ARTIKEL 11:
Bismillahirrahmaanirrahiim.
Selama ini kita sering mendengar pernyataan-pernyataan yang baik, mulia, dan penuh nilai moral. Ia bisa keluar dari lisan pejabat negara, politisi, aparat keamanan, perwira militer, pakar/pengamat, wartawan media, akademisi, tokoh ormas, tokoh agama, ustadz, aktivis LSM, tokoh mahasiswa, bahkan dari rakyat kecil.
Ucapan-ucapan baik itu misalnya:
“Mari kita sukseskan program pembangunan sebaik-baiknya!”
“Pemerintah akan selalu memperhatikan masalah rakyat, mencari solusi terbaik, mengatasi kemiskinan, membangun kesejahteraan.”
“Bangsa Indonesia harus selalu hidup rukun, damai, saling toleransi satu sama lain. Mari kita membangun kehidupan yang aman, tentram, sentosa!”
“Setiap kejahatan akan kami tindak tegas. Sudah menjadi kewajiban kami menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Agar kehidupan sosial berjalan terarah, tenang, dan proses pembangunan tidak terganggu.”
“Iklim investasi terus berkembang, situasi ekonomi semakin membaik, target pertumbuhan ekonomi akan tercapai, sehingga masyarakat akan hidup lebih sejahtera.”
“Pembangunan demokrasi harus terus ditingkatkan. Kehidupan politik perlu lebih berkembang dan kreatif, sehingga bisa menghasilkan out put kehidupan bangsa dan negara yang sejahtera, adil, dan bermartabat.”
“Aparat hukum akan selalu mengawal proses hukum secara adil, transparan, dan memenuhi rasa keadilan publik. Yakinlah!”
“Gerakan mahasiswa telah mencapai tahap kematangan dalam perspektif independensi politik, sosial, dan organisasi. Ke depan tantangan gerakan mahasiswa akan lebih berat lagi. Tetapi dengan komitmen kita bersama, semua tantangan akan dilewati dengan tenang.”
“Kehidupan agama di negara kita semakin baik, kesadaran religius masyarakat semakin meningkat, kepedulian terhadap persoalan sosial semakin tinggi. Kita optimis, Indonesia ke depan akan mencapai masyarakat adil dan makmur dalam naungan Ridha Allah.”
“Dunia pers semakin semarak. Kebebasan pers bisa terekspresikan secara maksimal. Skill insan-insan pers semakin matang. Etika jurnalistik pun terus dikembangkan sesuai konteks dan kemajuan jaman.”
Tentu kita sangat sering mendengar ucapan-ucapan seperti di atas. Justru karena saking seringnya, akhirnya kita bisa “menghafal” retorika-retorika seperti itu. Bagi siapapun yang mendengar retorika seperti itu jelas akan senang, gembira, atau terpesona. “Alhamdulillah, ternyata kehidupan bangsa kita semakin maju, semakin sejahtera, dan bermartabat. Buktinya, ucapan-ucapan yang keluar dari elit-elit bangsa kita selalu baik-baik saja. Tidak ada yang mengeluh, bersedih, atau prihatin. Semua isinya serba baik, mulia, dan optimis.”
Tetapi ucapan-ucapan yang baik itu ternyata hanya ada DI ATAS KERTAS. Atau sekedar TEORI, atau RETORIKA belaka. Dalam kenyataan, yang benar-benar kita saksikan, yang dialami masyarakat atau ditanggung oleh rakyat, kebanyakan jauh dari semua ucapan-ucapan itu. Teorinya selangit, tetapi kenyataan sangat buruk! Apa yang kerap kita saksikan dalam nyata jauh dari keindahan retorika-retorika itu. Banyak fakta-fakta bisa disebut, betapa kehidupan ini sebenarnya jauh lebih KEJAM dari yang kita bayangkan. Saat ucapan-ucapan bermoral terus dibuat, pada saat yang sama fakta-fakta kebohongan dan dusta terus terungkap.
Mari kita lihat sebagian fakta-fakta yang ada di lapangan…
[01] Sebagian pejabat mengklaim, angka kemiskinan di Indonesia terus turun, hanya tinggal sekitar 13 juta jiwa saja. Padahal patokan kemiskinan itu ialah penghasilan per hari sekitar Rp. 9.000,-. Dengan nilai penghasilan sebesar itu, atau Rp. 270 ribu per bulan, kira-kira manusia bisa hidup dengan apa? Semestinya menteri perekonomian mencontohkan hidup sehari-hari dengan penghasilan sebesar itu. Seberapa kuat dia bisa menahan kemiskinan?
[02] Katanya pertumbuhan ekonomi negara kita semakin tinggi. Namanya pertumbuhan ekonomi, seharusnya hal itu berdampak meningkatkan kemakmuran. Tetapi kenyataannya sangat ironis! Kesempatan kerja justru sangat sulit. Setiap ada pendaftaran CPNS selalu berjubel dipadati pencari kerja. Malah yang sudah mapan bekerja di swasta pun ingin jadi PNS. Di sisi lain, harga-harga kebutuhan pokok semakin tinggi. Inilah FITNAH EKONOMI: Mencari penghasilan semakin sulit, sementara harga-harga kebutuhan terus meninggi.
[03] Anak-anak kita selama belasan tahun menempuh pendidikan di sekolah. Malah mereka wajib sekolah sampai lulus SMP. Selama itu mereka harus masuk sekolah (tidak boleh telat atau sering bolos), harus mengerjakan PR, harus mengerjakan tugas, mengikuti ujian, aneka test, dll. Tetapi setelah lulus sarjana, mereka digiring untuk menjadi pengangguran kolektif. Perjuangan meletihkan oleh jutaan anak selama belasan tahun, seperti dibuang begitu saja.
[04] Sebagian orang harus mengeluarkan uang pelicin sampai Rp. 50 jutaan, untuk mendapat nomer induk sebagai PNS atau masuk dinas kepolisian. Angka itu sekarang mungkin bisa lebih mahal lagi. Wajar kalau para birokrat sesak dengan korupsi, wong sejak awal saja mereka sudah korup (main suap).
[05] Beberapa tahun lalu ada sebagian orangtua rela mengeluarkan dana sampai Rp. 200 juta, untuk membeli satu kursi bangku perkuliahan di ITB. Saat sekarang, ada yang senilai itu untuk mendapat bangku Fak. Kedokteran di UNPAD. Ada juga yang mengatakan, untuk menyelesaikan studi kedokteran butuh dana setidaknya Rp. 300 jutaan. Padahal nanti setelah lulus, belum tentu sukses.
[06] Untuk mengikuti pencalonan Bupati/Walikota, setidaknya seseorang harus punya modal minimal Rp. 15 miliar. Untuk level Gubernur, harus ada modal sekitar Rp. 30 miliar. Untuk menjadi anggota DPR/DPRD harus bermodal ratusan juta sampai miliaran rupiah. Itu pun belum tentu terpilih. Ini jadi seperti “jual-beli” jabatan. Paling apesnya, ada yang gila, stress, dan bunuh diri ketika pencalonan itu gagal.
[07] Untuk mendapat proyek pemerintah, banyak orang harus mengeluarkan uang besar untuk menyogok pejabat-pejabat terkait. Nanti yang terpilih ialah yang paling besar sogokannya. Bahkan sudah bukan rahasia lagi, untuk memenangkan tender proyek banyak perusahaan memberi bonus berupa “paha wanita”, kunci mobil, uang rekening, satu unit rumah bagus, dll.
[08] Hampir tidak ada satu pun pejabat yang peduli dengan orang miskin, kaum terlantar, anak gelandangan, tunawisma, pengemis, dll. Bahkan mereka melihat orang-orang malang itu dengan tatapan mata jijik. Mereka baru mau bersentuhan dengan orang malang, semata demi pencitraan politik. (Mau sih makan nasi bungkus di tenda pengungsian, setelah itu muntah-muntah di rumah). Semua ini demi pencitraan publik semata.
[09] Banyak anggota dewan di Jakarta (DPR RI) yang mencari pelayanan seks dari wanita-wanita WTS. Permadi pernah mengatakan, di DPR itu ada pemasok wanita-wanita semacam itu. Sebagian anggota DPR sudah beredar video-video mesum-nya. Yang paling parah ialah rekaman perkataan anggota DPR yang mengatakan, “Siapa yang berbaju putih itu?” Sampai dalam acara konggres sebuah partai politik (berkuasa) di Padalarang Bandung, seorang politisi partai itu melakukan perbuatan nista kepada seorang SPG. Tetapi kasus terakhir ini tidak segera dibawa ke ranah hukum, karena hegemoni politik.
[10] Banyak perusahaan-perusahaan seenaknya mencemari sungai, mencemari sawah, mencemari air tanah, mencemari lingkungan, atau minimal mencemari udara. Kalau ditanya, jawaban mereka klise, “Omong kosong dengan lingkungan. Gue butuh duit. Masa bodo dengan lingkungan. Lo jangan banyak bacot. Ntar lo gue kirimin anggota Kopassus buat ngasih hadiah ye.” Orang-orang ini lebih tepat disebut maling, daripada pengusaha.