1. Bukan sekarang saja regim SBY ingin menaikkan harga BBM. Hal ini sudah dua kali terjadi, dan kalau sekarang jadi, menjadi yang ketiga kalinya. Kalau dibaca, alasan yang dipakai masih sama dari waktu ke waktu. “Kenaikan harga minyak dunia. Mengurangi beban APBN dengan mengurangi subsidi BBM. Menyelamatkan perekonomian nasional.” Kalau di era SBY misalnya ada 10 kali kenaikan harga BBM, alasannya pasti sama juga. Ya, tinggal di-copy paste.
2. Lucu kalau mendengar penjelasan-penjelasan Menteri ESDM Jero Wacik, lewat forum-forum diskusi di TV. “Tidak mungkinlah pemerintah ingin menyengsarakan rakyatnya. Setahu saya selama bekerja di kabinet Pak SBY, tidak ada alasan politik seperti itu. Kalau pemerintah menaikkan harga BBM karena ingin ada alasan untuk memberikan BLT, biar citra politiknya naik. Wah, itu jahat namanya.” Sosok seperti Pak Jero Wacik ini seperti politisi lugu yang benar-benar baru belajar politik. Dia berbicara dalam tataran “etika” dan “tatakrama”. Padahal dalam realitas sebenarnya, kondisi rakyat Indonesia tidak memperbolehkan lagi untuk ditipu dan dikibuli, apapun caranya. Termasuk dengan retorika “pura-pura tidak tahu”. Ya, kita bisa melihat kesungguhan Pak Jero Wacik dalam membela rakyat dari bukti berupa foto dia di depan caddy-caddy seksi di lapangan golf Halim. Andaikan Pak Jero Wacik “tidak jahat”, tidak perlu muncul foto seperti itu.
3. Dampak paling mematikan dari kenaikan harga BBM adalah efek domino dan eskalasi pengaruh-nya yang sangat kuat dalam meningkatkan kemiskinan dan penderitaan rakyat. Dalam salah satu pidatonya, Ny. Ani Yudhoyono mengklaim bahwa pilihan kenaikan harga BBM merupakan “pilihan terpaksa” demi menyelamatkan ekonomi nasional. Sebenarnya bukan “kepaksa” Bu, tapi malas; tidak mau bekerja keras dan berani mengambil resiko. Regim SBY sudah dikenal sebagai regim paling “cari aman”. Tidak mau berkeringat dan menunjukkan harga diri di hadapan para penekan (asing atau lokal).
4. Banyak sekali sektor-sektor yang bisa diperbaiki, selain melaksanakan opsi kenaikan BBM. Antara lain: meningkatkan lifting produk migas nasional, memangkas mata rantai perdagangan migas, memperbesar peranan Pertamina dalam eksplorasi minyak di Indonesia, mengutamakan konsumsi gas untuk dalam negeri, meningkatkan negosiasi royalti pertambangan dengan pihak asing, memberantas praktik korupsi di segala sektor (dimulai dari korupsi di tubuh Partai Demokrat), mengurangi jumlah PNS dan meningkatkan kinerja mereka, meningkatkan pendapatan pajak, terutama dari perusahaan-perusahaan besar dan asing, menggunakan multi mata uang dalam jual-beli migas; dan lain-lain jalan keluar. Seharusnya, opsi memotong subsidi untuk rakyat, mestinya menjadi opsi terakhir, ketika jalan-jalan lain sudah tidak ada. Tapi kita tahu, pemerintah SBY ini amat sangat mau enaknya saja, mau gampangnya saja.
5. Adalah hak rakyat untuk mendapatkan subsidi negara. Negara itu dibangun untuk siapa sih? Untuk rakyat kan. Lalu mengapa pemerintah SBY selalu merasa sangat bersalah kalau menyisihkan dana untuk rakyat? Padahal hakikatnya SBY itu kan digaji oleh rakyat. Sebaliknya, mereka merasa selalu termotivasi untuk memenuhi perjanjian-perjanjian dengan lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Sebenarnya, mereka itu pembela rakyat, atau antek asing ya? Urusan rakyat selalu dikorbankan demi memenuhi standar harga minyak NYMEX di New York. Apalagi menurut seorang ekonom, UU yang dipakai untuk menaikkan harga BBM itu sudah dibatalkan oleh keputusan MK.
6. Rakyat Indonesia bisa dikatakan “ada”, tetapi juga “tiada”. Maksudnya, secara realitas (de facto), rakyat Indonesia ada. Jumlahnya sekitar 240 juta. Belum lagi orang asing yang tinggal di negeri ini. Tetapi di mata pemerintah SBY, rakyat sebanyak itu seperti dianggap “asap” saja. Jerit-tangis, penderitaan, kemiskinan, kesusahan sosial, konflik, dan segala ancaman yang mengitari kehidupan rakyat; dianggap sepele oleh SBY dan kawan-kawan. Maka ketika SBY tidak mau mengorbankan partainya, tidak mau mengorbankan politisi demokrat, tidak mau mengorbankan para ekonom Neolib, tidak mau mengorbankan uang para konglomerat, tidak mau mengorbankan kekayaan perusahaan asing, tidak mau mengorbankan pengaruh kroni-kroninya; akhirnya rakyat yang jadi korban! Ya, rakyat adalah korban paling gampang direalisasikan.”Toh, mereka nanti juga gak akan melawan. Kalau mau melawan, kita punya Densus88. Itu saja solusinya. Gampang kan?” begitu logika simplisit mereka. Na’udzubillah min dzalik.
7. Ketika harga-harga melambung, infalasi melesat tinggi, rakyat miskin “yang terkena dampak” akan dibantu dengan BLT (BLSM). Masya Allah, ini benar-benar pemerintahan primitif. Di zaman semaju ini ada pemerintahan membagi-bagikan uang gratis. Masya Allah. Benar-benar bodo dan sebodo-bodonya manusia. Di negara maju dan beradab, bagi-bagi uang ini tidak dilakukan. Selain meningkatkan inflasi, memicu konflik sosial, meningkatkan mental pengemis di tengah rakyat; ya kok bodo sekali ya. Katanya, menaikkan BBM untuk mengurangi subsidi; lha kok sekarang uang negara dibagi-bagi obralan begitu? Satu sisi mengurangi subsidi, di sisi lain bagi-bagi uang secara cuma-cuma. Otak para pemimpin ditaruh dimana ya? Kenapa Anda -andaikan harus menaikkan harga BBM- mengapa tidak menaikkan dengan besaran kecil (misalnya maksimal 500 rupiah)? Mengapa lalu harus bagi-bagi uang kebohongan dan pengemisan rakyat itu? Disini terlihat jelas bahwa regim SBY amat sangat tidak manusia terhadap rakyatnya. Rakyat dianggap manusia-manusia robot yang tinggal diberi uang kalau kelaparan.
8. Berulang kali SBY curhat tentang keselamatan dirinya. Seolah seluruh rakyat dan dunia, harus concern memikirkan hak-hak eksklusif dirinya. Di sisi lain, dia tidak concern dengan hak-hak rakyat. Ini selain ketidak-adilan, juga hakikat pengkhianatan. Mengapa SBY tidak menjunjung tinggi hak-hak rakyat sebagaimana dia menjunjung tinggi hak-hak privasinya? Dimana sikap adil Anda, Pak Presiden?
9. Gerakan-gerakan sosial, termasuk gerakan mahasiswa, saat ini sedang merapat kembali untuk menuju jantung kekuasaan SBY. Mereka memberikan pilihan: “BBM naik, SBY turun!” Itu yang saya baca dari edaran yang disebarkan sebagian gerakan mahasiswa. Dari pengalaman memerintah RI sejak tahun 2004 sampai sekarang, tampak jelas hakikat sebenarnya: regim SBY lebih pro asing daripada kepada rakyat sendiri. Kebijakan-kebijakan menyengsarakan di zaman dia, banyak diarahkan oleh tangan-tangan asing. Dalam satu riwayat dikatakan, “Sebaik-baik pemimpin adalah yang mencintai kalian dan kalian mencintainya; dia mendoakan kalian, dan kalian mendoakannya. Seburuk-buruk pemimpin adalah yang membenci kalian, dan kalian membencinya; dia melaknat kalian, dan kalian melaknat dirinya.” Hikmah dari riwayat ini, kepemimpinan SBY sebaiknya dihentikan; sebelum bangsa dan negara tambah rusak gak karuan.Ya Allah, kabulkanlah harapan kami. Amin ya Rabbal ‘alamiin.
(Pak Sakerah).