>> Ceramah, bagi orang Indonesia, akan terasa begitu keren, hebat, dapat menghasilkan uang lagi.
>> Seorang penceramah akan dipandang “berilmu”, harga diri naik, gengsi sosial juga semakin oke.
>> Kadang seorang penceramah dapat honor alias amplop. Tapi kadang juga “garingan” alias hanya diberi sebotol aqua gelas.
>> Posisi mentereng saat berceramah, membuat banyak orang jadi rebutan. Terutama bapak-bapak senior yang dulu di masa mudanya “kurang bahagia” dan “kurang dikenal kiprahnya”.
>> Hingga mimbar seperti Khutbah Jumát, ceramah Ramadhan, atau ceramah Shubuh pun, menjadi idaman banyak lelaki… (halah kok pakai bahasa alay sih).
>> Kalau para penceramah itu berilmu, pintar komunikasi, pengalaman berbicara; tentu sangat tidak masalah, bahkan sangat baik buatnya. Tapi kebanyakan penceramah amatiran ini kan kurang ilmu; gaya komunikasi seadanya; bahkan mengerti masalah saja kadang tidak. Ini sumber masalah serius.
>> Jujur saja, kadang kami jadi “malas” ikut Jumátan gara-gara para penceramah amatiran ini. Tapi karena tahu bahwa Jumátan itu wajib bagi laki-laki, ya dipaksakan hadir. Meskipun haduh…gimana ya rasanya.
>> Kalau para penceramah amatiran itu tahu diri masih lumayan. Lha biasanya, mereka sudah kurang berilmu, sudah begitu sering menghalang tampilnya anak-anak muda yang lebih baik kualitasnya. Maunya, mimbar ceramah dia kekep sendiri. Tidak boleh untuk anak-anak muda. Katanya, “Jangan. Nanti jadi saingan!
>> Inilah kondisi yang sangat menyedihkan di tengah Ummat kita. Banyak orang sok pandai berceramah, padahal sejatinya mereka belum layak berdiri di atas mimbar.
>> Alangkah baik kalau budaya “maniak mimbar” ini dibereskan. Minimal dikurangi. Terimakasih.
(Admin).