10 Hal yang Tidak Dijumpai pada Daulah Nabawiyah

Juli 3, 2014

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Ada baiknya di bulan Ramadhan ini kita mengkaji sedikit tentang karakter Daulah Islamiyah sesuai praktik yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Daulah semacam itu bisa disebut Daulah Nabawiyah, karena memang sesuai amanat Kenabian. Atau banyak di antara para aktivis dan dai-dai Islam menyebut dengan istilah: Daulah ‘ala minhaji Nubuwwah (tatanan negara di atas metode Kenabian).

Di sini kami tak akan menyebutkan ciri-ciri Daulah Nabawiyah itu, tapi menyebutkan ciri-ciri perkara yang tidak mungkin ada pada Daulah Nabawiyah. Hal-hal tersebut memang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW, tidak pernah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin RA, dan tidak pernah menjadi bagian dari Syariat Islam. Jika kita menjumpai hal-hal itu pada sebuah Daulah, berarti ia bukan termasuk Daulah Nabawiyah yang disyariatkan dalam Islam.

Jalan Kebenaran, Bukan Kedustaan.

Jalan Kebenaran, Bukan Kedustaan.

Berikut perkara-perkara yang tidak mungkin ada pada Daulah Nabawiyah:

[1]. Melanggar kesepakatan atau janji yang telah disepakati.

Hal ini tidak pernah terjadi pada diri Nabi SAW. Beliau disebut Al Amin, karena memang memegang amanat, menunaikan janji-janji. Dalam membuat kesepakatan dengan siapapun, beliau selalu memenuhinya, hatta dengan orang kafir. Para ahli sejarah menjelaskan, sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah, beliau memerintahkan Ali bin Abi Thalib RA untuk menyerahkan barang-barang titipan orang musyrik Makkah yang dititipkan kepada beliau kepada pemiliknya. Begitu juga ketika beliau mengikat perjanjian dengan Yahudi, kabilah-balilah Arab di Madinah, juga perjanjian Hudaibiyah; beliau tak pernah menciderai janji dan kesepakatan.

Ada kalanya seorang pemimpin mengaku sudah terikat dengan suatu bai’at (perjanjian loyalitas), tapi kemudian dengan mudah mengingkarinya. Bahkan dia membuang begitu saja bai’at itu dan mengajak pendukungnya untuk menghancurkan pimpinan yang semula dia bai’at. Cara demikian bukan ciri pelaksana Daulah Nabawiyah.

[2]. Biasa berdusta di hadapan manusia.

Tegaknya Daulah Islamiyah, salah satunya adalah untuk memantapkan akhlak mulia dan moralitas. Nabi SAW mencontohkan sikap akhlak mulia kepada siapapun. Beliau mengutamakan kejujuran, dan mencela kedustaan; apalagi di hadapan khalayak ramai. Salah satu golongan yang mendapatkan nikmat dari Allah adalah kalangan Ash Shadiqin (selain Anbiya’, Syuhada’, dan Shalihin). Bahkan kita diperintahkan: “Wa kunuu ma’as shadiqin” (hendaklah kalian bersama orang-orang yang jujur). Para ulama menyebut salah satu sifat Nabi SAW sebagai Ash Shidiq. Bahkan Abu Bakar RA juga dijuluki sebagai Ash Shidiq. Dalam riwayat Nabi berkata: “Innal kidzba yahdi ilal fujur wa innal fujur yahdi ilan naar” (sesungguhnya kedustaan itu menuntun kepada kejahatan dan kejahatan itu menuntun ke arah neraka). Daulah Islamiyah menegakkan kejujuran dan memberantas kebohongan.

Tapi ada kalanya suatu kaum begitu mudah berdusta. Dari satu dusta diiringi dusta-dusta yang lain, dan menganggap semua itu bagian dari Syariat. Dia mengklaim tidak mengkafirkan Ummat, padahal jelas-jelas mengkafirkan; dia mengklaim tidak membunuh pejuang, padahal membunuh; dia mengklaim menegakkan Syariat, padahal merusak Syariat; dan seterusnya. Banyak kebohongan-kebohongan yang dihasilkan lewat pernyataan publiknya.

[3]. Mengkafirkan kaum Muslimin.

Rasulullah SAW tidak mengkafirkan kaum Muslimin, yaitu orang-orang yang telah beriman kepada beliau dan menerima Syariat-nya. Beliau pernah marah besar kepada Usamah bin Zaid RA karena dia telah membunuh seseorang yang telah mengucapkan “Laa ilaha illa Allah”. Hal ini adalah satu petunjuk Syariat, bahwa Islam sangat menghargai keislaman manusia; sekali pun di alam peperangan, karena konteks peristiwa Usamah itu saat perang. Nabi SAW juga tidak mengkafirkan kaum Muslimin di Makkah yang belum hijrah ke Madinah. Tak ada bukti Syariat bahwa orang-orang yang belum hijrah dari Makkah ke Madinah itu divonis kafir. Tidak ada.

Tapi sebagian orang dengan semena-mena memvonis sesama Muslim sebagai kafir, hanya karena yang bersangkutan hidup di negara demokrasi, terlibat politik demokrasi, atau mendukung partai-partai Islam dalam kancah politik demokrasi. Bukan hanya mengkafirkan, mereka juga siap memerangi negara-negara Muslim yang menerapkan sistem politik demokrasi. Tidak lupa, mereka membunuhi rakyat sipil, hanya dengan dasar klaim secara sepihak.

[4]. Membunuhi para pejuang Islam.

Nabi SAW sangat menghargai para pejuang Islam. Banyak sekali hadits-hadits Nabi yang menunjukkan keutamaan para Mujahidin, mati syahid, Jihad Fi Sabilillah. Banyak sekali dan hal itu sudah terkenal di sisi para ulama. Bahkan Nabi SAW memuliakan siapa saja yang berjasa kepada Islam, sekalipun mereka bukan Muslim. Nabi SAW sangat menghargai jasa pamannya, Abu Thalib, atas jasa-jasanya membela Nabi. Beliau juga pernah memuji Muth’im bin Ady, tokoh musyrikin Makkah, yang pernah berjasa memberi perlindungan kepada beliau. Nabi juga memuji Mukhairiq sebagai sebaik-baik Yahudi, karena dia ikut terlibat dalam perang Uhud di pihak Ummat Islam. Begitu juga, Nabi SAW memperbolehkan orang-orang musyrikin Makkah membantu kaum Muslimin dalam perang Hunain, lalu memberi mereka bagian ghanimah. Termasuk ketika Hathib bin Abi Rabi’ah RA melakukan pengkhianatan atas rencana Nabi untuk menaklukkan Makkah, maka beliau memaafkan Hathib dengan asumsi dia pernah terlibat dalam Perang Badar. Demikianlah contoh-contoh sikap Kenabian yang sangat baik dan pemurah kepada para pembela Islam.

Namun di sana, di sebuah negeri yang diklaim sebagai “Daulah Islam”, para elit politiknya begitu mudah memerintahkan anak buahnya menyerang para Mujahidin, merebut markas-markas, menyita harta benda dan senjata, membunuh para pejuang, membunuh pimpinan pejuang dan keluarganya, hatta anak-anaknya yang masih kecil. Katanya, semua itu tuntunan Syariat. Na’udzubillah wa na’udzubillah tsumma na’udzubillah min kulli dzalik. Dari mana mereka mengambil hukum seperti itu? Apakah Islam mengajarkan hal tersebut? Tunjukkan bukti-bukti kebenaran kalian!

Daulah Menjaga Kehidupan Ummat.

Daulah Menjaga Kehidupan Ummat.

[5]. Membunuh utusan perdamaian.

Di antara etika diplomasi dalam Islam, adalah menghormati utusan-utusan, menghormati delegasi-delegasi, menghormati juru runding, menghargai tamu kehormatan. Hal ini selaras dengan etika diplomasi yang diakui hukum internasional modern. Rasulullah SAW tidak pernah membunuh utusan musuh, juru runding, dan sebagainya. Berkali-kali beliau menerima utusan kaum Quraisy ke Madinah, juga utusan Yahudi, kabilah Arab. Tidak ada satu pun yang dibunuh oleh Nabi SAW. Termasuk ketika Abu Sufyan datang ke Madinah, meminta jalan damai, setelah kaum Quraisy melanggar perjanjian Hudaibiyah; Nabi menjamin keamanan dirinya, sampai pulang kembali ke Makkah. Para utusan itu memang hakikatnya tidak boleh dibunuh.

Suatu perkara yang ajaib. Ketika terjadi konflik antar pejuang Muslim di Irak-Suriah, datang utusan damai dari mujahidin senior, untuk mendamaikan atau mencari solusi. Tetapi sayang, saat berada di suatu tempat di Suriah, utusan itu dibunuh dengan serangan “bom manusia”. Pihak tertentu bersumpah tidak terlibat dalam pembunuhan; tapi saksi-saksi yang ditangkap, mereka menyatakan mendapat perintah dari pimpinan kelompok itu, bahkan menjanjikan hadiah. Dari mana mereka mendapatkan syariat seperti itu?

[6]. Menebar ancaman kepada kaum Muslimin.

Islam disebut sebagai agama Rahmatan lil ‘Alamin karena memang ia berkomitmen menyebarkan rahmat ke seluruh alam. Dalam Islam tidak dikenal istilah penjajahan, invasi, penindasan, dan semacamnya. Islam menaklukkan wilayah-wilayah, tetapi selalu dilakukan dengan cara-cara kesatria yaitu melalui peperangan yang sama-sama dimaklumi. Nabi SAW menghalalkan perang kepada kaum musyrikin Makkah, karena mereka memang memusuhi Islam dan selalu ingin menghancurkannya. Sebelum Nabi hijrah, kabilah-kabilah Makkah sepakat untuk membunuh Nabi di rumahnya, namun rencana itu digagalkan oleh Allah Ta’ala. Musyrikin Makkah juga memerangi kaum Muslimin di medan Badar dan Uhud, serta mengepung dalam perang Khandaq. Meskipun begitu, tatkala mereka meminta disepakati perundingan damai, Nabi SAW mengulurkan tangan terbuka, sehingga disepakati perjanjian Hudaibiyah. Begitu juga, saat Nabi SAW menaklukkan Makkah, beliau memberikan amnesti kepada penduduk Makkah, kecuali beberapa orang musuh berbahaya Islam. Itulah cara perlakuan Nabi SAW kepada kaum kufar, musyrikin Makkah. Keindahakan akhlak para prajurit Islam juga sangat terlihat ketika panglima Abu Ubaidah bin Jarrah RA berhasil merebut Kota Yerusalem di Palestina yang mayoritas penghuninya Nashrani. Kedatangan para pejuang Islam bukan membuat rakyat Yerusalem ketakutan, justru sangat mensyukuri. Tatkala pasukan harus kembali ke Madinah, kaum Nasrani menangis meminta mereka tidak pergi.

Tapi anehnya, di suatu tempat ada “Daulah Islam” yang selalu menebar ancaman kepada kaum Muslimin lewat pernyataan-pernyataannya. Mereka berniat memerangi seluruh negara-negara di Timur Tengah dan Afrika, baik negara demokrasi maupun kerajaan. Tidak ada yang selamat dari ancaman mereka, selain dirinya sendiri. Mereka berniat melanggar semua batas-batas wilayah dan tak mengakuinya. Mereka berniat membatalkan semua bentuk ikatan loyalitas, organisasi, jamaah, tanzhim, brigade, dan sebagainya. Ini daulah rahmah, atau daulah hakalah?

[7]. Tidak mau tunduk kepada mahkamah Syariat.

Rasulullah SAW adalah pemimpin daulah yang konsisten menegakkan Syariat Islam. Kata Aisyah RA, beliau bisa sabar untuk hal-hal yang bersifat pribadi; tetapi akan bersikap tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran Syariat. Nabi SAW memuji seorang wanita yang telah berzina, lalu meminta diberi hukuman Syariat. Kata Nabi, ampunan bagi wanita itu cukup jika diberikan kepada 70 orang penduduk Madinah. Nabi juga melarang para Shahabat RA memaki seorang Muslim yang berkali-kali dihukum karena minum khamr. Kata Nabi SAW, dalam hati orang itu ada iman. Nabi SAW sendiri sehari-hari bertindak sebagai hakim bagi kaum Muslimin yang bersengketa. Beliau sering diminta putusan atau pendapat atas masalah-masalah yang ada.

Enggan dengan Mahkamah Syariah.

Enggan dengan Mahkamah Syariah.

Namanya Daulah Islam seharusnya pro Syariat, tidak membelakangi Syariat, dan tidak phobia atas keberadaan Mahkamah Syariat yang independen. Tapi suatu kelompok selalu enggan untuk menyelesaikan konflik dengan mengacu ke mahkamah yang netral. Mereka selalu beralasan: “Kami kan sebuah Daulah. Kami bukan jamaah dakwah. Seharusnya mereka yang kami putuskan masalahnya, bukan kami diputuskan oleh siapapun.” Ini cara pandang picik. Bagaimana jika orang-orang daulah itu merugikan kepentingan pihak dari daulah lain? Apakah daulah lain harus tunduk kepada keputusan mereka? Bagaimana jika mereka tak setuju, dengan asumsi khawatir dicurangi oleh pengadilan daulah tersebut? Berarti ini bukan suatu tatanan hukum, tapi tirani.

Misalnya saja, Anda dan keluarga suatu saat mengalami tindak kezhaliman oleh suporter bola. Kendaraan Anda dihancurkan mereka, anak isteri Anda dianiaya sampai terluka. Barang-barang berharga Anda dijarah oleh mereka. Lalu Anda laporkan perampok itu kepada pihak berwajib, sehingga para pelaku ditangkap dan mau diadili. Saat hendak diadili, mereka protes. Mereka berkata: “Kami ini bukan suporter biasa. Kami punya asosiasi suporter yang anggotanya ribuan orang. Kami bukan pribadi-pribadi seperti korban. Kami tidak mau diadili oleh pengadilan netral. Kalau mereka mau, mari meminta keadilan kepada pengadilan yang diadakan oleh kelompok kami.” Coba bayangkan, bagaimana akan tercipta keadilan dengan cara begitu? Bukankah dulu Nabi SAW tatkala berselisih dengan kaum musyrikin Makkah, beliau mau berunding. Begitu juga, Khalifah Ali RA tatkala terlibat konflik dengan Muawiyah RA, beliau juga mau berunding; peristiwa perundingan itu terkenal dengan nama TAHKIM.

[8]. Tidak menghargai ijtihad pihak lain.

Nabi SAW dalam memimpin daulah, sangat menghargai ijtihad manusia. Beliau berkali-kali menerima pendapat Umar bin Khatthab RA. Beliau menerima usulan seorang Shahabat RA terkait strategi dalam Perang Badar. Beliau berunding dengan para Shahabat RA untuk menghadapi serangan kaum kufar Makkah, baik saat Perang Uhud maupun Khandaq. Beliau juga memuji Muadz bin Jabbal RA atas ijtihadnya, sebelum berangkat menjadi gubernur di Yaman. Peristiwa yang sangat terkenal adalah tentang “Shalat Ashar di kampung Bani Quraidhah”. Nabi SAW jelaskan, bagi seorang hakim yang berijtihad, jika benar mendapat dua pahala, jika salah mendapat satu pahala.

Namun ada satu kelompok yang menamakan diri “Daulah Islam” bermaksud membabat semua pendapat-pendapat di tengah kaum Muslimin. Mereka tidak mengakui ada otoritas ilmiah apapun, selain dari diri mereka sendiri. Orang-orang yang berbeda pendapat dianggap melawan daulah, tidak loyal, dituduh sebagai shahawat murtad. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Sangat terkenal pernyataan pemimpin mereka ketika menyerang Presiden Mursi dan partai Islam di Mesir, karena mereka terlibat dalam politik demokrasi. Padahal partisipasi dalam politik itu adalah bentuk ijtihad. Dalam kaidah fiqih disebutkan: “Al ijtihadi laa yunqadhu bil ijtihad” (satu ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain; karena keduanya berkadar sama-sama ijtihad).

[9]. Menyerukan (atau memperparah) perpecahan antar kaum Muslimin.

Salah satu missi besar Daulah Islamiyah adalah menyatukan kaum Muslimin, merapatkan barisan, meminimalisir persengketaan, menubuhkan Jamaah, membangun wibawa Ummat. Banyak dalil-dalil tentang keutamaan persatuan Ummat ini. Nabi SAW sendiri sangat mengutamakan persatuan Ummat. Beliau katakan, kalau ada satu pemimpin sudah dibai’at, lalu datang pemimpin lain yang mengaku dibai’at juga, maka enyahkan pemimpin kedua itu. Beliau juga katakan, bahwa kaum Muslimin melaksanakan shalat jamaah, berhari raya, dan berjihad di belakang seorang Imam; terserah apakah dia adil atau jahat. Jika ada suatu kaum yang membangkang, maka mereka harus ditundukkan agar kembali kepada kesatuan Jamaah. Hingga beliau tegaskan, siapa yang keluar dari Al Jamaah, dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.

Ada suatu kaum yang aktif mengadu-domba antar para pejuang Islam. Satu kelompok pejuang diharapkan bermusuhan dengan kelompok yang lain. Mereka membelah para pejuang Islam atas pilihan mendukung dirinya, atau anti terhadapnya. Mereka menuduh kaum Muslimin yang tidak menerima dirinya, telah keluar dari millah Islam. Saat ini kaum Mujahidin sedunia dirundung masalah besar, konflik internal, yang diakibatkan kelancangan kelompok ini dan keberaniannya dalam mengoyak persatuan kaum Muslimin. Itu baru dari kalangan Mujahidin. Belum lagi kaum Muslimin lain yang pemahamannya jauh berbeda dengan kelompoknya. Mungkin inilah yang dianggap sebagai “barakah sebuah daulah”? Nas’alullah al ‘afiyah.

[10]. Jahil terhadap Syariat.

Tidak mungkin jika Daulah Nabawiyah dibangun di atas kejahilan. Sangat tidak mungkin. Dalam riwayat shahih, Nabi SAW berkata di hadapan 3 orang Shahabat yang baru bertanya bertanya kepada Aisyah RA tentang ibadah beliau. Nabi SAW berkata: “Inni atqakum billah wa ahsyakum lahu, walakin aqumu wa arqud, wa ashumu wa ufthir, wa atazauwajun nisa’, wa man raghiba ‘an sunnati fa laisa minni” (aku ini lebih bertakwa kepada Allah dari kalian dan lebih takut kepada-Nya; meskipun begitu, aku berdiri shalat dan istirahat, aku puasa dan aku berbuka, dan aku menikahi wanita; maka siapa yang membenci Sunnahku, dia bukan bagian dariku). Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi SAW adalah paling berilmu di antara manusia di zaman-nya; bahkan paling berilmu di hadapan semua manusia sesudahnya. Di sini ada kaitan antara ilmu dan rasa takut kepada Allah, seperti disebut dalam Al Qur’an: “Innama yahsyallahu min ‘ibadihil ulama.” Yang membedakan Daulah Islamiyah dengan daulah jahiliyah, adalah faktor ilmu tersebut.

Namun jika suatu kaum jahil dari ilmu, tidak mau tunduk kepada Syariat, dan hanya berhajat kepada fanatisme golongan, merasa kelu untuk menerima kebenaran hanya karena alasan-alasan emosional dan subyektif; serta adanya sifat menghakimi manusia dalam dirinya, yaitu bermudah-mudah menetapkan vonis kafir kepada orang lain; jika demikian adanya, ya tidak ada sesuatu kebaikan yang diharapkan dari urusan seperti ini. Sebaiknya mereka mundur dari urusan BESAR dan SERIUS ini, karena tampaknya mereka tidak mampu mengemban perkara ini. Bukan hanya kekuatan senjata yang dibutuhkan untuk membangun peradaban; tapi juga kekuatan ilmu. Oleh karena itu Allah SWT mensifati Thalut dengan kata: Basthatan fil ‘ilmi wal jism (memiliki keluasan ilmu dan kekuatan fisik); sifat ilmiah didahulukan sebelum sifat jismiyah.

Demikianlah di antara perkara-perkara yang tidak mungkin ada dalam sebuah Daulah Nabawiyah. Maka siapapun yang mengklaim sedang menegakkan Daulah Islamiyah, harus membuktikan kebenaran klaimnya. Kita tidak boleh mendustai manusia, membohongi Ummat, dan memerangkap mereka dalam musibah gelap, perih, sangat menyakitkan. Sebelum segalanya menjadi malapetaka yang bisa berakibat hancurnya Jihad Fi Sabilillah, hancurnya kehormatan para Mujahidin, hancurnya cita-cita Daulah Islamiyah; sebaiknya semua ini diperbaiki terlebih dulu. Jangan mengklaim hal-hal besar, sebelum memenuhi syarat-syaratnya.

Dan terakhir, sebuah diskusi kecil namun sangat penting. Jika di hadapan kita ada dua perkara, kita hanya boleh memilih salah satu saja. Jika kita mengambil satu perkara, maka otomatis kita akan meninggalkan perkara yang lain. Jika kita disuruh memilih antara menegakkan Syariat Islam atau membangun sebuah negara; kita akan memilih yang mana? Sekali lagi hanya satu pilihan, tidak ada dua pilihan atau pilihan tengah-tengah.

Maka yang hakiki di sisi Allah adalah menegakkan Syariat Islam, karena inilah perintah Allah kepada kita semua, yaitu untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Adapun sifat ketaatan itu dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk; bisa berupa sistem pemerintahan, tatanan negara, aturan kelompok, adab keluarga, sifat kepribadian, dan sebagainya. Jika mesti menegakkan sebuah negara, jangan sampai nanti di sana keberadaan negara menjadi sebab rusaknya pelaksanaan Syariat; sebab dalam sejarah Islam kadang terjadi kezhaliman serius terhadap tatanan Syariat, meskipun bentuk negara Islam sudah tercapai.

Kalangan yang pro Syariat sejati, tidak menafikan kebaikan-kebaikan Syariat yang ada di sekitarnya; sekecil apapun itu. Sedangkan kalangan yang “terlalu politis” menjadikan konsep negara (daulah) sebagai inti akidah, ibadah, dan perjuangan mereka. Meskipun banyak melanggar Syariat, kalau tujuannya menegakkan negara, dianggap benar. Justru cara-cara begitu yang akan menjauhkan kita dari tujuan menegakkan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Semoga risalah sederhana ini dapat dipahami dan tertangkap dengan baik. Amin Allahumma amin.

Billahi taufiq wal huda wan nashr. Mohon dimaafkan atas segala kesalahan dan kekurangan yang ada. Wa akhiru da’wana, anil hamdu lillahi Rabbil ‘alamiin.

(Mine).


Kalau Khalifah Itu Benar, maka Dia Harus Diqishash atas Darah Kaum Muslimin dan Pejuang Islam

Juli 3, 2014

Innal hamda lillah, wa bihi nasta’inu ‘ala umurid dunya wad din, was sholatu was salamu ‘ala Muhammadin wa ‘ala alihi wa shohbihi ajma’in, amma ba’du.

Baru-baru ini mencuat deklarasi Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah di Irak. Seseorang segera dinobatkan menjadi Khalifah bagi kaum Muslimin. Pengumuman dilakukan melalui siaran video di Youtube. Masalah terbesarnya, sebelum orang ini dinobatkan sebagai Khalifah, tangannya telah berlumuran darah kaum Muslimin di Suriah, dan telah menyebabkan pembunuhan-pembunuhan kejam terhadap para pemimpin dan pejuang Islam di Suriah.

Jika benar telah tegak berdiri Daulah Islamiyah, maka pasti tujuannya adalah untuk menegakkan Syariat Islam itu sendiri; bukan karena ambisi MANIAK POLITIK, yaitu ingin punya label negara Islam tanpa komitmen menegakkan Syariat Islam. Jika mereka berniat menegakkan Syariat, maka terlebih dulu harus dicontohkan kepada diri mereka sendiri. Bukankah Nabi SAW pernah didatangi Usamah bin Zaid RA untuk meminta keringanan bagi seorang wanita mulia yang telah mencuri, lalu Nabi SAW tidak memberi keringanan apapun. Bahkan beliau berkata: “Lau saraqot fathimah ibti Muhammad, la qotho’tu yadaha” (seandainya Fathimah putri Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya). Rasulullah SAW mencontohkan penegakan Syariat Islam dimulai dari diri dan keluarga beliau terlebih dulu.

"Khalifah" Tidak Bisa Lari dari Darah Orang-orang Ini.

“Khalifah” Tidak Bisa Lari dari Darah Orang-orang Ini.

Maka Khalifah yang baru diangkat itu harus di-qishash atas darah kaum Muslimin yang telah dia tumpahkan, jika benar mereka tulus ingin menegakkan Syariat. Kalau perlu ulama-ulama Islam dari berbagai negara Muslim turut terlibat dalam menuntutnya ke hadapan Mahkamah Islam. Maksudnya, jika semua ini memang tulus untuk menegakkan Syariat di muka bumi.

Mungkin ada yang berkata: “Para pembunuh bukan Khalifah itu sendiri, tapi anak buahnya. Jadi yang layak dihukum adalah anak buahnya.”

Jawabnya adalah: Apakah anak buahnya bisa melakukan pembunuhan, serangan, pengebomam, tanpa instruksi dari komandan-komandannya? Lalu apakah komandan-komandan itu bekerja sendiri, tanpa perintah dari pemimpin tertinggi mereka?

Sikap mereka dalam mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah para pejuang itulah pokok masalahnya. Hal itu jelas-jelas disampaikan melalui pernyataan juru bicara mereka. Salah satunya, dalam pernyataan yang berjudul: “Udzron ya Amir Al Qo’idah.” Bahkan sebelum itu, sang pemimpin jelas-jelas mengecam dan mensyukuri kehancuran Muhammad Mursi di Mesir, karena mereka terlibat dalam politik demokrasi. Ini adalah perkara-perkara yang disaksikan kaum Muslimin secara luas; disaksikan oleh kawan dan lawan, Muslim dan kafirin.

Seseorang yang didaulat sebagai Khalifah itu tidak bisa cuci tangan. Dia harus bertanggung-jawab atas tumpahnya darah kaum Muslimin, pembunuhan atas para pejuang Islam, dan terjadi konflik antar kaum Muslimin baik di Suriah maupun di Irak.

Banyak orang mengira, dengan telah menegakkan Daulah/Khilafah Islamiyah, mereka bisa bebas melakukan apa saja kepada umat manusia, bebas menuntut loyalitas penuh, bebas mengambil hak-haknya. Ini adalah prasangka yang sangat buruk. Jika demikian, berarti Daulah/Khilafah adalan instrumen untuk menindas manusia. Padahal sebaliknya, dengan menegakkan Daulah/Khilafah Islamiyah berarti mereka telah mengambil alih seluruh tanggung-jawab kehidupan kaum Muslimin. Di hadapan Khilafah Islamiyah yang syar’i, Ummat Islam boleh meminta apa saja kepada Khalifah, sekali pun hanya meminta sebuah jarum. Jika dia tak memberikan, harus diberikan penjelasan tentang udzur-nya. Jika ada satu masalah, sekalipun hanya seseorang tertusuk duri, dia boleh mengadukan masalahnya ke Khalifah. Karena memang fungsi Daulah/Khilafah adalah pelayan dan perlindungan kehidupan bagi kaum Muslimin. Dan satu lagi yang penting, mereka harus mulai memberlakukan Syariat Islam itu pada diri mereka dan keluarganya terlebih dulu.

Sebagian kaum Muslimin telah menegakkan sistem Islam secara otonom dalam skala terbatas, seperti Imarah Thaliban, Imarah Kaukasus, Kerajaan Saudi, Kerajaan Qatar, Kerajaan Brunei, dan sebagainya. Mereka tidak menuntut bai’at kaum Muslimin dan tidak memaksakan, karena mereka paham konsekuensinya. Dengan berani menerima bai’at, berarti berani menanggung segala hajat kehidupan orang-orang yang membai’at. Jika seorang Khalifah tidak memenuhi hak-hak orang yang membaiat ini, maka dia telah menzhalimi mereka, dan tidak akan mencium wangi surga.

Jika mereka tidak mengerti hal-hal seperti ini, maka bisa dikatakan: “Mereka suka bermain-main dengan istilah besar, tetapi tak mau memenuhi syarat-syaratnya.” Kami sendiri meyakini, Khilafah seperti ini telah dimulai dengan cara yang salah, yaitu menghalalkan darah kaum Muslimin; maka perkara demikian akan terus menyandera urusan orang-orang ini.

Nyawa Muslim Menjadi Tontonan dan Kebanggaan.

Nyawa Pejuang Muslim Menjadi Tontonan dan Kebanggaan.

Seharusnya kaum Muslimin berfokus di Suriah, dan lupakan segala fitnah yang merebak di Irak. Anggap saja semua itu tidak pernah ada, lalu jadikan sebaik-baik pelajaran agar tidak terulang. Perlu diketahui, secara teori Basyar Assad sudah kalah. Seluruh hasil-hasil capaian rezim Assad telah runtuh dan nama baik keluarga Assad telah hancur di mata rakyat Suriah dan dunia internasional. Posisi Basyar saat ini hanya simbol belaka, sedangkan yang memperpanjang usia rezim ini adalah kekuatan-kekuatan dari luar, seperti Iran, Libanon, Rusia, dan China.

Sejak awal kekuasaan Daulah itu sudah salah. Mereka ingin menegakkan Syariat dengan cara menghalalkan kezhaliman atas kaum Muslimin (yang tidak mendukung pandangan-pandangan mereka). Jika kita mendukung perkara seperti ini, berarti ikut berserikat dalam menghalalkan hak-hak kaum Muslimin. Padahal Nabi SAW jelas-jelas telah mengatakan: “Al muslimu akhul muslimi, haromun damahu wa maalahu wa ‘irdhuh” (seorang Muslim menjadi saudara Muslim yang lain, diharamkan darahnya, hartanya, dan kehormatannya).

Apa hukumnya bagi siapa saja yang menghalalkan apa-apa yang telah Allah haramkan; dan mengharamkan apa-apa yang telah Allah halalkan? Mereka halalkan darah dan harta Ummat; serta mengharamkan persaudaraan, kerjasama, bantu-membantu antar sesama Muslim. Jika demikian, apakah mereka itu pro Syariat atau pro thaghut? Bukankah thaghut adalah siapa saja yang ditaati untuk menentang Syariat Nabi SAW?

Menegakkan kebenaran itu sangat tidak mudah. Ada beribu was-was yang menimpa hati manusia setiap mereka ingin melangkah mendekati kebenaran. Mereka punya 1001 alasan untuk menolak sumber kebenaran, dengan alasan-alasan yang tidak syar’i di sisi Allah. Tetapi bagaimanapun juga kebenaran harus disampaikan, tidak disembunyikan. Ibnu Mas’ud RA tatkala menjelaskan makna Al Jamah, beliau berkata: “Maa wafaqol haqqo wa in kunta wahdak” (apa saja yang selaras dengan kebenaran, meskipun engkau hanya seorang diri). Kebenaran meskipun sedikit pendukungnya berfaidah bagi kelangsungan kehidupan Ummat, daripada kesalahan yang didukung banyak orang tapi mengancam kehidupan Ummat.

Wallahu a’lam bisshawab.

(Abu Halimah).


Bolehkah Membaiat Pemimpin Ahli Bid’ah ?

Mei 18, 2014

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Baru-baru ini datang sebuah e-mail ke alamat “langitbiru” kami. Isi e-mail ini menanyakan tentang boleh tidaknya membaiat pemimpin ahli bid’ah. Kami akan coba berikan jawaban. Berikut isi e-mailnya.

PERTANYAAN: Assalamu’alaikum ustadz. Afwan saya mau tanya tentang masalah yang cukup serius. Moga ustadz bisa membantu. Beberapa waktu lalu sempat ramai tentang isu baiat kepada sebuah jamaah dakwah di negeri Timur Tengah. Ada pro dan kontra. Ada yang mendukung dan langsung ikut membaiat, ada juga yang menolak. Pihak pendukung beralasan, “Ini kan sebuah Daulah Islamiyah, jadi tunggu apa lagi, hayo segera bai’at. Kalau tidak, nanti kamu mati dalam keadaan jahiliyah.” Ada juga yang berpandangan lain, “Jangan dibaiat, itu kan orang Khawarij, kita gak boleh bai’at orang Khawarij karena mereka ahli bid’ah.” Begitulah pro dan kontra. Ustadz mohon diberi penjelasan sekaligus share untuk pencerahan Umat. Jazakumullah khoiron katsiron atas perhatiannya. (Nurhadi, Depok).

JAWABAN:

"Jangan Mendukung Eksistensi Sistem Ahli Bid'ah".

“Jangan Mendukung Eksistensi Sistem Ahli Bid’ah”.

Dengan memohon pertolongan dan ilmu kepada Allah Rabbul Jalali wal Ikram, kami memberikan jawaban sebagai berikut:

[1]. Mula-mula harus dibedakan antara pemimpin ahli bid’ah di atas sebuah sistem (manhaj) ahli bid’ah; dan pemimpin ahli bid’ah di atas sistem Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Kedua hal berbeda dan ada dalam sejarah Islam. Para ulama pun menyikapi berbeda.

[2]. Para ulama menjelaskan, bahwa sekte ahli bid’ah yang dikenal sesat dan keluar dari Ahlus Sunnah Wal Jamaah, setidaknya ada 7 kelompok, yaitu: Khawarij, Syiah Rafidhah, Mu’tazilah, Murji’ah, Jahmiyah, Jabbariyah, dan Qadariyah. Sering terjadi kesesatan suatu sekte menular atau dianut oleh sekte-sekte lainnya. Di era modern, kaum ahli bid’ah ini ditambahkan, yaitu: Liberal (orientalisme), Ahmadiyah, Inkarus Sunnah, pengikut Nabi-nabi palsu modern. Para ulama Ahlus Sunnah sepakat bahwa kelompok-kelompok di ataslah yang menyimpang dari Syariat dan keluar dari manhaj Ahlus Sunnah.

[3]. Secara umum, suatu pemerintahan yang menganut paham ahli bid’ah tidak dianggap sebagai pemerintahan Islam, atau pemerintahan berdasar Syariat Islam, tetapi ya dianggap sebagai pemerintahan ahli bid’ah. Karena secara hakiki paham ahli bid’ah bukanlah paham Islam, tapi paham yang menyimpang. Dengan sendirinya kita kaum Muslimin tidak boleh membaiat suatu pemerintahan ahli bid’ah. Jika pemerintahan ahli bid’ah boleh dibaiat, maka kita harus membaiat pemerintahan Syiah Rafidhah di Iran; pemerintahan Syiah Nusairiyah di Suriah; pemerintahan Syiah Shafawiyah di Iran dan Syiah Ubaidiyah di Mesir, pada masa lalu; juga pemerintahan Qaramithah yang sesat dan kufur. Para ulama Ahlus Sunnah sejak dulu sampai kini tidak melakukan hal itu.

[4]. Pemimpin ahli bid’ah di atas sistem Ahlus Sunnah masih memungkinkan dibaiat, dengan asumsi sang pemimpin tidak mengubah sistem pemerintahan menjadi sistem ahli bid’ah. Di zaman Imam Ahmad rahimahullah, pemerintahan Abbassiyah sempat dipimpin Khalifah ahli bid’ah dari kalangan Mu’tazilah. Ketika itu kepemimpinannya tidak di-makzulkan dan Imam Ahmad sendiri menolak memberontak kepadanya. Jadi pemimpin ahli bid’ah di atas sistem Ahlus Sunnah, masih memungkinkan dibaiat.

[5]. Lalu bagaimana dengan pemimpin di atas sistem Khawarij, bolehkah kita membaiatnya? Kalau benar-benar sistem itu memang mengadopsi ciri-ciri Khawarij, maka kita tidak boleh membaiatnya. Justru terhadap ahli bid’ah harus diingatkan, diluruskan, diperbaiki, bukan didukung di atas bid’ahnya. Dulu kaum Haruriyah di zaman Khalifah Ali RA, mereka tidak dibaiat atau didukung; tapi diminta taubat dan kembali kepada manhaj Ahlus Sunnah. Ketika tak mau taubat, mereka diperangi di Nahrawan. Sangat jelas sikap Ahlus Sunnah dari perbuatan Khalifah Ali RA.

[6]. Di antara ciri pemerintahan (kepemimpinan) Khawarij antara lain: a. Menganggap kebenaran di pihaknya, sementara Muslim lain tak berhak atas kebenaran; b. Mengkafirkan kaum Muslimin yang berada di luar kelompoknya; c. Memisahkan diri dari Jamaatul Muslimin dan membuat tafsiran “Jamaatul Muslimin” sesuai versi mereka sendiri; d. Terang-terangan memerangi kaum Muslimin yang lain, setelah sebelumnya menganggap mereka sebagai murtadin; e. Berbangga dengan kekejaman yang dilakukan atas orang-orang yang menyelisihi manhajnya. Hal itu pernah dilakukan kaum Khawarij ketika mereka membantai Shahabat Khabab bin ‘Arrat RA, juga isterinya yang sedang hamil. Mereka dibantai hanya karena berbeda pendapat.

[7]. Perbuatan kaum Khawarij benar-benar menyalahi Syariat Rasulullah SAW, antara lain sebagai berikut: a. Nabi SAW mengutamakan persatuan kaum Muslimin, sedangkan Khawarij mengutamakan perpecahan dan konflik; b. Nabi SAW menerima, mengakui, dan memuliakan orang yang masuk Islam; sedangkan Khawarij merasa gembira dengan menuduh Muslim di luar kelompoknya sebagai kafir dan murtad; c. Rasulullah SAW menyebarkan ilmu, hidayah, akhlak; sedangkan Khawarij menyebarkan pembunuhan, ketakutan, menyalahi janji, kekejaman; d. Rasulullah SAW lembut kepada Ummat, lembut kepada para Shahabat RA; sedang Khawarij arogan, kasar, menumpahkan darah Ummat; e. Rasulullah SAW memerangi kaum kufar, sedangkan Khawarij memerangi sesama Muslim yang berbeda pendapat; f. Rasulullah SAW menepati janji dan tidak berkhianat, sedangkan Khawarij berkhianat demi memenuhi nafsu sendiri. Demikianlah, banyak segi perbedaan antara sifat dakwah Rasulullah dan kaum Khawarij.

Dari semua ini bisa disimpulkan, kita tidak boleh membaiat kepemimpinan (pemerintahan) ahli bid’ah. Baiat terhadap mereka sama dengan mendukung penyimpangan atas Syariat Islam; mengekalkan bid’ah; serta dikhawatirkan baiat itu akan membuat yang bersangkutan ikut memikul dosa-dosa yang mereka lakukan. Nas’alullah al ‘afiyah.

Semoga jawaban ini bisa membantu memahami persoalan yang ada. Mohon dimaafkan jika ada kesalahan dan kekurangan. Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, wallahu a’lam bisshawab.

(Mine).


Pernyataan Jubir ISIS Seperti Petir di Siang Bolong

April 2, 2014

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Baru-baru ini Syaikh Abu Muhammad Al Adnani Asy Syami, juru bicara ISIS, menyampaikan pernyataan tentang penyimpangan pemimpin Al Qa’idah, Dr. Aiman Al Zhawahiri. Pernyataan ini sangat menyantak, laksana PETIR DI SIANG BOLONG. Saat Ummat Islam mulai bersimpati ke ISIS, tiba-tiba muncul pernyataan menggegerkan itu. Wallahul musta’an wa ilaihi mustaka.

Isi pernyataan dapat di baca pada link di bawah ini:

[1]. http://millahibrahim.wordpress.com/2014/04/18/statemen-resmi-daulah-tentang-penyimpangan-qiyadah-al-qaidah/

[2]. http://www.voa-islam.com/read/international-jihad/2014/04/18/29924/daulah-islam-irak-syam-berjalan-di-16161616atas-manhaj-syaikh-usamah/#sthash.QkSHOO3R.dpbs

Jika pernyataan di atas dibaca lebih teliti, itu tidak hanya menyangkut perselisihan antara ISIS dengan tanzhim Al Qa’idah (Syaikh Aiman Al Zhawahiri); tapi juga menyangkut hak-hak kaum Muslimin yang lain. Masya Allah, pernyataan Syaikh Al Adnani itu mengandung konsekuensi dan “proklamasi sikap” yang menakutkan.

"Pernyataan Ini Menunjukkan Siapa Pemiliknya"

“Pernyataan Ini Menunjukkan Bagaimana Akidah Pemiliknya”

Kita lihat beberapa hal berikut…

[a]. Pernyataan itu semakin memperjelas dan memperkuat permusuhan antara ISIS dengan faksi-faksi Mujahidin lain, khususnya yang sedang berperang di Suriah.

[b]. Pernyataan itu bukan hanya menegasikan Al Qa’idah (Aiman Al Zhawahiri) tapi juga meniadakan eksistensi pejuang-pejuang Islam lain yang non Al Qa’idah. Bahkan sangat mungkin sampai ke taraf “menghalalkan darah”.

[c]. Pernyataan itu berkonsekuensi menghancurkan upaya menjalin persatuan, perdamaian, saling ta’awun antar para Mujahidin Islam yang selama ini gencar dilakukan para ulama Ahlus Sunnah di berbagai tempat. Bahkan dalam pernyataan itu sang juru bicara meminta agar kelompok-kelompok Mujahidin di luar Syam dan Irak melepaskan komitmen terhadap Mujahidin lain (Al Qa’idah).

[d]. Pernyataan itu menegaskan kebenaran mutlak di sisi Daulah ISIS dan pengingkaran atas potensi kebenaran pada pendapat lain. Cara demikian berkesan “ingin menang sendiri”.

[e]. Pernyataan itu mengandung nilai ancaman bagi pihak-pihak yang berbeda dengan ISIS. Lihatlah sikap ISIS terhadap kelompok yang mereka sebut IM, Sururiyah, Jabhah Nusrah, dan lainnya. Bahkan mengandung ancaman terhadap komunitas Jihad dan para ulamanya yang sudah menyelami kehidupan Jihad sejak ISIS belum berdiri. Ini berbahaya.

Atas pernyataan yang berjudul “Maa Kana Hadza Minhajuna wa Lan Yakunu” itu justru memberikan pilihan berbeda kepada kaum Muslimin untuk melihat ISIS lebih obyektif. Semula kami menimbang ISIS dengan satu kaidah mudah: “Musuh lawanmu adalah kawanmu juga.” Namun dengan pernyataan tersebut, tidak bisa menilai secara sederhana. Dibutuhkan telaah yang dalam untuk memastikan kebenarannya.

Untuk sementara ini kami TAWAQUF dengan keadaan ISIS. Kami dalam posisi tidak mendukung, juga tidak menentang. Kami butuh waktu dan pijakan untuk menentukan sikap. Mohon dimaklumi dan dimaafkan atas artikel sebelumnya. Terimakasih atas perhatian dan pengertian. Jazakumullah khairan katsira.

(Admin).