Sudah menjadi kenyataan yang berulang-ulang terjadi di masyarakat, yaitu perselisihan saat penentuan 1 Syawal, yaitu saat datangnya Hari Raya Idul Fithri. Hampir setiap tahun kaum Muslimin berselisih antara pendapat puasa yang 29 hari dan 30 hari. Sebagian menjadikan pengumuman Pemerintah Kerajaan Saudi sebagai patokan, sebagian lain menanti pengumuman Idul Fithri dari Pemerintah RI, melalui pengumuman Departemen Agama RI. Tetapi ada juga komunitas-komunitas tertentu yang selalu nyeje dewe (tampil beda). Mereka berpuasa sebelum orang lain berpuasa, dan berhari-raya sebelum orang lain berhari raya.
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) paling sering berbeda dengan Departemen Agama RI. Mereka mengikuti patokan hari-raya Pemerintah Kerajaan Saudi, dengan pertimbangan, kalau di sebuah negara Muslim sudah ada keputusan penentuan hari raya yang valid, maka negara-negara lain tinggal mengikuti saja. Ustadz Abu Bakar Ba’asyir sewaktu masih ditahan di Cipinang pernah mengimami shalat hari raya yang berbeda dengan keputusan Pemerintah RI. Sedangkan Wahdah Islamiyyah (WI) dalam pendapat fiqihnya menjelaskan, bahwa pendapat terkuat disini adalah mengikuti pengumuman dari Penguasa (Pemerintah RI, khususnya Depag. RI). Disebutkan disana esensi sikap Islami, bahwa kebersamaan bersama mayoritas kaum Muslimin lebih baik daripada pendapat individu, meskipun pendapat itu benar. Jika di suatu negeri telah dinyatakan berhari raya pada suatu hari oleh penguasa, lalu ada seseorang yang mengaku telah melihat hilal (awal Syawal), maka orang itu secara pribadi boleh membatalkan puasa, tetapi tidak boleh merusak keputusan umum yang sudah berjalan.
Kalau Muhammadiyyah lain lagi. Sejak lama ormas Islam yang berpusat di Yogya ini menganut sistem hisab (perhitungan). Mereka konsisten dengan perhitungan hisab, apapun yang terjadi. Mereka bisa ikut Pemerintah, kalau keputusan Pemerintah sesuai perhitungan hisab mereka; bisa ikut Pemerintah Saudi, kalau keputusan disana juga sesuai hisab mereka; bahkan bisa mengakhirkan hari raya, jika hal itu sesuai perhitungan hisabnya. Muhammadiyyah sejak lama konsisten dengan metode hisab. Jika mengikuti perintah Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam, penentuan awal Ramadhan dan Syawal, bi ru’yatil hilal (dengan melihat hilal).
Disini saya akan mencoba sumbang-saran, semoga bermanfaat untuk mengetahui sesuatu yang lebih mashlahat. Tetapi jika pandangan ini dianggap keliru, saya insya Allah siap rujuk dengan pendapat yang lebih kuat (rajih).
Patokan ‘Melihat Al Hilal’
Mengawali puasa Ramadhan dan mengakhirinya, haruslah dengan ru’yah al hilal (melihat bulan baru). Hal ini merupakan perintah Nabi. Dalam beberapa hadits Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam mengatakan:
“Berpuasalah kalian dengan melihatnya (al hilal), dan berbukalah kalian (di awal Syawal) dengan melihatnya. Maka jika ia (hilal itu) terhalangi dari pandangan kalian, maka lengkapkan bilangan Sya’ban sampai 30 hari.” (HR. Bukhari).
“Jika kalian melihatnya (al hilal di awal Ramadhan) maka berpuasalah, dan jika kemudian kalian melihatnya (lagi di awal Syawal) maka berbukalah. Maka jika ia terhalang, maka perkirakanlah.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasai, Ibnu Majah).
Pernah datang seseorang kepada Rasulullah, memberitahukan bahwa dia telah melihat hilal awal Ramadhan. Lalu Rasulullah bertanya kepada orang itu, apakah dia telah bersyahadat (menjadi seorang Muslim)? Dia menjawab ya. Maka Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Bilal, umumkan kepada manusia, agar mereka besok mulai berpuasa!” (HR. Lima Ahli Hadits, selain Ahmad).
Kalau membaca teks di atas, ru’yatul hilal itu pilihan satu-satunya. Rasulullah menggunakan kata-kata perintah “berpuasalah”, “umumkanlah”. Artinya, beliau tidak mengatakan, “Bagi yang mau, silakan puasa besok! Maka yang tidak mau, silakan digenapkan 30 hari.” Beliau tidak mengatakan kalimat seperti itu, sehingga tidak ada pilihan lain, selain ru’yatul hilal. Kecuali jika ru’yatul hilal gagal karena langit terhalang mendung, baru menggunakan metode istikmal (bilangan bulan digenapkan sampai 30 hari).
Metode hisab diakui dalam Islam. Disebutkan dalam Al Qur’an, “Dialah (Allah) yang telah menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya, dan Dia telah menetapkan baginya (bulan itu) lintasan-lintasan, agar kalian bilangan tahun dan hisab (perhitungan ilmu falak).” (Yunus: 5).
Namun hisab di atas sifatnya umum untuk seluruh bulan-bulan dalam setahun. Sedangkan khusus untuk memulai Ramadhan dan mengakhirinya, Rasulullah telah memerintahkan dan mencontohkan dengan ru’yatul hilal. Surat Yunus ayat 5 di atas bersifat umum, lalu dikhususkan dengan perintah Nabi untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal dengan ru’yatul hilal. Jika tidak demikian, berarti kita mengikuti Syariat selain Syariat Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam.
Dapat disimpulkan, memutlakkan metode hisab, termasuk dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal adalah KELIRU. Ramadhan dan Idul Fithri bukanlah masalah muamalah, tetapi masalah ibadah. Pendekatan ibadah telah memiliki kaifiyah (cara praktik) yang tinggal dilaksanakan, tidak perlu direka-reka lagi.
Bahkan seandainya para ahli hisab (kalender) di dunia sudah sepakat pada suatu hari untuk menentukan awal Ramadhan, sehingga tidak perlu melakukan ru’yatul hilal, maka kesepakatan itu harus ditolak, sebab menyalahi Sunnah Rasulullah shallallah ‘alaihi wa sallam. Posisi hukum Rasulullah lebih kuat daripada kesepakatan siapapun yang menyalahi Sunnah-nya.