Bismillahirrahmaanirrahiim…
Kalau kita melihat kehidupan riil masyarakat kita, isinya lebih didominasi khabar-khabar duka cita daripada khabar gembira. Mengapa demikian? Ya, karena kesulitan hidup itu sudah merajalela dimana-mana. Orang-orang yang menjerit, berkeluh-kesah, bertengkar, stress, terlibat konflik, bahkan -maaf- hilang ingatan; sudah bukan kenyataan aneh lagi. Dimana-mana ada hal seperti itu.
Kesulitan ekonomi merupakan pemicunya. Ada ungkapan, “Kalau urusan asap dapur berguncang, sampai urusan ranjang pun akan berguncang.” Artinya, dari masalah ekonomi efeknya merembet kemana-mana. Sejak tahun 80-an, Soeharto ingin dijatuhkan oleh Barat, tetapi selalu gagal. Maka tahun 1997, Soeharto dihantam oleh Krisis Moneter. Terbukti, dalam waktu kurang dari setahun, Soeharto jatuh. Padahal semula dia diklaim sebagai “orang kuat” di Asia. Kalau jaman sekarang ya semodel Hugo Chaves atau Fidel Castro.
Lihatlah, gara-gara kesulitan ekonomi, kekuasaan politik Soeharto ambruk. Begitu pula, akibat kesusahan ekonomi, banyak keluarga-keluarga di Indonesia berantakan. Nas’alullah al ‘afiyah lana wa lakum wa ahlina jmai’an. Amin.
Ketika Hidup Terasa Begitu Buntu...
Sebenarnya, kehidupan manusia tidak harus kandas karena masalah EKONOMI. Namun persoalannya, kehidupan kita telah di-setting sedemikian MATERIALIS. Dalam segala sisi, mulai sektor pendidikan, jasa, konsumsi, kebudayaan sosial, pemikiran, politik, ilmu pengetahuan, sampai urusan agama; telah sedemikian rupa DIMATERIALISASIKAN. Bahkan yang disebut peradaban jaman modern sebenarnya adalah: materialisasi absolut!
Bayangkan saja, kita mengenal istilah Prinsip Ekonomi. Apa isinya? “Berusaha dengan modal sekecil-kecilnya, untuk mencapai keuntungan sebesar-besarnya.” Prinsip ini kan jelas-jelas telah mempertuhankan materi. Prinsip ini benar-benar G.I.L.A !!!
Dalam Islam diajarkan, “Wa laa ta’kulu amwalakum bainakum bil bathili, illa antakuna tijaratan antaradhin minkum” (jangan kalian makan harta sesama kalian dengan cara bathil, kecuali atas perniagaan yang saling ridha/sinergi di antara kalian). Betapa bedanya prinsip sinergi ini dengan prinsip ekonomi. Kalau Islam mengajarkan kerjasama mutualisme, sementara prinsip ekonomi justru mengajarkan sikap saling terkam dan habisi. Masya Allah.
Nah, inilah masalah utamanya. Kehidupan kita telah dibuat sedemikian MATERIALIS, sehingga kita begitu bergantung ke materi (uang). Akibatnya ketika urusan ekonomi diguncang, maka terguncang pula kehidupan kita. Dan hal ini nanti relevan dengan konspirasi Zionis untuk menumpuk cadangan emas, lalu membuat kekacauan ekonomi dimana-mana. Dengan cadangan emas di tangan, mereka bisa leha-leha, tak pernah takut terkena krisis ekonomi.
Dalam situasi demikian, yang paling menyesakkan dada ialah, ketika mayoritas masyarakat enggan diajak berjuang memperbaiki keadaan. Mereka tidak mau berjuang dengan alasan: berjuang itu tidak menghasilkan duit, hanya menyita tenaga-pikiran. Mereka baru mau berjuang kalau ada duitnya, ada untungnya. Kasihan sekali!
Jadi masyarakat kita itu seperti anak-anak ayam yang kebingungan. Satu sisi, mereka merasakan sekali betapa susah dan perihnya kehidupan saat ini. Kemudian mereka juga tahu, bahwa untuk berubah dibutuhkan perjuangan, pengorbanan, dan kerja keras. Tetapi kemudian mereka tidak mau terlibat dalam perjuangan itu. Tangan mereka tak mau berdebu karena perjuangan. Mereka bersikap seperti Bani Israil. Bani Israil ingin masuk Palestina, tetapi menyuruh Musa As dan Allah Ta’ala berjuang sendiri. Ina lillahi wa inna ilaihi ra’jiun.
Lalu masyarakat sendiri bagaimana? Perjuangan apa yang mereka sukai dan bela dengan sepenuhnya?
Ya itulah: nonton TV, main HP, dan menghabiskan waktu percuma dengan FB. Inilah gaya hidup masyarakat kita, termasuk kaum Muslimin.
Jadi, kehidupan sudah susah dengan segala problem, karena masalah ekonomi. Kemudian hal itu diperparah dengan mentalitas phobia berjuang. Tidak mau, emoh, muak, untuk berjuang mengubah keadaan. Mereka emoh, karena sehari-hari jiwanya diguyur oleh tontonan-tontonan hedonis di TV, ponsel, internet, dan seterusnya. Benar-benar masyarakat yang memuja nafsu, memuja kesenangan, minim militansi dan gerak perubahan.
Mau dibilang kasihan, ya kasihan. Tetapi kita tak berdaya. Masyarakat memang hidup susah, tetapi susah yang dibuat sendiri, lantaran tidak mau berjuang, bekerja keras, mengubah keadaan.
Di titik itulah kondisi kaum Muslimin Indonesia, saat ini. Masyarakat kita berada dalam kebingungan besar, dan tak tahu harus berbuat apa. Tetes-tetes air mata terus berjatuhan di pipi; keluh kesah dan jerit tangis, tiada putus menghiasi siang dan malam; wajah-wajah putus-asa mudah ditemui di sepanjang jalan dan tempat. Namun, untuk keluar dari semua JERATAN KEHIDUPAN ini, tiada daya. Hati ingin segera pergi dari semua kesusahan, tetapi tapak kaki tak mau beranjak. Persis seperti keadaan seorang manusia yang biasa meninggalkan Shalat. Hati kecilnya meronta, merasa berdosa, bersalah, dan sangat gelisah, karena tidak menjalankan Shalat. Hanya sayangnya, diri orang itu tidak tergerak sedikit pun untuk menyentuh air wudhu, menggelar sajadah, atau memakai kopiah.
Masyarakat kita kini berada dalam kebingungan besar. Mereka tidak tahu, harus bagaimana menjalani hidup ini? Hendak kemana mereka melangkah? Mau berjalan maju takut diterkam binatang buas; mau berjalan mundur, takut jatuh ke jurang; mau diam saja, takut tertimpa batu meteor; mau maju-mundur-dan diam, takut tertimpa ketiga bahaya itu sekaligus; mau berpikir, takut stress; mau diam tak berpikir, takut kerasukan jin; mau setengah berpikir dan setengah diam, takut menjadi gila karena tidak memiliki kejelasan sikap.
Maka Allah Ta’ala memberikan solusi, ANDAIKAN MEREKA MAU MENERIMA. “Wa man yakfur bit tha-ghuti wa yu’min billahi, faqadis tamsaka bil ‘urwatil wuts-qa lan fishama laha” [dan siapa yang kufur terhadap thaghut (segala sesembahan selain Allah) lalu dia beriman tauhid kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang kepada tali (agama Allah) yang sangat kuat yang selamanya tak akan putus. Al Baqarah: 256].
Kini silakan tinggal pilih jalanmu. Siapa yang suka, berimanlah kepada Allah Azza Wa Jalla, dan siapa yang suka, silakan ingkar. Allah Ta’ala Maha Kaya, Dia tidak membutuhkan amal-amal manusia. Andaikan semua manusia menjadi shalih, hal itu tak akan menambah Kemuliaan Allah, sebab Dia sudah Mulia sejak sedia kala. Andaikan semua manusia durhaka, hal itu tak akan mengurangi Kemuliaan-Nya sedikit pun; Dia sudah Mulia, tak akan berubah Kemuliaan-Nya karena kedurhakaan manusia. Demikianlah, amal-amal baik itu hakikatnya adalah untuk diri manusia sendiri.
Wallahu A’lam bisshawaab.
Depok, 9 Juli 2011.
AMW.