Teori Politik Aneh

Oktober 21, 2009

Kalau melihat situasi politik saat ini, rasanya aneh sekali. Kafilah politik SBY dan Demokrat ingin merangkul semua elemen-elemen politik lainnya. Fakta paling mutakhir ialah dukungan SBY agar Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR, dan dorongan SBY agar Golkar masuk barisan koalisi. Ini aneh sekali, sebab saat Pilpres kemarin semua orang tahu betapa kerasnya konflik politik antara kubu SBY dengan PDIP dan Golkar. Anda masih ingat kerasnya kritik Megawati kepada SBY, lalu dibalas SBY dengan pidato yang tidak kalah “marah-marahnya”.

Dalam teori politik kubu SBY, semua eleman politik kalau bisa dirangkul, sehingga tidak ada yang memusuhi atau kontra politik dengan tujuan-tujuannya. Ini namanya politik akomodasi. Argumentasinya: “Sistem politik kita presidensial, tidak ada istilah partai oposisi.” (Bisa-bisa saja, para pengamat/politisi menipu rakyat dengan argumentasi yang dibuat-buat).

Singkat cerita, kalau semua partai bisa dirangkul, maka posisi SBY akan aman. Dia bisa bebas mencapai tujuan-tujuan politiknya, tanpa halangan siapapun. Toh, semua partai sudah mendukung dirinya. Dengan cara yang sama, mereka seperti ingin mengulang sukses Golkar di jaman Orde Baru dulu sebagai single majority. Golkar setiap Pemilu rata-rata menguasai 70 % potensi suara rakyat, sama seperti koalisi SBY saat ini.

Kelemahan teori seperti ini:

[1] SBY kelihatan sebagai pemimpin politik yang gampang jerih, takut konflik, tidak memiliki pendirian teguh. Semua elemen dia rangkul, untuk menghindari konflik kepentingan. Kalau pemimpin sejati harusnya memiliki INTEGRITAS kuat, bukan takut menghadapi konflik.

[2] Realitas politik saat ini berbeda dengan jaman Orde Baru. Orde Baru pilihannya hanya 3: Golkar, PPP, PDI. Sementara saat ini setidaknya ada 10 pilihan kanal politik. Merangkul sebanyak itu elemen politik, justru akan membenturkan elemen-elemen itu satu sama lain dalam konflik kepentingan, sehingga akhirnya mereka lemah semua. Mereka pasti akan “berebut kuasa”, lalu tidak efektif menjalankan tugasnya.

Jadi, teori “merangkul semua partai” itu pada dasaranya hanya utopia belaka. Inilah teori yang idak mencerminkan sifat kepemimpinan yang tangguh. Tapi ya sudahlah, wong rakyat Indonesia sendiri memang jauh dari ketangguhan.

Hanya kepada Allah Al Hafizh kita berlindung dari fitnah dan bencana. Amin ya Hafizh.

AMW.


Arogansi ELIT POLITIK Indonesia… Luar Biasa

Oktober 19, 2009

Luar biasa, luar biasa…. Masya Allah, laa haula wa laa quwwata illa billah. Di hari ini kita disuguhi tontonan kehidupan yang amat sangat memilukan. Orang-orang berakal pada memegangi kepalanya, karena khawatir mereka telah salah dalam berpikir, analisis, atau merasa. Jika ternyata mereka tidak salah berpikir, akhirnya “mengurut dada” menjadi amal shalih yang paling banyak dilakukan saat ini.

Lihatlah 3 hal berikut ini:

[ 1 ] Fenomena perang anti terorisme yang terus-menerus berjalan, serialnya sangat panjang, meskipun korban demi korban terus berjatuhan. Polisi selalu mengatakan, “Tidak berarti masalah terorisme sudah berakhir, sebab masih ada Si Anu dan Anu yang masih berkeliaran. Mereka memiliki kemampuan yang tak kalah hebatnya dengan Nordin M. Top dan Dr. Azahari.” Ini pertanda drama perang anti terorisme masih “panjang umur”.

[ 2 ] Bencana demi bencana alam yang terus terjadi. Sejak Pilpres pada bulan Juli lalu sampai saat ini telah terjadi berkali-kali bencana, baik gempa bumi, longsor, atau banjir. Bencana paling parah terjadi di Sumatra Barat yang menghancurkan Kota Padang dan Padang Pariaman. Menurut data, korban meninggal sekitar 1120 jiwa orang (bisa bertambah kalau ada data update terbaru).

[ 3 ] Suasana pemilihan pejabat negara dan menteri-menteri. Pemilihan pejabat ini telah menempatkan SBY sebagai pemegang kartu kunci. Semua orang, termasuk Taufik Kiemas dri PDIP, harus mendapat restu SBY, jika ingin lolos sebagai pejabat negara. Belum pernah dalam sejarah Indonesia, proses pemilihan menteri-menteri berjalan begitu birokratis, panjang proses, berbelit-belit, dan penuh sensasi media, kecuali saat ini. Tokoh-tokoh elit di Indonesia seperti sedang berebut mendapatkan “durian” dari tangan SBY. Sampai diceritakan, di antara mereka ada yang sering melakukan shalat malam, sambil menunggu “ditelepon”. Padahal seharusnya, kalau mereka beriman, mereka harus takut memikul jabatan dan benci menjadi pejabat.

Elit-elit politik di Indonesia saat ini seperti orang-orang tidak berakal. Rasa malunya, integritasnya, posisinya sebagai politisi, ustadz, pakar, praktisi, profesional, akademisi, dll. seperti mereka acuhkan begitu saja. Apapun kondisi tidak menjadi halangan, selama “durian SBY” bisa didapat. Laa ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah. Apa mereka tidak malu, punya anak-isteri, teman-teman, kerabat, kolega, dll. Diri mereka dihambakan hanya untuk meraih jabatan. Kalau perlu, manuver paling konyol pun akan dilakukan, asal “sukses ditelepon”.

Kalau ternyata mereka tidak jadi ditelepon, tidak dipanggil SBY, tidak menjadi pejabat, mereka secepat kilat berubah haluan. Mereka menjadi orang-orang paling kritis kepada SBY. Mereka mulai bicara, “Politik sekarang aneh. Presiden terlalu kuat, DPR/MPR tidak berdaya. Bagaimana bisa demokrasi berjalan baik, kalau tidak ada keseimbangan kekuasaaan? Tidak ada check and balance. Ini berbahaya, ini tidak demokratis, menyalahi amanah Reformasi.” Mendadak mereka menjadi oposisi, hanya karena tidak sukses menjadi pejabat.

Tetapi ketika suatu saat nanti orang seperti itu mendadak ditelepon SBY, tiba-tiba suara mereka melunak. “Oh ya, Pak. Baik, Pak. Kami ada di belakang Bapak. Tenang saja, kami akan bekerja all out untuk sukses Bapak. Kita semua senang, gembira, dan ridha dengan kepemimpinan Bapak. Kami siap, hidup mati membela misi pembangunan Bapak yang mulia. Kami semua sudah tahu, Bapak adalah Presiden paling berhasil sepanjang sejarah Persatuan Bangsa Bangsa (PBB).” Malu dan sangat memalukan. Tapi apa daya, kita hanya orang biasa?

Jadi yang memimpin urusan masyarakat saat ini adalah syahwat belaka. Hanya syahwat inilah tujuan tertinggi keberadaan pejabat-pejabat dan departemen yang dia pimpin. Maka masyarakat harus mempersiapkan kesaabarannya yang panjang, untuk menghadapi semua ini. Jangan berharap ada pahlawan di jaman seperti ini; yang ada hanyalah orang-orang oportunis yang menghamba syahwat.

Jabatan itu adalah amanah. Demikianlah Islam mengajarkan. Namun dalam suasana “dagang syahwat” (bukan “dagang sapi”) seperti ini, apa artinya amanah? Semua dianggap sepi. Semua dianggap retorika moral yang tidak ada artinya. “Makan tuh khotbah-khotbat lo,” serang orang-orang penghamba syahwat itu ketika dinasehati. Arogansi sudah sedemikian rupa meliputi seluruh sendi kepemimpinan negara.

Dulu, kalau saya melihat wajah Hatta Radjasa, saat masih menjadi anggota DPR dari PAN di jaman Gus Dur, jujur saja, ada nuansa optimisme, harapan, dan sikap integritas. Namun saat ini, kalau melihat Hatta Radjasa, bawaannya mau muntah saja. Orang ini seperti dagelan paling tidak lucu. Dia mengalami metamorfosis hebat, dari semula paling anti Gus Dur; maka sekarang, paling melayani SBY.

Begitu juga orang-orang PKS. Dulu mereka selalu membanggakan diri. “Kami partai moral. Kami tidak meminta-minta jabatan. Justru kader-kader kami sangat takut kalau diberi jabatan. Belum pernah ada di Indonesia, ada partai politik yang kader-kadernya saling dorong-dorongan karena takut ditunjuk jadi pejabat. Hanya di kami fenomena seperti itu ada. Kami partai dakwah, partai moral, harapan baru Indonesia.” Tapi dalam konteks saat ini, semua orang tahu bagaimana komitmen moral elit-elit PKS itu. Bukan hanya ambisi jabatan, PKS sering “mengancam” orang lain, karena ingin mengamankan posisi yang dibidiknya.

Padahal bencana-bencana sudah mengingatkan bangsa ini. Istana negara itu lho pernah bergunjang, sehingga SBY buru-buru ngacir ke Cikeas. Sri Mulyani itu lho saat menggelar jumpa press di gedung Departemen Keuangan, merasakan goncangan gempa yang kuat. Bahkan hebatnya, Sri Mulyani masih berlaagak seperti insinyur sipil yang paham konstruksi bangunan gedung Departemen Keuangan. Dia beralasan, katanya fondasi gedung Departemen Keuangan tidak terlalu kokoh. Wih, wih, wih, hebat. Masih sempat-sempatnya Sri Mulyani mengukur kekokohan fondasi bangunan gedung di departemennya.

Perhatikan ayat ini:

Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Al Israa’: 16).

Syarat-syarat arogansi itu sudah terpenuhi di Indonesia. Para elit politik merasa dirinya berkuasa, merasa dirinya bisa mencengkramkan kuku kekuasaan seperti yang mereka inginkan. Agama Allah tidak dihiraukan, tanda-tanda bencana diacuhkan, malah kaum Muslimin difitnah terus-menerus dengan isu TERORISME. Ini semua adalah praktik arogansi yang terang-benderang.

Ya, bersiaplah bangsa Indonesia, persiapkan kesabaranmu yang panjang. Saat ini sedang tiba musim “panen raya” bagi orang-orang munafik untuk mengurus urusan negerimu; sementara ia menjadi masa “paceklik” bagi orang-orang bermoral untuk membimbing Ummat menuju Keridhaan Allah Ta’ala.

Bersiaplah kawan…siapkan kesabaranmu. Allah tidak mengingkari janji-Nya. Gempa yang di Padang kemarin, bukan akhir dari semua episode nestapa ini. Ya Ilahi ya Rabbi, kami titipkan diri dan kehidupan kami, serta orang-orang beriman ke Tangan-Mu. Hanya Engkau yang kuasa merahmati kami, menyelamatkan kami, serta menjaga kehidupan Islam. Amin Allahumma amin.

== AMW ==


Ketika Pemimpin Jadi SELEBRITIS

Oktober 15, 2009

Di sebuah negara, sebutlah namanya Keblingersia (baca dengan bahasa Sunda).  Di negeri ini rakyatnya sangat memuja-muja TV. TV menjadi “ibadah ritual” harian mengalahkan ibadah-ibadah lainnya. Salah satu acara TV yang sangat disukai adalah GOSIP SELEBRITIS. Rakyat negeri itu begitu memuja-muja para selebritis, melebihi kecintaan mereka kepada Nabi Saw. Kalau ditanya nama, judul lagu, judul sinetron, suami-isteri, dll dari seorang selebritris; warga Keblingersia tahu di luar kepala. Tapi kalau ditanya nama-nama keluarga Nabi Saw, mereka pada bengong.

Rupanya, sebagian pemimpin politik mengerti tentang selera “selebritis minded” rakyat negeri itu. Maka untuk memenangkan pertarungan politik, pemimpin itu tampil “sekinclong” mungkin, seperti para selebritis. Foto dia dipilih yang sebagus mungkin, dari ribuan pose wajah. Dicari yang tampak “awet muda”, segar, selalu mengulum senyum, dan seterusnya. Foto itu pun ditransfer dalam bentuk poster, pamflet, spanduk, kaos, sticker, cetakan buku, iklan TV, dan macam-macam media (istilahnya mix media).

Teorinya sederhana saja: “Sebagian besar pemilih di negeri itu kaum wanita dan gadis-gadis (yang merasa masih gadis, lho). Mereka doyan dengan dandanan selebritis. Maka kalau mau menang pemilihan, bikin promo sehebat para selebritis. Kalau perlu 10 kali lipat lebih hebat. Dijamin, akan menang pemilihan.” Ternyata, teori ini manjur bukan main. Rakyat negeri Keblingersia lupa dengan segala duka-lara hidupnya. Mereka merasa takjub, terharu, terpesona, kagum, cinta, rindu, kepada seorang “selebritis politik” tertentu.

Adapun kandidat-kandidat lain yang menampilkan keberanian, inovasi baru, gebrakan, visi pembangunan, agenda kemandirian, dan sebagainya, semuanya tidak laku. Karena warga Keblingersia sudah kadung mabuk dengan segala macam dunia GOSIP SELEBRITIS. Mereka sudah kadung cinta wajah tampan, maka pikirannya pun tidak berjalan normal. Kuat diduga, banyak warga Keblingersia yang sehari-hari tidak shalat. Kalaupun shalat, mereka hanya shalat fisiknya saja, sementara hatinya lalai. (Na’udzubillah min dzalik).

Hebatnya… Pemimpin negeri itu benar-benar paham selera GOSIP SELEBRITIS rakyatnya. Bukan hanya penampilan yang dibuat “klimis” bak selebritis. Sampai karakter politik pun dibuat semeriah dunia Gosip Selebritis.

Coba perhatikan beberapa kenyataan seperti di bawah ini:

<=> Setiap masuk suatu ruangan terbuka, pemimpin itu dielu-elukan dengan tepuk tangan, diiringi “dayang-dayang” yang panjang.

<=> Dalam pencalonan pejabat tertentu, dia sangat memegang “hak prerogatif”. Istilah yang kerap dipakai, setiap kandidat pejabat yang akan dipilih “sudah ada di kantong”.

<=> Pemimpin itu sangat sering berkeluh-kesah di depan umum. Tidak ragu untuk “curhat” di depan rakyat. Seakan, semua pihak dituntut memahami perasaannya.

<=> Dalam pengumuman nama-nama kandidat pejabat, dia sangat suka melama-lamakan urusan. Sangat suka kalau media-media massa meliput setiap gerak-gerik urusannya. Seolah penentuan calon anu dan anu, semua itu “komoditas gosip politik” yang bermanfaat bagi masyarakat. Semakin lama urusan berjalan, dia semakin girang, sebab media-media massa akan menjadikan urusannya sebagai gosip menarik.

<=> Kalau pemimpin itu seharusnya memiliki lapang dada, maka dia justru “gampang tersinggung”. Ada orang mengatakan “lebih cepat lebih baik”, dia tersinggung, marah, lalu “curhat”. Selebritis banget pokoknya.

Informasi terakhir yang cukup menyita perhatian media-media massa adalah soal rancangan kabinet. Sekitar 10 tahun lalu ada seorang pemimpin politik yang membuat prestasi dahsyat. Hari ini dia dilantik jadi pemimpin, besok kabinetnya sudah terbentuk. Luar biasa. Itu satu-satunya dalam sejarah Indonesia. Hebatnya, kabinet itu berjalan efektif dan membuat banyak prestasi, padahal hanya disusun dalam masa 1 hari.

Nah, di negara Keblingersia saat ini lain. Justru kalau terlalu cepat disusun tidak bagus, tidak jadi gosip media-media massa. Maka urusan penentuan kabinet pun diulur-ulur bukan main lambatnya. Segala macam momen akan dimanfaatkan untuk SELEBRASI agar rakyat semakin jatuh cinta dengan wajah tampan pemimpin itu. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Herannya, banyak politisi yang senang dengan keadaan itu, sebab mereka jadi ikut terkenal.

Inilah kenyataan yang memang ada demikian. Hal-hal yang tidak terpuji justru laku di pasaran. Bisa dibayangkan ketika dunia politik berubah menjadi panggung selebritis, kira-kira akan jadi apa wajah negeri itu?

Kata Nabi Saw, kalau amanah disia-siakan, tunggulah saat kehancuran. Bagaimana amanah disia-siakan? Yaitu ketika amanah diserahkan kepada yang bukan ahlinya. (HR. Bukhari). Orang bakat jadi selebritis, kok didaulat menjadi pemimpin…Ya begitulah.

AMW.


TRAGEDI POLITIK di Indonesia

Oktober 9, 2009

Saudara-saudaraku seiman dan seaqidah…

Disini saya akan berbagi dengan Anda tentang sebuah HAKIKAT POLITIK yang sangat penting kita ketahui bersama. Hal ini merupakan refleksi dinamika politik Indonesia sejak tahun 90-an sampai saat ini (2009). Hanya saja, saya menulisnya secara singkat saja agar lebih praktis untuk dipahami. Adapun untuk penjelasan yang lebih terperinci, silakan Anda sendiri mencari dalam sumber-sumber lain. Di blog ini sendiri ada bahan-bahan yang bisa dipakai sebagai pembanding. Silakan dicari secara mandiri.

LATAR BELAKANG

Beberapa catatan dinamika politik di Indonesia yang terjadi dalam waktu-waktu terakhir ini menjadi titik-tolak tulisan ini. Misalnya catatan-catatan sebagai berikut:

=> Berbagai kasus, pelanggaran, dan kecurangan dalam Pemilu Legislatif 2009 dan Pilpres 2009.

=> Gencarnya opini “perang melawan terorisme”, padahal isu terorisme itu sendiri sudah mulai dilupakan masyarakat sejak tahun 2005 lalu.

=> Sikap pemerintah yang sangat arogan dalam kasus Bank Century. Khususnya terkait sikap Departemen Keuangan, BI, Polri, dsb.

=> Sikap pemerintah yang katanya “pro pemberantasan korupsi”, tetapi mereka diam saja ketika lembaga KPK hendak diamputasi kekuatannya. Mereka juga diam ketika berkembang opini tentang “Cicak Vs Buaya”. Padahal itu adalah ungkapan menjijikkan dalam kehidupan berpemerintahan.

=> Dukungan SBY agar Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR, padahal semua orang tahu dalam Pilpres kemarin, bahkan dalam periode Pemerintahan 2004-2009, PDIP menjadi oposisi Pemerintah. Bahkan penentuan pejabat Ketua MPR itu sendiri tergantung pilihan politik SBY sendiri.

=> Sikap SBY kepada Partai-partai Islam/Muslim yang mendukungnya saat Pilpres 2009, seperti ungkapan: “Habis manis, sepah dibuang.”

=> Pernyataan keberatan SBY atas pernyataan Jusuf Kalla dalam Munas Golkar di Riau yang mengajak Partai Golkar agar menjadi partai oposisi terhadap Pemerintah.

=> Dukungan Pemerintah, agar Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum Golkar, menggantikan Jusuf Kalla. Tujuannya, tentu agar Golkar tidak beroposisi, melainkan mau bermitra dengan Pemerintahan SBY. Harus dicatat dengan tinta tebal, dalam susunan Pengurus Inti DPP Golkar hasil Munas di Riau, Rizal Malarangeng menjadi salah satu pengurus elit DPP Golkar. Kita tahu maksudnya, agar politik Golkar selalu sejalan dengan politik SBY.

Dari semua kenyataan di atas, dapat disimpulkan: Bahwa SBY sedang membangun kekuatan Pemerintahan yang sangat kuat, under one hand, dimana segala macam faktor-faktor politik akhirnya memusat ke dirinya. Sebagian pengamat menyebut kenyataan ini sebagai “model Orde Baru dengan baju demokrasi”. Serupa esensinya, tetapi lain namanya.

Saat ini, secara realistik, semua unsur-unsur politik sedang berlomba menengadahkan tangan ke hadirat SBY, mengharap kemurahan, kasih-sayang, dan keridhaan-nya. Apapun agenda politik SBY tidak masalah, selama bisa ikut dalam “rombongan Bapak”. Tidak terkecuali elit-elit partai Islam. Mereka tidak peduli masyarakat akan berkomentar apapun, selama mereka bisa “ikut nampang” dalam rombongan Kabinet 2009-2014. Politik hari ini benar-benar mengabdi untuk: kesejahteraan diri!

ANTI ORDE BARU

Kita masih ingat saat tahun 90-an dulu. Waktu itu Pak Harto mendekat kepada Ummat Islam (apapun tujuan politiknya). Beliau memutuskan kemitraan politik dengan Beny Murdani, setelah mantan jendral itu diindikasikan telah merancang skenario kudeta menggulingkan Soeharto. Hanya saja, media-media massa “membisu” dari agenda Beny tersebut.

Waktu itu Soeharto dikecam habis-habisan dalam isu: Korupsi, keluarganya memperkaya diri, militeristik, pelanggaran HAM, masalah Timor Timur, juga sikap otoriter anti demokrasi.

Media-media massa, para pakar akademis, para pengamat politik, cendekiawan, politisi, media-media asing, dan lain-lain, waktu itu mereka serentak menghujani Pemerintah Soeharto dengan serangan-serangan seputar isu-isu di atas. Soeharto tidak diberi waktu istirahat, melainkan dia harus menelan segala macam tuduhan-tuduhan itu. Pendek kata, Soeharto digambarkan sebagai pemimpin: Tangan besi, militeristik, korup, anti demokrasi, pelanggar HAM, dan sebagainya.

Prestasi-prestasi Soeharto tidak diungkap sama sekali. Tetapi segala borok-borok politiknya diungkap secara obralan. Icon perlawanan anti Soeharto waktu itu ada di tangan Amien Rais yang berlindung di balik struktur Muhammadiyyah, ICMI, dan penulis ahli Republika. Tujuan politik Amien Rais menghentikan sikap otoriter Soeharto, sementara saat yang sama Soeharto sedang dekat dengan Ummat Islam. Maka Amien pun menggunakan “amunisi Ummat” untuk mencapai target politiknya. [Perlu diingat, seidealis-idealisnya seorang Amien Rais, dia tetap doktor lulusan Amerika dan sangat American minded. Sehingga Adian Husaini pernah mengkrisi Amien dengan bukunya “Amien Rais dan Amerika” (?)].

Media-media massa, seperti RCTI, SCTV, Indosiar, dll. mereka juga sangat aktif dalam menggalang opini tentang arus gerakan politik anti Orde Baru. Terlebih ketika mulai bangkit gerakan mahasiswa tahun 2008, TV-TV itu sangat kuat dalam mengarahkan opini ratusan juta rakyat Indonesia.

IRONI ERA REFORMASI

Sejujurnya, kita bersyukur ketika ada gerakan sosial-politik untuk memperbaiki kondisi kehidupan bangsa Indonesia. Demi Allah, kita bersyukur atas semangat masyarakat (khususnya aktivis) untuk mengadakan perbaikan kondisi Orde Baru. Orde Baru jelas jauh dari ideal, banyak kekurangan-kekurangannya. Ketika hal itu ingin diperbaiki, ya alhamdulillah. Itulah yang diinginkan semua pihak. Pendek kata, agenda-agenda politik untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat Indonesia adalah sangat mulia.

Namun anehnya, setelah Reformasi berjalan lebih dari 10 tahun (1998-2009) kenyataan baik yang kita harapkan sangat jauh dari harapan. Ya, masyarakat semua telah menyaksikan bahwa kondisi kehidupan saat ini jauh lebih sulit ketimbang era Orde Baru dulu. Secara sederhana saya katakan: “Apa sih artinya Reformasi itu? Apa sih arti Reformasi secara bahasa?” Reformasi kan artinya perbaikan, atau rekonstruksi. Lho, kok setelah Reformasi bergulir kehidupan masyarakat menjadi semakin buruk, sengsara, penuh penderitaan lahir-batin? Berarti selama ini yang terjadi bukan Reformasi, tetapi DEKONSTRUKSI (penghancuran) kehidupan.

Alih-alih mau menyamai prestasi Orde Baru dalam kebaikan, menyamakan harga beras saja agar sama seperti era Orde Baru dulu dengan standar Rp. 1000,- per kilogram, susahnya bukan main. Bahkan sangat musrtahil tercapai saat ini. Meskipun Indonesia diklaim telah “swasembada beras”.

Dan lebih aneh lagi ketika kita menyaksikan sikap-sikap politik regim SBY dalam 5 tahun terakhir, khususnya sejak 2008 sampai 2009. Hal-hal yang dulu dikecamkan ke Soeharto, sepertinya satu demi satu dilakukan oleh penguasa masa kini. Sikap otoriter, pemusatan kekuasaan, memakai mesin birokrasi untuk tujuan politik, bersikap repressif kepada Ummat Islam (dalam isu terorisme), dan sebagainya, kini dilakukan lagi.

Dan untuk semua kenyataan ini: Media massa, pakar politik, pakar akademisi, para cendekiawan, media-media Barat, politisi, para birokrat, dan sebagainya, mereka memilih diam, membiarkan, mendukung, men-support, melindungi, mengiyakan, memproteksi, dan seterusnya. Ketika Soeharto melakukan hal-hal yang zhalim dalam politiknya, mereka semua sepakat MENGEROYOK Soeharto sampai terjatuh. Tetapi saat sikap-sikap otoriter itu dilakukan oleh penguasa saat ini, mereka diam seribu bahasa.

Inilah kenyataan yang sangat aneh bin ajaib. Ketika Soeharto bersikap otoriter, semua pihak menghabisinya dengan hujatan-hujatan luar biasa. Namun saat penguasa saat ini (SBY) bersikap otoriter dan memusatkan kekuasaan ke dirinya, mereka semua diam saja, seolah seperti “gak tahu apa-apa”. Dari sekian banyak media-media TV, hanya MetroTV saja yang berani bersikap independen. Meskipun dalam banyak kasus yang lain, MetroTV juga sama-sama membeo kekuasaan.

INTINYA DI MANA?

Kita menjumpai perkara yang sama, yaitu sikap OTORITER penguasa, baik di masa Orde Baru, maupun di zaman sekarang. Sama-sama otoriternya. Hanya saja, Soeharto lebih panjang waktu berkuasanya, sehingga lebih banyak catatan kezhalimannya yang ditulis para pemerhati. Sementara SBY baru 5 tahun, dan akan memimpin 10 tahun, dengan ijin Allah. Baik kepemimpinan Soeharto atau SBY, sama-sama mengadung sikap politik otoriter. Hanya bedanya, Soeharto mudah tersenyum, sedang yang satu lagi mahal senyum.

Mengapa sikap media massa, pengamat, akademisi, politisi lain kepada dua pemimpin itu (Soeharto dan SBY)?

Ternyata yang membuat berbeda itu adalah keberpihakan masing-masing pemimpin. Seoharto berpihak ke petani, nelayan, penguasaha kecil, pengrajin, pedagang. Dia juga berpihak ke pembangunan desa, KUD, koperasi, BMT, transmigrasi, dan lain-lain. Sementara SBY secara umum berpihak ke AGENDA LIBERALISASI dan WESTERNISASI. Nah, inilah beda utamanya. Soeharto berpihak “ke dalam”, sementara SBY berpihak “ke luar”.

Bagi media massa, para pakar, pengamat, politisi, pengusaha, dll. tidak masalah dengan sikap OTORITER, ZHALIM, DEMOKRASI CURANG, dll. selama tetap mendukung agenda liberalisasi. Dengan liberalisasi, mereka diberi kebebasan untuk membabat rakyat kecil yang lemah (mustadh-afin) sesuka hatinya. Sementara kalau sistem PROTEKSI ala Soeharto, mereka merasa sangat terbelenggu, terpenjara, untuk menghabisi kehidupan rakyat kecil.

Bagi para pendukung liberalisasi itu, “Bullshit dengan demokrasi.” Mereka sama sekali muntah dengan prinsip-prinsip demokrasi, atau apalah yang selama ini didengung-dengungkan. Bagi mereka target utamanya bukan menjadi “penyelamat demokrasi atau HAM”, tetapi mendapat kesempatan bebas untuk menindas masyarakat kecil sesuka hati, seenak perutnya sendiri, dimanapun dan kapanpun mereka menginginkannya. Nah, inilah intinya target mereka.

Demokrasi dimanapun akan mereka bela mati-matian, kalau dengan jalan itu mereka bisa menindas orang-orang lemah sesuka hatinya. Sebaliknya, demokrasi akan mereka kencingi, mereka ludahi, mereka injak-injak, kalau demokrasi ditujukan untuk melindungi kepentingan rakyat kecil, masyarakat lemah, seperti rakyat Indonesia selama ini.

Jadi tujuan utama mereka adalah: ketamakan harta-benda, penindasan masyarakat untuk memperkaya diri, memuaskan hawa nafsu hewani mereka.

REKOMENDASI

Saya menasehatkan kepada saudara-saudara budiman:  jangan pernah lagi percaya dengan media massa, para pakar politik, pengamat, akademisi, politisi, pejabat politik, dan lain-lain. Jangan mempercayai mereka semua, sebab mereka hanyalah “senjatanya kaum kapitalis”. Mereka tidak jujur dalam ucapan, tindakan, dan pemikiran-pemikirannya. Mereka hanyalah “centeng-centeng” kapitalisme, jangan dipercaya sama sekali. Mempercayai mereka, sama saja dengan ridha terhadap penindasan masyarakat.

Hanya memang sulitnya, masyarakat Indonesia sebagian besar kurang terpelajar, sangat lugu, dan mudah diapusi (ditipu). Inilah masalah besar kita selama. Alhamdulillah, Allah mengajarkan kita pengertian-pengertian tentang “benang merah” berbagai persoalan. Namun sayang, rakyat sendiri awam, polos, gampang sekali dikendalikan dengan iming-iming materi. Itulah dilemanya hidup di negeri Indonesia ini.

Tapi apapun juga, jangan berputus-asa. Lakukan perbaikan sekuat kemampuan. Hidup kita tak lebih dari sebuah ungkapan, “In uridu illal ishlaha mastatha’tu” (aku ini tak lain hanyalah menginginkan perbaikan, sekuat kemampuanku). Ya terus lakukan perbaikan, sampai Allah memberi satu dari dua kenyataan: Hidup mulia dalam Islam, atau wafat sebagai bagian dari para syuhada’.

Alhamdulillah Rabbil ‘alamin. Wallahu A’lam bisshawaab.

(Mine).


Pergilah Ke Minang Saudaraku! Saat Ini Juga!!!

Oktober 3, 2009

Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillah, laa haula wa laa quwwata illa billah. Allahumma shalliy wa sallim wa baarik ‘alan Nabi Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabih ajma’in. Amma ba’du.

Bencana gempa bumi di Ranah Minang yang baru lalu sangatlah dahsyat. Bencana itu telah merusak infrastruktur jalan, jembatan, listrik, telepon, air, dll. Bencana itu telah menghancurkan gedung-gedung, menimbun ribuan manusia, meruntuhkan masjid, RS, rumah-rumah penduduk, instalasi umum, dan sebagainya. Bila di Yogya rumah-rumah yang hancur rata-rata terbuat dari bambu, kayu, dan semi permanen, maka di Minang semua gedung-gedung berfondasi kokoh telah berserakan. Fondasi terangkat, tulang-tulang besi putus, dinding roboh, hingga kampung-kampung tenggelam ditimbun tanah longsor.

Laa haula wa laa quwwata illa billah. Hanya dalam hitungan 1 atau 2 menit, Kota Padang yang telah berusia ratusan tahun, telah dibangun selama berabad-abad, runtuh bak kota mati. Laa ilaha illa Allah. Padahal disana adalah wilayah yang terkenal dengan semboyan, “Adat basandi Syara’. Syara’ basandi Kitabullah.” Kalau daerah yang religius saja sedemikian hebat guncangan bencananya, apalagi dengan Jakarta, sebuah kota bermandi maksiyat dan durhaka? Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Saudaraku…

Kini saudara-saudara kita di Ranah Minang sedang membutuhkan kita semua. Masih ratusan orang atau ribuan yang tertimbun reruntuhan bangunan. Ada mayat-mayat yang harus dievakuasi. Ada nyawa-nyawa yang sedang berjuang bertahan di tengah himpitan dinding dan batu-batu. Ada ribuan Muslimin yang kebingungan, trauma, ketakutan, sangat kekurangan. Bau mayat telah menyebar dimana-mana, korban luka-luka butuh pertolongan. Anak-anak Muslim, termasuk balita, mereka dalam situasi mengkhawatirkan. Saat-saat seperti ini, biasanya srigala-srigala Kristenisasi akan datang untuk mengulurkan bantuan, dengan imbalan MURTAD dari Islam. Na’udzubillah wa na’udzubillahbi ‘ Izzatillah  minal kufri wal kuffar.

Gedung Kokoh Hancur Berantakan. Afalaa tadzakkaruun?

Gedung kokoh hancur berantakan. Afalaa tadzakkaruun?

Kalau Anda memiliki harta, sampaikan bantuannya. Kalau ada makanan, obat-obatan, popok bayi, susu bayi, pembalut wanita, pakaian dalam, dll. sampaikan juga. Kalau ada barang bekas, layak pakai, masih bermanfaat, sampaikan juga. Atau berdoalah, mohonkan rahmat Allah, ampunan-Nya, dan petunjuk-Nya agar memperbaiki jiwa-jiwa kaum Muslimin, baik di Minang atau di Indonesia pada umumnya. Setidaknya lakukan shalat ghaib, sebab banyak saudaramu yang meninggal tanpa dikafani, dimandikan, dishalati. Di antara mereka langsung tertimbun tanah, dengan kecil peluang akan diangkat ke atas.

Saudaraku…

Cobalah hayati beberapa petunjuk Allah Ta’ala. “Bahwasanya orang-orang beriman itu bersaudara.” Begitu pula, “Bahwasanya orang-orang Mukmin laki-laki dan wanita, sebagian mereka adalah pelindung sebagian lainnya.”

Nabi Saw juga mengatakan, “Tidaklah seseorang di antara kalian beriman, sampai dia mencintai untuk saudaranya apa yang dia cintai untuk dirinya sendiri.” Begitu pula beliau mengatakan, “Orang-orang Mukmin itu saling menguatkan satu sama lain.”

Marilah kita bantu saudara-saudara kita, sekuat kemampuan dan kesmpatan yang kita miliki. Kalau diminta berdoa, berdoalah sungguh-sungguh, jangan selalu mengatakan “Insya Allah, insya Allah” lalu engkau acuhkan permintaan saudaramu. Kalau ada kelebihan harta, tunaikan hak-hak saudaramu. Harta yang engkau berikan secara ikhlas itu semoga menjadi “tolak bala” bagi diri, keluarga, dan masyarakatmu. Amin Allahumma amin.

Kemudian, engkau jangan selalu menjadikan urusan PEKERJAAN, BISNIS, TUGAS KANTOR, TUGAS KULIAH, NAFKAH ANAK-ISTERI, “TIDAK PUNYA UANG”, dan lainnya sebagai alasan. Sudah ribuan atau jutaan kali alasan seperti itu disampaikan manusia, sejak bencana-bencana alam dulu, seperti Tsunami di Aceh. Justru alasan-alasan seperti itu bisa mematikan hati, membuat kita menjadi munafik, membuat iman semakin rusak, dan seterusnya. Aku menduga, wallahu A’lam bisshawaab, bencana-bencana alam ini selalu menimpa orang-orang yang sering menjadikan semua alasan di atas sebagai TAMENG. Mungkin suatu saat, bencana itu akan mengubur manusia-manusia yang selalu punya “1001 alasan” tersebut. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

Ya, secara Syar’i, ada alasan-alasan yang bisa diterima. Ada alasan-alasan haq yang bisa menggugurkan tanggung-jawab seorang Muslim. Tetapi yang dimaksud disini adalah alasan dibuat-buat, hanya karena kefasikan diri. Na’udzubillah min dzalik. Kalau bicara soal REPOT, BANYAK URUSAN, NAFKAH ANAK-ISTERI, PEKERJAAN, dll. mana ada di dunia ini manusia yang tidak repot? Wong, kambing dan kucing saja setiap hari repot mencari makan, masak manusia ada yang tidak repot?

Ayolah saudaraku…berangkatlah saat ini ke Bumi Minang. Mintalah restu ayah-ibumu. Kalau diijinkan, berangkatlah dengan niat baik. Bawahlah IMAN di dadamu, bawalah UKHUWWAH di dadamu, bawalahTAAT-mu kepada Allah, bawalah semua itu kesana. Imanmu lebih utama daripada sekardus Indomie; Amal shalihmu lebih utama daripada botol-botol infus; Ibadahmu lebih utama daripada gelontoran dana miliaran rupiah. Akhi, dimanapun dirimu berada, berdiri kokoh dengan iman di dadamu, dengan amal shalihmu, maka disana Allah akan menaungi tempatmu berpijak. Allah akan meridhai langkah-langkahmu dan lingkungan di atas mana kakimu berpijak dalam ikhlas, kesabaran, dan istiqamah.

Singkirkan OMONG KOSONG orang-orang yang katanya korban bencana hanya membutuhkan Indomie, obat-obatan, popok bayi, atau pakaian dalam wanita. Bukan karena semua barang-barang itu tak berguna, tapi kaum Muslimin LEBIH BUTUH hati-hati saudaranya yang ikhlas, istiqamah, dan shalih. Hati-hati itulah yang akan menghibur mereka, meringankan beban mereka, mengasihi mereka, mendengarkan keluh-kesah mereka, dan sebagainya. Adapun popok bayi dan Indomie, apa yang bisa dilakukan keduanya?

Ingatlah pelajaran besar saat bencana Tsunami di Aceh lalu. Ketika itu ratusan atau ribuan pemuda Islam, dengan ikhlas, semata mengharap ridha Allah, dengan tekun dan mujahadah mereka megevakuasi satu demi satu mayat kaum Muslimin. Hal itu merupakan keberkahan besar yang akan selalu diingat oleh manusia-manusia yang adil. Para pemuda Islam yang kerap dituduh “garis keras” atau “ekstrem” itu, mereka tidak butuh ekspose media-media massa untuk mengabadikan amal-amal mereka. Walhamdulillah, mereka ikhlas semata karena Allah, karena panggilan iman, karena Ukhuwwah Islamiyyah.

Saudaraku…pergilah kini ke Ranah Minang. Disana ribuan saudaramu sedang memanggilmu, menanti kehadiranmu. “Ya Akhi, dimanakah engkau? Ya Akhi, tolonglah kami! Ya Akhi, tolonglah anak-anak kami! Ya Akhi, lindungi wanita-wanita kami! Ya Akhi, tegakkan surau-surau kami yang runtuh! Ya Akhi, kumandangkan adzan di Ranah Minang! Ya Akhi, selamatkan Islam di Tanah ini!”

Ya Akhi, pergilah kini ke Minang. Bawalah apa yang layak dibawa. Mintalah restu ayah-ibumu, jangan membantahnya jika engkau tidak diijinkan. Carilah rombongan untuk serta di dalamnya, jangan berangkat munfarid (sendiri-sendiri). Inilah khuruj Syar’i yang telah dibuka di depan mata kita. Tinggallah di Minang barang satu bulan, atau lebih jika engkau menginginkan. Tampakkan RAHMAT ISLAM ke hadapan saudara-saudaramu yang menderita. Yakinkan ke mereka, bahwa ISLAM MASIH TEGAK DI BUMI NUSANTARA INI !!!

Pergilah Akhi, Ranah Minang menantimu.

Malang, 3 Oktober 2009.

== AM. Waskito ==


Orde Lama dan Sistem Islam

Oktober 2, 2009

Ada sebuah tulisan bagus di eramuslim.com, ditulis oleh Bang Rizki Ridyasmara. Judulnya, “Ayat-ayat Allah SWT dalam Gempa di Sumatra“. Secara umum, tulisan ini bagus, mengajak kita secara dalam merenung kembali tentang nestapa hidup di negeri ini. Intinya, bencana-bencana alam itu muncul karena kedurhakaan manusia (Indonesia) belaka. Juga karena kesalahan rakyat dalam memilih pemimpin yang benar dan lurus. Menurut Bang Rizki, pemimpin saat ini masih satu paket dengan gerakan New World Order yang dikendalikan orang-orang Luciferian.

Kalau mau membaca artikel lengkapnya, silakan di:

http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/ayat-ayat-allah-swt-dalam-gempa-di-sumatera.htm

Tapi ada satu bagian tulisan itu yang ingin dikomentari. Sebenarnya ini sudah lama, tapi ingin disampaikan saat ini, karena berbagai alasan teknis. Ada beberapa penggal kalimat dalam tulisan itu (di luar tema inti) yang sebenarnya perlu diluruskan. Isinya sebagai berikut:

Kedua, 44 tahun lalu, tanggal 30 September dan 1 Oktober 1965 merupakan tonggak bersejarah bagi perjalanan bangsa dan negara ini. Pada tanggal itulah awal dari kejatuhan Soekarno dan berkuasanya Jenderal Suharto. Pergantian kekuasaan yang di Barat dikenal dengan sebutan Coup de’ Etat Jenderal Suharto ini, telah membunuh Indonesia yang mandiri dan revolusioner di zaman Soekarno, anti kepada neo kolonialisme dan neo imperialisme (Nekolim), menjadi Indonesia yang terjajah kembali. Suharto telah membawa kembali bangsa ini ke mulut para pelayan Dajjal, agen-agen Yahudi Internasional, yang berkumpul di Washington.

Nah, pada bagian di atas, kita perlu memberi catatan-catatan. Secara umum, baik Soekarno atau Soeharto itu sama-sama sekuler. Kalau Soekarno sekulernya bledag-bledug (blak-blakan), sementara Soeharto sekulernya diselimuti kesantunan tata-krama Jawa. Tapi hakikatnya, sama-sama sekuler. Dan di akhir Pemerintahannya Soeharto dekat dengan kalangan Islam. Meskipun hal itu tidak serta-merta bisa mengubur semua dosa-dosa politiknya.

Adapun catatan yang ingin disampaikan terhadap paragraf di atas adalah sebagai berikut:

[1] Ketika kita memposisikan Soeharto sebagai agen Kapitalisme, solusinya tidak harus Soekarno. Ini catatan besar yang harus selalu diingat. Solusinya seharusnya adalah Islam itu sendiri. Seperti kata ungkapan, “Al Islamu huwal hal” (Islam itulah solusinya).

[2] Kalau kita mencela Soeharto, tidak harus lalu memuji Soekarno. Soekarno tidak kalah brutalnya dari Soeharto. Di antara dosa-dosa Soekarno antara lain: Menolok Piagam Djakarta, menulis teks Proklamasi sendiri (sangat singkat dan ada coretan-coretan), menyetujui perjanjian Linggardjati, Renville, KMB. Dalam salah satu klausul KMB, Indonesia harus menanggung hutang Belanda yang nilainya miliaran gulden. Soekarno juga membabat habis gerakan DI/TII, mengeksekusi mati SM Kartosoewiryo rahimahullah, dia membubarkan Masyumi, mentoleransi pemberontakan PKI Madiun, memaksakan ideologi NASAKOM, hingga akhirnya terlibat dalam gerakan PKI tahun 1965. Banyak sekali dosa-dosa Seokarno, termasuk sebutan-sebutan “berbau syirik” baginya seperti “Yang terhormat paduka yang mulia, pemimpin besar Revolusi..” dll. Sebutan-sebutan itu adalah “cuci otak” yang membuat rakyat Indonesia sampai saat ini masih terus menyimpan kekaguman spiritual kepadanya.

[3] Andaikan Soekarno tidak terlibat New Word Order, bukan berarti dia bisa bebas dari segala beban dosa. Bukankah waktu itu istilah New World Order sendiri belum populer? Bahkan ketika itu masih ada blok Timur Uni Soviet yang anti kapitalisme Amerika. Soekarno bukanlah manusia yang mandiri, dia tetap membebek juga kepada ideologi materialisme. Dalam banyak tulisannya, Soekarno itu mengakui sangat kagum dengan pemikiran Karl Marx. Apa manusia macam begini yang hendak kita bela? Na’udzubillah min dzalik.

Perlu diingat juga, tidak ada tokoh-tokoh Islam jaman Orde Lama yang memberi rekomendasi kepada Soekarno. Kalau ada adalah Hamka rahimahullah yang berbesar hati tetap menyalati Seokarno, meskipun beliau pernah dipenjara oleh Soekarno.

Intinya, sejak jaman Kemerdekaan RI, negara kita tidak pernah dipimpin secara benar. Baik Soekarno, Soeharto, maupun era Reformasi, semuanya dilandasi nilai-nilai sekularisme-materialisme. Tidak ada yang mau memimpin negara ini dengan ideologi Islam, dengan tata nilai Islam, dengan panduan manhaj Rabbaniyyah. .

Disini saya terkesan oleh sikap Ki Bagoes Hadikoesoemo rahimahullah. Ketika menyikapi satu kalimat dalam Piagam Djakarta, “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Ketika banyak orang berselisih tentang redaksi yang tepat untuk kalimat itu, Ki Bagoes menawarkan konsepnya yang jenius. Beliau mengusulkan agar kalimat itu ditetapkan “Ketuhanan dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam, tanpa embel-embel bagi pemeluk-pemeluknya”.

Sungguh mengagumkan usulan Ki Bagoes rahimahullah itu. Saya acungi dua jempol untuk beliau. Andai dalam jari-jari tangan ini ada 10 jempol, insya Allah akan saya acungkan semuanya.

Wallahu A’lam bisshawaab.

AMW.