Bismillahirrahmaanirrahim.
Jokowi atau Joko Widodo. Dia adalah walikota Solo. Saat ini memimpin untuk periode ke-2. Tokoh satu ini menyita perhatian publik ketika dengan terang-terangan mendukung peluncuran mobil ESEMKA dan menjadikan mobil itu sebagai kendaraan dinas, menggantikan mobil Toyota Chamry yang sebelumnya digunakan.
Masyarakat Membutuhkan Pemimpin Sungguhan...
Peranan Jokowi sebenarnya bukan semata dalam soal mobil ESEMKA itu. Ia justru sudah muncul sejak awal-awal kepemimpinannya. Reputasi kepemimpinan Jokowi mengagetkan banyak pihak. Banyak orang tak percaya bahwa di Indonesia masih ada sisa-sisa pemimpin yang memiliki integritas dan berhati luhur seperti dirinya. Alhamdulillah. Jokowi muncul di tengah packelik kepemimpinan melanda bangsa Indonesia. Ia menjadi sebuah inspirasi besar yang seolah ingin menyampaikan pesan: “Di negeri ini masih ada orang waras!”
Sekedar kita catat beberapa sikap kepemimpinan Jokowi yang patut diteladani. Hal ini berdasarkan informasi-informasi yang beredar di media atau kabar-kabar yang sampai kepada kita.
[=] Saat Jokowi mulai memasukan pusaran bursa kepemimpinan politik di Solo, dia bukanlah orang miskin, atau pengangguran, atau sarjana yang sangat butuh pekerjaan demi anak-isterinya. Jokowi seorang pengusaha meubel yang memiliki penghasilan cukup. Jadi dia sudah mampu sebelum masuk ke gelanggan politik.
[=] Jokowi saat maju mencalonkan diri sebagai kandidat Walikota Solo, dia memakai uang sendiri. Katanya, biaya yang dia keluarkan sekitar Rp. 5 miliar. Itu dana sendiri, atau mungkin mendapat bantuan dari keluarga, rekanan, atau kawan. Dia tidak memakai dana negara, tidak memakai uang hasil korupsi, uang hasil kejahatan; atau uang hasil memeras para kader di bawah yang notabene miskin-miskin. Jokowi dengan terpaksa harus memakai uang itu, sebab hanya dengan cara itu dia akan bisa menduduki jabatan walikota.
[=] Ketika sudah menjadi walikota, Jokowi tidak mengambil gaji. Ada yang mengatakan, sikap tidak mengambil gaji ini masih berjalan sampai saat ini. Dia juga menandatangani surat perjanjian yang isinya, dia rela dipenjara atau didenda uang sejumlah tertentu, jika selama memimpin melakukan korupsi.
[=] Ketika diberi kendaraan dinas, Jokowi memilih memakai kendaraan-nya sendiri. Kalau terjadi kerusakan, kendaraan itu diperbaiki. Demikian seterusnya, sampai kemudian dia mau memakai Toyota Chamry sebagai kendaraan dinas. Sebelum akhirnya, mobil itu juga diganti dengan mobil ESEMKA yang belum lulus uji macam-macam.
[=] Dalam kepemimpinan Jokowi, dinas-dinas di Solo dibersihkan dari korupsi, pungli, mark-up anggaran, dll. Hasilnya, Kota Solo memiliki performa birokrasi yang sehat. Solo termasuk birokrasi yang relatif bersih dari korupsi.
[=] Jokowi sering mendapat iming-iming hadiah, uang suap, atau gratifikasi, dari para pengusaha bisnis yang ingin membuka mall-mall dan aneka usaha bisnis di Solo. Tetapi Jokowi menolak semua pemberian itu. Dia lebih mengutamakan hak-hak masyarakat Solo daripada melayani ambisi bisnis pengusaha-pengusaha kapitalistik.
[=] Jokowi juga terkenal sebagai pemimpin birokrasi yang tidak main kekerasan untuk menyelesaikan masalah-masalah pedagang kaki lima, asongan, dll. yang biasanya berjualan di pinggir-pinggir jalan. Dia terkenal tidak “memakai pentungan” untuk menertibkan para pedagang itu. Jokowi menempuh cara persuasif, dialog, datang langsung ke tengah para pedagang dan mendengar keluhan-keluhan mereka. Ada kalanya para pedagang diajak makan-makan, lalu dibuka dialog untuk mencapai solusi terbaik.
[=] Sifat lain yang sangat menonjol ialah sikap rendah hati. Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo, pernah secara terang-terangan menyebut Jokowi sebagai pemimpin yang bodoh. Namun tuduhan itu dibalas dengan rendah hati, “Memang benar, saya adalah pemimpin yang bodoh. Dari dulu saya tahu, kalau saya memang bodoh.” Masya Allah…lihatlah tokoh satu ini. Dia tidak membela diri, tidak mencari-cari alasan, tidak berdalih dengan kata-kata seperti: Itu ghibah, fitnah, memecah-belah, merasa benar sendiri, tidak tabayun, hanya bisa gomong doang, dll.
[=] Dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan.
Terlepas dari siapa sebenarnya sosok Jokowi? Apa agendanya, dan siapa pendukungnya? Sejujurnya, kepemimpinan seperti itulah yang diinginkan oleh Islam. Islam memiliki berkas-berkas sejarah yang sangat banyak, yang menjelaskan karakter kepemimpin yang mulia, memiliki integritas, komitmen kepada kejujuran, menjunjung-tinggi keadilan, serta menyayangi masyarakat luas. Tentang hal seperti ini, Islam memiliki banyak hal, dari sisi teori dan praktik sejarah.
Kita sebut sebagian contoh. Ketika Nabi Yusuf As menyediakan dirinya untuk menjaga perbendarahaan makanan rakyat Mesir, beliau menyebut dirinya memiliki sifat Hafizhun ‘Alim (pandai menjaga dan berwawasan luas pula). Dalam riwayat disebutkan perkataan Nabi Saw yang populer: “Kullukum ra’in wa kullukum mas’ulun ‘an ra’iyyatih” (setiap kalian adalah pemimpin, setiap pemimpin akan ditanya tentang kepemimpinannya). Begitu pula ada ungkapan hikmah yang berbunyi: “Sayyidul qaum khadimuhum” (pemimpin suatu kaum, adalah pelayah kaum itu). Juga disebutkan tentang pentingnya amanh diserahkan kepada ahlinya: “Idza wussidatil amanata li ghairi ahliha fantazhirus sa’ah” (jika amanah diserahkan kepada yang bukan ahlinya, tunggulah saat kehancuran). Ketika ada seorang Shahabat yang meminta jabatan, Nabi mengingatkan bahwa jabatan itu amanah yang berat: “Innaka dhaif, wa innaha amanah, saya’ti yaumal qiyamati hizyun wan nadamah” (engkau itu lemah, sedangkan (apa yang engkau minta) itu amanah, maka ia akan datang di hari kiamat nanti sebagai kehinaan dan penyesalan). Dan lain-lain ajaran yang sangat mulia dan mengesankan.
Dasar-dasar teori itu pada akhirnya ditujukan untuk mencapai kualitas kepemimpinan dan kehidupan birokrasi yang bersih, adil, jujur, pengasih, serta benar-benar menjaga masyarakat dari berbagai keburukan lahir-batin, dunia akhirat, dalam segala urusan. Biasanya, dalam kajian seperti ini, kita akan disebutkan contoh-contoh pemimpin adil dari khazanah sejarah Islam.
Coba kita sebut sedikit contoh dari teladan pemimpin-pemimpin Islam di Nusantara ini, khususnya setelah memasuki era kemerdekaan. Bapak M. Natsir pernah menjadi Perdana Menteri di era Orde Lama. Sikap hidup beliau sederhana, tidak memperkaya diri, bahkan rumah tempat tinggal pun diberi hadiah oleh seorang dermawan. Bapak Syafruddin Prawiranegara, dikenal sebagai Gubernur BI pertama. Beliau termasuk pelopor konsep investasi di bidang ekonomi dan pembangunan. Beliau pernah menerapkan kebijakan redenominasi, atau dikenal masyarakat dengan istilah “pemotongan uang”. Meskipun begitu, beliau juga hidup sederhana, tidak korupsi, dan tidak gila kekuasaan. Hingga ketika esok hari kebijakan “pemotongan uang” akan dilakukan, pada malam harinya beliau memotongi sendiri uang-uang kertas itu, tanpa memberitahu isterinya. (Andaikan isterinya sudah diberitahu lebih dulu, mungkin mereka akan buru-buru belanja, sebelum uang dipotong). Termasuk sosok Burhanuddin Harahap, Agus Salim, Prawoto Mangkusasmito, Muhammad Roem, dll. Mereka rahimahumullah jami’an dikenal sebagai para pemimpin intelek, ilmunya luas, cekatan dalam birokrasi; namun bersih, tidak korup, dan tidak memperkaya diri.
Saat masuk era Reformasi, sebenarnya karakter pemimpin seperti itu yang kita harapkan, didamba masyarakat, dinantikan oleh bangsa. Ummat Islam seharusnya bisa melahirkan pemimpin seperti ini, sebab kita memiliki acuan ajaran yang sangat banyak, dan catatan-catatan sejarah juga sangat banyak. Bahkan sejarah pemimpin nasional yang Islami juga banyak.
Sempat ada gebrakan harapan dari partai tertentu yang menyandang label sebagai partai Islam, partai dakwah, partai kader. Wah, kita semua merasa tercengang ketika menyaksikan, para pemimpin di partai itu memiliki sifat-sifat mulia misalnya: Tidak mau memakai mobil dinas dengan merk Volvo, memilih mobil sendiri dengan merk “Kijang”; kalau pulang kampung ke Kuningan memilih memakai bus umum, bukan memakai kendaraan pribadi; tidak mau menerima gratifikasi berupa amplop, cindera mata, hadiah, dll.; kalau ada rapat di Senayan, memilih pulang ke rumah, bukan menginap di hotel. Dan lain-lain sikap yang menerbitkan harapan di hati rakyat Indonesia. Apalagi partai itu mengusung motto: “Bersih dan peduli!”
Tapi tampaknya, suasana kegembiraan itu seolah tak boleh lama-lama. Suasana harapan harus segera dikubur dengan kegelapan; suasana hati yang bahagia, harus diubah menjadi cemas dan getir kembali; kemenangan moral kesederhanaan, harus disirnakan lagi oleh serakah dan ambisi syahwat yang menggelegak; wajah-wajah manusia shalih dan alim, harus segera ditukar dengan wajah-wajah brengsek, mulut-mulut pendusta, omongan-omongan kualitas sampah. Dan seterusnya… Seolah, di negeri ini, di zaman ini, kita tidak boleh berlama-lama bahagia dan merasakan sakinah di hati. Seolah, rakyat tak boleh berharap perbaikan; seolah rakyat hanya boleh diberi balasan berupa pengkhinatan, kebohongan, korupsi, penindasan, dan kezhaliman. Na’udzubillah wa na’udzubillah tsumma na’udzubillah min kulli dzalik.
Belum lama kita berharap pada kader-kader muda, sarjana-sarjana intelek harapan bangsa itu, mereka semula dipuji oleh Dahlan Iskan sebagai komunitas yang bersih dari getah-getah Orde Baru. Tapi apa hendak dikata, ternyata perilaku politik orang-orang itu semakin menampakkan wajah aslinya. Antara lain: Sangat berambisi kekuasaan (dari level Presiden, menteri, sampai bupati/walikota, ingin direbut juga), mendukung regim neo-liberalisme (termasuk dengan akrobat-akrobat politik sangat memuakkan), tidak peduli dengan masalah-masalah serius yang sedang dihadapi Ummat Islam (seperti isu terorisme, aliran sesat, liberalisme pemikiran, dekadensi moral, dll), memakai dana-dana tak jelas untuk memenangkan pertarungan politik, elit-elit politiknya memperkaya diri, sebagian tersangkut kasus korupsi, dll. Yang paling parah, ada salah satu anggota DPR mereka, tertangkap kamera sedang membuka konten pornografi, saat lagi sidang paripurna DPR.
Hal-hal demikian jelas sangat ironis. Bukan hanya bagi partai “bersih dan peduli” itu. Tetapi bagi partai-partai lain juga yang berlabel Islam (atau partai basis Muslim). Sebenarnya, orang-orang ini apa tujuannya masuk dunia politik? Mau memperkaya dirikah? Mau terlibat korupsi dan penggunaan dana-dana gelapkah? Mau hidup mewah di atas pijakan harta, tahta, dan wanitakah? Atau mereka murni mau memperjuangkan kehidupan masyarakat dan bangsa?
Saya punya sebuah teori sederhana. Ia bisa dibuktikan dalam kehidupan riil. Bunyi teori ini sebagai berikut: “Kalau seorang presiden, menteri, anggota DPR, gubernur, walikota/bupati; setelah 6 bulan menempati jabatan atau posisi masing-masing, dalam kondisi negara sedang ruwet seperti ini, lalu mereka menjadi gemuk (bengkak tubuhnya) dan bisa tidur nyenyak, itu pertanda mereka adalah para pejabat PENDUSTA.”
Negara kita saat ini sedang sakit dan banyak penyakit. Seharusnya, kalau seorang pemimpin benar-benar ikhlas, peduli dengan rakyat, mati-matian membela masyarakat, dia selalu memikirkan keadaan rakyatnya siang-malam; seharusnya, setelah menjadi pemimpin mereka akan semakin kurus, atau cepat tua. Minimal tubuhnya konstan seperti semula. Karena masalah-masalah rakyat sangat banyak. Tidak mungkin seseorang bisa menjadi pejabat birokrasi atau anggota DPR dalam keadaan seperti ini, mereka bisa makan kenyang, atau tidur pulas. Dia pasti akan dilanda tekanan batin terus-menerus. Maka itu resikonya, pemimpin nasional sulit akan gemuk, kecuali kalau dia setiap hari mengkhianati rakyat.
Mungkin sebagian orang akan menjawab: “Tapi kan kami sudah memenuhi tugas kami. Hadir di kantor dengan tepat waktu, tidak pernah bolos. Kami kerjakan tugas sesuai juklak dan juknis yang telah disusun. Kami gunakan anggaran sesuai porsinya. Kami tidak menerima uang, kecuali yang merupakan hak kami sesuai UU.”
Andaikan ada yang benar-benar seperti itu, masya Allah sudah sangat baik. Ia layak diacungi jempol. Bravo, bavo, bravo! Tetapi masalahnya, amanah kepemimpinan publik (sebagai anggota DPR dan pejabat birokrasi) tidak dibatasi hanya dalam ruang-ruang administrasi. Mereka bertanggung-jawab penuh memikirkan setiap jiwa rakyat dan kehidupannya, person by person, sesuai amanah kepemimpinan mereka. Itulah amanah pemimpin publik, bukan manajer administrasi.
Kembali ke sosok Jokowi di atas. Tanpa bermaksud memuji-muji manusia melebihi maqam-nya, kepemimpinan beliau layak diapresiasi (meskipun secara politik Jokowi didukung oleh PDIP, bukan partai-partai Islam/Muslim). Seharusnya, para politisi yang bergelar ustadz itu yang memainkan peranan seperti Jokowi. Mereka lebih tahu tentang ajaran Islam, secara teori maupun contoh-contoh teladan dalam sejarah.
Tapi kenyataan ini sangat ironis. Orang umum, bukan ustadz, didukung PDIP lagi…tetapi mengerti tentang aspek-aspek aplikasi ajaran Islam dalam kepemimpinan. Sementara para politisi dari kalangan ustadz, doktor syariah, aktivis Islam, tokoh ormas Islam, dll. ternyata memble memble aje… Apa tidak malu ya mereka? Sangat ironis!
Kepemimpinan Jokowi -dengan segala kelebihan dan kekurangannya- telah memberikan dua pelajaran berharga bagi kita semua. Pertama, ternyata di negara kita masih ada pemimpin yang waras. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Kedua, kepemimpinan itu menjadi tamparan keras bagi para politisi Muslim yang kerap menjadikan Islam (atau komunitas Muslim) sebagai tunggangan untuk memuaskan syahwat di bidang harta, tahta, dan wanita.
Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya kaum Muslimin dan para pemimpin politik mereka. Amin Allahumma amin.
AMW.