Heroisme Sang Mujahid Agung

September 18, 2012

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Alhamdulillah, alhamdulillah, walhamdulillah. Allah Ta’ala memiliki banyak cara untuk membela hamba-Nya. Ketika manusia (seindonesia) berkonspirasi untuk menghancurkan nama baik dan kehormatan Al Ustadz Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo rahimahullah; maka Dia memiliki cara-Nya untuk memuliakan beliau. Melalui buku “Hari Terakhir Kartosoewirjo” yang ditulis oleh Fadli Zon; melalui pameran foto-foto seputar eksekusi beliau pada tahun 1962; melalui bedah buku dan seterusnya; alhamdulillah akhirnya terkuaklah banyak fakta sejarah yang selama ini disembunyikan.

Sebagian besar manusia (Muslim) di Indonesia selama ini berprasangka buruk terhadap sosok almarhum SM. Kartosoewirjo. Mereka melontarkan tuduhan-tuduhan tak berdasar. Alhamdulillah, dengan segala pertolongan Allah banyak sisi suram “cerita sejarah” itu yang harus dihapus, diganti kisah lain yang lebih benar dan tidak dusta. Tampaknya bangsa Indonesia harus menulis ulang ulasan sejarahnya seputar sosok SM. Kartosoewirjo dan gerakan Daarul Islam-nya.

Sang Mujahid Agung: Membela Prinsip Islam Sampai di Tiang Eksekusi.

Berikut ini poin-poin apresiasi dan analisis yang bisa kami sampaikan, terkait pengungkapan 81 foto-foto eksklusif yang semula merupakan rahasia negara itu. Bentuk apresiasi ini adalah upaya nyata untuk mulai menulis sejarah tokoh Islam dengan cara pandang yang benar; meskipun musuh-musuh Islam alergi terhadapnya. Kalau mereka alergi, setidaknya kita perlu berkata jujur kepada kaum Muslimin dan kemanusiaan manusia di dunia.

[1]. Imam SM. Kartosoewirjo ternyata adalah pribadi yang sederhana, biasa, tidak berbeda dengan manusia-manusia Indonesia yang lain. Ada yang mengatakan, sosoknya seperti petani. Begitu pula, keluarga beliau juga sederhana, termasuk istri dan anak-anaknya. Namun harus diakui, beliau adalah sosok pemimpin revolusi Islam terbesar di Indonesia. Gerakan Daarul Islam (DI) merupakan gerakan politik-militer yang paling luas pengaruhnya. Ia berpengaruh di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, Kalimatan Selatan, hingga Nusa Tenggara. Dibandingkan gerakan PKI,  ia hanya dominan di Jakarta dan Jawa Timur saja. PRRI/Permesta hanya di Sumatera Barat, RMS hanya di Maluku, dan seterusnya.

[2]. Sampai akhir hidupnya, SM. Kartosoewirjo konsisten dengan garis perjuangannya. Beliau membela perjuangannya, sampai di depan regu tembak. Hal ini mengingatkan kepada tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang pada tahun 60-an banyak dieksekusi mati oleh rezim Gamal Abdul Naser. Imam Daarul Islam itu tidak pernah mundur dari sikapnya dan bersedia mempertanggung-jawabkan perjuangannya sampai titik darah penghabisan. Ketika diputuskan dia harus divonis mati, pihak pengadilan menawarkan dirinya untuk pergi kemana saja, sekali pun ke Amerika; selagi tidak ada urusan politik. Namun beliau menolak, karena yang dia inginkan adalah: segera bertemu Allah untuk memastikan apakah perjuangannya benar atau salah? Lihatlah manusia yang fisiknya tampak ringkih ini; dia sangat kuat dalam memegang prinsip dan tidak menyesal. Berbeda dengan umumnya aktivis-aktivis Islam yang semula idealis, lalu perlahan-lahan menjadi pragmatis dan menjual agama dengan harga murah. Nas’alullah al ‘afiyah.

[3]. Dalam kapasitasnya sebagai “musuh negara” yang dianggap paling berbahaya; ternyata SM. Kartosoewirjo tampak dihormati, dihargai, dan dimuliakan oleh orang-orang yang berurusan dengan eksekusinya. Mereka tampak hening, berdiri rapi, penuh khidmat memberikan penghormatan terakhir. Setelah wafat, beliau dimandikan dengan air laut, lalu dishalatkan dan dimakamkan secara Islami. Bahkan sejak diantar ke Pulau Ubi, beliau diperlakukan secara baik. Hal ini menandakan, bahwa orang-orang yang berurusan dengan eksekusinya tidak yakin sepenuhnya, bahwa beliau salah. Kalau mau jujur, SM. Kartosoewirjo adalah “anak kandung” dari TNI (dulu BKR atau TKR). Beliau itu semula berada dalam barisan TNI, berjuang menjaga wilayah Jawa Barat.

[4]. Dalam segala kesederhanaannya, ternyata kharisma SM. Kartosoewirjo sangat menakutkan bagi rezim yang berkuasa (Orde Lama dan Orde Baru). Mereka begitu ketakutan, sehingga harus menyembunyikan dimana lokasi eksekusi; apakah di Pulau Onrust atau di atas kapal laut? Bahkan di Pulau Onrust, mereka buat dua pusara palsu, dengan label “makam Kartosoewirjo”. Sebegitu takutnya mereka, sehingga harus membuat sandiwara-sandiwara seperti itu. Bahkan Pulau Ubi dimana eksekusi diadakan dan pusara SM Kartosoewirjo ada disana; pulau itu kalau laut saat pasang, tidak akan tampak di permukaan. Masya Allah, sebegitu takutnya musuh-musuh politik Imam Darul Islam itu; mungkin mereka nyadar, kalau dirinya memang salah.

[5]. SM. Kartosoewirjo rahimahullah dituduh dengan 3 perkara, yaitu: a. Beliau melakukan pemberontakan; b. Beliau berniat membunuh Presiden Soekarno; c. Beliau ingin lepas dari Indonesia. Atas tuduhan ini, beliau akui tuduhan pertama, dan beliau tolak dua tuduhan terakhir. Dengan demikian, kita tidak boleh menyimpulkan bahwa gerakan Daarul Islam bertujuan separatisme (memisahkan diri dari NKRI). Daarul Islam tetap dalam lingkup keindonesiaan dan tidak ingin memisahkan diri dari NKRI. Kalau mau dikembangkan secara politik; mestinya DI/TII jangan dituduh sebagai pemberontak; tapi anggaplah ia sebagai aspirasi politik sebagian kaum Muslimin yang menuntut otonomi, untuk mengatur wilayahnya dengan sistem Islam. Kalau daerah lain ingin memakai sistem sekuler atau non Islami, ya itu silakan saja. Hanya saja, berikan otonomi kepada Daarul Islam untuk mengatur wilayahnya dengan sistem Islami. Bukankah dalam sistem federasi hal semacam itu memungkinkan terjadi? Atau setidaknya dalam bentuk otonomi khusus.

[6]. SM. Kartosoewirjo dihukum mati berdasarkan keputusan pengadilan, yang dikukuhkan oleh persetujuan Presiden Soekarno. Soekarno sendiri sejatinya adalah mantan teman beliau, sebagai sesama murid HOS. Cokroaminoto di Surabaya. Bagi Soekarno, mengenyahkan kawan lamanya adalah keutamaan, meskipun yang bersangkutan berjuang demi Islam.

[7]. Sebelum dieksekusi mati, SM. Kartosoewirjo mengajukan 4 tuntutan, dan hanya tuntutan terakhir yang dipenuhi. Pertama, beliau ingin bertemu dengan para perwira bawahannya; Kedua, beliau ingin agar eksekusinya disaksikan pengikutnya atau keluarganya; Ketiga, beliau ingin jenazahnya diserahkan kepada keluarganya; Keempat, beliau ingin bertemu keluarganya, untuk terakhir kalinya. Ternyata, hanya tuntutan terakhir yang dipenuhi. Beliau sudah tua dan lemah; beliau sudah sedia dihukum mati; beliau tidak menuntut ingin kesana-kemari; tetapi itu pun beliau masih dizhalimi dengan tidak dipenuhi hak-haknya sebagai manusia yang wajar. Sekedar dimakamkan oleh keluarganya saja, tuntutan itu ditolak.

[8]. Bisa jadi keputusan Pemerintah RI untuk menghukum mati SM. Kartosoewirjo dianggap benar (menurut hukum positif dan vonis pengadilan). Tetapi mengapa di luar itu semua, SM. Kartosoewirjo masih dizhalimi sedemikian rupa? Tuntutan beliau yang manusiawi tidak dipenuhi; makamnya disamarkan di Pulau Onrust; dan dibuat catatan-catatan sejarah bohong seputar dirinya? Bukankah hal ini merupakan kezhaliman besar atas diri beliau? Akhirnya, kezhaliman itu terbongkar sudah, dengan dimuatnya foto-foto eksklusif seputar eksekusi Imam Daarul Islam. Ibarat menyembunyikan bau busuk, lama-lama akan tercium juga.

[9]. SM. Kartosoewirjo rahimahullah tidaklah ingin membubarkan NKRI, tidak ingin keluar dari Indonesia, atau ingin men-Daarul Islam-kan Indonesia. Tidak demikian. Beliau itu ingin menegakkan pemerintahan otonom berdasarkan Islam. Jika pemerintahan itu tegak, ia tetap berada dalam cakupan NKRI; hanya saja memiliki otonomi untuk membangun wilayah dengan nilai-nilai Islam. Hal ini bukan tanpa alasan. Alasannya ialah lemahnya bargaining Soekarno-Hatta di mata Belanda (NICA). Mereka mau menanda-tangani perjanjian Renville dan KMB (Konferensi Meja Bundar) yang isinya amat sangat melukai hati bangsa Indonesia. Melalui Renville, wilayah RI hanya seputaran Yogya saja; selebihnya wilayah RIS. Pasukan TNI harus ditarik ke Yogya semua, sehingga hal itu membuka peluang bagi NICA untuk menguasai wilayah-wilayah di luar RI. Melalui KMB, bangsa Indonesia harus mengakui bahwa kemerdekaan RI merupakan hasil pengakuan dari Belanda; padahal RI merdeka setelah berhasil mengusir Jepang dari Tanah Air. Belanda sejak awal tahun 1940-an sudah diusir dari Indonesia oleh Jepang. Di sisi lain, RI harus menerima beban hutang Belanda akibat terlibat dalam Perang Dunia II dan perang-perang lainnya. Beban hutang ini tidak pernah disampaikan oleh para sejarawan. Ekonom UGM, Revrisond Baswir sering menyinggung posisi hutang peninggalan KMB ini. SM. Kartosoewirjo tidak mau menerima semua perjanjian yang merusak bangsa dan negara itu. Tetapi beliau lalu disudutkan sebagai “pemberontak”. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

[10]. Di balik pendirian Daarul Islam, ada satu SPIRIT yang tidak dipahami bangsa Indonesia, sejak dulu sampai kini. Akibat tidak dipahami masalah ini, akibatnya sangat fatal. Bahwa sejak awal, SM. Kartosoewirjo amat sangat membenci sikap tunduk kepada penjajah; beliau tidak mau menyerahkan wilayah walau sejengkal saja kepada penjajah. Beliau tidak mau dihina, karena harus “merdeka lewat pengakuan Belanda”. Wong, sudah merdeka sendiri kok, masih harus membutuhkan pengakuan Belanda? Beliau anti menanggung hutang-hutang Belanda, karena itu sama dengan memikulkan hutan orang kafir ke punggung anak-cucu sendiri. Tetapi tabiat beliau berbeda dengan Soekarno-Hatta yang dididik oleh pendidikan penjajah di negeri Belanda sana. Beliau tidak mau tunduk kepada penjajah, sedangkan Soekarno-Hatta suka dengan penjajahan (dalam model berbeda). Akhirnya kini bangsa Indonesia di zaman Reformasi (tahun 2012) ini bisa melihat, siapa yang lebih benar sikap politiknya; Soekarno-Hatta atau SM. Kartosoewirjo? Di zaman ketika kini bangsa Indonesia sudah dijajah di berbagai sektor oleh negara-negara asing ini, mestinya kita harus menangisi hasil perjanjian Renville dan KMB. Dua perjanjian laknat itulah yang menghantarkan bangsa Indonesia kini kehilangan hakikat kemerdekaan, setelah sebelumnya merasakan kemerdekaan.

[11]. Banyak orang bertanya-tanya: “Siapakah yang menyerahkan foto-foto eksklusif itu kepada Fadli Zon? Siapa dia? Bagaimana ceritanya? Dan mengapa dia lakukan tindakan itu?” Saudaraku, kita tidak tahu apa alasan hakiki si pemberi (penjual) foto itu. Tapi kita yakin, dia pernah secara langsung atau tidak berhubungan dengan orang-orang yang menjadi saksi eksekusi pada tanggal 5 september 1962 itu. Dia mungkin punya hubungan dengan kameramen yang membuat foto-foto itu; atau dia berhubungan dengan pusat penyimpanan dokumentasi negara; atau dia pernah secara mujur menemukan foto-foto itu berserakan sebagai barang tak berguna, lalu dia lihat dan amati nilai historisnya, lalu disimpannya. Yang jelas, sumber foto itu sangat ingin memberi tahu bangsa Indonesia sejarah yang jujur tentang eksekusi SM. Kartosoewirjo dan kebenaran seputarnya. Hal ini tentu karena ia telah digerakkan oleh Allah Ta’ala untuk mengungkapkan sejarah yang sebenarnya. Begitu gelisahnya sumber foto itu mendengar sejarah yang palsu dan penuh racun; sehingga menjadi tugas kemanusiaan baginya, untuk mengungkap fakta sebenarnya. Khusus bagi Bang Fadli Zon, beliau juga layak diberi pujian, apresiasi, dan penghargaan atas pengungkapan fakta-fakta itu. Semoga Allah Ta’ala memberi mereka balasan pahala sesuai kebaikan-kebaikan yang dilakukannya. Amin Allahumma amin.

Namun pujian dan apresiasi ini tidak berlaku bagi gerakan sempalan NII yang faksinya bermacam-macam, lalu muaranya ke Ma’had Al Zaytun di Indramayu, yang dipimpin oleh Abu Toto (Syech Panji Gumilang) itu. NII model begini adalah termasuk aliran sesat-menyesatkan yang dibentuk oleh infiltrasi penguasa, melalui tangan Ali Mutopo dan Pitut Soeharto. Apa yang kita apresiasi ialah gerakan Daarul Islam asli, di bawah pimpinan Al Ustadz SM. Kartosoewirjo rahimahullah, yang berdiri tegak di atas missi politik Islami, latar belakang sejarah, serta spirit anti penjajahan.

Sebagai penutup tulisan ini, dalam Al Qur’an Allah Ta’ala berfirman: “Wa tu’izzu man tasya’u wa tudhillu man tasya’u, bi yadikal khair innaka ‘ala kulli syai’in qadiir” (dan Engkau -ya Allah- memuliakan siapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki; di Tangan-Mu segala hakikat kebaikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu). [Surat Ali Imran].

Demikianlah, manusia-manusia jahat bermaksud menodai dan merusak kehormatan SM. Kartosoewirjo rahimahullah; namun Allah dengan segala cara-Nya hendak memuliakan hamba-Nya. Dia adalah Sang Mujahid Agung, sosok kesatria yang rela mati sampai titik darah penghabisan, demi membela cita-cita politik Islami. Bangsa Mesir memiliki mujahid Sayyid Quthb rahimahullah; bangsa Libia memiliki Umar Mukhtar rahimahullah; bangsa Rusia memiliki Imam Syamil rahimahullah; bangsa Palestina memiliki Syaikh Ahmad Yasin dan Syaikh Izzudiin Al Qasam rahimahumallah; bangsa Pakistan memiliki Presiden Ziaul Haq rahimahullah; bangsa Turki memiliki Najmuddin Erbakan rahimahullah; bangsa Suriah memiliki Ustadz Marwan Hadid rahimahullah; maka kaum Muslimin Indonesia memiliki sosok Mujahid Agung: Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo rahimahullah.

SM. Kartosoewirjo adalah sosok komandan militer, imam, sekaligus ideolog Daarul Islam yang tiada duanya di dunia Islam. Nyaris tidak dijumpai perjuangan dengan konsep Daarul Islam di masa lalu, di negeri-negeri Muslim lain, selain hanya di Indonesia. Pemimpin-pemimpin Ikhwanul Muslimin di Mesir, secara akidah mereka sepakat dengan konsep Daarul Islam; tetapi secara perjuangan militer, mereka belum sampai kesana. Ingatlah keistimewaan ini wahai Muslimin Nusantara!

Semoga sekilas tulisan ini bermanfaat dan menjadi refleksi iman dan sejarah, bagi kita semua. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.

Jakarta, 18 September 2012.

AM. Waskito.


Catatan Sejarah Berharga

Mei 9, 2011

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Baru-baru ini eramuslim.com memuat sebuah tulisan sangat berharga, tentang setting sejarah munculnya gerakan Neo NII. Artikel itu ditulis oleh Saudara Muhammad Fatih, isinya bisa dibaca disini: NII, Komando Jihad, dan Orde Baru: Untold Story.

Tulisan ini sangat menarik, sangat berharga, dan layak dibaca oleh para aktivis Islam, serta kalangan para dai-dai di jalan Allah Ta’ala. Sebagian dari yang dituturkan disana sudah pernah saya dengar dari sebagian aktivis Muslim, tetapi dalam tulisan itu data-data dan nama disebutkan secara detail. Ini kelebihannya daripada penuturan melalui lisan.

Pentingnya Menjernihkan Sejarah Ummat

Saya menghimbau para aktivis Islam, para pejuang Muslim, para dai untuk mengkopi tulisan itu, dan menyimpan sebagai dokumentasi dakwah Islam. Ini sangat penting dan di dalamnya terdapat banyak kebaikan yang bisa diambil sebagai hikmah, insya Allah.

Secara umum, NII sudah dibubarkan oleh Pemerintah Orde Lama (Soekarno) sejak Al Ustadz SM. Kartosoewirjo dieksekusi mati -semoga Allah merahmati beliau dan menerima amal-amalnya-. Tetapi tidak berarti seluruh kekuatan NII SM. Kartosoewirjo pupus. Tidak sama sekali. Masih ada sisa-sisa kekuatan, baik di kalangan pimpinan maupun pendukung grassroot.

Nah, sisa-sisa pendukung NII itu terbelah dua. Pertama, sisa kekuatan yang bisa dibina, direkrut, dan diarahkan oleh intelijen (Bakin). Kedua, sisa kekuatan yang ingin meneruskan idealisme NII SM. Kartosoewirjo. Dan kelompok terakhir itu dikenal sebagai Darul Islam Fillah. Atau disebut juga “Kelompok Fillah”. Kelompok ini dipimpin oleh Ustadz Djadja Sudjadi dan lainnya. Selain militan, mereka juga anti sikap kooperasi (kerjasama).

Namun kemudian pimpinan “Kelompok Fillah” itu dibunuh, sehingga yang bertahan kuat adalah kelompok NII hasil didikan Bakin dan sebagainya. Nasib “Kelompok Fillah” selanjutnya tidak banyak diketahui. Namun munculnya gerakan-gerakan yang mengatasnamakan NII, yang banyak membawa paham sesat itu, tak lain sebagai buah rekayasa intelijen di era Orde Baru.

Konon ceritanya, Ustadz Djadja Sudjadi sudah disiapkan tiket pesawat agar segera pergi meninggalkan Indonesia. Tetapi sebelum tiket sampai di tangannya, beliau sudah keburu dibunuh.

Belakangan, Fahri Hamzah, salah seorang anggota DPR Fraksi PKS berkomentar tentang Negara Islam. Kepada media, Fahri mengatakan, “Siapa pun konsep negara agama tak ada, PKS juga sudah menegaskan itu. Tak ada negara Islam, Kristen, atau Hindu. Itu ide kampungan sekali.” Berita ini dikutip berbagai macam media online. Ramai beritanya di forum-forum diskusi.

Intinya, Fahri ingin menyelamatkan PKS dari serangan politik, terkait NII. Tapi caranya dengan mendestruksi ajaran Islam yang sudah baku, berupa Negara Islam atau Daulah Islamiyyah.

Seorang Muslim tidak boleh seperti itu, kalau masih sayang dengan agamanya. Menyebut Negara Islam kampungan sekali, ya sama saja dengan mencela Rasulullah Saw, mencela Khulafaur Rasyidin, serta mencela Imam-imam kaum Muslimin selama ribuan tahun.

Apa hukumnya menyebut ajaran Islam, yang bersumber dari Kitabullah dan As Sunnah, dengan ucapan “kampungan sekali”? Ya, jelas sekali, ini adalah penghujatan yang dalam terhadap ajaran Islam. Anda tahu lah, bagaimana hukumnya manusia yang menghujat agama Allah.

Rasulullah Saw ketika dalam peristiwa Fathu Makkah, beliau memberikan amnesti umum kepada kaum musyrikin Makkah. Tetapi beliau tidak bisa memaafkan beberapa person orang Makkah yang telah menghujat Allah dan Rasul-Nya. Mereka dihukum mati.

Simbol-simbol Islam harus dijaga, dipelihara, dan diperlakukan secara suci. Tidak boleh ada yang menghujat Allah, Rasulullah Saw, menghujat Al Qur’an, menghujat Hadits Nabi Saw, menghujat ajaran Syariat Islam, menghujat para Shahabat Ra, menghujat konsep Islam, dan lain-lain.

Dalam hal ini Fahri Hamzah tidak memiliki udzur sama sekali. Dia tidak dimaafkan kalau mengatakan tidak tahu atau tidak mengerti ajaran Islam. Sebab usia Daulah Islamiyyah itu sudah ribuan tahun. Sejarah Nabi dan Shahabat, banyak diungkap dimana-mana. Apalagi dia adalah seorang politisi dari “partai dakwah” (kalau masih begitu ya).

Akhirnya, sejarah kaum Muslimin di negeri ini HARUS DILURUSKAN kembali. Apa yang dilakukan oleh Muhammad Fatih, merupakan salah satu upaya pelurusan itu. Semoga ia menjadi amal mulia di sisi Allah. Amin. Sedangkan pernyataan Fahri Hamzah, merupakan pernyataan negatif yang membuat sejarah itu keruh kembali. Sebagian ada yang menjernihkan; sebagian terus setia mengotori.

Begitulah ihwan insan. Ada yang berjalan istiqamah lurus, ada yang tersesat. Na’udzubillah minad dhalalah.

AM. Waskito.


Gerakan Islam: Antara “Bis Kota” dan “Motor Baru”

Agustus 1, 2010

Tulisan ini terinspirasi dari sebuah artikel yang dimuat di eramuslim.com. Judul artikel tersebut ialah: Bagaimana Pola Perjuangan Menegakkan Islam? Artikel ini dimuat di eramuslim.com pada 1 Juli 2010.

Isi artikel ini antara digambarkan tentang garis perjuangan SM. Kartosoewirjo rahimahullah dan Darul Islam-nya di Jawa Barat, yang kemudian diikuti sebagian kaum Muslimin di provinsi-provinsi lain. Ending perjuangan ini, kandas dibabat oleh kekuatan militer. Kemudian ada partai Masyumi yang meraih suara significant di era Pemilu 1955 dan perjuangan mereka di tingkat Konstituante. Namun Masyumi juga dihabisi oleh kedigdayaan politik Soekarno dan Soeharto. Lalu pasca Reformasi, muncul gerakan politik melalui tokoh-tokoh seperti Amien Rais, Hamzah Haz, PAN, PPP, PBB, PKB, termasuk PKS. Intinya, dalam gerakan politik kontemporer ini selain hasilnya tidak jelas, para pengusungnya juga tidak istiqamah.

Nusantara ibarat "bis kota" yang bisa memuat banyak penumpang.

Di akhir tulisan, redaksi eramuslim.com mengajukan pertanyaan yang sangat menarik, sebagai berikut: “Dengan pola yang dilakukan Sekarmaji Kartosuwiryo perjuangan menegakkan Islam dengan kekuatan senjata mengalami kegagalan, dan melalui pola parlemen juga mengalami kegagalan, dan bahkan partai-partai Islam yang ada telah mengubah indentitas mereka. Bagaimana pola perjuangan umat Islam di masa depan dalam menegakkan Islam di Indonesia, sampai terwujudnya sistem dan nilai Islam yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan ini?

Pertanyaan terakhir ini sangat menarik, “Bagaimana metode perjuangan kaum Muslimin di Indonesia ke depan, agar meraih kemenangan?” Banyak orang menanyakan masalah ini; banyak yang telah bertahun-tahun mencari jawaban atas pertanyaan itu; bahkan sebagian Ummat ini telah mendirikan “kepemimpinan” di atas kepemimpinan formal yang ada saat ini.

Sebagian saudara kita telah ada yang mendirikan Kekhalifahan Islam di Indonesia, dengan pemimpin mereka disebut sebagai Amirul Mukminin. Dan gerakan kekhalifahan ini banyak juga pengikutnya. Semua ini menjadi bukti, bahwa apa yang ditanyakan oleh eramuslim.com tersebut banyak juga ditanyakan oleh kaum Muslimin yang lain.

Disini, saya tidak akan menunjukkan jawaban atas pertanyaan itu. Sebab, pertanyaan ini sifatnya terbuka bagi seluruh pejuang-pejuang Islam di Tanah Nusantara ini. Jadi sangat tidak adil, jika ia harus dijawab oleh orang per orang. Setiap Muslim yang memiliki komitmen, harapan, dan optimisme bagi kemenangan Islam, layak memikirkan pertanyaan tersebut.

Saya akan coba mengajukan sebuah ANALOGI untuk menguak inti masalah perjuangan Islam di negeri ini. Analogi ini dibangun dari kesadaran atas realitas perjuangan Islam selama ini. Persis seperti gambaran yang disebut oleh eramuslim.com dalam artikel itu. Analogi ini ibaratnya seperti JEMBATAN untuk menghantarkan Ummat memahami akar masalah perjuangannya. Selanjutnya, ya pejuang-pejuang Islam ini yang harus mencarikan jawabannya.

“BIS KOTA” dan “MOTOR BARU”

Kalau digambarkan, keadaan kaum Muslimin di Indonesia ini seperti sebuah bis kota yang melaju di lalu-lintas padat di Jakarta. Namanya lalu-lintas padat, pasti penuh dengan kemacetan. Nah, kemacetan itu bisa diibaratkan sebagai problema kehidupan kaum Muslimin selama ini. Semua orang berpikir, “Bagaimana caranya agar perjalanan kita lancar, cepat sampai di tujuan, tidak terus-menerus macet seperti ini?”

Dan alhamdulillah, kaum Muslimin diberi anugerah kendaraan, BIS KOTA. Namanya juga bis kota, ukuran besar, muat banyak penumpang, tetapi jalannya lelet alias lambat. Sedikit-sedikit macet, sedikit-sedikit macet…(bukan seperti kata komedian, “Macet kok sedikit-sedikit?”).

Saat terus dihambat oleh kemacetan ini muncul reaksi dari sebagian penumpang bis kota. “Sudahlah, bosan kita macet terus. Saban hari macet, macet, macet…mana tahan terus begini?” Sementara kondektur dan sopir terus saja mengulang-ulang nasehat yang sama, “Sabar Pak, sabar Bu, sabar Mbak, sabar Mas, sabar Dik, sabar bocah kecil, sabar…” Begitu terus, kondektur dan sopir tak kenal lelah memberi nasehat kesabaran.

Kemudian terpikirkan sebuah ide. “Daripada macet terus begini, bagaimana kalau kita membeli motor baru saja? Motor baru tubuhnya langsing, kecepatan gesit, pasti sangat handal di tengah lalu-lintas macet ini. Ayo kita jual saja bis kota ini, lalu duitnya kita belikan motor baru. Dijamin setelah itu kita tidak akan mengalami macet lagi.”

Ide membeli motor ini diterima oleh sebagian penumpang bis kota, tetapi ditolak mentah-mentah oleh sebagian penumpang yang lain. “Iiih, sayang banget. Buat apa menjual bis kota, lalu membeli motor baru? Bis kota jelas lebih mahal dari sebuah motor. Lagi pula, penumpang yang banyak itu mau dikemanakan? Apa Anda rela, penumpang sebanyak itu akan tercerai-berai, lalu mereka dibajak oleh mobil-mobil yang lain?”

Begitulah, terjadi ikhtilaf antara penumpang bis kota yang ingin menjual bis kota, lalu membeli motor baru. Di sisi lain, para fanatikus bis kota tetap teguh dengan pendiriannya. Mereka menolak menjual bis kota, sebab hal itu sama saja dengan resiko menerlantarkan banyak penumpang. Bagaimanapun kendaraan motor hanya bisa memuat sedikit penumpang.

Ikhtilaf seperti inilah yang melanda gerakan-gerakan Islam, setidaknya dalam kurun waktu 70 tahun terakhir. Kita tertawan oleh perdebatan seputar “bis kota” dan “motor baru”.

ISLAM dan NUSANTARA

Kita lahir dan tumbuh di Nusantara ini; sebuah bangsa yang besar, luas, sangat beragam kultur, dan memiliki kekayaan alam luar biasa. Nusantara ini anugerah besar dari Allah Ta’ala yang tak bisa diingkari. Namun besarnya Nusantara ini juga menjadi hambatan serius bagi bangkitnya sebuah peradaban Islam yang kaffah di negeri ini. Tidak semua kaum di Nusantara ini Muslim; sebagian mereka non Muslim. Lazimnya keyakinan non Muslim, mereka tidak mau dipimpin oleh sebuah kekuasaan Islam. Bahkan, dari kalangan “Muslim” pun banyak yang menolak berlakunya sistem Islam. [Ironis memang, tetapi itu kenyataan].

Garis perjuangan yang ditempuh oleh Darul Islam di bawah pimpinan Al Ustadz SM. Kartosoewirjo adalah seperti ide menjual bis kota, lalu membeli motor baru yang lebih gesit. Perjuangan Darul Islam bersifat teritorial, yaitu bermula di suatu daerah tertentu, dan kelak diluaskan ke daerah-daerah lain. Resiko perjuangan ini, bisa saja NKRI akan terpecah-belah. Minimal, akan terjadi konflik politik di tubuh bangsa ini. Dan hal itu sudah terbukti dalam fakta sejarah di masa lalu.

Adapun garis perjuangan Masyumi, tetap dalam koridor NKRI. Serupa dengan para penumpang yang sabar naik “bis kota”. Mereka ingin tetap Nusantara ini bersatu-padu, tidak terpecah-belah. Meskipun resikonya, negara ini lambat sekali mencapai kemajuan Islam. Ya, selambat gerakan bis kota di tengah kemacetan lalu-lintas padat Jakarta. “Lebih baik sabar dalam kemacetan, daripada NKRI terpecah-belah,” begitu ide dasarnya.

Dua pilihan ini sama-sama memiliki landasan ijtihad. Bagi Masyumi, bangsa NKRI ini masih bisa diperbaiki, dengan cara menegakkan Syariat Islam di wilayah-wilayah mayoritas Muslim di negeri ini. Meskipun untuk mencapai harapan itu, tidak tahu sampai kapan akan tercapai? Bagi Darul Islam, mereka memulai kehidupan Islam secara kaffah dari teritorial yang terbatas dulu. Kalau wilayahnya terlalu luas, lebih sulit dikontrol.

Masyumi bersikap sabar atas kesulitan-kesulitan perjuangan. “Sayang sekali kalau NKRI ini sampai terpecah-belah. Nanti yang akan rugi adalah kaum Muslimin sendiri.” Di sisi lain, Darul Islam bersikap sangat praktis dan realistik. “Kalau menunggu seluruh kawasan NKRI ini mau tunduk kepada Islam, sampai kapan kita menunggu? Kerugian-kerugian terus mendera kehidupan Ummat, sampai kapan akan terus dibiarkan?”

Sungguh, tidak mudah mencari jawaban terbaik dari analogi “bis kota” dan “motor baru” ini. Semuanya memiliki timbangan kebajikan dan analisis resiko. Ibarat seorang mujtahid, mereka telah berjuang keras mengeluarkan pendapat terbaik yang mampu dikeluarkan.

Semoga Allah Ta’ala merahmati para pendahulu kita, orangtua-orangtua kita, senior-senior kita, para pejuang Islam, di masa lalu. Mereka telah memberikan darmabhakti-nya di jalan Islam, dengan sebaik-baik perjuangan yang disanggupi. Ya Allah rahmati para pendahulu kami yang telah lebih dulu beriman dari kami. Rahmati mereka, sempurnakan amal-amal mereka, berkahi anak-anak keturunan di belakang mereka. Allahumma amin ya Sallam ya Arhama Rahimin.

LALU SELANJUTNYA…

Nah, kini di jaman ini adalah jaman kita, jaman anak-cucu para pejuang Islam di masa lalu. Setelah kita memahami hakikat perselisihan para pendahulu kita dulu, lalu bagaimana sikap kita? Lalu apa yang bisa kita lakukan, untuk mewujudkan cita-cita universal Islam, yaitu menegakkan Kalimah Allah dan panji-panji-Nya secara kaaffah di muka bumi?

Ada beberapa saran yang bisa disampaikan disini. Antara lain sebagai berikut:

Pertama, jangan putus-putusnya untuk selalu belajar dan mengajarkan Kitabullah dan As Sunnah. Inilah dua pusaka yang akan selalu mempersatukan kaum Muslimin di tengah segala khilaf mereka.

Kedua, mari kita sepakat dalam hal wajibnya menegakkan Syariat Islam di Nusantara ini. Kesampingkan dulu manhaj perjuangan; mari kita berbicara sebagai sesama Muslim yang sama-sama mendapat amanah dari Allah untuk menegakkan Syariat Islam di muka bumi.

Ketiga, mari kita berlomba mencari solusi atas kebuntuan perselisihan orangtua-orangtua kita di masa lalu, yang digambar sebagai perselisihan antara “bis kota” dan “motor baru” di atas. Jika “bis kota” yang ideal, apa saja kelebihan-peluangnya. Jika “motor baru” yang ideal, apa saja kelebihan dan peluangnya? Apakah ada ide lain di luar 2 pemikiran tersebut? Atau adakah ide yang bisa menggabungkan keduanya?

Keempat, hendaklah para pejuang Islam sering-sering melantunkan doa Qur’ani berikut ini: “Rabbanaghfirlana wa li ikhwaninal ladzina sabaquuna bil iman, wa laa taj’al fii qulubina ghil-lal lilladzina amanu, Rabbana innaka Ra’ufur Rahiim” (Wahai Rabb kami, ampuni kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dalam keimanan, dan jangan adakan dalam hati-hati kami kedengkian kepada sesama orang beriman, wahai Rabb kami sesungguhnya Engkau Maha Santun dan Maha Penyayang). Doa ini insya Allah bisa menjadi terapi penyakit hati yang kerap bersarang di dada-dada kita.

Demikian yang bisa disampaikan. Memang tidak ada jawaban kongkrit yang diutarakan. Tetapi setidaknya kita bisa memahami situasi konflik internal gerakan Islam selama ini. Setelah disampaikan realitas masalah yang ada, ya selanjutnya kita perlu berjuang mencari jawaban terbaik.

Ahlan wa sahlan Ramadhan. Selamat menyambut shiyam Ramadhan 1431 H. Semoga Allah Ta’ala mudahkan kita menunaikan amal-amal mulia di bulan suci Ramadhan. Allahumma amin ya Karim ya Rahmaan.

Wallahu A’lam bisshawaab.

AMW.