MENGKRITIK PEMIMPIN NEGARA

Oktober 22, 2014

*) Sebelum Pilpres banyak penuntut ilmu mengkritik -kasarnya menjelek-jelekkan- calon pemimpin tertentu. Katanya, banyak mafsadat, madharat, sudah maklum keadaannya.

*) Tapi setelah pemimpin “ahlul mafsadat” itu terpilih, seketika berubah hukum baginya: Tidak boleh dikritik, tidak boleh dicela di depan umum, harus didoakan, harus sabar, dinasehati diam-diam. “Kalau dia mau nurut, itulah yang kita inginkan. Kalau dia keras kepala, setidaknya Anda sudah menyampaikan.” Begitu kaidah populernya.

*) Ada satu lagi argumen, seperti retorika raja Muslim di masa lalu saat dia dikritik keras oleh seseorang. Raja itu brdalih: “Aku tidak sejahat Fir’aun, sedang Anda tidak sebaik Musa; tapi Musa diperintah untuk menasehati Fir’aun dengan qaulan laiyinan, kata baik-baik.” Bukan kritik, cela, hinaan, dll.

*) Singkat kata, bagaimana hukum mencela, mengkritik, mengejek pemimpin sekuler (non pemimpin Syariat), khususnya “ahlul mafsadah” lewat media-media? Apakah mencela pemimpin begitu termasuk mencela Ulil Amri?

Sedikit berbagi…

*) Ulil Amri adalah pemimpin yang mengurus hajat hidup orang-orang MUSLIM di atas panduan Syariat Islam. Ibaratnya: “Dari Muslim, oleh Muslim, untuk Muslim.” Hal ini perlu DITEGASKAN agar hukum-hukum Syariat tidak diambil keuntungan oleh para politisi sekuler (Islamphobia).

*) KTP Muslim tidak menjamin seseorang otomatis jadi Ulil Amri; karena di zaman Salaf manusia dilihat dengan kaidah KEYAKINAN, UCAPAN, dan PERBUATAN. Bukan dilihat KTP-nya. Di zaman Salaf, tidak ada “kaidah KTP”.

*) Amal Shalat seorang pemimpin TDK JADI UKURAN, jika AKIDAH-nya sudah bermasalah. Dalilnya, di era Imam Ahmad ada pemimpin yg diingkari karena SESAT AKIDAH-nya; meskipun yang bersangkutan tidak meninggalkan shalat. Harus dipahami, sikap Islamphobia adalah termasuk bentuk kesesatan yang nyata, karena bermakna memusuhi Islam.

*) Meskipun seorang pemimpin berakidah lurus, tidak mengandung kesesatan; dia tetap bisa jatuh ke dalam kekafiran; JIKA membela orang kufar untuk memerangi Muslimin, membenci sebagian atau seluruh Syariat Islam, tidak ridha dengan berlakunya Syariat Allah di muka bumi, selalu memusuhi dan menyusahkan orang-orang Mukmin, bercanda melecehkan agama Allah. Dalil minimal: An Maa’idah 51 dan At Taubah 65-66.

*) Kaidah dasar yang harus diketahui seorang Mukmin, adalah BISA MEMBEDAKAN antara pemimpin yang membawa MASLAHAT & yang membawa MADHARAT; bagi kehidupan Islam dan Muslimin. Kalau mereka tidak tahu, hendaklah melihat mayoritas sikap ulama-ulama Islam, tokoh Ummat, lembaga-lembaga Islam yg kredibel. Kalau tidak tahu juga, jangan bicara politik.

*) Jika seorang pemimpin, berdasarkan bukti-bukti kuat, adalah bagian kaum Islamphobia atau Antiislam; apakah harus kita mencela, mengkritik, menghinanya? JAWABNYA: tidak harus! Tapi dilihat mana yang lebih maslahat bagi Islam dan kaum Muslimin. Kalau dengan dikritik dia jadi bengis, menumpahkan darah Umat; hindari kritik terbuka. Kalau dengan dikritik dia SEMAKIN MELUNAK kezhaliman & maksiyatnya, ya lakukan hal itu.

*) Jadi inti dari urusan ini adalah AMAR MAKRUF dan NAHYUL MUNKAR. Kita tunaikan urusan ini kepada siapa saja, baik rakyat atau pemimpin. Karena agama memang jadi NASEHAT bagi siapa saja, atasan dan bawahan. Dalil minimal: Ali Imran 104.

*) Bagaimana dengan argumen raja Muslim yang membawa istilah qaulan laiyinan itu? Jawabnya, argumen itu hanya mengkritik sikap kasar dalam menasehati pemimpin; bukan menghilangkan hak menasehati pemimpin. Menasehati pemimpin dijamin sepenuhnya oleh Kitabullah dan Sunnah.

*) Kalau bisa menasehati secara damai, lembut, santun, lakukanlah. Kalau tidak bisa karena tidak efektif, ya lakukan cara lain yang lebih efektif dan menghasilkan pengaruh nyata.

Demikian, semoga bermanfaat. Amin.


Penguasa Arab dan Revolusi Sejati

April 4, 2011

Ada rasa prihatin kalau melihat situasi Timur Tengah saat ini. Mereka terus bergolak dalam revolusi, peperangan, konflik, dan seterusnya. Sejak lama, negeri-negeri Arab ini terus berada dalam turbulensi dari sana-sini. Tahun 70-an sampai 80-an, wilayah Indochina (seperti Vietnam, Kamboja, Laos, Myanmar, dll) terus dilanda peperangan. Tetapi kini mereka damai. Namun mengapa di Timur Tengah, perdamaian seperti sulit diwujudkan?

Kalau dalam konflik Palestina-Israel, kita memaklumi disana terus ada konflik, karena isunya adalah PENJAJAHAN negara Yahudi atas negeri Palestina. Penjajahan dimanapun pasti akan membuka pintu-pintu perlawanan. Belum akan berhenti perlawanan, sampai penjajahan berakhir. Seperti dalam Pembukaan UUD 1945, “Bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa, maka daripada itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikeadilan dan perikemanusiaan.” Konflik Palestina-Israel berbeda dengan konflik di Timur Tengah pada umumnya.

Nasionalisme Arab = Akidah Musyrikin Quraisy! (gambar: aljazeera)

Sejak muncul era kemerdekaan, sekitar tahun 1940-an, pasca Perang Dunia II, negara-negara Arab banyak yang merdeka. Namun setelah merdeka, mereka muncul sebagai negara-negara NASIONALIS ARAB, bukan negara Islam atau negara berdasar Syariat Islam. Ketika itu bermunculan tokoh-tokoh nasionalis Arab, yang paling terkenal antara lain Michael Aflaq, Gamal Abdun Naser, Anwar Sadat, Hafezh Assad, dan lainnya. Kemunculan pemimpin nasionalis Arab ini seide dengan lahirnya tokoh SEKULER DUNIA, Mustafa Kemal Attaturk di Turki.

Dalam masa yang panjang, sekitar 60 tahunan, bangsa-bangsa Arab selalu dilanda peperangan, konflik, perebutan kekuasaan, revolusi, dan sebagainya. Gelombang revolusi seperti saat ini bukanlah sesuatu yang aneh, sebelum-sebelumnya Arab sudah akrab dengan pertikaian. Hanya bedanya, revolusi saat ini berlangsung SERENTAK di berbagai negara sekaligus. Kini revolusi sudah mulai membakar Syria (Suriah).

Sebuah pertanyaan menarik, mengapa bangsa Arab cenderung terlibat dalam pertikaian politik? Mengapa? Ada apa dengan diri dan kehidupan mereka?

Kalau dicari jawabnya. SATU, watak bangsa Arab sendiri memang keras, jiwa bergolak, percaya diri yang tinggi, sangat kuat meyakini sesuatu, dan sulit tunduk kepada suatu kepemimpinan yang tidak disukai. DUA, di negeri Arab terdapat banyak sumber-sumber energi (minyak bumi) yang menjadi incaran semua negara-negara di dunia, terutama negara agressor bernafsu kolonialis. TIGA, di jantung wilayah Timur Tengah ada ISRAEL. Ini adalah negara Yahudi yang didirikan oleh kekuatan Yahudi & Freemasonry internasional. Negara-negara Arab sengaja dibuat SIBUK TERUS dengan konflik, agar memberi kesempatan emas bagi Israel untuk terus memperkuat diri. Kalau bangsa Arab sadar, giat membangun, sepi konflik, maka nasib Israel tidak akan aman. Jadi harus terus “diproduksi” masalah di Timur Tengah, agar Israel bisa membangun dengan tenang.

Coba perhatikan, mengapa Irak digebuk ramai-ramai oleh NATO, padahal disana tidak ada senjata pemusnah massal? Sementara Iran tidak pernah diusik oleh NATO padahal Iran benar-benar memiliki instalasi nuklir? Ya, karena Iran berideologi Syi’ah yang sangat kontradiksi dengan aqidah sebagian besar Muslim di Timur Tengah. Iran adalah trouble maker bagi kehidupan kaum Sunni di Timur Tengah. Maka, Iran dianggap satu agenda, dalam rangka membuat sibuk bangsa Arab.

Dengan alasan-alasan seperti ini sangat sulit berharap masa depan Timur Tengah (Dunia Arab) akan menjadi damai, tenang, membangun dengan giat, maju secara teknologi, sepi dari konflik, berkontribusi terhadap peradaban dunia, dan sebagainya. Sulit berharap semua itu akan muncul.

Lalu mengapa pemimpin-pemimpin Arab tidak mau berpaling kepada ajaran Islam, menegakkan negara Islam, atau membangun peradaban Islami? Mengapa dan mengapa?

Tidak akan ada yang bisa memberi jalan keluar kepada bangsa Arab, selain Islam. Namun selama ini banyak pemimpin Arab yang sekuler, bahkan anti Islam. Di antara mereka ada yang pura-pura Islami, sekedar untuk mengambil hati rakyat. Sedangkan secara kebijakan politik dan ekonomi, membebek kepada para kapitalis Barat. Ada pula yang mengklaim telah menegakkan Syariat Islam, tetapi sifat negaranya sangat nasionalis. Misalnya, mereka sangat membedakan antara kaum Su’udi dengan non Su’udi. Hal semacam ini jelas munkar.

Seharusnya bangsa Arab menjadikan Islam sebagai dasar negara, arah politik, dan ruh kehidupan mereka. Layaknya peradaban-peradaban Islam di masa lalu yang tegak di negeri Arab. Dulu, wilayah Madinah, Makkah, Basrah, Damaskus, Yaman, Mesir, Kufah, dll. tegak peradaban Islam di atasnya. Kini kebanyakan pemimpin di negeri itu memilih konsep NASIONALIS, bukan konsep Islam. Singkat kata, banyak pemimpin-pemimpin Arab yang berideologi sekuler alias KUFUR, karena enggan menjadikan Islam sebagai dasar hidup mereka. Dan banyak rakyat Arab yang setuju, diam saja, atau rela dengan sekularisme itu.

Dalam sebuah tulisannya, Dr. Salman Al Audah menyebut sekularisme itu sama dengan KEMUSYRIKAN. Pandangan beliau itu tidak aneh dan berlebihan. Toh, orang-orang musyrik Makkah pernah menawari Nabi Saw dengan kekuasaan, asalkan mau menghentikan dakwahnya. Bagi musyrik Makkah, mengangkat Muhammad Saw sebagai raja Arab tidak masalah, selama di atas dasar KESUKUAN ARAB, bukan atas dasar Islam.

Seharusnya para pemimpin sekuler Arab itu sangat menghayati perkataan Utbah bin Rabi’ah, salah seorang pemimpin musyrik Arab. Ucapan beliau sangat benar tentang hakikat dakwah Nabi Saw. Ucapan ini diucapkan di hadapan kaum musyrikin Makkah, setelah dia berbicara dengan Nabi, dan mendengarkan Nabi Saw membacakan isi Surat Fusshilat 1-5. Berikut ucapan Utbah bin Rabi’ah:

“Tadi aku mendengar suatu perkataan yang demi Allah tidak pernah kudengarkan yang seperti itu sama sekali. Demi Allah, itu bukan syair, bukan ucapan sihir dan tenung. Wahai semua orang Quraisy, turutilah aku dan serahkan urusan ini kepadaku. Biarkanlah orang ini (maksudnya, Nabi Saw) dengan urusannya dan hindarilah dia. Demi Allah, perkataannya yang kudengarkan tadi benar-benar akan menjadi berita besar. Jika bangsa Arab mau menerimanya, maka dengan kehadirannya kalian tidak membutuhkan bangsa lain. Jika dia dapat menguasai bangsa Arab, maka kerajaannya akan menjadi kerajaan kalian juga. Dan kemuliannya akan menjadi kemuliaan kalian. Jadilah kalian orang yang paling berbahagia karenanya.” (SIRAH NABAWIYYAH, oleh Syaikh Al Mubarakfury. Pustaka Al Kautsar, hal. 146).

Seharusnya, kita sangat mencermati ucapan Utbah bin Rabi’ah (atau Abul Walid) di atas. Lihatlah bahwa Utbah bin Rabi’ah telah membuat analisis yang sangat dalam dan tajam. Hal itu menandakan betapa cerdasnya dirinya, luas ilmunya, pandangannya jauh ke depan. Apa yang dikatakan Utbah kemudian terbukti dalam sejarah.

Hanya masalahnya, pemimpin-pemimpin Arab saat ini malah kembali ke sidroma lama, keangkuhan pemimpin-pemimpin musyrik Quraisy di masa lalu. Kok bisa ya? Jaman sudah berganti sekian lama, akhirnya kekufuran puak-puak musyrik di Makkah muncul kembali. Kini ideologi kufur kaum musyrik Makkah itu menjelma menjadi ideologi: NASIONALIS SEKULER ARAB. Kemasan beda, tetapi intinya sama. Sama-sama kufur, memuja kesukuan Arab, dan menolak jalan Islam.

Jangan aneh kalau negeri Arab saat ini penuh masalah, penuh konflik, penuh kehinaan dan cela. Mereka menderita lahir batin, terus cakar-karan, terus berebut kekuasaan, terus memuja dunia dan isinya. Ya, bagaimana tidak akan demikian, wong mereka kembali ke jalan para pendahulunya, tetua-tetua musyrikin Quraisy. Seperti disebut dalam salah satu ungkapan Qur’ani, “Bal nattabi’u maa alfaina aba’ana” (kami ini cukup mengikuti apa-apa yang ditinggalkan oleh bapak-bapak kami dahulu).

Jika kini bangsa Arab telah terbakar oleh revolusi, maka itu -meminjam ungkapan Syaikh Yusuf Al Qaradhawi- revolusi belum selesai, bahkan baru dimulai. Revolusi sejati ialah MEMFORMAT ULANG otak-otak politik bangsa Arab, lalu mengembalikan mereka kepada RISALAH NUBUWWAH yang dibawa oleh Nabi Saw. Itulah REVOLUSI SEJATI. Sebelum otak Bani Ismail ini kembali ke ajaran Islam, tak pernah ada revolusi. Sebab makna revolusi di mata Allah dan Rasul-Nya, memang seperti itu.

Maka kini, pertanyaannya, apakah revolusi Arab sudah selesai? Ya, jawab sendirilah…

Bandung, 4 April 2011.

AM. Waskito.


Menyikapi Kepemimpinan SEKULER

Juni 25, 2009

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, was shalatu was salamu ‘ala man laa nabiya ba’dahu Muhammad wa alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du.

Selama ini ada kerancuan pemahaman di kalangan Ummat Islam. Sebagian orang memandang, bahwa setiap pemimpin yang beragama Islam, KTP-nya tertulis Islam, atau ia dikenal publik sebagai Muslim; dia diposisikan sebagai ulil amri yang ditaati setelah Allah dan Rasul-Nya. Adab-adab perlakuan terhadap Khalifah Islam wajib diterapkan kepada pemimpin seperti itu. Meskipun yang bersangkutan jelas-jelas menganut idelogi sekularisme.

Jika ada pihak-pihak yang mengkritik pemimpin seperti itu, seketika akan disemprot dengan tuduhan seperti: Keluar dari manhaj Ahlus Sunnah, memberontak kepada penguasa, memecah-belah masyarakat, menyebarkan fitnah, terjerumus fitnah Khawarij, disebut takfiri, dan sebagainya.

Bukan sekali dua kali kita berhadapan dengan orang-orang yang penuh kebingungan itu. Sudah sering terjadi silang pendapat dan adu argumentasi antara kami dengan mereka. Namun mereka selalu muncul dan tidak henti-hentinya mengulang-ulang alasan yang sudah sering dibahas.

Disini saya coba sampaikan kajian ringkas tentang menyikapi kepemimpinan sekuler. Seharusnya, topik ini dibahas secara mendalam. Namun mengingat kebutuhan mendesak yang sifatnya praktis, jadi sengaja dibahas secara ringkas. Sebagai sebuah wacana, tulisan ini tidak menutup diri terhadap bantahan, kritik, koreksi, nasehat, dan lainnya dari pada pembaca budiman. Semoga Allah Ta’ala meridhai amal-amal kita, mengampuni kesalahan-kesalahan kita, dan meluruskan kekeliruan langkah kita. Allahumma amin, ya Rahmaan ya Rahiim.

Berikut ini kajian ringkas tentang menyikapi kepemimpinan sekuler:

[[1]] Menurut Kamus Oxford, secular artinya: (1) Tidak terhubung dengan spiritual atau urusan keagamaan; (2) Hidup di tengah masyarakat biasa daripada dalam sebuah komunitas keagamaan. Adapun kata secularism, artinya: Suatu keyakinan, bahwa agama tidak boleh ikut campur dalam urusan organisasi kemasyarakatan. Sebagai istilah politik, sekularisme bisa didefinisikan sebagai: sistem pemerintahan yang tidak berdasarkan nilai-nilai agama tertentu. Dalam sejarah Eropa, sekularisme muncul dalam bentuk pemisahan tegas antara kekuasaan Kaisar dengan kekuasaan Gereja. Slogannya, “Berikan untuk Kaisar hak Kaisar, dan berikan untuk Tuhan hak Tuhan.” Di dunia Islam, sekularisme terwujud dalam bentuk penghapusan pemerintahan Islam, Kekhalifahan Islam, dan mengganti dengan pemerintahan nasionalis, berdasarkan UU hasil buatan manusia.

[[2]] Adalah salah besar anggapan banyak orang, bahwa masalah sekularisme ini sesuatu yang kabur, samar, atau meragukan kedudukannya. Anggapan seperti ini adalah pelecehan besar terhadap ajaran Islam. Mereka menganggap, ajaran Islam tidak memiliki sikap tegas terhadap fenomena sekularisme. Padahal Nabi Saw dalam salah satu sabdanya pernah mengatakan, “Aku tinggalkan untuk kalian al baidha’ (cahaya terang benderang), malamnya bagaikan siangnya, tidaklah seseorang meninggalkan cahaya itu, melainkan pasti binasa.”

[[3]] Dr. Salman Al ‘Audah, dalam bukunya Islam and Secularism, beliau menyamakan sekularisme sebagai: Jahiliyah dan kemusyrikan. Beliau mengatakan, “Perbedaan antara Islam dan sekularisme adalah substansial. Isu ini tak lain dari perbedaan antara tauhid dengan kemusyrikan…. Oleh karena itu, sekularisme adalah kemusyrikan. Ia menegaskan bahwa masjid adalah untuk Allah, sementara urusan selainnya adalah untuk selain Allah; atau menurut istilah orang Kristen: untuk Kaisar.” Saya pun meyakini dengan pasti, sekularisme adalah kekafiran yang nyata. Disini manusia mengamputasi hak-hak penghambaan kepada Allah hanya dalam batasan ritual yang bersifat pribadi. Sementara dalam urusan selain ritual pribadi, sepenuhnya untuk selain Allah (atau diri manusia itu sendiri). Padahal Al Qur’an telah menjelaskan: “Wahai orang-orang beriman, masuklah kalian ke dalam agama ini secara kaffah, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan, sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al Baqarah: 208).

[[4]] Prinsip sekularisme sangat bertentangan dengan tujuan Allah menciptakan manusia di muka bumi, yaitu untuk ibadah kepada-Nya (Adz Dzariyaat: 56). Manusia sekuler jelas tidak mengibadahi Allah seperti yang diperintahkan. Mereka malah mengibadahi perkara-perkara lain, termasuk hawa nafsunya sendiri. Jumhur kaum Muslimin, sejak jaman Nabi Saw. sampai hari ini, mereka sepakat tentang wajibnya menegakkan negara berdasarkan UU Islami (Al Qur’an dan As Sunnah). Tidak ada manusia yang mengingkari kedaulatan hukum Allah dan Rasul-Nya, selain orang kafir atau orang yang sesat pemikirannya. Dr. Shalih Fauzan dalam Mulakhas Fiqhi, bagian Kitab Hudud wa Ta’zirat, bab Fi Ahkamir Riddah, beliau mengatakan: “Siapa yang berhukum dengan undang-undang yang hina sebagai ganti Syariat Islam, dia memandang hukum itu lebih baik bagi manusia daripada Syariat Islam, atau siapa yang memeluk pemikiran Syi’ah atau nasionalisme Arab, sebagai ganti ajaran Islam, maka tidak diragukan lagi akan kemurtadannya.”

Baca entri selengkapnya »