Qurban dengan Domba Leutik
Kisah ini terjadi beberapa tahun lalu. Namun membekaskan kenangan lucu. Saat itu saya “dikerjai” bapak-bapak penerima hewan qurban.
SINGKAT KATA… (napa sih suka singkat-singkat; namanya juga status EFBI, jangan banyak protes lo ya).
Sebuah panitia tebar hewan qurban menghubungi saya. Mereka bermaksud menyalurkan DOMBA, saya diminta bantuan mencarikan masyarakat sebagai penerima. Tentu saya merasa gembira. “Ini peluang dakwah,” kata kawan-kawan.
Akhirnya saya hubungi orang kampung, saya sampaikan niat itu. Mereka tampak gembira. Bahkan mereka datang ke rumah untuk memperkuat maksud. Mereka telah sedia dengan angkot untuk mengambil domba-domba itu.
Hari H pengambilan hewan sudah tiba. Sore hari mereka jemput saya, lalu kami bersama datang ke lokasi. Katanya akan datang ratusan domba. Asal dari Sukabumi.
Sayang sekali domba datang sangat telat. Kami tiba di sana sore hari, sementara domba-domba datang di atas jam 9 malam. Bayangkan betapa malunya kepada orang-orang itu. Ternyata, yang pada menunggu selain kami juga banyak.
Saya kira akan datang truk-truk besar membawa ratusan domba. Ternyata hanya sebuah mobil bak yang telah dimodifikasi baknya dengan papan-papan kayu. Kalo tak salah, bak itu dibuat bertingkat. Satu tingkat berisi mungkin 30an domba. Bayangkan, betapa kejamnya si pedagang. Dia bawa ratusan domba di bak sempit, menempuh jarak Sukabumi-Bandung.
Yang paling membuat kami takjub, atau mungkin “serasa mau nangis”; ternyata sebagian besar domba itu masih kecil-kecil. Perkiraan usia, antara 3-7 bulan. Mayoritas belum cukup umur. Allahu Akbar.
SAAT aku tanyakan ke panitia, kenapa domba masih bayi-bayi begini? Panitia tak memberi penjelasan kongkret. Muka mereka tampak tegang juga. Seolah mereka ingin berkata: “Sudahlah, jangan banyak protes. Masih untung juga kita dapat domba. Yang penting, besok kita makan sate atau bikin sop daging. Pokoknya asli domba, bukan kucing.” He he he. Kalau ingat kejadian itu serasa mau ketawa. Sudah berjam-jam menunggu, hasilnya dapat “bayi domba”.
Oke kita teruskan… Alhamdulillah kelompok kami dapat 4 atau 5 domba. Ada yang tanggung, ada yang kecil imut-imut. Semua itu dibawa masuk ke angkot. Lalu kami bawa pulang untuk disembelih esok harinya.
Saat pulang, bapak-bapak duduk di belakang bersama domba-domba. Saya duduk di depan di samping sopir. SEPANJANG jalan mereka bercanda-canda, karena dapat “bayi domba”. Saya pura-pura tidak dengar; padahal NGEMPET (menahan diri) supaya tidak ikut ketawa. Kata orang #JAIM gitu lho.
Tapi ada sebuah candaan mereka yang hampir saja membuat tawa saya pecah. Kalau pecah, duuh malunya. Saya kuat-kuat menggigit gigi dan mengeraskan rahang, supaya benteng #KEJAIMAN tidak jebol.
Kata mereka begini, sambil becanda: “Ini sih kalau dimasak bukan jadi kambing guling, tapi ANJING GULING.” Hua ha ha ha…tawa mereka meledak. Saya ngempet sekuat tenaga, supaya gak ikut ketawa. Alhamdulillah berhasil, meski rahang berasa ngilu.
Mungkin karena lelah, mereka diam juga. Tapi celetukan-celetukan “maut” terus bermunculan. Ya Ilahi, perjalanan penuh ujian lahir bathin.
Akhirnya, mobil sampai depan komplek. Saya turun, mereka meneruskan jalan pulang. Setelah sampai komplek, saya baru bisa ketawa. Meski tidak terbahak-bahak.
JUJUR saya tidak bisa menyalahkan orang-orang itu. Banyak celah kritik di balik kejadian ini. Menunggu kelamaan dan usia hewan qurban belum cukup. Itu jadi fitnah tersendiri di depan awam.
Saya tidak paham, mengapa terjadi kejadian begitu. Tapi amal qurban tanpa persiapan, bisa menghilangkan amal itu sendiri karena syarat-syarat tidak memenuhi. SEMOGA KEJADIAN INI JADI PELAJARAN.
Siapkan segalanya dengan baik, agar amal-amalmu sempurna. Amin ya Allah.
(Sam Hikmat).