Ada kesedihan besar ketika menyaksikan kondisi partai-partai Islam (atau berbasis massa Islam) pasca Pemilu Legislatif April 2009. Eksistensi mereka semakin lemah, ditandai dengan perolehan suara yang rata-rata di bawah 10 %. Kenyataan yang sangat pahit menimpa PPP dan PKB. Jika semula mereka dikenal sebagai partai papan tengah, saat ini harus mau turun ke peringkat partai kecil di bawah PKS. Masih lumayan bagi PKS, mereka masih bisa mengangkat muka, meskipun hasil suaranya nyaris sama dengan perolehan pada Pemilu 2004 lalu.
Namun kesedihan kita tidak tertumpu di atas perolehan suara yang kecil itu, tetapi lebih pada HILANGNYA SPIRIT PERJUANGAN POLITIK ISLAMI pada diri partai-partai Islam seperti PKS, PAN, PPP, PKB, dan lainnya itu. Kalau kita kini bicara tentang partai Islam, substansinya hanya masalah kekuasaan, jabatan, dan posisi politik saja. Sangat sulit mengangkat tema idealism perjuangan Islam ke hadapan mereka. Seolah, amanah perjuangan Islam itu sebagai UTOPIA (atau bahkan dianggap “bullshit”) yang tidak perlu dihiraukan sama sekali.
Kehilangan Idealisme
Mungkin Anda akan bertanya, “Apa buktinya partai-partai Islam telah kehilangan idealisme?”
Disini ada beberapa jawaban yang bisa disampaikan:
[Satu], jauh-jauh hari sebelum Pemilu April 2009 itu digelar sudah ada ide besar dari Prof. Din Syamsudddin supaya partai-partai Islam membentuk “Poros Tengah Jilid II”. Bisa jadi, secara politik ide itu kurang bagus dijalankan (misalnya ada pandangan demikian). Tetapi spiritnya itu benar, bahwa partai-partai Islam perlu bersatu dalam satu kepentingan perjuangan Islam. Kalau tidak bisa bersatu dalam semua tujuan, setidaknya pada sebagian tujuan.
Sayangnya, ide itu hanya menjadi lontaran statement politik yang tidak membekaskan pengaruh apapun. Bahkan keluarnya Fatwa “golput” MUI yang sebenarnya tujuannya untuk mendukung eksistensi partai-partai Islam juga tidak membawa pengaruh berarti. (Kalau golongan anti golput menolak fatwa tersebut, seperti saya misalnya, itu wajar. Tetapi kalau partai-partai Islam tidak tergerak untuk bersatu setelah fatwa itu keluar, nah itu dipertanyakan).
[Dua], partai-partai Islam yang mendapat suara kecil di Pemilu April 2009 (meskipun mereka masuk 10 besar) sepertinya tidak peka dengan cara-cara penyelenggaraan Pemilu yang carut-marut. Para pengamat dan politisi sudah mengingatkan sejak awal, supaya kasus DPT dalam Pilkada Jatim yang memenangkan pasangan KARSA tidak terulang dalam Pemilu Legislatif 2009. Kenyataannya, hal itu terulang lagi. Hampir merata di seluruh Indonesia kasus-kasus DPT mengemuka. Terlalu ruwet kalau harus dijelaskan lebih jauh.
Tetapi dalam hal ini, partai-partai Islam nyaris tidak ada yang peduli dengan tata-cara penyelenggaraan Pemilu seperti itu. Padahal cara tersebut menciderai semangat sportifitas dalam penyelenggaraan kompetisi politik. Saya setuju dengan pandangan pengamat LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, bahwa Pemilu April 2009 ini paling buruk sepanjang era Reformasi, dan paling buruk sepanjang sejarah Pemilu di Indonesia. Harusnya partai-partai Islam peduli dengan semua ini, sebab hal itu akan menentukan berbagai kepentingan kaum Muslimin selanjutnya.
Contoh, kalau cara seperti itu dipertahankan, maka sulit bagi politisi-politisi Muslim untuk memperjuangkan aspirasi Ummat. Meskipun demokrasi itu tidak sesuai Syariat Islam, tetapi sistem demokrasi yang jujur, itu lebih baik daripada demokrasi yang curang. Setidaknya, dari proses demokrasi yang jujur FIS pernah menang di Aljazair, Refah atau AKP menang di Turki, PAS menang di Malaysia, dan Hamas menang di Palestina. Jika demokrasi dilakukan secara curang, itu sama dengan kegelapan di atas kegelapan.
[Tiga], sangat disayangkan partai-partai Islam tidak memiliki paradigma perjuangan yang layak. Justru semangat mengadakan perubahan dari sistem kapitalisme ke sistem pro kepentingan nasional muncul dari partai-partai nasionalis, seperti Gerindra dan Hanura. Hampir-hampir tidak ada perlawanan sedikit pun dari partai-partai Islam terhadap sistem kapitalisme-liberalis yang saat ini membelenggu kehidupan bangsa Indonesia.
[Empat], yang paling parah lagi, hampir semua partai Islam saat ini lagi berburu kekuasaan, berebut menempel ke Partai Demokrat, apakah dia PKS, PKB, atau PAN. (Katanya, PPP juga akan merapat ke Partai Demokrat). Masa 5 tahun menjadi sekutu Demokrat di Pemerintahan, rupanya belum memuaskan partai-partai Islam itu, sehingga mereka berebut mengatakan, “Tambah lagi, tambah lagi…” Wah, wah, wah, sangat jauh dari karakter partai Islami yang selalu menjaga jarak dengan kekuasaan.
Kita sudah sama-sama tahu, sejak lama para ulama selalu mengatakan, bahwa ulama janganlah mendatangi pintu-pintu umara, sebab hal itu akan mendatangkan banyak fitnah. Bahkan Said bin Musayyab rahimahullah, mengatakan bahwa ulama yang mendatangi pintu-pintu penguasa, dia adalah seorang “pencuri”.
Kalau sekarang situasinya sangat berbeda. Partai-partai Islam bukan lagi demen mendatangi pintu-pintu penguasa, bahkan mereka berebut menjadi tukang pembuat pintu-pintu penguasa itu. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Sikap Oposisi
Kalau Anda mengkaji nilai-nilai Islam, nanti akan sampai pada satu kesimpulan, bahwa sebuah partai Islam idealnya selalu menjadi oposisi bagi penguasa. Hal itu setara dengan keseimbangan hubungan ulama dan umara’. Kalau bisa, partai Islam jangan menjadi birokrator, tetapi menjadi pengawas praktik birokrasi. Birokrasi ibarat umara’, maka partai Islam menempatkan diri sebagai ulama yang tugasnya terus mengawasi kiprah umara’.
Memang boleh seorang politisi Muslim diangkat sebagai pejabat, asalkan dia tidak meminta jabatan itu, dan dia memang memiliki keahlian untuk memikulnya. Jika ada politisi Muslim yang diangkat sebagai pejabat birokrasi, dia harus dipisahkan dari mekanisme partai. Maksudnya, dia diposisikan sebagai pihak yang terus dikritisi, sama seperti pejabat-pejabat lain. Jangan karena dia mentang-mentang pejabat dari partai Islam, lalu kita menutup mata dari mengawasi, mengkritisi, dan menasehatinya. Karakter politik Islam adalah amar makruf nahi munkar, maka kalau partai Islam tidak memposisikan diri sebagai OPOSISI, dia akan kehilangan nyali untuk menyampaikan amar makruf nahi munkar.
Eksistensi Semangat Oposisi
Di jaman Orde Baru dan Reformasi, nyaris kita tidak pernah menyaksikan ada sikap oposisi dari partai-partai Islam. Hampir seluruhnya bersikap KOALISI, alias mendukung regim yang berkuasa. Sejak Pemilu 1999, Pemilu 2004, dan naga-naganya Pemilu 2009 ini, sikap partai Islam cenderung PRO PEMERINTAH. Wajar jika dalam kehidupan social kita temukan sangat banyak kemungkaran, sebab partai-partai Islam cenderung pro Pemerintah, dan cuek terhadap berbagai kemungkaran itu. Celakanya, ada partai Islam tertentu yang sangat bernafsu menguasai Pemerintahan, dan ingin menunjukkan kepada bangsa Indonesia (dan dunia) kemampuan mereka dalam mengelola negara yang bersih, profesional, dan tidak korup. Mereka mengklaim sebagai komunitas “paling bersih” yang dimiliki oleh sejarah Indonesia masa kini. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Tetapi sesungguhnya sejak Reformasi 1998, kaum Muslimin pernah mendapati suatu semangat OPOSISI yang sangat mengharukan. Momentum itu muncul tidak lama setelah Partai Keadilan (PK) kalah dalam Pemilu 1999, tetapi mendapat sejumlah kursi di DPR RI hasil perolehan suara dan limpahan suara dari partai-partai Islam lain. Waktu itu karena jumlah kursi yang dimiliki PK sedikit, DPP PK mengeluarkan bayanat (penjelasan sikap partai) yang isinya sebuah maklumat, bahwa PK hanya akan berpolitik di Parlemen, dalam rangka mengkritisi Pemerintah. Sebagai pendukung partai, saya lega dengan sikap itu. Meskipun suara kecil, tetapi masih memiliki harga diri.
Tetapi belum juga bayanat itu tersebar merata ke seluruh kader PK di Tanah Air, tiba-tiba DPP PK melakukan manuver jungkir-balik yang mencengangkan. Tiba-tiba mereka mendukung Nur Mahmudi Ismail (walikota Depok sekarang) dipinang oleh Kabinet Gus Dur menjadi Menteri Kehutanan. Sungguh, bayanat DPP PK belum sampai ke tangan kader-kader yang dituju, tetapi seketika itu haluan partai berubah drastis. Yang semula mau menjadi OPOSISI Pemerintah, mendadak mau menjadi bagian dari Kabinet Pemerintah Abdurrahman Wahid.
Secara pribadi, peristiwa di atas sangat mempengaruhi sikap saya kepada PK (atau PKS kemudian). Di mata saya, partai ini tidak memiliki keteguhan sikap, tidak tahan godaan. Mereka merumuskan bayanat dengan proses yang memakan waktu dan pikiran, tetapi mementahkan begitu saja apa yang telah dibuatnya. Jujur, waktu itu saya kecewa berat. Saya tidak yakin, partai ini akan bisa menegakkan KEADILAN, sebagaimana klaimnya. Betapa tidak, sejak awal mereka sudah membeir contoh sikap khianat terhadap keputusan formal yang dibuatnya sendiri.
Itulah masa-masa indah ketika partai Islam memiliki semangat OPOSISI. Ya, keinginan PK untuk hanya bermain di Parlemen adalah sikap IZZAH yang sangat mulia. Itulah cikal bakal sikap oposisi partai Islam yang sangat mengharukan, di jaman Reformasi. Hanya saja, sayangnya, usia komitmen itu sangatlah belia. Mungkin usia komitmen oposisi itu hanya 2 atau 3 hari saja. Ya, lumayan lah, masih ada komitmen, meskipun usianya hanya 2 atau 3 hari. Daripada tidak sama sekali kan…
(Kalau ingat tanggal peristiwa itu, mungkin ia bisa ditabalkan sebagai HAROPNAS, Hari Oposisi Nasional. Lagi-lagi meskipun usianya hanya 2 atau 3 hari saja, sebab setelah itu semangatnya selalu KOALISI, sampai saat ini. Mungkin Jaya Suprana tertarik mengangkat momen itu masuk rekor MURI, untuk usia oposisi tercepat di dunia).
Jika nanti PKS, PAN, PKB (atau ditambah PPP) bergabung dalam koalisi bersama Partai Demokrat, ya kita tidak memiliki lagi kekuatan oposisi. Artinya, Ummat Islam akan kehilangan sangat banyak kesempatan melakukan amar makruf nahi munkar melalui jalur politik formal. Jika demikian, maka istilah “partai Islam” harus segera direvisi menjadi “partai kekuasaan”. Di bawah dominasi “partai kekuasaan”, kita akan lebih banyak berdzikir: Inna lillahi…astaghfirullah…masya Allah…na’udzubillah min dzalik…dan sebagainya.
Wallahu A’lam bisshawaab.
Bandung, 12 April 2009.
(Politische).