Kembali disini kita akan mengangkat sosok Amien Rais. Tulisan ini bukan didasarkan atas ambisi pribadi, kedengkian, atau interes politik tertentu. Interes-nya hanya satu, yaitu mengajak kaum Muslimin lebih dewasa dalam membangun kehidupan. Kita jangan mudah diombang-ambingkan oleh opini menyesatkan, yang kadang dibumbui dengan retorika-retorika melankolik (cengeng).
Beberapa waktu lalu sempat beredar khabar, Amien Rais mau mundur dari PAN, dan ingin masuk ke pengurusan Muhammadiyyah kembali. Ibaratnya, setelah kenyang bermain politik di PAN, dan hasilnya tidak sukses; Amien Rais ingin menghabiskan “masa pensiun” dengan menikmati segala kewibawaan dan sanjung di tengah Jamaah Persyarikatan Muhammadiyyah. Tentu, ia merupakan ide “brilian” bukan? Setelah puluhan tahun melupakan amanah dakwah Islam di Muhammadiyyah, tiba-tiba ingin “pulang kampung” menjadi panglima. “Hebat kali Abang yang satu ini,” begitu kira-kira kata saudara kita dari Tapanuli.
Ijtihad politik yang selalu gagal. Tapi "PD aja lagi".
Namun kemudian Amien Rais mengurungkan niatnya. Dia membuat pernyataan baru yang isinya menganulir niatnya untuk masuk ke tubuh Muhammadiyyah, lalu dia meneguhkan sikap tetap bersama PAN. Publik mungkin terkejut melihat sikap Amien Rais yang bledak-bleduk, mudah membuat pernyataan sensasional, tetapi mudah pula berubah sikap. Tetapi kita tidak perlu terlalu terkejut, sebab itu sudah kebiasaan lama. Seperti kata orang, “Konsisten dalam ketidak-konsistenan.”
Perlu dipahami, Muhammadiyyah sekarang sudah banyak berubah. Ormas besar Islam ini sudah banyak merujuk ke khittah awalnya sebagai Jam’iyah Dinniyyah yang berkhidmah dalam urusan-urusan keislaman dan sosial. Muhammadiyyah tidak lagi menjadi kendaraan politik PAN, tetapi bersikap netral politik. Muhammadiyyah juga bersikap tegas terhadap anasir-anasir Liberaliyun, sesuatu yang tentu kita syukuri. Alhamdulillah Rabbil ‘alamiin. Bahkan Muhammadiyyah saat ini lebih mengedepankan politik kebangsaan, ketimbang politik kepentingan sempit. Salah satu produk fatwa kontemporer Muhammadiyyah yang banyak diapresiasi kalangan Islam ialah tentang fatwa merokok haram.
Jika Amien Rais masuk ke Muhammadiyyah, kita bisa membayangkan resiko-resiko yang mungkin akan dihadapi warga Persyarikatan Muhammadiyyah. Amien Rais adalah sosok politisi yang pintar melontarkan pernyataan politik dan akrab dengan dunia media massa. Tetapi ia bukan sosok manajer organisasi yang sukses. Buktinya, ya kondisi PAN itu sendiri. Dalam Pemilu 2009 PAN semakin terpuruk. Pada Pemilu 1999 perolehan suara PAN tidak besar, tahun 2004 merosot, tahun 2009 lebih merosot lagi. Nah, itulah bukti nyata prestasi kepemimpinan Amien Rais. Kata orang, fakta lapangan (qaulul haal) lebih kuat ketimbang ucapan teoritis (qaulul lisan).
Malah, disini kita perlu bicara tentang kebenaran apa adanya. Kondisi PAN saat ini adalah kondisi terburuk, sejak partai ini berdiri di awal Reformasi. PAN hari ini adalah partai yang dikangkangi oleh Hatta Radjasa; sedangkan Hatta Radjasa adalah sub sistem dari politik liberalisme SBY. Seharusnya, Amien Rais bekerja keras memulihkan wibawa partainya, agar lurus dan mandiri. Tidak layak Amien Rais ingin masuk ke tubuh Muhammadiyyah dalam keadaan partainya sendiri rusak; lalu dia beresiko menularkan segala kerusakan ke tubuh Persyarikatan Muhammadiyyah. Dia harus memahami, betapa sulitnya membangun kemajuan dan tetap survive di tengah-tengah situasi kehidupan yang penuh gejolak seperti saat ini.
Di sisi lain, PAN telah melakukan DOSA BESAR kepada Soetrisno Bachir, mantan Ketua Umum PAN. Dosa itu dilakukan secara kolektif oleh para politisi PAN dan Amien Rais menyaksikannya. Bahkan sangat mungkin, Amien ikut berserikat dalam dosa politik itu. Dosa apakah yang dimaksud? Ya, PAN membuka pintu lebar-lebar kepada Soetrisno Bachir untuk memimpin PAN, karena dia seorang pengusaha kaya. Benar saja, Soetrisno pun mengorbankan ratusan miliar dana untuk membesarkan PAN dan memenangkan kompetisi politik. Namun, setelah Soetrisno berkorban habis-habisan, agenda politiknya disingkirkan secara licik. Amien Rais secara aktif ikut berperan menyingkirkan Soetrisno dari barisan pengurus PAN.
Dalam dialog dengan TVOne, Soetrisno Bachir mengaku, dengan pengalaman-pengalamannya selama di PAN, dia bisa memahami mana teman yang baik dan mana teman yang curang. Dia juga merasa kecewa ketika menyaksikan orang-orang yang semula dia anggap baik, tetapi kemudian terbukti moralnya tercela.
Sekedar mengingatkan. Pasca Pemilu Legislatif 2009, Soetrisno Bachir ingin membawa PAN berkoalisi dengan Gerindra dan Prabowo Subianto. Meskipun sama-sama memperoleh suara kecil, mereka bermaksud mencari celah untuk maju ke bursa Pemilihan Presiden. Sementara Hatta Radjasa terus bergerilya agar suara PAN dilimpahkan ke kubu SBY, tentu dengan kompensasi kursi kekuasaan bagi Hatta Radjasa. Soetrisno Bachir tidak mau menjual idealisme PAN.
Hatta Radjasa tidak kehilangan akal. Dia langsung bypass ke Amien Rais. Hatta tahu, sekuat-kuatnya Soetrisno Bachir di PAN, masih lebih kuat posisi Amien Rais. Entah, lobi politik apa yang dilakukan Hatta Radjasa sehingga hati Amien Rais menjadi lumer. Seperti biasa, Amien Rais melakukan kebiasaan lama, menjilati ludahnya sendiri. Amien Rais membuat pertemuan petinggi-petinggi PAN di Yogyakarta, tanpa persetujuan dan kompromi dengan Soetrisno Bachir. Tentu saja dalam pertemuan Yogya itu, seorang tokoh yang kemana-mana selalu menjual label “mantan tapol Tanjung Priok” ikut serta. Dia duduk di baris terdepan, dengan senyumnya yang sumringah, mendampingi Hatta Radjasa.
[Betapa hinanya manusia-manusia seperti ini. Tidak ada konsistensi, tidak ada ketegasan sikap, tidak ada sikap amanah, bahkan rasa malu pun sudah lenyap. Padahal Amien Rais itu dulu sangat terkenal dengan ucapannya, “Kambing congek pun tidak akan menanduk batu sampai dua kali.” Lha ini? Mereka mengulang-ulang tontonan kehinaan berkali-kali, dengan modus yang sama, meskipun retorikanya berganti-ganti. Allahu Akbar, laa haula wa laa quwwata illa billah].
Sebelum meresmikan sikap politik PAN untuk berkoalisi dengan SBY, Amien Rais mengucapkan pernyataan super pragmatis. Katanya, dalam berpolitik, PAN harus bersikap realistik, yaitu bergabung dengan kekuatan politik yang peluang menangnya lebih besar (SBY dan Demokrat). Ya Allah ya Karim, begitu murahnya Amien Rais dalam menghargai kadar perjuangan politiknya. Hanya kekuasaan belaka sasarannya. Semua itu jelas tidak sesuai dengan omongan-omongan Amien Rais selama ini, yang sangat menekankan pentingnya moral, melebihi kekuasaan.
Satu catatan yang sangat menjengkelkan. Mengapa Amien Rais sampai membuat pertemuan mandiri, tanpa restu dari Ketua Umum PAN, Soetrisno Bachir? Bukankah itu sama saja dengan mengobrak-abrik mekanisme partai sendiri? Atau dengan kata lain, Amien Rais bersikap sewenang-wenang, tidak mengindahkan aturan partai dan hierarki kepengurusan di tubuh PAN.
Jika disini saya terkesan peduli dengan Soetrisno Bachir, bukan karena memiliki interest politik seperti dirinya, atau memiliki interest lain karena posisinya sebagai seorang pengusaha. Tidak sama sekali. Kita hanya ingin menegakkan supremasi moral saja, dalam konteks apapun. Kalau mengikuti pesan Nabi Saw, “Unshur akhaka zhaliman au mazhluman” (tolonglah saudaramu, baik yang zhalim maupun yang dizhalimi). Pak Soetrisno dalam posisinya sebagai orang yang dizhalimi secara semena-mena, ya harus diberikan simpati padanya.
Dan yang lebih mengenaskan, adalah tokoh-tokoh politisi PAN yang mengikuti saja kemauan Amien Rais, meskipun itu salah dan melanggar aturan partai. Mereka amat sangat oportunis. Mereka tidak memiliki moralitas, idealisme, serta keteguhan sikap. Yang ada hanya kekuasaan, kekuasaan, dan keuangan. Di hari ini, kalau melihat sosok Hatta Radjasa, Patrialis Akbar, AM. Fatwa, dan tokoh-tokoh PAN sejenis; ada rasa nyeri di hati. Orang-orang ini dulunya sangat idealis, sekarang menjadi dedengkot-dedengkotnya oportunisme. Mengerikan!
[Kalau ingat bagaimana kritisnya Hatta Radjasa saat mengkritik Pemerintahan Abdurrahman Wahid dulu, lalu menyaksikan kini betapa jinaknya sikap Hatta Radjasa di hadapan SBY. Allahu Akbar, kekuasaan begitu dahsyat dalam mematikan hati manusia dan membunuh semangat juangnya. Hal-hal beginilah yang kerap membuat masyarakat putus-asa melihat masa depan politik].
Sungguh sedih kalau mengenangi jejak rekam para politisi PAN, khususnya Amien Rais. Entahlah, petunjuk apa yang membimbing jalan mereka? Mereka seperti orang-orang kebingungan yang terperangkap lorong gelap tanpa ujung. Dalam kondisi seperti itu, masihkah mereka memikirkan missi politik Islam dan kepentingan Ummat? Rasanya, terlalu mewah kita menitipkan harapan disini.
Ini seperti percobaan orang-orang yang sok pintar dengan demokrasi; merasa paling nasionalis, paling inklusif; lalu meremehkan nilai-nilai Islam yang seharusnya diperjuangkan. Islam akhirnya hanya menjadi kendaraan politik, dipakai selama menguntungkan; diamputasi, jika merugikan.
Alhamdulillah, kita bersyukur Muhammadiyyah semakin komitmen dengan khittah-nya sebagai Jum’iyyah Dinniyyah, konsisten mengawal institusi-institusi pelayanan Ummat, serta mengembangkan politik kebangsaan, bukan politik kekuasaan. Muhammadiyyah sudah berada di track yang semestinya. Jika Amien Rais kemudian masuk ke Muhammadiyyah, entahlah apa yang akan terjadi disana? Semoga Allah memberikan kita keselamatan lahir batin, dunia Akhirat. Amin ya Sallam.
Di usianya yang ke-67, kita memposisikan Prof, Dr. Haji Muhammad Amien Rais, sebagai orangtua yang harus dihormati. Tetapi sebagai bagian dari Ummat, kita tidak bisa membiarkan seseorang terus mengeluarkan ijtihad-ijtihad politik yang keliru, sehingga akibatnya sangat merugikan kehidupan Ummat. Harus dicatat, ijtihad politik itu mudah diucapkan. Seseorang tinggal membuat analisis instant, lalu mengundang wartawan untuk menggelar konferensi pers. Mudah. Tetapi resiko ijtihad politik yang keliru bisa menimpakan kesengsaraan besar bagi Ummat.
Apalagi di Indonesia ini ada budaya sosial yang sangat buruk. Kalau ada orang kecil (atau tokoh minor) yang berbuat salah, dia akan segera diadili sekeras-kerasnya, dikecam, divonis, dihujat sekencang-kencangnya. Tetapi kalau kalangan elit yang berbuat salah, semua instrumen sanksi seperti impoten, lumpuh secara kolektif. Bahkan sekali pun kesalahan tokoh elit itu berulang-ulang, hingga sampai ke titik menghujat Allah dan Rasul-Nya, ia tetap ditoleransi, dimaafkan, lalu dilupakan. Malah kalau perlu, sang tokoh digelari “pahlawan nasional”.
Sepertinya, dalam hati masyarakat kita masih ada keyakinan, bahwa kalangan elit adalah “manusia titisan dewa”. Mereka selalu benar, dan tidak boleh salah. Kalau ada yang menemukan kesalahan kaum elit, dengan fakta-fakta yang nyata dan data yang solid, bukan kesalahannya yang harus diubah, tetapi standar kebenarannya yang harus disesuaikan. Masya Allah, sangat mengerikan.
[Konsep “manusia titisan dewa” ini dipakai di berbagai tempat, termasuk dalam lingkup dakwah Islam, gerakan dakwah, partai Islam, dan sebagainya. Kalau elit yang salah, dicarikan pembenaran sebanyak-banyaknya. Kalau orang kecil yang salah, diadili sekeras-keras, dicecar sesengit-sengitnya. Peradaban kita kualitasnya baru sebatas melayani syahwat kaum elit, bukan menegakkan keadilan dan kemakmuran di tengah-tengah Ummat].
Sebagai sesama Muslim, saya menyarankan kepada al mukarram Dr. Amien Rais: “Hendaklah Bapak melakukan pembacaan ulang terhadap segala kiprah politik Bapak selama ini. Cobalah renungkan jalan demokrasi yang Bapak yakini itu, lalu komparasikan dengan missi ajaran Islam yang diamanahkan Allah Ta’ala. Apakah demokrasi versi Bapak tersebut sudah selaras dengan tujuan-tujuan Islam? Jika selaras, apa dampak perjuangan politik Bapak selama ini bagi kemaslahatan hidup kaum Muslimin? Jika tidak selaras, berarti selama ini Bapak menekuni pekerjaan sia-sia. Sesuatu yang tidak mendapat landasan di hadapan Syariat Islam, tidak dihitung sebagai amal di hadapan Allah. Andai setelah proses refleksi ini, Bapak menyadari banyak kesalahan-kesalahan yang Bapak lakukan selama ini, bersikaplah legowo untuk meminta maaf kepada Ummat Islam. Kemudian mundurlah dari gelanggang politik secara kesatria. Diam lebih baik, jika bicara akan membawa fitnah. Setelah itu mari kita sama-sama bertaubat kepada Allah atas segala dosa, sesungguhnya Dia Maha Ghafur Maha Rahiim.”
Ini adalah usulan yang bisa saya sampaikan, sebagai sesama Muslim. Usulan ini seperti “mencarikan jalan pulang” bagi Dr. Amien Rais, di usianya yang sudah senja dengan segala kiprah politiknya selama ini. Dr. Amien Rais belum seekstrem Abdurrahman Wahid, tetapi akibat-akibat kesalahan ijtihad politiknya, ada jutaan kaum Muslimin yang hidup menderita karenanya. Kasihanilah Ummat, sehingga Allah akan mengasihi Anda dan keluarga. Amin.
Kita tutup tulisan ini dengan sebuah doa: “Rabbanaghfirlana dzunubana wa li ikhwaninal ladzina sabaquna bil iman, wa laa taj’al fi qulubina ghillal lilladzina amanu, Rabbana innaka Ra’ufur Rahiim.” Amin Allahumma amin.
AMW.