Mengurai Perselisihan Penentuan 1 Syawal

September 27, 2008

Sudah menjadi kenyataan yang berulang-ulang terjadi di masyarakat, yaitu perselisihan saat penentuan 1 Syawal, yaitu saat datangnya Hari Raya Idul Fithri. Hampir setiap tahun kaum Muslimin berselisih antara pendapat puasa yang 29 hari dan 30 hari. Sebagian menjadikan pengumuman Pemerintah Kerajaan Saudi sebagai patokan, sebagian lain menanti pengumuman Idul Fithri dari Pemerintah RI, melalui pengumuman Departemen Agama RI. Tetapi ada juga komunitas-komunitas tertentu yang selalu nyeje dewe (tampil beda). Mereka berpuasa sebelum orang lain berpuasa, dan berhari-raya sebelum orang lain berhari raya.

Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) paling sering berbeda dengan Departemen Agama RI. Mereka mengikuti patokan hari-raya Pemerintah Kerajaan Saudi, dengan pertimbangan, kalau di sebuah negara Muslim sudah ada keputusan penentuan hari raya yang valid, maka negara-negara lain tinggal mengikuti saja. Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sewaktu masih ditahan di Cipinang pernah mengimami shalat hari raya yang berbeda dengan keputusan Pemerintah RI. Sedangkan Wahdah Islamiyyah (WI) dalam pendapat fiqihnya menjelaskan, bahwa pendapat terkuat disini adalah mengikuti pengumuman dari Penguasa (Pemerintah RI, khususnya Depag. RI). Disebutkan disana esensi sikap Islami, bahwa kebersamaan bersama mayoritas kaum Muslimin lebih baik daripada pendapat individu, meskipun pendapat itu benar. Jika di suatu negeri telah dinyatakan berhari raya pada suatu hari oleh penguasa, lalu ada seseorang yang mengaku telah melihat hilal (awal Syawal), maka orang itu secara pribadi boleh membatalkan puasa, tetapi tidak boleh merusak keputusan umum yang sudah berjalan.

Kalau Muhammadiyyah lain lagi. Sejak lama ormas Islam yang berpusat di Yogya ini menganut sistem hisab (perhitungan). Mereka konsisten dengan perhitungan hisab, apapun yang terjadi. Mereka bisa ikut Pemerintah, kalau keputusan Pemerintah sesuai perhitungan hisab mereka; bisa ikut Pemerintah Saudi, kalau keputusan disana juga sesuai hisab mereka; bahkan bisa mengakhirkan hari raya, jika hal itu sesuai perhitungan hisabnya. Muhammadiyyah sejak lama konsisten dengan metode hisab. Jika mengikuti perintah Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam, penentuan awal Ramadhan dan Syawal, bi ru’yatil hilal (dengan melihat hilal).

Disini saya akan mencoba sumbang-saran, semoga bermanfaat untuk mengetahui sesuatu yang lebih mashlahat. Tetapi jika pandangan ini dianggap keliru, saya insya Allah siap rujuk dengan pendapat yang lebih kuat (rajih).

Patokan ‘Melihat Al Hilal’

Mengawali puasa Ramadhan dan mengakhirinya, haruslah dengan ru’yah al hilal (melihat bulan baru). Hal ini merupakan perintah Nabi. Dalam beberapa hadits Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam mengatakan:

“Berpuasalah kalian dengan melihatnya (al hilal), dan berbukalah kalian (di awal Syawal) dengan melihatnya. Maka jika ia (hilal itu) terhalangi dari pandangan kalian, maka lengkapkan bilangan Sya’ban sampai 30 hari.” (HR. Bukhari).

“Jika kalian melihatnya (al hilal di awal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kemudian kalian melihatnya (lagi di awal Syawal) maka berbukalah. Maka jika ia terhalang, maka perkirakanlah.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasai, Ibnu Majah).

Pernah datang seseorang kepada Rasulullah, memberitahukan bahwa dia telah melihat hilal awal Ramadhan. Lalu Rasulullah bertanya kepada orang itu, apakah dia telah bersyahadat (menjadi seorang Muslim)? Dia menjawab ya. Maka Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia, agar mereka besok mulai berpuasa!” (HR. Lima Ahli Hadits, selain Ahmad).

Kalau membaca teks di atas, ru’yatul hilal itu pilihan satu-satunya. Rasulullah menggunakan kata-kata perintah “berpuasalah”, “umumkanlah”. Artinya, beliau tidak mengatakan, “Bagi yang mau, silakan puasa besok! Maka yang tidak mau, silakan digenapkan 30 hari.” Beliau tidak mengatakan kalimat seperti itu, sehingga tidak ada pilihan lain, selain ru’yatul hilal. Kecuali jika ru’yatul hilal gagal karena langit terhalang mendung, baru menggunakan metode istikmal (bilangan bulan digenapkan sampai 30 hari).

Metode hisab diakui dalam Islam. Disebutkan dalam Al Qur’an, “Dialah (Allah) yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dia telah menetapkan baginya (bulan itu) lintasan-lintasan, agar kalian bilangan tahun dan hisab (perhitungan ilmu falak).” (Yunus: 5).

Namun hisab di atas sifatnya umum untuk seluruh bulan-bulan dalam setahun. Sedangkan khusus untuk memulai Ramadhan dan mengakhirinya, Rasulullah telah memerintahkan dan mencontohkan dengan ru’yatul hilal. Surat Yunus ayat 5 di atas bersifat umum, lalu dikhususkan dengan perintah Nabi untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal dengan ru’yatul hilal. Jika tidak demikian, berarti kita mengikuti Syariat selain Syariat Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam.

Dapat disimpulkan, memutlakkan metode hisab, termasuk dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal adalah KELIRU. Ramadhan dan Idul Fithri bukanlah masalah muamalah, tetapi masalah ibadah. Pendekatan ibadah telah memiliki kaifiyah (cara praktik) yang tinggal dilaksanakan, tidak perlu direka-reka lagi.

Bahkan seandainya para ahli hisab (kalender) di dunia sudah sepakat pada suatu hari untuk menentukan awal Ramadhan, sehingga tidak perlu melakukan ru’yatul hilal, maka kesepakatan itu harus ditolak, sebab menyalahi Sunnah Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam. Posisi hukum Rasulullah lebih kuat daripada kesepakatan siapapun yang menyalahi Sunnah-nya.

Baca entri selengkapnya »


Idul Fithri dalam duka…

September 26, 2008

Idul Fithri kali ini berbeda dengan sebelumnya. Tingkat tekanan ekonomi yang kita rasakan sangat hebat. Kenaikan BBM akhir Mei 2008 lalu menjadi fitnah (cobaan) yang berat. Banyak pihak menyayangkan kenaikan BBM itu. Tetapi apa daya, semua sudah terjadi. Benteng keangkuhan birokrasi terlalu tangguh untuk diruntuhkan. Kebijakan tetap melaju, meskipun Ummat Islam menjerit meminta pemerintah tidak menaikkan BBM. Ya apa lagi upaya kita, selain menjerit?

Forum Ummat Islam (FUI) sempat menyerukan ancaman kepada birokrasi. Kalau BBM tetap dinaikkan, mereka akan menyerukan mogok nasional. Komite Bangkit Indonesia (KBI) dituding menjadi dalang demo anarkhis di Jakarta. Rizal Ramli harus sowan kesana-kemari untuk mendapat perlindungan politik. Seorang aktivis KBI langsung ditahan begitu sampai di sebuah bandara. Sampai saat ini masih ditahan.

Secara umum, kebutuhan Ramadhan itu besar, bisa lebih besar dari kebutuhan normal. Selain itu untuk Idul Fithri, lebih besar lagi kebutuhannya. Oleh karena itu banyak aksi kriminalitas di hari-hari sekitar Idul Fithri. “Meskipun penjahat, kami mau hari raya juga,” mungkin begitu alasan mereka. Hanya saja, mereka berhari raya di atas penderitaan orang lain yang berusaha berhari raya secara wajar.

Saat ini harga-harga bahan makanan mahal. Tentu harga pakaian, busana Muslim, sepatu, snack, aksesoris, mainan anak, dll mahal juga. Bensin alhamdulillah stock cukup, tapi harga gas sangat tinggi. Seharusnya pasaran normal gas 12 kg Rp. 72.000,-. Sekitar itu. Tetapi di pasaran kami membeli sampai Rp. 100.000,-. Bahkan ada informasi, harga tabung biru itu ada yang dijual sampai Rp. 120.000,-.

Belum soal transportasi mudik, baik yang naik KA, bis, mobil pribadi, kapal laut, sampai motor. Wah, kalau Anda pernah mengalami masa-masa mengikuti arus mudik dari kawasan Barat (Jakarta/Jabar) ke Timur (Jawa Timur), ya Allah betapa letih dan gelisahnya. Segala keruwetan ada dimana-mana. Dan mungkin di masa sekarang persoalannya lebih rumit lagi.

Idul Fithri adalah hari raya Ummat Islam. Ia memiliki arti berbeda bagi rakyat Indonesia. Inilah hari di mana Ummat Islam dihalalkan penuh untuk bergembira-ria, tentunya dengan tetap tidak melakukan hal-hal yang haram dan tidak meninggalkan kewajiban. Idul Fithri juga menjadi momentum silaturahim dengan sanak-keluarga. Rasanya, Idul Fithri adalah puncak kegembiraan Ummat Islam setelah berletih-letih menjalani hidup selama setahunan.

“Ya Allah, sulitnya mau berbahagia… Padahal ini adalah hari raya dari-Mu, kegembiraan dari-Mu… Mungkin, inilah yang tersisa milik kami, yang berharga bagi kami dan keluarga. Tetapi mengapa untuk menyambut semua ini, rasanya berat, lelah, sedih sekali? Tidak bolehkah kami bergembira, tidak bolehkah kami tersenyum dan bahagia? Berat nian menanggungnya…”

Saudaraku, pertanyaan untukmu:

“Setelah kita lalui semua ini, apakah ini Idul Fithri terakhir yang penuh duka? Bagaimana dengan Idul Fithri depan, apakah lebih baik atau lebih sedih?”

Sungguh, betapa nelangsa Ummat ini, diberi pemimpin yang tidak memiliki rasa cinta kepada rakyatnya. Mereka bukan pemimpin, tetapi “bendahara” yang kerjanya mengurus uang doang. Itu saja kan? Mereka diberi amanah anggaran (APBN/APBD) sekian besar, lalu terserah mereka mau diapakan anggaran itu? Bahkan mau diapakan seluruh kekayaan yang ada di negeri ini? Terserah mereka, wong mereka pegang kuasa.”

Saya terbayang Khalifah yang mulia, Umar bin Khattab Ra. Beliau pernah berkata, “Seandainya ada kambing yang terperosok lubang di Hadramaut, maka aku bertanggung-jawab terhadapnya.

Ya Ilahi, hanya seekor kambing… Itu pun hanya terperosok saja, belum tentu mati. Itu pun ada di Hadramaut Yaman yang jauh dari Madinah. Tetapi lihatlah betapa pedulinya Baginda Khalifah yang mulia.

Rasanya mimpi terlalu mewah membayangkan akan hadirnya sosok seperti Al Faruq. Adapun pemimpin-pemimpin disini, mereka hanya berebut “kuasa”, tetapi tidak berebut “tanggung-jawab”. Seharusnya, lebih banyak yang tanggung-jawab ketimbang yang berebut “stir”. Dulu saya masih sering melihat pegawai-pegawai negara yang amanah, meskipun PNS. Mereka benar-benar merasakan makna kata “melayani masyarakat”. Tetapi kini, semua melayani diri sendiri. Semua sudah profesional, serba menuntut bayaran, tidak ada kerja sukarela tanpa pamrih. Sudah begitu, fasilitas negara jadi rebutan untuk kendaraan memperkaya diri.

Negeri ini semakin hari terus terperosok dalam penderitaannya. Para pejabat semakin kebal hatinya, semakin bengis sifat-sifatnya. Semakin jauh rasa empati, rasa sayang, rasa peduli dengan penderitaan orang kecil. Bahkan di mata mereka, rakyat kecil seperti nasib Bani Israil di Mesir di jaman Musa As. Mereka hanya menjadi “bantalan peluru” untuk menggerakkan mesin-mesin ambisi kalangan elit. Justru atas kezhaliman itu, Musa As. diperintahkan Allah untuk menyelamatkan Bani Israil.

Sistem kapitalisme bukanlah produk baru. Itu gaya lama, gaya Fir’aun. Hanya diperbaharuim dengan teori-teori yang rumit. Intinya, rakyat kecil mengabdikan hidupnya untuk melayani petualangan hawa nafsu kalangan elit. Rakyat kecil tidak dipandang. Mereka itu “bantalan peluru” belaka. Sangat dibutuhkan, tapi tak layak dihargai.

Kok mau-maunya kita jalani hidup seperti ini. Lemah, hina, tak berdaya… “Dimanakah Musa? Dimanakah Harun? Dimanakah Thalut?… Tidak ada yang menjawab.

Lidah sudah terlalu kelu, hati sudah terlalu berkarat. Kita semua angkat tangan, sambil berkata, “Lupakan Musa, lupakan Harun, lupakan Thalut. Lupakan semua itu! Marilah kita menjadi bantalan peluru terbaik, bantalan peluru yang profesional, yang menerapkan standar ISO 2000, yang tawakkal, ikhlas, hanya mencari ridha Allah… Hayuh, kita jadi bantalan peluru dengan tidak pernah berharap datangnya Musa, bahkan jangan sekali-kali teringat oleh nama itu. Jadilah bantalan peluru teragung dalam sejarah…

Saudaraku, dulu pernah ada calon-calon Musa.

Saya teringat, waktu itu ada seorang anggota dewan partai Islam tertentu. Dia pulang mudik ke Pekalongan dengan naik bis umum. Tidak memakai mobil pribadi, apalagi fasilitas negara. Dia disorot TV mudik naik bis umum di sebuah terminal. Hebat…hebat…hebat. Tapi itu dulu, ketika dia baru jadi anggota dewan. Ketika dia baru semangat-semangatnya “membela Ummat”. Adapun kini, entahlah kemana “calon Musa” itu? Dia sama dengan pejabat tertentu yang tadinya, “Saya gak mau naik Volvo! Saya pakai Kijang saja. Saya gak mau nginab di hotel, tapi di rumah saja.” Itu awalnya, ketika masih baru jadi pejabat. Masih gress, masih hangat-hangatnya kursi. Adapun kini, yo wis pada wae. Sami mawon, Mas! Huh…susah sekali berharap ada kebangkitan di negeri ini. Banyak yang palsu, oportunis, sok memperlihatkan kesalehan, padahal akhirnya menjadi “the loser”.

Tapi Musa itu harus tetap ada, hadir dalam hidup kita… Itulah harapan yang bisa ditunggu, selain tentu pertolongan Allah atas Ummat ini. Ya Allah, teguhkan kami untuk selalu mengawal urusan ini, sampai mendapati salah satu dari dua kenyataan: Ummat hidup berbahagia atau gugur tidak sebagai pengkhianat Islam! Ya Allah kabulkanlah, kabulkanlah, kabulkanlah Ya Rabbi. Amin Allahumma amin. Wa shallallah wa sallim ‘ala Nabiyina Muhammad wa alihi wa shahbihi ajma’in.

Saudaraku… Mari kita tersenyum. Jangan engkau ingkari nikmat Idul Fithri dengan kemurungan. Biarpun engkau tidak memiliki baju baru, makanan yang baik, tidak bisa bepergian kesana ke mari, tidak memiliki pulsa untuk kirim SMS silaturim… Janganlah lemah dan duka. Engkau masih bisa tersenyum.

Sambutlah Idul Fithri dengan senyum bahagiamu! Jangan kecewakan Idul Fithri dengan kesedihanmu! Ya Allah, kami rela dengan Idul Fithri, kami mencintainya, sebagaimana ia sebagai karunia besar yang layak dicintai. Maafkan kami wahai Ramadhan, maafkan kami wahai Nabi atas segala maksiyat dalam Sunnah-mu, dan pada hakikatnya, maafkanlah kami wahai Dzat Yang Maha Pengampun lagi Pemaaf. Ya Rabbana innaka ‘afuwun tuhibbul ‘afwa fa’fu anna. Amin Allahumma amin.

Selamat IDUL FITHRI 1429 H.

Taqabbalallah minna wa minkum.

Mohon maaf lahir dan bathin.

Ardhillah, 27 Ramadhan 1429 H.

Abu Muhammad Waskito.


Asal Usul Nama Nyamuk

September 26, 2008

Ini kemarin saya dapat tebak-tebakan dari anak ke-3. Sebenarnya saya malas mau melayani tebak-tebakan dia, sebab dijamin jawabannya selalu salah. Gak tahulah, kenapa para penebak selalu salah ya? Siapa sih yang dulu membut hiburan seperti itu? Kalau jawaban kita benar, karena sudah tahu “kunci jawabannya”.

Lagi pula, kalau tebak-tebakan sama anak-anak, mereka selalu bilang, “Takluk, takluk, takluk?” Belum apa-apa sudah ditanya, “Takluk?” Kayaknya mereka senang sekali kalau bisa mengalahkan orangtuanya.

Kemarin itu tebak-tebakan yang sungguh membuat saya tertawa terkekeh-kekeh. Ya alhamdulillah, diberi nikmat tertawa. Ini termasuk berkualitas, mungkin poin 8, tetapi jelas ini sudah populer, atau sudah menyebar dimana-mana. Jadi, not original. Anak saya hanya mengulang saja.

“Abi aku punya tebak-tebakkan,” kata anak saya.

“Apa…tebak-tebakan apa?”

“Tahukah, dulu nyamuk namanya apa?

“Apa ya, mosquito,” kata saya.

“Bukan! Takluk?” (Nah, ini nih belum apa-apa sudah “takluk’).

“Apa ya…serangga!”

“Bukan! Ayo takluk?”

Karena terbayang sulitnya pertanyaan ini. Ya sudahlah saya menyerah. Saya suruh anak saya jelaskan, apa nama nyamuk dulunya?

Ternyata, kemudian dia bernyanyi lagu “cicak cicak di dinding”.

Cicak cicak di dinding, diam diam kemari…

Tatang seekor nyamuk…

Hap hap lalu ditangkap…

“Lho kok nyanyi…Apa dong jawabnya?” tanya saya.

“Iya kan itu ada Tatang seekor nyamuk…” kata dia polos.

“Jadi tadinya namanya = Tatang !”

Ya Allah, seketika saya tertawa. Sementara anak saya lain yang sedang belajar ikut tertawa juga. Ooh…ternyata dulu nyamuk itu namanya Tatang.

Yo wis lah….

Ini hanya untuk menghibur. Berbagi bahagia. Alhamdulillah. Meskipun tidak original.

Untuk yang namanya Tatang, maaf ini hanya bercanda. Tidak ada maksud lain.


Ramadhan Karim…

September 25, 2008

Siapa yang tidak gembira dengan datangnya Ramadhan. Tentu setiap Muslim sangat bergembira, alhamdulillah. Anak saya Fathimah sejak bulan-bulan lalu terus terobsesi akan datangnya Ramadhan. Saat ini dia lagi bersedih, sebab Ramadhan akan berlalu. Kasihan juga… Sampai dia berkata, “Coba kalau Ramadhan sampai dua bulan?” (Wah, itu bukan Ramadhan, tetapi Ramadhani atau 2 bulan Ramadhan). Saya katakan, “Nanti kalau 2 bulan, kamu tidak akan kuat menjalaninya.”

Sedih memang…tapi mau bagaimana lagi, beginilah Sunnatullah berjalan. Pergerakan waktu tidak akan bisa dicegah, dimajukan, atau dimundurkan, ia presisi.

Saya ingin memulai di bagian “Senyum Dulu” ini hal-hal menggembirakan seputar kehidupan kita sehari-hari. Ironis ya, “Senyum Dulu” dibuka justru saat hati sedih Ramadhan akan berlalu. Ya, semoga hal ini merupakan berkah, sebab berat juga rasanya membaca sekian banyak tulisan, dalam suasana “tegang melulu”. Ya, hitung-hitung berbagi kegembiraan dengan sesama saudara Muslimin di seluruh Indonesia, insya Allah.

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Ayo senyum dulu…!

Lucu gak lucu, pokoknya senyum dulu !

Ayo Mas, Mbak, Akhi, Ukhti, Paman, Bibi…

Monggo senyum dulu ya…

Pokoknya senyum, soal alasan bisa dipikirkan kemudian.

Senyum ini penting, buat “latihan”…

Anda mau mengarungi wacana humor, jadi harus bisa senyum.

Itu skill utama yang dibutuhkan di bidang ini.

OK, sudah cukup, cukup…

Sudah, sudah, jangan terlalu panjang, cuma “latihan” kok.

Sudah, sudah, cukup, cukup…

Yang di “pojok sono” tolong, senyum udahan ya.

OK, latihan cukup…

Otot-otot rahang sudah mulai “panas”.

Pemanasan sudah cukup.

_____sudah aja, putus sampai disini!

tanpa kata, tanpa suara, tanpa “to be continued”.

Sudah aja, tiba-tiba titik!

Namanya juga: “Senyum Dulu”. Apa saja, asal gembira, alhamdulillah.


Ummat Menjerit, Engkau Diam Saja…

September 23, 2008

Kemarin…kita sangat terpukul menyaksikan insiden pembagian zakat di Pasuruan. Ribuan kaum wanita berebut uang 30 sampai 40 ribu, hingga mengorbankan nyawa. Melihat mereka berdesak-desak, anak-anak kami sampai kehilangan nafsu makan.

Sebelumnya, puluhan orang mati gara-gara mendem minum miras “vodka” di Indramayu. Saat saudara-saudaranya lagi menekuni majlis Ramadhan, mereka bongko su’ul khatimah. Na’udzubillah min dzalik. Mereka seperti ingin membangkang kepada Allah yang telah mendatangkan syahrus shiyam syahrul mubarak. Semoga yang masih hidup benar-benar bertaubat setelah pembangkangan itu.

Coba lihat acara-acara TV. Betapa banyaknya perilaku mengerikan Ummat Islam di grass root. Kemarin kami melihat di sebagian tempat, masyarakat miskin berebut sampah-sampah sayur di TPA seperti tomat, kol, kentang, buah, dst. Tapi semua itu sampah, sudah dibuang oleh pemiliknya. Oleh mereka, sampah dicuci lagi, diberikan kepada anak-anaknya. “Ya gimana lagi? Beginilah cara kami bertahan hidup.” Masya Allah, ngenes pisan, Mas!

Sebelumnya, orang-orang mengumpulkan sampah-sampah daging, sudah bau busuk, sudah keluar belatung, sudah mencair, warnanya tidak sedap lagi dilihat. Oleh mereka, daging itu dimasak lagi,direbus lagi, digoreng lagi, jadilah “daging daur ulang”. Ya Ilahi, kalau kertas, plastik, karet daur ulang masih bisa dimaklumi. Ini daging daur ulang? Opo iki rek…

Juga ada terjadi. Kan sekarang marak orang jualan kerupuk kulit dimana-dimana. Ternyata, kerupuk itu hasil “daur ulang” sisa-sisa limbah kulit di pabrik kulit. “Lumayan, daripada dibuang. Lebih baik dimasak lagi, masih bisa dimakan. Ini mubadzir kalau dibuang.” Ya, tidak sekalian saja, mereka makan kertas,kayu, ban, besi, dll. yang sudah dibuang itu. Masak limbah kulit yang mengandung arsenik harus dibuat makanan? Yang benar saja berpikirnya…

Sebelumnya, masyarakat di Cirebon membeli makanan lapuk, beras, tepung, biskuit, roti, mie instan, dll. Pokoknya yang sudah lapuk, sudah tidak layak lagi. Geli kita kalau memakannya. Tetapi lagi-lagi alasan mereka sangat “manusiawi”. “Bagaimana lagi Mas kami bertahan? Dengan apa lagi kami hadapi semua kesulitan ini? Tolong dong, jangan salahkan kami terus? Beri solusi kongkret gitu!” Iya sih, kalau sudah begini, semua rumusan-rumusan teori paling tempatnya di dasar tong sampah paling dalam.

Soal daging sapi juga, banyak orang menyembelih sapi glonggongan yang dagingnya banyak berisi air. Daging ayam, banyak yang jual ayam saren (sudah bangkai tapi di-“daur ulang” lagi). Di sebagian tempat, demi memenuhi kebutuhan gizi, sebagian orang berburu tikus sawah untuk dimakan. “Lho ini enak, lho! Gak percaya? Cobain ini, ueeenaak tenan!” Ada lagi yang berburu kelelawar, mencari tupai, mencari bekicot, dst. Ya Allah, negeri sekaya raya ini, kok rakyatnya super melarat dan gaya hidupnya mengerikan seperti ini?

TV-TV terus memberitakan segala panorama kemelaratan Ummat Islam di bawah sono. Sementara kita disini terus diskusi, menggodok konsep, menyusun proposal, mengadakan seminar “manfaat zakat bagi pemberantasan kemiskinan”, kita berdebat tentang beasiswa, panti asuhan, pendidikan fakir miskin,sekolah gratis, dst. “Lihat noh di sono, saudara-saudaramu berburu tikus untuk memenuhi nasehat makan 4 sehat lima sempurna!” Kalian disini ribut debat, sementara Ummat sudah hampir putus-asa mempertanyakan manfaat agama Islam bagi kehidupannya.

Ironinya, kita diskusi ramai, berdebat hebat, ditemani presenter cantik, alunan musik band ngetop, di acara prime time TV, tentu saja di balik itu ada menu makanan klas 1. Kita debat soal “pengelolaan zakat” sementara masyarakat tidak melihat sama sekali bekasnya. “Zakat lebih bermanfaat bagi amilin, bukan Ummat,” sindir mereka (sebenarnya sindir saya, bukan mereka).

Maaf bukan ingin mengecilkan kerja lembaga-lembaga zakat, tapi kita terlalu lama hidup dalam “dunia fantasi”, melayang-layang dalam lamunan, tak tahunya waktu menyaksikan realitas, masyarakat lebih sengsara dari yang kita perkirakan.

Sebenarnya, dalam situasi seperti ini peranan tokoh-tokoh ormas Islam, wakil-wakil rakyat Muslim di DPR, para mahasiswa/pemuda Islam sangat dituntut untuk memberikan pembelaan totalitas terhadap kesengsaraan masyarakat. Sebab yang menderita itu ternyata adalah saudara-saudara kita sendiri, kaum Muslimin. Entahlah, apa yang nanti akan kita katakan kepada Baginda yang mulia, Nabi shallallah ‘alaihi was sallam? Bagaimaka kalau beliau menanyakan titipannya, yaitu Ummat ini? Apa yang Anda bayangkan, ketika menjelang wafatnya yang mulia al Musthafa merintih: “Ummati ummati… Ummati ummati…”

Apakah kita akan menjawab, “Masa bodo dengan “ummati”. Sekarang kami juga sengsara, apa yang bisa dilakukan orang laen? Enak saja minta dimanja-manjain, kita juga hidup susah, tau! Sono urus diri sendiri. Biarin deh, mampus mampus aja, asalkan bukan isteri sama anak-anak gue.”

Itukah ya Ikhwani ya Akhawati jawaban kita? Itukah jawaban orang-orang beriman? Itukah jawaban para pengikut Sayyidin Mursalin? Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Saya teringat kisah masyhur tentang Abdullah bin Mubarak rahimahullah. Beliau adalah ulama yang sangat disegani di jamannya, karena takwa, ilmu, dan kepedulian sosialnya luar biasa. Karena kepercayaan itu, beliau sering menjadi Amirul Hajj di kotanya, untuk memimpin jamaah Haji menempuh ibadah Haji ke Tanah Suci. Waktu itu beliau bersafar bersama rombongannya menuju Makkah Al Mukarramah, lalu di suatu mereka tempat bertemu perkampungan Muslimin yang sangat melarat. Saking melaratnya, ada di antara mereka yang berusaha memakan daging hewan yang sudah menjadi bangkai. Abdullah bin Mubarak trenyuh melihat semua itu. Akhirnya, beliau menasehati jamaahnya untuk mengurungkan niat menuju Makkah, tapi menyedekahkan harta mereka kepada orang-orang di kampung itu, sampai mereka terbebas dari kesulitan melilit. Jauh-jauh hari sudah mempersiapkan Haji, dengan bekal dan segalanya, seketika dibatalkan hanya karena melihat ada Muslim melarat mau makan bangkai. Masya Allah, suatu ketika Abdullah bin Mubarak bermimpi bahwa Haji mereka telah mencapai Haji mabrur. Padahal tidak setapak pun menginjakkan kaki ke Makkah, sebab setelah itu mereka pulang kampung lagi.

Akan hal di Indonesia, setiap tahun 200 ribuan orang naik Haji. Kalau setiap jamaah Haji keluar ONH rata-rata 30 juta, berarti total harta bergulir sekitar 6 triliun rupiah. Belum biaya-biaya di luar itu semua. Kalau ditotal, sekitar 10 triliun lah. Setiap tahun dana 10 triliun digulirkan untuk keperluan Haji, belum lagi Umrah yang biayanya juga wah. [Perlu dicatat, biaya untuk membuat TVOne saat ini sekitar 1,3 triliun. Biaya untuk buat TransTV waktu itu, sekitar 1 triliun]. Andai dana sebesar itu dikelola dengan benar untuk mengentaskan kemiskinan Ummat, mungkin kita tidak akan melihat panorama-panorama mengerikan seperti di atas. Kenyataan sekarang, yang ingin Haji terus menggelora, sampai dibela dengan demo-demo, padahal tujuan utamanya hanya agar mendapat gelar Haji dan Hajjah. Sementara yang sengsara, melarat, hina dina di bawah sana, terlupakan sama sekali. Just as an entertainment! (Ya Ilahi ya Rabbi).

Demi Allah, ini adalah tugas saya, tugas Anda, tugas kita semua, untuk mengingatkan Ummat Islam. Untuk mengingatkan semua pihak tentang kesengsaraan yang menimpa kaum Muslimin di negeri ini. Saya tidak peduli, apakah Anda akan sadar dan tergerak sesudah itu, atau akan diam saja, terus membisu dengan segala fantasi yang memenuhi pikiran. Yang jelas amanah ini harus disampaikan, apapun resikonya. Nasib Ummat Islam Indonesia sudah di ‘ujung tanduk’. Jika tidak ada upaya-upaya serius saat ini, tidak tahulah bagaimana masa depan Islam disini? Zaenuddin MZ pernah bilang, “Islam tidak akan musnah di muka bumi. Tetapi Islam tidak dijamin tetap ada di Indonesia.” Benar beliau! Saya setuju 100 %. Dengan keadaan seperti sekarang, agama ini akan hancur! Na’udzubillah min dzalik.

Dalam Al Qur’an:

Maka masing-masing mereka itu Kami siksa disebabkan dosa-dosanya. Di antara mereka ada yang Kami timpakan hujan batu kerikil, di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan ke dalam lautan. Allah sekali-kali tidak menganiaya mereka akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Al-‘Ankabut: 40).

Marilah kita peduli dengan keadaan Ummat Islam:

– Kalau engkau makan nasi, ingatlah orang Cirebon yang makan sisa-sisa makanan apkiran.

– Kalau engkau makan buah/sayuran, ingat saudaramu yang makan sayur dari sampah di TPA.

– Kalau engkau makan daging, ingat saudaramu yang berburu tikus sawah untuk makan daging.

– Kalau engkau sibuk bisnis, ingat saudaramu yang buat keripik dari limbah kulit berarsenik.

– Kalau engkau mapan kerja, ingat TKW-TKW yang jadi pelacur di Asia dan Timur Tengah.

– Kalau engkau sibuk belajar, ingat anak-anak saudaramu yang belajar di kandang ternak.

– Kalau engkau berpakaian necis dan dandy, ingat anak-anak jalanan yang kumal, berdebu, lusuh.

– Kalau engkau disayangi isterimu, ingat jutaan pemuda-pemuda Islam yang belum “laku nikah”.

– Kalau engkau hidup dalam kemewahan, ingat ribuan rumah-rumah kardus atau rumah-rumah tikus

di bantaran kali.

Kalau engkau tidak ingat semua itu, sudah lupakan saja. Islam tidak membutuhkanmu. Silakan nikmati dan nikmati… Berjalanlah sesuai maumu, kami pun akan terus berjalan. “Ummati, ummati, ummati… itulah wasiat Sayyidil Mursalin. Jaga dan pelihara, sampai engkau berjumpa Rabb-mu Yang Maha Mulia.

Selamat menyambut Idul Fithri 1429 H. Taqabbalallah minna wa minkum. Mohon maaf lahir batin.

Indonesia, 23 September 2008.

AM. Waskito.


Mengapa Mereka Benci RUU Pornografi?

September 20, 2008

Berita MetroTV petang, 18 September 2008, mengangkat diskusi ringan soal rencana pengesahan RUU Pornografi. Disana tampil anggota dewan yang anti RUU Pornografi dari Fraksi PDIP dan yang mendukung RUU dari Fraksi PAN. Untuk kesekian kalinya kita membuka halaman debat kusir soal RUU Pornografi (dulu RUU Anti Pornografi Pornoaksi). Tahun 2006 lalu Ummat Islam menggelar “Aksi Sejuta Ummat” di Monas menuntut RUU APP segera disahkan, tetapi realisasinya alot amat. Sebagian kalangan sudah gemas melihat perkembangan media-media pornografi, sementra yang lainnya oke-oke aja.

Untuk melihat perdebatan baru ini, kita perlu lebih jujur memahami konstruksi sikap orang-orang yang anti RUU Pornografi. Istilahnya, “Jangan ada dusta di antara kita.” Hal itu dimaksudkan agar kita tidak keletihan menghadapi alasan-alasan mereka yang terus diperbaharui itu. Ketika satu alasan dibantah, segera muncul alasan berikutnya, termasuk yang paling naif sekalipun. Begitu terus berlangsung, setiap ada jawaban selalu ada alasan baru. (Kata anak-anak, capek deh!). Dengan memahami desain sikap mereka, akan membantu kita lebih konsisten dengan masalah ini. Semoga Allah Ta’ala memudahkan perjuangan Ummat. Amin.

Disini saya akan ungkap alasan-alasan kalangan anti RUU Pornografi. Sebagai tambahan, pihak-pihak yang menentang RUU itu tidak jauh dari komunitas PDIP, PDS, gerakan SEPILIS, seniman liberal, LSM anti Syariat Islam, Mbah Dur, komunitas gereja, media massa sekuler, dan semisalnya.

Cukup UU dan KUHP

Alasan paling standar dari kalangan anti RUU Pornografi adalah soal UU dan KUHP. Kata mereka, selama ini sudah ada UU Perlindungan Anak, ada KUHP, dll. Sudah banyak produk UU yang bisa digunakan untuk menjerat media-media pornografi dan model-model yang menjadi pelaku porno aksi. “Sudah pake aja UU yang ada. Tak usah bikin UU baru. Yang sudah aja manfaatkan sebaik mungkin, itu sudah cukup!” kata mereka.

Cara mematahkan alasan di atas sangat mudah, yaitu: “Kalau memang semua UU itu efektif bisa mencegah penyebaran media pornografi, mengapa sampai saat ini masih banyak produk-produk pornografi beredar luas? Itu artinya UU-nya mandul, sebab tidak mengatur masalah ini secara spesifik.”

Mereka akan balik membantah, “Ya, itu artinya penegakan hukumnya yang lemah, bukan UU-nya yang salah! Jangan salahkan UU-nya, tapi salahnya penegakan hukumnya yang lemah.”

Kita pun bisa menjawab balik, yaitu:

“Pertama, Anda katakan penegakan hukum lemah. Berarti disini ada pihak-pihak yang tidak menunaikan amanah hukum dengan baik. Pihak itu bisa kepolisian, kejaksaan, atau kehakiman. Mereka bisa disebut telah melanggar hukum karena tidak melaksanakan amanah penegakan hukum dengan baik. Kalau begitu apakah Anda telah menuduh kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman telah melanggar hukum karena tidak melaksanakan UU/KUHP dengan benar? Tolong Anda sebutkan bukti-bukti pelanggaran hukum mereka, karena tidak menegakkan hukum secara baik! Kalau ada bukti-buktinya, hal itu bisa menjadi modal melakukan class action untuk menuntut tanggung-jawab mereka.”

“Kedua, UU atau KUHP yang ada saat ini hanya memberikan aturan yang sifatnya general (umum), sehingga tidak efektif lagi untuk menghadapi realitas perkembangan media pornografi, teknologi yang dipakai di dalamnya, modus penyebaran, pelaku, motiv bisnis dan sebagainya. Realitasnya sudah sangat komplek, tetapi ketentuan-ketentuan hukum yang digunakan sudah ketinggalan jaman. Bayangkan, untuk fenomena pornografi yang telah sedemikian rumit hanya cukup dihadapi dengan beberapa gelintir pasal saja. Itu menunjukkan bahwa bangsa kita tidak memiliki komitmen moral. Soal moral hanya omong kosong doang!”

Kalau mereka terus beralasan dengan lemahnya penegakan hukum, mereka harus tunjukkan bukti-bukti kongkretnya kelemahan itu, jangan hanya teori saja. Tunjukkan bagaimana kasusnya, apa buktinya, siapa pelaku “kelemahan penegakan hukum” itu! Sekali lagi, jangan omdo atau omkos!

Baca entri selengkapnya »


Kontroversi Hukum “Zakat Profesi”

September 19, 2008

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Sejak lama Ummat Islam di Indonesia mendengar istilah ZAKAT PROFESI. Hal ini menjadi perdebatan seru tentang pihak yang pro dan kontra zakat profesi. Kebetulan saat ini Ramadhan, masyarakat banyak memperbincangkan masalah zakat. Ada baiknya kita kaji masalah ini untuk memperkaya wawasan Ummat Islam, insya Allah.

Sejujurnya, saya termasuk pihak yang kontra zakat profesi. Bukan karena tidak mau membayar zakat tersebut (kalau ada ya), tetapi karena posisi zakat profesi secara syar’i masih dipertanyakan. Sebagai pandangan awal, istilah zakat profesi (zakat kasab) itu tidak populer dalam sejarah Islam sejak jaman dulu. Ia baru muncul akhir-akhir ini, khususnya sejak ijtihad Syaikh Al Qaradhawi dalam Fiqhuz Zakah beliau. Di sisi lain, Az Zakat adalah perkara ibadah mahdhah yang sudah paketan, permanen, dan tidak menerima ijtihad di dalamnya. Ia tinggal dilaksanakan, tanpa banyak bertanya. Kalau membuat aturan baru dalam ibadah, akan menjerumuskan ke arah bid’ah yang tertolak. Ini sebagai awalan.

Di bawah ada sebuah artikel bersumber dari syariahonline.com tentang dalil-dalil yang mendukung posisi zakat profesi. Syariah Online termasuk salah satu yang giat mensosialisasikan pentingnya zakat profesi, sehingga pendapat mereka bisa dipegang dalam topik tersebut. Berikut sebagian alasan yang menguatkan pentingnya zakat profesi, menurut syariahonline.com:

Hanya saja terburu-buru memvonis bahwa zakat profesi adalah bid’ah hanya karena kita tidak menemukan contoh kongkritnya di masa Rasulullah SAW, tentu tidak sesederhana itu masalahnya. Sebab ketika kita mengatakan sebuah perbuatan itu sebagai bid’ah, maka konsekuensinya adalah kita memvonis bahwa pelakunya adalah ahli neraka. [1] Masalahnya adalah apakah bisa disepakati bahwa semua fenomena yang tidak ada di masa Rasulullah SAW itu langsung dengan mudah bisa dijatuhkan ke dalam kategori bid’ah ?

Sebab bila memang demikian, maka mengeluarkan zakat dengan beras pun tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Sedangkan kita semua di negeri ini dan di kebanyakan negeri muslim umumnya makan nasi dan zakat fitrahnya beras. Apakah kita ini pasti ahli bid’ah karena tidak berzakat dengan gandum? [2]


Selanjutnya zakat profesi menurut mereka yang mencetuskannya sebenarnya bukan hal yang baru. Bahkan para ulama yang mendukung zakat ini mengatakan bahwa landasan zakat profesi atau penghasilan itu sangat kuat, yaitu langsung dari Al-Quran Al-Kariem sendiri.

Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari kasabmu (PENGHASILANMU) yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu…. (QS al-baqarah.)

Maka yang mewajibkan zakat profesi atau zakat penghasilan adalah Al-Quran Al-Kariem sendiri. Dan istilah kasab adalah istilah yang digunakan oleh Al-Quran Al-Kariem dan juga bahasa arabnya zakat profesi adalah kasab. [3]

Selain itu mereka juga mengatakan bahwa profesi di masa Rasulullah SAW itu berbeda hakikatnya dengan profesi di masa kini. Sebab sebenarnya yang terkena zakat itu pada hakikatnya bukan karena dia berprofesi apa atau berdagang apa, tetapi apakah seseorang sudah masuk dalam kategori kaya atau tidak. [4]

Dan memang benar bahwa zakat itu pada hakikatnya adalah memungut harta dari orang kaya untuk diserahkan kepada orang miskin. Persis seperti pesan Rasulullah SAW ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman. Rasulullah SAW mengatakan bahwa beritahukan kepada mereka bahwa Allah SWT telah memfaridhahkan kepada mereka zakat yang diambil dari orang kaya mereka dan diberikan kepada orang miskin di antara mereka. [5]

Masih menurut kalangan pendukung zakat profesi, maka meski di masa Rasulullah SAW ada beberapa jenis profesi, namun mereka tidaklah termasuk orang kaya dan penghasilan mereka tidak besar. Maka oleh Rasulullah SAW mereka pun tidak dipungut zakat.

Sebaliknya, di masa itu yang namanya orang kaya itu identik dengan pedagang, petani atau peternak atau mereka yang memiliki simpanan emas dan perak. Maka kepada mereka inilah zakat itu dikenakan. [6] Meski demikian, jelas tidak semua dari mereka itu pasti kaya, karena itu ada aturan batas minimal kepemilikan atau yang kita kenal dengan nisab. Oleh Rasulullah SAW, nisab itu lalu ditentukan besarnya untuk masing-masing pemilik kekayaan. Dan sudah bisa dipastikan bahwa kalangan pekerja “profesional” dimasa itu tidak akan pernah masuk dalam daftar orang kaya.

Lain halnya dengan masa sekarang ini. Yang kita sebut sebagai profesional di masa kita hidup ini bisa jadi orang yang sangat kaya dan teramat kaya. Jauh melebih kekayaan para petani dan peternak. Bahkan di negeri kita ini, yang namanya petani dan peternak itu sudah bisa dipastikan miskin, sebab mereka tertindas oleh sistem yang sangat tidak berpihak kepada mereka. [7]

Kalau pak tani yang setiap hari mencangkul di sawah membanting tulang memeras keringat dan ketika panen, hasilnya tidak cukup untuk membayat hutang kepada rentenir itu diwajibkan membayar zakat, sementara tetangganya adalah seorang yang berprofesi sebagai pengacara kaya raya itu tidak wajib bayar zakat, dimanakah rasa keadilan kita ? Padahal pak pengacara itu sekali didatangi kliennya bisa langsung mengantungi 100 atau 200 juta. [8]

Di lain tempat ada peternak yang miskin hidup berdampingan dengan tetangganya yang konsultan ahli yang sekali memberi advise bisa mengantongi ratusan juta, tentu sekali rasa keadilan itu terusik. [9]

Benarkah Islam tidak mewajibkan zakat orang kaya yang nyata benar kekayaan berlimpah, hanya karena di masa Rasulullah SAW belum ada fenomena itu ? Dan wajarkah bila kita hanya memakai standar kekayaan dan jenis penghasilan yang ada di masa Rasulullah SAW saja ? Sedangkan pada kenyataannya, sudah banyak fenoimena itu yang sudah berubah ? [10]

Tidakkah kita bisa membedakan esensi dari zakat yang utama yaitu mengambil harta dari ORANG KAYA dan diberikan kepada orang miskin ? Ataukah kita terpaku pada fenomena sosial yang ada di masa Madinah saja ? [11]

Nah, argumentasi seperti itulah yang diajukan oleh para pencetus zakat profesi sekarang ini. Dan bila kita secara tenang memahaminya, argumen itu relatif tidak terlalu salah. Paling tidak kita pun harus sadar bahwa kalau At-Taubah ayat 60 telang menyebutkan dengan detail siapa sajakah yang berhak menerima zakat, maka untuk ketentuan siapa sajakah yang berkewajiban mengeluarkan zakat, Al-Quran Al-Kariem tidak secara spesifik menyebutkannya. Sehingga penentuan siapa sajakah yang wajib mengeluarkan zakat bisa atau mungkin saja berkembang sesuai karakter zamannya. Namun intinya adalah orang kaya. [12]

Sumber asli: http://www.syariahonline.com/kajian.php?lihat=detil&kajian_id=31570

Baca entri selengkapnya »


Saat Nabi Berbicara Tentang Indonesia!

September 18, 2008

Sebuah Renungan Pasca Insiden “Antrian Zakat” di Pasuruan.

Tanggal 15 September 2009 kemarin terjadi insiden yang sangat memilukan di depan rumah H. Syaichon di Pasuruan. Sekitar 6000 orang, kebanyakan ibu-ibu rumah-tangga, berdesak-desak untuk memperoleh pembagian uang zakat yang nilainya sekitar Rp. 30.000 sampai Rp. 40.000,-. Pembagian zakat belum berlangsung, tetapi jatuh korban hingga 21 orang meninggal, dan 16 orang luka-luka. (Pikiran Rakyat, 16 September 2009). Kebanyakan yang meninggal akibat kekurangan oksigen dan terluka karena terinjak-injak manusia.

Pasca kejadian ini, seperti biasa media-media massa sangat cekatan dalam mencari “kambing hitam”. Selain menyalahkan polisi, pihak yang dianggap paling bersalah disini adalah keluarga H. Syaichon sendiri. TVOne dalam siaran berita “Kabar Petang” pada hari itu dan diskusi malam, “Apa Kabar Indonesia”, jelas-jelas menyudutkan H. Syachon. Rahma Sarita dari TVOne dan M. Syafei Antonio yang disebut-sebut sebagai pakar ekonomi Syariah terus menyudutkan H. Syaichon. Bahkan Syafei Antonia sampai menunjukkan “7 keburukan” di balik penyaluran zakat secara langsung, ala H. Syaichon itu.

Memang dunia ini semakin aneh. Ketika sebagian besar orang kaya Muslim di Indonesia bersikap koret dan pelit, lalu ada sebagian pihak yang tulus membagikan zakatnya, untuk menolong warga sekitar, malah disalahkan. Padahal semua itu sudah dilakukan sejak tahun 1975 dengan tidak ada insiden; baru di tahun 2008 ini ketika tekanan kemiskinan sudah mencapai titik nazhir, baru ada insiden. Menyalahkan orang yang berbuat baik dengan tidak mampu memberi solusi kongkret adalah “madzhab agung” yang selama ini paling laku di Indonesia.

Baca entri selengkapnya »


Sebuah Kesalahan Sangat Mengganggu

September 9, 2008

Dalam tradisi Islami kita diajarkan, kalau mau menyampaikan suatu pembicaraan di depan majlis, di depan hadirin atau forum, terlebih dulu membaca kalimat Iftitah (pembukaan) yang isinya berupa tahmid dan shalawat. Bahkan dalam penulisan buku, artikel, atau surat, kalimat pembukaan seperti itu juga sering digunakan. Selain tujuannya mengikuti Sunnah Nabi, juga mengharapkan barakah dalam pembicaraan atau pertemuan yang diadakan. Alhamdulillah, majlis yang dimulai dengan kalimat-kalimat yang baik jarang sekali berakhir dengan kekeruhan, pertikaian, atau pertengkaran.

Kita tentu bersyukur ketika banyak orang mencoba menghidupkan tradisi mengucapkan kalimat pembukaan Islami ini. Para dai, muballigh, penceramah, guru, hingga para MC, sering memulai majlis dengan membaca kalimat hamdalah dan shalawat. Bahkan orang-orang yang ‘nyari sumbangan’ di bis-bis juga sering menggunakan kalimat yang sama.

Tapi disini ada sebuah kekeliruan yang sangat mengganggu. Sebenarnya, kita menghargai kesungguhan mereka untuk mengucapkan kalimat Iftitah Islami, tetapi ketika terjadi kesalahan yang berulang-ulang, kita merasa risih juga. Nah, dalam tulisan sederhana ini, semoga bisa menjadi koreksi bermanfaat. Amin.

Sebagian orang sering memulai pembicaraannya dengan kalimat berikut:

Innal hamda lillah, wa bihi nasta’inuhu ‘ala umurid dunya wad din, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.

Kalimat di atas kelihatan benar, padahal tidak. Kalau diterjemahkan kurang lebih artinya sebagai berikut: “Sesungguhnya pujian adalah untuk Allah, kepada-Nya kami memohon pertolongan dalam urusan dunia dan agama (ad din), dan bagi keluarganya dan shahabatnya semua. Adapun sesudah itu.”

Anda perhatikan letak kesalahannya?

Ya benar, setelah memohon pertolongan kepada Allah dalam urusan dunia dan agama, tiba-tiba muncul kalimat, “wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du” (dan bagi keluarga dan para Shahabatnya semua. Adapun sesudah itu).

Letak kesalahan:

(1) Kalimat tersebut terputus di tengah jalan, sehingga tidak enak didengar dan dipahami. Tiba-tiba saja muncul “wa ‘ala alihi wa shahbihi aj’main”.
(2) Kalau kita memaksakan untuk memahami kalimat tersebut, ia bisa bermakna syirik, sebab kata “hi” dalam kalimat di atas kembalinya kepada Allah. Sedangkan Allah tidak memiliki keluarga dan Shahabat, Dia Maha Satu.

Setidaknya, kalimat di atas tidak enak didengar, maknanya terputus di tengah jalan. Menurut kaidah Bahasa Arab, kalimat demikian bukan termasuk kalimat bahasa Arab yang fasih (benar susunan dan sempurna artinya).

Sebenarnya, kita tahu bahwa disana ada kalimat shalawat yang tidak diucapkan. Hilangnya kalimat shalawat itu membuat urusan menjadi tidak enak. Seharusnya, secara lengkap kalimat itu bunyinya sebagai berikut:

Innal hamda lillah, wa bihi nasta’inuhu ‘ala umurid dunya wad din, was shalatu was salamu ‘ala Muhammadin, wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in. Amma ba’du.

Jadi disana ada kalimat “was shalatu was salamu ‘ala Muhammadin” (dan shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad) yang tidak terucapkan, sehingga akibatnya sangat tidak mengenakkan.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Kemungkinan besar, karena kata ad din sangat mirip bunyi akhirnya dengan kata Muhammadin, sehingga para penceramah atau MC tidak memperhatikan hal itu secara seksama. Singkat kata, mereka mengucapkan kalimat Iftitah lebih karena hafalan atau ikut-ikutan. Wallahu a’lam.

Anda jangan merasa heran, kekeliruan seperti ini bukan hanya terjadi pada MC-MC yang baru latihan, tetapi juga bisa terjadi pada ustadz-ustadz, khatib Jum’at, atau penceramah di forum-forum penting. Semoga koreksi ini bisa menjadi pelajaran dan manfaat. Amin. Walhamdulillah Rabbil ‘alamin.

Bandung, 8 September 2008. [ A.M.W ].


Tafsir Tematik ‘Ayat Shaum’

September 9, 2008

Alhamdulillah, kita telah diberi anugerah oleh Allah untuk merasakan, menyaksikan, dan menjalankan Shiyam Ramadhan sejak masih kecil. Hanya karena karunia Allah belaka, semua ini bisa terjadi. Alhamdulillah.

Tentu Anda sekalian telah sangat hafal dan sangat sering mendengar sebuah ayat dalam Surat Al Baqarah yang berisi tentang perintah menjalankan Shiyam Ramadhan. Ayat itu adalah:

Ya aiyuhal ladzina amanu kutiba ‘alaikumus shiyamu kama kutiba ‘alal ladzina min qablikum la’allakum tattaquun.

(Terjemah: “Wahai orang-orang beriman, diwajibkan atas kalian puasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” Surat Al Baqarah: 183).

Ayat di atas adalah primadonanya majlis Ramadhan. Hampir setiap khutbah, ceramah, pelajaran, tulisan, nasehat, taujih, atau apapun yang berkaitan dengan Shiyam Ramadhan, selalu mengangkat ayat di atas. Dan hal ini menjadi salah satu syi’ar besar bagi bulan Ramadhan dan kewajiban Shiyam di dalamnya. Begitu seringnya kita mendengar ayat di atas, sehingga atas ijin Allah, kita hafal ayat itu, meskipun tidak ada kesengajaan untuk menghafalkannya.

Namun yang saya perhatikan, jarang ada yang mau menjelaskan ayat tersebut secara terperinci. Rata-rata hanya dibacakan ayatnya, dikembangkan tafsirnya, atau diberi sedikit-sedikit catatan. Padahal dari apa yang saya pahami, ayat di atas sangat potensial untuk dijelaskan secara terperinci, dan buah penjelasan itu insya Allah sangat bermanfaat bagi Ummat.

Ketika membaca Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Taisir Karimir Rahmaan As Sa’diy, ternyata di kedua rujukan tafsir itu juga tidak ada penjelasan secara terperinci. Dalam Tafsir As Sa’diy malah dianggap sudah jelas, sehingga tidak perlu ditafsirkan lagi. Mungkin, dalam Tafsir Ibnu Jarir At Thabari penjelasan terperinci itu ada. Atau mungkin dalam Al Kasyaf karya Az Zamakhsyari yang terkenal dari sisi gramatika Bahasa Arabnya, penjelasan terperinci itu ada. (Az Zamakhsyari dikenal sebagai ulama tafsir yang ahli gramatika Arab, tetapi berpaham Mu’tazilah/rasionalis). Namun untuk saat ini saya belum bisa mengakses kedua tafsir tersebut.

Ada rasa penasaran yang kuat jika tidak menyampaikan hal ini. Selain karena kandungan ayat tersebut sangat agung, ia sangat sering dibahas di berbagai majlis Ramadhan. Sayang sekali, jika sesuatu yang begitu sering dibahas tidak dijelaskan lebih lengkap. Meskipun tentu, apa yang ditulis ini sifatnya pendapat juga; bisa benar, bisa juga salah. Saran, kritik, dan masukan, tentu sangat dihargai.

Setidaknya, semoga tulisan ini bisa menjadi dorongan kepada para ahli tafsir di Indonesia untuk menyampaikan kajian terperinci terhadap ayat yang menjadi primadona bulan Ramadhan tersebut.

Disini kita akan membahas Surat Al Baqarah 183 secara terperinci, yaitu membahas kata per kata, atau frasa per frasa. Penjelasan didasarkan atas ayat-ayat Al Qur’an, kaidah bahasa Arab, dan riwayat-riwayat tertentu.

Baca entri selengkapnya »