atas segala salah, khilaf, dan kekeliruan, secara lahir dan bathin. Semoga Allah memberkahi kehidupan kita semua. Semoga esok hari lebih baik dari sebelumnya; semoga hidup kita kelak berakhir dalam Husnul Khatimah. Amin Allahumma amin.

Malang, 18 Agustus 2012.

(AM. Waskito, Keluarga, & Seluruh Pembaca Budiman).


Kapan Kita Mulai Puasa Ramadhan 1433 H…

Juli 19, 2012

Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in, amma ba’du.

[1]. Seperti kita ketahui, ormas Muhammadiyah sejak awal sudah memutuskan, bahwa awal Ramadhan 1433 H adalah hari Jum’at, 20 Juli 2012, berdasarkan perhitungan hisab wujudul hilal. Hal ini kemudian didukung oleh Ru’yatul Hilal di kawasan Cakung Jakarta Timur yang mengaku telah melihat hilal pada petang hari, 19 Juli 2012, sekitar pukul 17.50 menit (maaf kalau penyebutan jamnya tidak tepat). Front Pembela Islam (FPI) mendukung keputusan awal Ramadhan pada 20 Juli 2012, sehingga pada malam ini (Kamis, 19 Juli 2012) mereka sudah mulai Tarawih. Selain FPI, keputusan ini juga didukung oleh ormas An Najat.

[2]. Dalam sidang Itsbat Departemen Agama RI, 19 Juli 2012, sejak sekitar pukul 19.00 WIB; mayoritas suara peserta sidang menetapkan awal Ramadhan pada hari Sabtu, 21 Juli 2012. Mereka adalah: ormas Islam yang berpedoman pada hisab imkanur ru’yah, hasil ru’yat dari Tim Depag RI, para ahli falakiyah dan ru’yah ormas Islam (seperti NU), para ahli astronomi, dll. Mereka semua sepakat awal puasa Ramadhan dimulai pada 21 Juli 2012. Mayoritas ormas Islam mendukung keputusan ini.

Rumitnya Melihat Hilal: Seperti Mencari Sehelai Uban di Atas Tumpukan Pasir.

Pihak yang menetapkan awal puasa pada 21 Juli 2012 memiliki sandaran: “Posisi hilal pada petang hari 19 Juli 2012 tidak memungkinkan untuk melihat hilal dengan mata telanjang. Posisi hilal masih di bawah 2 derajat, padahal idealnya posisi hilal sekitar 4-5 derajat. Hal itu didukung oleh kesaksian banyak pengamaat dan ahli astronomi yang tidak melihat hilal pada petang hari 19 Juli 2012.”

Pihak yang menetapkan awal puasa pada 20 Juli 2012 memiliki sandaran: “Menurut hitungan kami, hilal sudah ada pada malam Jum’at, 19 Juli 2012, berarti esok harinya kita sudah puasa Ramadhan. Kalau Rasulullah Saw menyuruh menetapkan awal puasa dengan ru’yat hilal, bukan berarti harus diputuskan dengan melihat bulan semata. Bisa saja, di masa itu teknologi memang masih sederhana, sehingga cara penentuan awal bulan juga sederhana. Tapi sekarang sudah ada kemudahan teknologi, ya manfaatkan sarana yang ada. Kalau hilal dapat diperkirakan secara pasti, ya kita manfaatkan teknologi hisab  itu. Asalkan patokannya, tetap mengacu ke hilal. Jika sudah ada hilal, meskipun belum bisa dilihat, itu sudah menandakan tiba bulan baru.”

KESIMPULAN:

(a). Bagi setiap Muslim yang mau memulai puasa pada 20 Juli 2012, seperti Muhammadiyah, FPI, Pesantren Husainiyyah Cakung, ormas An Najat; hal itu sah, karena mereka ada yang mengaku telah melihat hilal dan sudah disumpah. Adapun hitungan hisab ormas Muhammadiyah dianggap telah dikonfirmasi oleh penglihatan ru’yat di Cakung.

(b). Bagi setiap Muslim yang mau memulai puasa pada 21 Juli 2012, seperti yang disampaikan dalam sidang itsbat Depag RI dan didukung mayoritas ormas Islam; hal itu sah, karena mereka mewakili jumlah MAYORITAS kaum Muslimin di Indonesia; sehingga jika mengikuti keputusan itu dengan alasan demi menjaga persatuan Ummat adalah benar.

Singkat kata, bagi yang mengacu kepada hasil ru’yat dari Cakung, silakan. Itu ada dasarnya. Ia juga didukung perhitungan hisab Muhammadiyah. Bagi yang mengacu pada keputusan mayoritas ormas Islam, seperti yang disebutkan dalam Sidang Itsbat Depag RI, 19 Juli 2012, juga benar. Menurut Dewan Dakwah Islam, keputusan Depag RI dianggap sebagai keputusan Ahlul Balad (pengelola negara) yang mesti diikuti; Wahdah Islamiyyah mendukung keputusan Depag RI sebagai bentuk menjaga persatuan kaum Muslimin. Malah ekstrimnya, kalau nanti Depag RI memakai metode hisab murni, Wahdah akan mendukung juga. (Catatan: Ya jangan hisab murni lah, kan kaidah Sunnah-nya, dengan melihat hilal. Kalau keputusan tak sesuai Sunnah, ya tak perlu ditaati).

Silakan ikuti mana yang lebih tentram di hati Anda. Boleh mulai 1 Ramadhan pada Jum’at, 20 Juli 2012; boleh juga bagi yang memulai 1 Ramadhan pada 21 Juli 2012. Kedua-duanya benar, dan memiliki dalil kuat. Sikap lapang dada dalam perbedaan, sadar dalam memilih, dan tidak merendahkan Muslim yang lain; hal itulah akhlaq Islami yang mesti dijaga.

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

AM. Waskito.


Alhamdulillah, Idul Adha 1432 H, Kita Kompak!

Oktober 31, 2011

Persatuan Ummat Itu Indah, Laksana Intan Permata.

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, akhirnya Ummat Islam Indonesia bisa menyelenggarakan perayaan Idul Adha secara kompak, pada hari Ahad, 6 November 2011. Alhamdulillah, rasanya kenyataan ini seperti TETESAN SALJU yang sangat sejuk di hati. Alhamdulillah…

Masih teringat kuat di benak dan perasaan kita, betapa kerasnya suasana “eker-ekeran” ketika penentuan Idul Fithri 1432 H beberapa bulan lalu. Hah…rasanya tidak perlu diungkit lagi. Berbagai perasaan campur-aduk menyelimuti hati. Belum lagi “konflik pendapat” setelah Idul Fithri itu berlalu. Huufff…

Sekedar diketahui…ini rahasia antar kita-kita…saat di blog ini ditulis artikel yang mengajak kaum Muslimin berbuka di hari Selasa itu, masya Allah, kunjungan ke blog ini mencapai puncaknya. Dalam sehari itu mencapai sekitar 3.250 hit. Sebuah rekor yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Menurut Departemen Agama RI, momen Idul Adha berdasarkan HISAB dan RU’YAT memang jatuh pada tanggal 6 November 2011. Depag RI menyebar tim pemantau hilal di 46 lokasi. Tiga di antaranya berhasil melihat hilal, yaitu di Dondongdipo Gresik, Basmall Kembangan Jakarta Barat, dan Ma’had Husniyah, Cakung Jakarta Timur. Dari sisi Astronomis, menurut Prof. Dr. T. Djamaluddin, ketinggian rata-rata hilal saat itu mencapai sekitar 6 derajat. (Batas minimum hilal bisa terlihat yang berlaku di Indonesia, sekitar 2 derajat).

Keputusan Depag RI ini sangat bersesuaian dengan keputusan Pemerintah Saudi, yang menetapkan WUKUF di Arafah jatuh pada hari Sabtu, 5 November 2011. Jadi, alhamdulillah keputusan Depag RI bersesuaian dengan keputusan Kerajaan Saudi. Sebab, bila berbeda, hal itu biasanya akan menimbulkan perbedaan momen Idul Adha. Dan ormas Islam seperti Muhammadiyyah pun juga sudah menetapkan momen hari raya pada hari yang sama.

Untuk lebih jelas, silakan baca artikel ini: Pemerintah, Muhammadiyyah, dan Arab Saudi Sama Idul Adha. Faktor persatuan ini terlaksana karena: proses Rukyatul Hilal sudah positif, perhitungan hisab yang telah matang, serta bersamaan dengan momentum Wukuf di Arafah.

Alhamdulillah, Ummat Islam pada Idul Adha 1432 H tidak berselisih. Mereka bersatu dalam satu keputusan, ketetapan, dan momentum berhari raya. Allah Ta’ala menjadikan Ummat ini bersatu, sebagaimana Dia di lain waktu menguji Ummat dengan perbedaan-perbedaan. Alhamdulillah alladzi bi ni’matihi tatimmus shalihaat (segala puji bagi Allah yang atas nikmat-Nya, maka sempurnalah amal-amal kebaikan).

Tulisan  ini sekaligus sebagai bukti komitmen, bahwa: “Kita mencintai persatuan Ummat, kita mencintai persatuan di dalam negeri dan di luar negeri, dan kita tidak bersikap semena-mena terhadap setiap keputusan Pemerintah RI. Keputusan mana yang benar dan lurus, kita dukung; keputusan yang tidak lurus, kita cari pilihan lain yang lebih baik.”

Semoga Ummat Islam semakin pandai bersatu dan lapang dada untuk saling memahami. Allahumma amin.

[Abinya Syakir].


Wahai Departemen Agama RI: Mengapa Anda Menolak Kesaksian Seseorang yang Sudah Melihat Hilal?

Agustus 30, 2011

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh.

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, was shalatu wassalamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du.

Tadi malam, Sidang Itsbat Departemen Agama RI sudah menyatakan, bahwa hari raya Idul Fithri jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011, atau bertepatan dengan hari Rabu. Penetapan Depag RI ini didukung nasehat MUI (KH. Ma’ruf Amin), pernyataan mayoritas ormas Islam, hasil perhitungan falaqiyyah para ahli hisab, hasil pantauan astronomi oleh beberapa pakar astronomi. Dengan demikian, tampaklah bahwa ketetapan Depag RI itu sangat kuat.

Ibadah Islami Berdasarkan Rukyatul Hilal (Melihat Bulan Sabit).

Tetapi kami justru menghimbau kaum Muslimin agar: “Segera membatalkan puasanya pada tanggal 30 September 2011, atau pada hari Selasa; kalau mau ikut Shalat Id pada hari Selasa, silakan; kalau mau ikut Shalat Id pada hari Rabu (seperti yang kami lakukan), silakan juga; pendek kata, batalkan puasa pada hari Selasa, tanggal 30 Agustus 2011.

Bagaimana bisa kami berani menentang penetapan Depag RI soal kepastian Idul Fithri pada tanggal 31 Agustus 2011 itu, padahal kami ini bukan siapa-siapa dibandingkan mereka? Ilmu falaq ya segitu-gitunya, pengalaman melihat hilal tak pernah, pengalaman astronomi minim, ilmu fiqih juga minim. Kok berani-beraninya menentang ketetapan Depag RI yang sudah mapan itu? Onde mak oey… (meminjam istilah masyarakat Padang).

Berikut alasan-alasan yang bisa kami kemukakan:

[1]. Perlu sama-sama dipahami, bahwa urusan ibadah memiliki aturan berbeda dengan muamalah. Ibadah memiliki khashaish (kekhususan-kekhususan) yang merupakan hak prerogatif Allah dan Rasul-Nya. Dalam soal ibadah shaum, Haji, dan hari raya, Nabi Saw memerintahkan metode RUKYATUL HILAL (melihat awal bulan). Tidak masalah kita menjalankan ibadah berbeda dengan kalender, asalkan syarat-syarat ketentuan ibadah itu terpenuhi. Dalam urusan ibadah memakai Rukyatul Hilal, sedangkan dalam urusan muamalah memakai kalender (hasil hisab). Tidak mengapa semua ini.

[2]. Sudah ada pernyataan yang datang SEBELUM pengumuman Sidang Itsbat Depag RI, bahwa ada di antara kaum Muslimin di Jepara dan Cakung Jakarta sudah melihat hilal. Maka pengumuman ini harus diterima, selama yang bersangkutan mau bersumpah. Demikian kaidah aslinya. Apapun teori ilmu falaq, nasehat MUI, perhitungan ahli hisab ormas Islam, pantauan astronomi, dll. semua itu menjadi tidak berlaku, jika sudah ada kaum Muslimin yang mengaku telah melihat hilal. Inilah dasar aplikasi Syariat Islam aslinya, sebelum kaum ahli hisab/pakar astronomi menguasai wilayah ibadah ini. Hal itu sesuai sabda Nabi Saw.: “Shumuu li ru’yatihi wa ufthiruu li ru’yatihi” (shaumlah kalian dengan melihat hilal, dan berbukalah -saat awal Syawal- dengan melhatnya juga). [HR. Bukhari Muslim]. Untuk memastikan baca artikel voa-islam.com ini: Hilal Sudah Telrihat Senin Sore, Tapi Pemerintah Tetapkan 1 Syawal Hari Rabu.

[3]. Depag RI dan ormas-ormas Islam tertentu jelas TELAH MENOLAK KESAKSIAN beberapa Muslim yang telah melihat hilal. Padahal dalam riwayat diceritakan, ada seorang Shahabat datang kepada Nabi Saw dan mengaku telah melihat hilal. Lalu Nabi Saw meminta dia bersumpah, dia pun bersumpah. Maka kemudian Nabi Saw memerintahkan Bilal Ra mengumumkan, bahwa besok kaum Muslimin berpuasa. Lihatlah, cara ini sangat mudah, sangat mudah, sangat simple; sebelum akhirnya DIBUAT KERUH oleh para ahli hisab, para ahli falaqiyyah, para pakar astronomi, dan sebagainya. Padahal Nabi Saw bersabda: “Yassiruu wa laa tu’assiruu” (permudahlah, jangan dibuat susah).

[4]. Perlu diketahui bahwa metode penetapan melalui Sidang Itsbat Depag RI itu ternyata merupakan bentuk dari memaksakan metode hisab/falaqiyyah secara EKSTREM. Ini adalah bentuk kesesatan baru yang tidak sesuai Sunnah Nabi Saw. Mengapa dikatakan demikian? Sebab mereka jelas-jelas MENOLAK kesaksian beberapa orang Muslim di Cakung dan Jepara yang telah mengaku melihat hilal. Kata mereka, “Tidak mungkin hilal sudah terlihat! Menurut perhitungan kami dan pengamatan astronomi, seharusnya hilal belum terlihat.” Nah itu dia, mereka menolak kesaksian melihat hilal karena alasan perhitungan ilmu falaq dan pantauan astronomi. Padahal Nabi Saw tidak mempersyaratkan hal itu. Cukuplah kesaksian seorang Muslim yang mau disumpah, itu sudah cukup.

[5]. Kita harus memahami, bahwa Allah Ta’ala berkuasa atas segala kejadian di alam ini. Bisa jadi, sesuatu yang tidak mungkin secara ilmu falaq/astronomi, bisa menjadi mungkin menurut Allah Ta’ala. Apakah kita meragukan Kekuasaan Allah? Percayakah Anda, bahwa bisa saja Allah menampakkan hilal kepada sebagian hamba-Nya dan menutup hilal bagi sebagian yang lain? Hal itu sangat bisa terjadi dan sering terjadi. Tampaknya hilal adalah karunia Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya. Dan prediksi sains tidak selalu sesuai kenyataan. Banyak bukti-bukti di lapangan bahwa prediksi sains berbeda dengan kenyataan, misalnya prediksi cuaca, prediksi badai, prediksi gunung meletus, prediksi tsunami, prediksi janin dalam kandungan, prediksi usia harapan hidup pasien, prediksi penyakit dalam tubuh, prediksi hasil panen, prediksi pertumbuhan tanaman, prediksi kecepatan kendaraan, dll. Apakah di semua keadaan itu sains bisa memberikan hasil prediksi sempurna? Contoh kekeliruan informasi sains. BMKG pernah memprediksi ancaman tsunami di Sumatera telah berlalu, tetapi kemudian tsunami melanda Mentawai dan sekitarnya, ratusan orang meninggal disana. Sebaiknya Ummat Islam jangan memutlakkan hasil analisis sains, meskipun jangan pula menolaknya mentah-mentah.

[6]. Para ahli falaqiyyah/ahli hisab/pakar astronomi sering marah kalau mendengar ada seorang Muslim mengaku sudah melihat hilal. Mereka beralasan, “Tidak mungkin terlihat. Itu bohong semata! Berdasarkan perhitungan kami, hilal belum terlihat!” Orang-orang ini bersikap IRONIS, seolah hak dalam penentuan urusan din ini ada di tangan mereka sepenuhnya. Seolah, mereka berada dalam maqam ma’shum, yang tak tersentuh kesalahan. Masya Allah, laa haula wa laa quwwata illa billah. Disini kita bisa buktikan, bahwa orang-orang itu bersikap TIDAK KONSISTEN dengan sikapnya. Pertama, kita bertanya ke mereka, “Mengapa Anda menolak kesaksian Muslim yang sudah melihat hilal?” Mereka jawab, “Berdasarkan perhitungan kami, dan diperkuat hasil pantauan astronomi, hilal tak mungkin terlihat. Bohong besar kalau ada yang mengaku sudah melihat.” Kedua, kita bertanya lagi, “Kalau hilal tak mungkin terlihat, lalu bagaimana solusinya?” Mereka jawab, “Ya, bulan Ramadhan kita istikmal-kan menjadi 30 hari. Mudah bukan!” Nah, disana itu bukti sikap TIDAK KONSISTEN mereka. Kalau mereka konsisten dengan metode Rukyatul Hilal dengan syarat-syarat seperti yang mereka tetapkan, belum tentu bisa melihat hilal pada tanggal 30 Ramadhan, tanggal 31, dan sebagainya. Bagaimana kalau langit tertutup mendung terus, darimana mereka akan bisa melihat hilal? Perlu diketahui, Observatorium Boscha itu berkali-kali gagal mengamati gerhana, komet, atau meteor gara-gara langit terhalang oleh mendung/awan. Metode istikmal (menggenapkan bulan menjadi 30 hari) adalah metode Sunnah, bukan berdasarkan teori-teori falaqiyyah/astronomi. Kalau mereka mau mengambil Sunnah dalam soal ISTIKMAL, mengapa mereka menolak Sunnah dalam kesaksian seorang Muslim bahwa dia sudah melihat hilal? Dimana sikap konsisten mereka?

[7]. Para pakar falaqiyyah/ahli hisab/astronomi menuduh bahwa kesaksian beberapa Muslim yang telah melihat hilal pada saat senja hari, 29 Agustus 2011, sebagai bentuk kebohongan. Masya Allah, padahal Nabi Saw hanya mempersyaratkan SUMPAH saja untuk memverifikasi kesaksian itu. Hal tersebut adalah bentuk kemudahan dalam Syariat. Lalu pertanyaannya, “Bagaimana kalau kesaksian beberapa orang yang mengaku melihat hilal itu benar-benar bohong?” Jawabnya sebagai berikut: (a). Kalau mereka dusta, dosanya ditanggung mereka sendiri di hadapan Allah; (b). Selama kita sudah berpuasa 29 hari, itu sudah mencukupi ketentuan puasa Ramadhan. Kecuali kalau puasa kita baru 28 hari, jelas harus disempurnakan. Jadi, hal semacam ini dibuat ringan saja: sejauh kita sudah puasa 29 hari dan ada kesaksian Muslim bahwa dirinya telah melihat hilal dan mau disumpah, itu sudah mencukupi.  Anda tidak akan disebut maksiyat kepada Allah dan Rasul-Nya karena telah puasa 29 hari. Bahkan menurut riwayat Ibnu Mas’ud Ra, puasa Nabi Saw lebih banyak 29 hari, bukan 30 hari.

[8]. Sangat berbahaya kita berpuasa saat 1 Syawal atau saat jatuh hari raya Idul Fithri. Ini berbahaya, haram menurut Syariat Islam. Siapapun puasa di hari Idul Fithri, hal itu merupakan maksiyat serius kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam kaidah Sunnah, kalau ada dua pilihan yang sama-sama halalnya, kita dianjurkan memilih yang paling ringan. Misalnya, saat dalam safar, kita boleh Shalat secara sempurna, tapi boleh juga Shalat Qashar. Maka memilih yang lebih ringan (shalat qashar) itu lebih utama dan lebih sesuai Sunnah. Dalam hal ini, memilih shaum 29 hari lebih mudah dan lebih sesuai Sunnah Nabi Saw, daripada berpuasa 30 hari.

[9]. Andaikan perhitungan ilmu falaq/ilmu hisab/astronomi dalam soal Rukyatul Hilal harus diterima sebagai KEPASTIAN, maka itu sama saja dengan membuang Sunnah Rukyatul Hilal itu sendiri. Kalau begitu caranya, ya sudah Anda tetapkan saja jadwal Ramadhan/Syawal secara abadi seperti “jadwal shalat abadi”. Jadi, tidak usah bertele-tele bicara Rukyatul Hilal. Karena percuma juga kaum Muslimin melakukan Rukyatul Hilal, kalau nanti tidak sesuai perhitungan ilmu falaq/ilmu hisab/astronomi, maka Rukyatul Hilal itu tetap akan ditolak juga (seperti Sidang Itsbat Depag RI tanggal 29 Agustus 2011 itu). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa AROGANSI para pakar ilmu falaq/ilmu hisab/astronomi berhasil membuang Sunnah Rukyatul Hilal dari kehidupan kaum Muslimin. Nah, inilah yang saya sebut sebagai sikap EKSTREM orang-orang itu.

[10]. Lalu bagaimana dengan nasehat agar kaum Muslimin lebih mengutamakan PERSATUAN daripada kesaksian Rukyatul Hilal? Bantahannya sebagai berikut: (a). Dalam Surat Ali Imran dikatakan, “Wa’tashimu bi hablillahi jami’an, wa laa tafarraquu.” Dalam ayat ini berpegang teguh kepada kebenaran DIDAHULUKAN dari persatuan. Hikmahnya, apa artinya bersatu kalau ingkar terhadap Syariat Islam?; (b). Ibnu Mas’ud menjelaskan pengertian Al Jamaah, “Ittifaqu bil haqqi walau kunta wahid” (sepakat dengan kebenaran walau engkau hanya seorang diri). Kita harus berpegang dengan kebenaran, meskipun seorang diri; (c). Dalam Sunnah disebutkan sabda Nabi Saw, “Innamat tha’atu fil ma’ruf” (bahwa ketaatan itu hanya dalam hal yang ma’ruf saja). Mengingkari kesaksian melihat hilal adalah maksiyat serius, harus ditolak, kita tak boleh mematuhinya; (d). Persatuan yang dikehendaki oleh Islam adalah persatuan yang Syar’i, bukan persatuan yang membuang kaidah Sunnah Rasululullah Saw; (e). Bersatu di atas kebathilan justru sangat dilarang dalam Islam, seperti disebut dalam Surat Al Maa’idah, “Wa laa ta’awanuu ‘alal itsmi wal ‘udwan” (jangan kalian bekerjasama di atas dosa dan permusuhan); (f). Para ulama, salah satunya Ibnu Utsaimin rahimahullah, mengatakan bahwa kalau ada Muslim yang melihat hilal, sementara Ulil Amri sudah menyatakan bahwa hari itu hari berpuasa, maka dia dipersilakan berbuka untuk dirinya sendiri dan tak mengumumkan hasil pantauan hilalnya. Mengapa orang itu tidak dilarang berbuka, malah disuruh berbuka di hari itu? Sebab HARAM berpuasa saat hilal sudah terlihat.

Demikian alasan-alasan yang bisa kami sebutkan. Sekali lagi, kami anjurkan kaum Muslimin untuk membatalkan puasa pada tanggal 30 Agustus 2011 (hari Selasa) ini, dengan keyakinan bahwa sudah masuk tanggal 1 Syawal. Tidak boleh kita puasa di hari 1 Syawal. Dalilnya, sudah ada kesaksian sebagian Muslim bahwa mereka sudah melihat hilal yang diperkuat dengan sumpah. Hasil Sidang Itsbat Depag RI tidak bisa menganulir hasil kesaksian tersebut, sebagaimana Nabi Saw tidak menolak kesaksian seperti itu. Kecuali, kalau Depag RI menempuh jalan selain Sunnah Rasulullah Saw. Dan tidak mengapa kita ikut Shalat Id pada hari Rabu besok, 31 Agustus 2011 sesuai keputusan Sidang Itsbat Depag RI.

Semoga pernyataan ini bisa bermanfaat dan ikut disebarkan di kalangan kaum Muslimin. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Wallahu a’lam bisshawaab. Wastaghfirullaha li wa lakum.

Depok, 30 Agustus 2011.

Abu Muhammad Waskito.