SIAPA BILANG DEMOKRASI BUKAN SISTEM ISLAMI?

April 15, 2014

Oleh TOHIR BAWAZIR.

Berikut adalah tulisan opini tentang siasat politik demokrasi dari seorang pemerhati gerakan dakwah dan politik Islam. Masuk ranah polemik pro-kontra. Penulis coba uraikan sisi-sisi kebaikan demokrasi dalam kehidupan riil di tengah Ummat. Selamat membaca dan berwawasan!

Pemilu Legislatif untuk memilih anggota DPR, DPRD I, DPRD II dan DPD, baru saja usai dilaksanakan. Insya Allah di bulan Juli 2014 kita akan melaksanakan pemilu lagi,  yaitu pemilu  untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. pemilu itu pun masih memungkinkan berjalan dua putaran, apabila di putaran pertama tidak diperoleh pemenang mutlak yang mendapat suara 50% plus 1 suara. Kalau ditambah lagi dengan berbagai pilkada di berbagai daerah untuk memilih Gubernur maupun Bupati/Walikota, sesungguhnya negara Indonesia termasuk negara yang kelewat sibuk untuk melakukan pemilu.

Tidak hanya kelewat sibuk, namun pemilu juga sangat menguras dana dan kas negara, menguras energi dan pikiran seluruh bangsa,  termasuk pula menguras kantong para calegnya. Itulah ongkos demokrasi yang sudah dipilih oleh bangsa Indonesia dengan pola pemilihan langsung semacam ini.  Mudah-mudahan ke depannya pemilu dapat berlangsung semakin mudah, simple dan murah.

Namun betapapun boros dan berlebihannya pemilu, setidaknya hal ini melegakan sebagian besar pihak, karena rakyat memiliki hak penuh untuk menggunakan hak politiknya. Setelah era Orde Baru yang dikenal repressif dalam bidang politik, dimana kekuasaan hanya dimonopoli oleh Soeharto dan kroni-kroninya, di era reformasi ini rakyat dapat menikmati kebebasan politiknya sehingga tumbuh berbagai macam partai politik baru.

Demokrasi Adalah Satu Pilihan Jalan Politik. Sepertimana Kita Memilih Buah.

Demokrasi adalah Satu Pilihan Jalan Politik. Seperti Kita Memilih Buah.

Ada partai yang tumbuh sejenak kemudian layu sebelum berkembang, ada yang tumbuh namun gagal ikut pemilu karena masalah administrasi yang tidak bisa dipenuhinya, ada yang tumbuh dan dapat ikut pemilu namun akhirnya harus minggir dari percaturan politik karena kurangnya dukungan masyarakat. Hingga saat ini diperkirakan hanya sekitar 10 partai politik yang dapat bertahan dan bisa duduk di parlemen mewakili konstituennya. Mudah-mudahan ke depannya, jumlah partai politik tidak  akan semakin bertambah. Karena semakin banyak partai politik, otomatis akan semakin banyak biaya politik yang harus dikeluarkan.

Dari berbagai partai peserta pemilu yang ada, ada yang terang-terangan berasaskan Islam, ada yang berkonstituen Muslim namun bukan berasas Islam, ada pula yang tidak mau dikait-kaitkan dengan Islam, walaupun kalau musim pemilu sama-sama juga memperebutkan suara ummat Islam, karena realitas politik mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam.

Dari kalangan ummat Islam pun ada berbagai pandangan tentang sikap terhadap pemilu dan demokrasi. Ada yang setuju, dan ini merupakan pandangan mayoritas ummat Islam, ada yang menolak, ada pula yang sejatinya menolak namun terpaksa menerima karena tidak ada pilihan lain, alias darurat menerima.

Yang menolak selalu bersandar bahwa sistem demokrasi tidak dikenal dalam Islam. Karena sistem demokrasi memberikan peluang dan hak kepada masyarakat untuk membuat hukum dan undang-undang, hal yang seharusnya menjadi wewenang mutlak Allah SWT. Demokrasi adalah bid’ah (mengada-ada), sesat, sistem kufur dsb. Pokoknya harus ditolak.

Setelah sama-sama  menolak, mereka pun masih terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama,  mereka yang menolak sistemnya dan semua hasil-hasilnya. Ada pula golongan kedua, yang menolak sistem dan aturan mainnya, namun mereka menerima hasilnya. Mereka terima dan hormati penguasa hasil pemilu dan produk-produk hukum dari sistem demokrasi yang ditolaknya. Ada pula yang ketiga, pura-pura menolak semua, namun seringkali mereka terpaksa menerima hasilnya, bahkan seringkali menitipkan aspirasi politiknya kepada partai-partai yang sebelumnya ditolaknya itu.

Mengapa ummat Islam berbeda dalam menyikapi fenomena pemilu dan demokrasi, padahal mereka masih sama-sama bersandar kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah serta sama-sama mencita-citakan masyarakat yang ideal seperti di masa Rasulullah SAW dan masa Khulafaur Rasyidin (kepemimpinan Islam yang adil dan ideal)?

Kalau dilihat sejujurnya, ada dua kutub pandangan yang sulit dipertemukan. Yang pertama, yang menerima demokrasi dan melihat demokrasi sebagai suatu kenyataan riil yang ada dan patut dipakai saat ini. Yang menolak demokrasi memandang sebaliknya, yaitu apa yang seharusnya ada. Satu berangkat dari  realitas yang ada, yang kedua, apa yang dianggap harus ada. Mayoritas ummat Islam, berangkat dari menerima  apa yang ada (realistis). Yang ada adalah demokrasi adalah sistem terbaik bagi bangsa Indonesia untuk memilih pemimpin dan wakil-wakilnya, mengatur negara, membuat undang-undang dsb. Walaupun demikian demokrasi tetaplah produk manusia yang pasti ada kelemahan dan kekurangannya bahkan masih mudah pula untuk dicurangi oleh manusia.

Dalam demokrasi semua pihak punya wakilnya, ada wakil dari berbagai daerah dan suku, wakil berbagai agama, wakil berbagai profesi, wakil dari berbagai kepentingan dsb. Supaya masing-masing pihak dapat diakomodir kemaslahatannya, maka demokrasi lah yang mengaturnya. Sehingga tidak terjadi pemaksaan kehendak masing-masing pihak.

Baca entri selengkapnya »


Konflik NU dan Syiah

Juni 4, 2012

Oleh Kholil Hasbi

DARI serangkaian konflik sosial dua tahun terakhir antara pengikut Syiah dan Ahlus Sunnah belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Mulai insiden Bangil, kasus Sampang Madura hingga yang terbaru di Kencong Jember, semuanya melibatkan dua kelompok, yakni antara Syiah dan warga NU.

Kali ini Syiah yang menyerang warga NU. Rabu sore 30 Mei rumah ustadz Fauzi didatangi tujuh orang — yang menurut keterangan diindikasi sebagai pengikut Syiah. Ustadz Fauzi adalah pengurus Syuriyah Ranting NU desa Puger, Kencong Jember. Maksud sekawanan pengikut Syiah itu untuk menekan agar pelaksanaan pengajian di Kencong yang rencananya akan dihadiri Habib Muhdlar al-Hamid — da’i yang terkenal vokal dan tegas terhadap kekeliruan Syiah — dibatalkan. Ketika ust Fauzi menolak, kawanan Syiah menyerang dengan golok melukai seorang murid ustadz Fauzi.

Tidak ada balasan penyerangan dari warga NU setempat. Warga dan jajaran pengurus PCNU Jember menyerahkan kepada aparat keamanan. Bukan berarti persoalan selesai. Warga NU Jember kecewa sebab ada kabar kelima orang pelaku penganiyaan warga NU yang telah ditangkap polisi dilepas kembali (www.nukencong.or.id 02/06/2012).

Di sini, ada dua hal penting yang harus segera diperhatikan. Pertama, aspirasi warga nahdliyyin Jawa Timur agar Syiah dibekukan tampaknya belum direspon oleh pemerintah. Kedua, praktik merendahkan sahabat Nabi SAW masih dilakukan oleh Syiah dalam tulisan-tulisan dan pengajian. Untuk poin pertama, aspirasi NU itu dikuatkan dengan sikap pendiri NU — KH.Hasyim Asy’ari — yang menolak paham Syiah.

Dalam kitab Qonun Asasi li Jam’iyyati Nadlah al-Ulama’, KH. Hasyim Asy’ari menilai fenomena Syiah merupakan fitnah agama yang tidak saja patut diwaspadai, tapi harus diluruskan. Dalam kitab itu Kiai Hasyim mengecam golongan Syi’ah karena mencaci bahkan mengkafirkan sahabat Nabi SAW. Oleh sebab itu, beliau menghimbau agar para ulama’ yang memiliki ilmu untuk meluruskan penyimpangan golongan yang mencaci sahabat.

Sebenarnya, informasi adanya penodaan Syiah terhadap sahabat Nabi SAW bukanlah hal baru. Sudah jamak diketahui Syiah sulit menghilangkan ajaran itu. Di Jember, pihak PCNU mengaku telah mengantongi bukti-bukti berupa rekaman ceramah pemimpin Syiah yang merendahkan kedudukan sahabat Abu Bakar, Umar dan Ustman.

Di dalam kitab al-Kafi  — kitab rujukan Syiah — juz 8 halaman 245 ditulis:” Dari Abu Ja’far ia berkata: “Pasca wafatnya Nabi, orang-orang manjadi murtad semua, kecuali tiga. “Aku bertanya, siapa yang tiga itu? Beliau menjawab: “Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi”. Data-data semacam ini banyak dijumpai dalam kitab-kitab Syiah, juga dalam buku-buku mereka.

Dalam keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama’ah — akidah yang dianut NU — ajaran-ajaran Syiah tersebut dikategorikan sebagai penodaan terhadap agama. Apapun bentuk penodaan terhadap sakralitas agama, pasti akan memantik konflik.  Dakwah pengikut Ahlus Sunnah sudah berkali-kali mengingatkan agar Syiah menyudahi penodaan terhadap sahabat. Jika pun ajaran penodaan itu sulit dihilangkan oleh pihak Syiah. Kalangan Sunni menghimbau agar mereka tidak menggelar aktifitas secara publik, sebab akan menyinggung kalangan Sunni.

Terkait itu, PCNU Jember secara resmi meminta pemerintah agar Syiah dibekukan. Di antar butir himbauan resmi yang ditujukan kepada pemerintah baru-baru ini berbunyi : “Kepada pemerintah baik Pusat maupun Daerah dimohon agar tidak memberikan peluang penyebaran faham Syiah di Indonesia yang penduduknya berfaham Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sangat berpeluang menimbulkan ketidakstabilan yang dapat mengancam keutuhan NKRI”.

Ketegangan demi ketegangan yang telah terjadi memang akan menimbulkan ketidakstabilan Negara. Oleh sebab itu, faktor mendasarnya jangan sampai diabaikan para tokoh masyarakat dan pemerintah. Persoalan mendasarnya adalah, ajaran-ajaran yang menodai agama harus dihentikan aktifitas publiknya. MUI Jawa Timur pada januari lalu telah memberi rekomendasi agar aktifitas publik Syiah segera dibekukan. PWNU Jawa Timur juga sepakat dengan MUI Jawa Timur. Bahwa kelompok Syiah juga menghina sahabat Nabi, serta menyatakan orang yang tak turut dalam kelompok mereka bukanlah orang Islam. Bagi PWNU Syiah telah melakukan kekeliruan akidah (metrotvnews.com 9 Januari 2012).

Apalagi pihak Syiah telah mulai ‘pasang dada’ di hadapan warga NU. Ustadz Idrus Romli — salah satu pengurus PCNU Jember — cukup prihatin dengan perkembangan Syiah. Menurutnya, baru sedikit saja mereka sudah berani anarkis, bagaimana nanti jika sudah besar. Keprihatinan Gus Idrus sesungguhnya mewakili keprihatinan mayoritas kyai NU di Jawa Timur. Almarhum KH. As’ad Syamsul Arifin kiai sepuh yang disegani kalangan NU, pada tahun 1985 telah memberi himbauan. Menurutnya, Syiah Imamiyah di Jawa Timur itu ekstrim yang harus dihentikan di Indonesia. Peringatan Kyai As’ad ini juga demi menjaga stabilitas warga Jawa Timur.

Maka, pihak kepolisian dan pemerintah sebaiknya tidak menganggap remeh konflik seperti ini. Jika tidak ada keadilan untuk warga NU, bisa jadi insiden lebih besar akan terjadi lagi, tidak hanya di Jember tapi juga di daerah-daerah Jawa Timur lainnya. Ketegangan antara mayoritas Sunni (pengikut Ahlus Sunnah wal Jamaah) dan pengikut Syiah sudah lama terjadi di Jawa Timur. Di beberapa kantong-kantong NU lainnya — seperti Pasuruan, Malang, dan Bondowoso — ‘insiden-insiden’ kecil kerap terjadi. Walaupun masih dalam taraf kecil, tapi bisa saja dari situ memantik konflik sosial yang lebih besar.

Apalagi ada kasus kelompok Syiah yang menyerang NU di Jember tempo hari. Emosi warga bisa naik, bila aparat mendiamkan dan tidak berbuat apa-apa terhadap Syiah di Jawa Timur. Yang mesti dilakukan adalah bukan berusaha membungkam warga NU agar tidak menyalahkan Syiah. Alasan ini tidak rasional, sebab bagi Ahlus Sunnah segala bentuk penodaan itu merupakan perongrongan kesucian agama. Harga diri agama dan sakralitas ajaran Islam menjadi hak tiap warga termasuk NU yang harus dilindungi. Umat Islam memiliki hak sakralitas agamanya dilindungi. Mestinya hal-hal yang memancing konflik itu diselesaikan.*

(Penulis adalah Peneliti InPAS Surabaya).

Sumber: http://www.hidayatullah.com/read/22972/04/06/2012/menyudahi-konflik-nu-dan-syiah.html.


Peran Produsen dan Konsumen dalam Melestarikan Tata Nilai Halal-Haram

Agustus 17, 2010

PENGANTAR: Berikut ini adalah sebuah tulisan seorang kontributor. Tulisan yang bagus, mencerminkan rasa kritis yang kuat, berpijak pada realitas, dan konsisten dengan nilai-nilai Syariat. Ide pokok, tentang tanggung-jawab produsen dan konsumen dalam memelihara standar nilai halal-haram. Semoga bermanfaat!

_____________________________________________________________________________________

Bismillahirrahmaanirrahiim. Alhamdulillahi alladzi anzala rasulahu bilhudaa wa diinilh haqq li yuzhhuirahu ‘alaa diini kullihi walaw karihal musyrikuun. Ashalaatu wa salaamu ‘alaa man laa nabiyya ba’dahu.

Saya teringat beberapa waktu lalu beberapa sahabat saya mengajak saya untuk berjualan cokelat pada saat momen valentine. Sebenarnya dalam hati saya menolak untuk ikut-ikutan karena bagi saya itu masih syubhat, namun saya tidak langsung mengungkapkannya di depan teman-teman saya tersebut.

Tidak Sekedar Produksi dan Konsumsi. Ada Tanggung-jawab Menjaga Moral Masyarakat.

Sebenarnya, teman-teman saya tahu bahwa merayakan hari raya orang kafir itu haram, dalam hal ini valentine, namun mereka berpendapat dengan kaidah “Innamal a’malu binniyat” . Mereka bilang, “Jadi tergantung niatnya, jualan cokelat mah jualan aja, niat kita cuman jualan aja kok, terserah mereka mau dipake untuk apa”. Walaupun saya pada saat itu dalam hati tetap menolak, tapi sejujurnya pada saat itu saya belum punya argumen yang kuat karena saya benar-benar blank ilmunya, sehingga saya mengurungkan niat untuk angkat berbicara. Untunglah pada momen berjualan, saya ada di Jakarta menghadiri walimahan sepupu, sehingga saya punya alasan untuk tidak ikut berjualan dan tidak terlalu menyinggung mereka.

Alhamdulillah, beberapa waktu kemudian Allah menunjukkan ilmunya melalui sebuah literatur ilmiyah tentang masalah tersebut. Ada beberapa hadits dan atsar yang perlu kita kaji tentang kaidah produksi dan distribusi, hadits tersebut adalah:

1. Perkataan Umar Radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya berdagang tidak halal melainkan dalam sesuatu yang halal dimakannya dan diminumnya.”

2. Atsar dari Umar Radhiyallahu ‘anhu, “Tidak halal berdagang melainkan apa yang halal dimakan dan diminum dari barang-barang konsumtif. Jika tidak dalam arti seperti ini, maka disana terdapat sesuatu yang tidak halal memakannya, tapi halal memperdagangkannya, seperti keledai kampung dan burung pemangsa.” (Ibnu Hajar, Fathul Bari 4 : 484-485).

3. Hadits Nabi yang mengatakan, “Barangsiapa yang menahan anggur pada masa petik hingga dijualnya kepada Yahudi, Nasrani, atay orang yang menjadikannya khamar, maka sesungguhnya dia masuk ke neraka atas kemauan sendiri.”

4. Riwayat dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Sampai kepada Umar bahwa Fulan menjual khamr, maka dia berkata, ‘Allah mengutuk Fulan! Tidakkah dia mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi was Sallam bersabda, ‘Allah mengutuk Yahudi, karena diharamkan kepada mereka lemak (babi), lalu mereka mengumpulkannya kemudian mereka jual.”’ Ibnu Hajar menjelaskan hadits ini dengan menyebutkan beberapa bentuk, diantaranya bahwa orang disebut dalam kisah tersebut “menjual anggur kepada orang yang akan menjadikannya sebagai khamr.”

BISNIS MENGIKUTI PERMINTAAN

Sudah lumrah jika jumlah permintaan konsumen besar maka produsen akan memproduksi barang yang diinginkan konsumen tersebut. Jika konsumen butuh beras maka para petani selaku produsen menghasilkan beras; jika konsumen membutuhkan pakaian yang lagi nge-trend di zamannya maka para produsen pakaian berlomba-lomba menghasilkan baju-baju yang trendi tersebut walaupun baju-baju seksi yang membuat mata para lelaki hampir copot; jika konsumen sedang gila music maka banyak dapur rekaman yang memproduksi kaset, CD, dan MP3 berisikan lagu-lagu dari artis-artis ternama; jika novel-novel romance menjadi bahan bacaan kosumen maka banyak para penulis yang berlomba-lomba untuk menulis novel tersebut; jika momen valentine tiba maka produsen-produsen cokelat menjadi rajin, bukan hanya cokelat, namun pernak pernik serba pink pun ditingkatkan jumlah produksinya. Itu sudah lumrah, dan begitulah hukumnya, orang-orang yang hanya mencari profit materi semata selalu melayani perimintaan kosumen tanpa melihat apakah barang yang dihasilkannya berdampak buruk atau tidak.

Beberpa hadits di atas mengandung kaidah syar’i yang penting, yaitu tentang peran produsen dan konsumen dalam menjaga nilai-nilai halal-haram di suatu komunitas masyarakat yang juga sebagai konsumen. Dalam beberapa riwayat tersebut mengandung makna keharaman menjual anggur kepada pembuat khamr, atau mendistribusikan anggur kepada konsumen yang gemar menkonsumsi khamr. Kesimpulannya, sebagai produsen yang baik tidak seharusnya memproduksi dan mendistribusikan barang yang haram atau barang yang halal namun mendistribusikannya kepada konsumen yang sudah jelas gemar melakukan kegiatan yang haram dengan menggunakan produk yang halal tersebut.

Disinilah perbedaan perdangan dan ekonomi Islam dengan perdagangan dan ekonomi konvensional, fungsi dari dari Ekonomi Islam adalah bekerja membersihkan dunia dari hal-hal yang haram membahayakan sesuai dengan kaidah syar’i, sedangkan ekonomi konvensional tujuannya hanya profit semata tanpa mengindahkan kaidah halal-haram.

Keduanya, baik produsen maupun konsumen perlu menyadari nilai halal-haram suatu produk dan kegiatan. Bila produsen memproduksi barang-barang yang haram maka hendaknya para konsumen membuat sepi pasaran produsen tersebut, dan jika konsumen menginginkan produk yang haram atau produk yang halal namun ingin digunakan untuk hal yang haram maka hendaknya produsen menahan diri untuk memproduksi dan mendistribusikan barang tersebut. Disinilah mengapa keduanya berperan sebagai pelestari nilai kehalalan dan keharaman.

Walaupun dalam beberapa kasus di Indonesia misalnya, produsen yang mestinya lebih berperan, karena produsenlah yang berkuasa membuat produk dan menargetkan pasar. Produsen dengan mengeluarkan produk-produk yang baik tentunya bisa “mengajarkan” perilaku yang baik kepada konsumen. Misalnya, mengeluarkan produk jilbab untuk muslimah; celana di atas mata kaki untuk laki-laki; makanan yang halal dan thayyib, secara tidak langsung para produsen ini berperan untuk mendidik konsumen untuk berperilaku yang baik. Tapi kalau keduanya sama-sama rusak, ya mau bagaimana lagi? Selaku orang-orang yang paham akan ilmu syar’i terpaksa harus “terasing” sembari memperjuangkan dan mempertahankan kaidah-kaidah syar’i.

CONTOH APLIKATIF

Untuk lebih jelas saya berikan beberapa contoh:

(a). Memproduksi dan berjualan celana jeans ketat untuk wanita. Kita lihat realitanya sekarang, kita harus jujur untuk apa kebanyakan para konsumen -khususnya wanita- membeli celana jeans itu? Sebagai mode pakaian yang dipakai di tempat umum kan? Sedikit sekali wanita yang mebeli celana jeans ketat yang niatnya hanya untuk dipakai di rumah untuk membahagiakan suaminya. Nah, simpulkan sendiri apa hukumnya menjual celana jeans ketat?

(b). Menjual cokelat di saat valentine. Cokelat secara zatnya memang halal jika memang diproses secara halal pula. Namun budaya jahiliyah valentine masih sangat melekat di kalangan masyarakat kita. Lagi-lagi kita harus jujur melihat realita, kira-kira apa yang ada di benak seorang yang mempunyai kekasih atau pada saat ingin “nembak” kecengannya, lalu dia belum paham bahwa valentine itu haram, dan dia membutuhkan cokelat. Tentunya sebagai produsen dan distributor cokelat mesti paham apa yang harus dilakukan, dia harus menahan memproduksi dan mendistribusikan cokelat pada momen itu, karena apa? Jika kita kekeuh memproduksi dan mendistribusikan cokelat pada saat itu sama saja kita melestarikan budaya valentine yang haram tersebut.

(c). Berjualan alat kontrasepsi berupa kondom di tempat prostitusi, jelas haram karena di tempat tersebut kondom itu mau digunakan untuk apa lagi selain untuk berzina? Berbeda jika ada sales kondom (ini misalnya ya, walaupun saya belum pernah melihat sales kondom) yang berjualan door to door kepada pasangan suami istri yang sudah legal.

(d). Menjual anggur kepada masayarakat yang gemar memfermentasikan anggur sehingga menjadi minuman keras, ini jelas keharamannya seperti disebutkan dalam hadits di atas.

(e). Menjual buku-buku yang mengajarkan pemahaman-pemahaman dan nilai yang sesat seperti budaya-budaya jahiliyah, pluralisme, sekularisme, bid’ah, khurafat dan takhayul. Ini juga jelas keharamannya.

Itulah beberapa kaidah yang harus dipahami oleh produsen dan konsumen. Hikmahnya sebagai muslim yang baik kita harus bahkan wajib berambisi menguasai pasar dan produksi sehingga nilai-nilai syar’i dapat ditanamkan di tengah-tengah masyarakat. Dengan memproduksi dan mendistribusikan barang yang halal, thayyib, dan bermanfaat maka sangat berperan dalam mendidik nilai-nilai kebaikan di tengah-tengah masyarakat.

Sesungguhnya korelasi antara produksi dan konsumsi berdampak pada perlindungan sumber-sumber ekonomi kaum muslimin, yaitu dengan eksplorasi produk-produk halal yang mencerminkan kebutuhuan hakiki bagi manusia, sehingga didapatkan keberkahan sumber-sumber ekonomi yang dikaruniakan Allah kepada kaum muslimin. Dalam hal ini Umar Radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya dunia adalah kesenangan yang menawan. Barangsiapa yang mengambilnya dengan benar, dia akan diberikan keberkahan oleh Allah di dalamnya; dan barang siapa yang mengambil dengan selain itu, maka dia seperti orang yang makan dan tidak kenyang.” Lain halnya dengan ekonomi konvensional, yang sumber-sumber ekonomi dieksploitasi dalam produk-produk yang bermanfaat dan juga yang bermudharat, selama mendatangkan keuntungan bagi produsennya.

Wallahua’lam bishawwab.

Iziz Al-Ghariib.

Lihat situs Gerakan Ekonomi Islam. Terdapat tulisan yang sama, dengan susunan redaksional sedikit berbeda. Semoga bermanfaat! Amin.



Fujiwara Award untuk Ilmuwan Muda Indonesia

April 26, 2010

PENGANTAR

Artikel ini pernah dimuat oleh majalah Gatra, edisi 24 Februari 2010, hal. 32-33, dengan judul Obsesi Periset Smart Fluid. Ia adalah tentang sosok seorang periset muda Muslim Indonesia, Muhammad Agung Bramantya, yang sedang menempuh studi di Jepang. Berkat riset yang dilakukannya dalam topik “smart fluid” dia mendapat Fujiwara Award dan Young Engineer Award dari JSAEM, sebuah lembaga para ilmuwan Jepang. Ini adalah untuk pertama kalinya Fujiwara Award diberikan kepada seorang periset dari luar Jepang. Otomatis Muhammad Agung Bramantya merupakan orang Indonesia pertama, sekaligus Muslim pertama di Dunia Islam, yang menerima penghargaan tersebut. Karena begitu pentingnya informasi ini agar diketahui Ummat Islam, sengaja saya muat artikel tersebut di blog ini. Artikel serupa juga dimuat di koran Media Indonesia, dengan judul Mengulik Ultrasonik Pendeteksi Fluida Cerdik, edisi 12 Februari 2010. Semoga bermanfaat!

OBSESI PERISET SMART FLUID

Muhammad Agung Bramantya menjadi orang pertama di luar Jepang yang mendapat Fujiwara Award dan Young Engineer Award dari JSAEM. Buah ketekunan sejumlah riset bidang smart fluid. Untuk jangka pendek, PLTN bisa menjadi solusi alternatif guna mengatasi krisis listrik.

Dunia riset di laboratorium memang jauh dari hiruk-pikuk kemilau glamor. Meski sepi, dunia riset bukan berarti tidak dapat memberi kepuasan. Setidaknya, begitulah yang dirasakan Muhammad Agung Bramantya, kandidat doktor di Universitas Keio, Jepang. Berkat ketekunan dan temuannya dalam sejumlah riset, pria kelahiran Yogyakarta, 22 Maret 1981, ini dianugerahi Fujiwara Award.

“Saya senang karena (menjadi) orang pertama di luar Jepang yang mendapat Fujiwara,” kata Bram, begitu ia biasa disapa. Fujiwara Award diambil dari nama Ginjiro Fujiwara yang hidup pada 1869-1960. Ia pendiri Institut Teknologi Fujiwara, cikal bakal Fakultas Sains Teknologi Universitas Keio. Anugerah yang diterima Bram pada 30 Maret 2009 itu adalah penghargaan bagi peneliti yang aktif dan bergiat di lintas bidang, baik sains maupun sosial budaya.

Bram, yang belajar di Jepang sejak Maret 2008, tidak tahu secara pasti mengapa anugerah itu jatuh ke tangannya. Yang dia tahu, dirinya banyak terlibat dalam presentasi hasil riset di forum konferensi ilmiah, baik di Jepang maupun di dunia internasional. Untuk bidang sosial, Bram bergabung dalam forum South-East Asian Engineering Development Network (Seed Net). Forum ini berisi para peneliti dari ASEAN dan Jepang.

Foto Bram di Tengah "Mainan-nya"

“Selain saling dukung secara ilmiah-akademis, juga menjadi ajang untuk mengenalkan budaya dan informasi dari tiap negara,” katanya. Menurut Bram, penilaian dari sisi parameter akademik jelas terukur, sedangkan untuk parameter sosial-budaya tentu subjektif. Untuk aspek akademis, Bram bercerita bahwa dirinya pernah maju dalam seminar dunia ke- 11 tentang Electrorheological Fluids and Magnetorheological Suspensions (ERMR) Organizing Committee pada September 2008 di Jerman.

Dalam seminar itu, Bram adalah satu-satunya wakil Asia Selatan dan Asia Tenggara. Di sana, ia menyabet Best Poster Prize, menyisihkan 100-an poster peneliti dunia di bidang tersebut. “Itu prestasi puncak yang mungkin menginspirasi pemberian Fujiwara Award,” ujar peneliti yang selalu mengaku sebagai orang Indonesia, meski dalam diskusi menyatakan diri sebagai wakil Jepang. Ada pengalaman lucu ketika ia mendapat sampanye. “Bingung mau diapakan, akhirnya saya buang ke toilet,” katanya.

Kesetiaan Bram pada riset ternyata membuahkan penghargaan. Tanpa pernah mengimpikannya, pada 19 November lalu ia menerima Young Engineer Award. Anugerah dari Japan Society of Applied Electromagnet and Mechanics (JSAEM) ini diberikan pada puncak acara Magnetodynamics Conference ke-18 di Universitas Tokyo. “Penghargaan kali ini karena ada temuan spesifikasi di bidang itu,” ujar Bram.

Unsur kebaruan risetnya ada pada penggunaan metode ultrasonik un­tuk menganalisis struktur dalaman pada sebuah smart fluid, yang berupa magnetorheological fluid. Sebelumnya, para periset biasa memakai metode simulasi numerik, metode optical microscope, atau metode spektrografi analisis sektrum cahaya. Semua metode ini memakai preparat. “Sedangkan saya memakai metode gelombang ultrasonik,” katanya. Dengan metode ini, secara prinsip tidak ada perlakuan khusus terhadap fluida yang akan diteliti.

Aplikasi riset smart fluid kini merambah berbagai bidang. Di dunia otomotif dipakai untuk memonitor sistem suspensi peredam atau pemantau efek suspensinya. Penerapan suspensi dengan smart fluid telah dilakukan pada mobil Audi, Ferrari, dan BMW. NASA juga mengembangkannya untuk injeksi bahan bakar fluida. Sedangkan MIT lebih ke arah robotik.

***

Dunia riset yang kini ditekuni Bram tidak bisa lepas dari hobinya melakukan riset sejak mahasiswa. Salah satu risetnya ketika kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, adalah mendesain mobil tenaga surya. Topiknya adalah “Aerodynamics Performance for Body Development of a Solar Car”. Ketika ia lulus dari teknik mesin UGM, skripsinya berjudul “Redesign Conceptual Aircraft: Airbus A 330”. Selain menjadi mahasiswa terbaik, Bram juga menjadi  mahasiswa yang lulus tercepat di angkatannya.

Begitu lulus, Bram sempat bekerja di Unocal. Namun, tak sampai setahun, ia merasa tidak sreg bekerja di tengah laut dengan sistem dua minggu kerja-dua minggu libur. “Bukan jenis pekerjaannya, melainkan sistemnya. Saya juga melihat jalur engineer di sana begitu-begitu saja. Jadi kuli, walau bayarannya besar,” katanya. Sebenarnya ia berencana terjun ke industri dulu selama 10-15 tahun, baru kemudian balik ke kampus untuk mengajar dan meneliti.

Namun Bram sudah gatal terjun ke riset. Pada 2004, ia pun memutuskan melanjutkan S-2 teknik mesin di Pascasarjana UGM. Ia tuntaskan studinya ini dalam tiga semester, dengan IPK 3,86. Lalu ia meneruskan kuliah di University of Malaya, menekuni teknik desain dan manufaktur. Selain belajar, ia juga aktif memberi tutorial resmi S-1 dan S-2 serta terlibat dalam berbagai pameran akademik dan presentasi poster.

Tesisnya, “Development of a Software for Designing and Manufacturing of an Impeller”, sekaligus menghasilkan software desain impeller pump layak paten lokal. “Tapi saya tidak mau. Enakan Malaysia, dong,” kata Bram. Suatu saat, jika pulang ke Indonesia, ia mencoba mematenkannya. Selain itu, juga bisa dipakai sebagai “senjata” jika akan bermitra dengan Malaysia.

Kini, di Jepang, Bram fokus di bidang yang didalaminya sejak 2007, yakni smart fluid, baik yang cair maupun gas. Proses studinya tidak berupa aktivitas kuliah atau tatap muka. “Semuanya berbasis penelitian,” ia menambahkan.

Kini tesis S-3 yang disiapkannya adalah soal magnetic and magnetorheological fluids. Risetnya merupakan bagian dari beasiswa JICA. Kini dilakukan di Jepang karena instrumentasi dan bahan materialnya terbilang mahal.

“Untuk gambaran, saya mendapat Rp 100 juta per tahun,” kata ayah dua anak berusia lima dan tiga tahun ini. Uang itu untuk bahan operasional. Selain itu, tambah Bram, masih ada dana dari profesor di laboratorium dan peralatan lainnya milik universitas senilai milyaran rupiah. “Saya taksir Rp 3 milyar-Rp 5 milyar,” kata Bram. Mahalnya biaya terletak pada investasi pembangunan laboratorium utuh, yang jika lengkap bisa mencapai Rp 1 trilyun.

***

Bram bersyukur, UGM dan pemerintah memberi dukungan penuh. “Kalau bukan dosen UGM, saya mungkin sulit mengakses fasilitas di sini. Pihak Jepang juga melihat status dosen dan PNS saya,” ungkap Bram. Ia percaya, sejumlah risetnya potensial untuk dikembangkan dan diterapkan. Riset S-1 bisa untuk bidang aerodinamika pesawat. Penelitian S-2 tentang flooding sangat dibutuhkan di reaktor nuklir.

Soal nuklir, Bram yakin, PLTN mampu menyelesaikan krisis listrik jangka pendek. “Jika nanti infrastruktur energi ramah lingkungan tercapai, barulah PLTN ditinggalkan sejauhjauhnya,” kata Bram.

Bila nanti kembali ke UGM, Bram ingin mengintensifkan riset-riset ke arah paten dan membangun jaringan interdislipiner ilmu. “Insya Allah, bisa lahir banyak temuan yang berguna untuk rakyat,” ujar Bram.

[FINISH HERE].

SUMBER: Blog Muhammad Agung Bramantya.


Selembar Cek dan Kalender Hijriyah

April 25, 2010

Oleh Husaini Mansur dan Dhani Gunawan Idat

Dewasa ini, alat pembayaran berupa cek (cheque) sudah begitu populer bagi dunia usaha, pedagang, pebisnis, pengembang, tokoh-tokoh masyarakat, pemimpin organisasi, baik Pemerintah maupun Swasta dll. Apalagi di kalangan perbankan. Berbagai cek dari nasabah harus diselesaikan setiap hari, supaya arus perniagaan dan sistem pembayaran tetap berjalan lancar, tanpa kendala.

Tinggal Nulis Angka Nominal.

Namun pertanyaan yang kemudian muncul, apakah memang ada hubungan (korelasi) antara cek sebagai alat pembayaran di satu pihak, dengan Tahun Hijriyyah di pihak lain, yang notabene merupakan sistem penanggalan Islami? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, melalui artikel ini, penulis akan mencoba mengetengahkan latar belakangnya.

BERAWAL DARI INOVASI

Pada masa Umar bin Khaththab menjadi Khalifah (634 – 644 M), wilayah Islam sudah menyebar ke segala penjuru. Jika sebelumnya pemerintahan hanya terbatas di Jazirah Arabia, kini semakin meluas, mulai dari Irak dan Persia di Kawasan Timur, hingga ke Syam dan Mesir di Kawasan Barat.

Menyadari perlunya pemerintahan yang bersih dan berwibawa, Khalifah Umar-pun menjadikan kesejahteraan pegawai dan prajurit sebagai salah satu prioritas Pemerintah. Imbalan kerja diberikan dalam jumlah mencukupi, sehingga Aparatur Negara merasa betah dan nyaman melaksanakan tugas. Sebagai bentuk atensi, Sang Khalifah kemudian mendirikan Diwan, sejenis Lembaga Negara yang mengatur gaji bulanan aparat, dan mulai berfungsi pada 15 H.

Agar pembayaran gaji tidak tumpang tindih, disamping daftar gaji, kepada masing-masing aparat yang akan menerima gaji, diberikan semacam kupon yang dinamai sakk atau sukuk. Isinya berupa ”perintah tertulis” dari Khalifah kepada Diwan, untuk membayarkan gaji kepada mereka yang berhak menerima, yaitu aparat pemegang kupon tersebut. Berkat adanya surat perintah yang berdimensi kontrol ini, pembayaran gaji akhirnya terlaksana secara efektif dan tepat waktu.

Bahkan pada saat paceklik melanda Kota Mekkah dan Madinah (17-18 H), metode surat perintah yang sudah teraktualisasi ini, ikut difungsikan Khalifah Umar. Konon dalam tahun kekeringan yang disebut juga sebagai Tahun Ramadah atau tahun kelabu itu, pembagian gandum (tunjangan natura) kepada penduduk dilakukan dengan  sistem yang serupa.

SUMBER MOTIVASI PEBISNIS

Dibelakang hari, Surat Perintah Pembayaran khas Khalifah Umar menjadi sumber motivasi tersendiri bagi pedagang atau pebisnis. Jikalau Khalifah Umar mengeluarkan Surat Perintah Pembayaran dalam rangka pelaksanaan tugas umum Kenegaraan, para pedagang atau pebisnis berinovasi mengeluarkan Surat Perintah Pembayaran dalam usaha bisnis, yakni pelunasan utang piutang yang berasal dari jual beli produk (komoditas). Prosesnya tentu saja dilakukan secara Islamiyah.

Perintah tertulis yang kemudian dikenal sebagai cek ini, ternyata begitu aplikatif di lapangan. Betapa tidak. Jika sebelumnya pembayaran di antara sesama pedagang, pemasok dan langganan dilakukan melalui kas (uang tunai), kini dapat diganti dengan cek (non cash), dengan tenggang waktu tertentu.

Berubahnya sistem pembayaran dari tunai ke cek, tentu tidak terlepas dari kondisi ekonomi yang paceklik di Tahun Ramadah – seperti telah diungkapkan –  sehingga daya beli menurun. Fenomena tersebut terlihat pula dalam formalitas cek. Berbeda dengan aturan cek dewasa ini, dimana pembayaran harus dipenuhi oleh pihak tertarik (Bank) begitu cek diunjukkan kepadanya, maka cek pada masa itu dapat dibayarkan dalam rentang waktu tertentu seperti tertulis dan telah disepakati di dalam cek. Dengan demikian, pembeli memiliki waktu jeda dalam pembayaran.

IDE PENETAPAN TAHUN BARU HIJRIYYAH

Permasalahan kemudian timbul, tatkala si penagih (penjual barang) akan mengklaim pembayaran cek. Pasalnya, cek-cek yang diterbitkan oleh pihak pembeli, tidak mencantumkan tahun pembayarannya. Yang ada hanya bulannya saja. Misalnya, bulan Sya’ban.

Ketika hal itu dikonfrimasikan kepada Khalifah Umar (Kepala Negara), Beliau-pun ikut bertanya. “Bulan Sya’ban yang manakah ? Apakah tahun ini, atau tahun lainnya ?” (Riwayat Maimun bin Mihran).

Selain kasus cek ini, Khalifah Umar juga diriwayatkan menerima surat dari Abu Musa Al-Asy’ari, Gubernur Kufah yang menggugah surat Khalifah Umar kepada sang Gubernur, karena tak ada tanggalnya. Kealpaan tersebut segera menyadarkan Khalifah Umar, bahwa sejauh ini Kaum Muslimin memang belum menetapkan penanggalan atau Tarikh Islamiyah secara resmi. Padahal tuntutan zaman harus diakomodir.

Karena itu, Khalifah Umar segera berembug dengan para sahabat yang berkompeten untuk mencari solusi yang tepat dalam hal penanggalan (kalender). Dari pertemuan yang terjadi, terdapat beberapa usulan. Ada sahabat yang menghendaki agar Tarikh Islam dimulai dari tahun kelahiran (Maulid) Nabi Muhamad SAW. Ada pula yang ingin mengaitkannya dengan Nuzulul Qur’an, atau peristiwa Isra’ Mi’raj. Sedangkan Ali bin Abi Thalib mengusulkan, agar Tarikh Islam dikaitkan dengan Hijrah Nabi ke Yastrib (Madinah).

Konon mayoritas sahabat termasuk Khalifah Umar sendiri menyetujui usul Sayyidina Ali yang menisbatkan Tarikh Islam dengan Hijrah Nabi. Dari aspek kejuangan, Hijrah Nabi yang monumental dan bersejarah, dinilai lebih tepat dan mengena sebagai awal perhitungan Tarikh Islam. Karena lewat peristiwa ini, Kaum Muslimin dapat membuka lembaran baru menuju masa pencerahan. Yakni, dari cahaya gelap (adz-dzulumat), ke cahaya terang atau cerah (an-Nur).

Dengan alasan tersebut, Khalifah Umar segera memutuskan bahwa Tarikh Islam mengacu ke Hijrah Nabi yang secara historis bersesuaian dengan tahun 622  Masehi. Menurut riwayat, keputusan bersejarah ini ditetapkan pada bulan Rabi’ul-awwal tahun ke 16 H. Sedangkan sumber lain mengatakan pada tahun ke 17 atau 18 H. Berbeda dengan Tarikh Masehi yang mengacu ke peredaran matahari (Syamsiah), Tarikh Hijriyyah dikaitkan dengan peredaran bulan (Qamariah), dan memperlakukan tanggal 1 Muharram sebagai awal tahun kalender. Demikianlah fenomena Tahun Hijriyyah, yang setiap tahunnya diperingati secara khidmat oleh Kaum Muslimin di seluruh penjuru dunia. Tak terkecuali pada 1431 H tahun ini.

Baca entri selengkapnya »


Sekali Lagi: TERORISME !!!

Agustus 23, 2009

Ini sebuah tulisan bagus dari eramuslim.com. Judul aslinya: “Mantan Direktur BAKIN: Terorisme Kerjaan Intelijen”. Ini sengaja dimuat untuk memperkuat pandangan kita selama ini, bahwa terorisme hanyalah FITNAH yang ditujukan untuk memerangi Ummat Islam secara psikologis dan pemikiran.

Syukran untuk redaksi eramuslim.com. Maaf, saya kutip langsung, tidak ijin terlebih dulu. Kalau ada komplain, mohon sampaikan via e-mail. Nanti tak hapus artikel ini. Tapi insya Allah redaksi eramuslim.com lapang hati.

Mantan Direktur BAKIN: Terorisme Kerjaan Intelijen

Dalam diskusi yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Wisma Antara siang tadi, mantan direktur BAKIN, AC Manulang, menegaskan bahwa tidak mungkin terorisme dilakukan atas ajaran agama Islam, semuanya merupakan bagian dari operasi intelijen.

”Islam tidak mengajarkan terorisme. Karena Islam merupakan agama yang mengajarkan perdamaian. Terorisme adalah bagian dari kegiatan intelijen,” ujar doktor sosiologi dari universitas di Jerman ini.

Menurut Manulang, setelah perang dingin antara kapitalisme dan komunisme usai, Amerika sebagai pionir dari kapitalisme mencari musuh baru, yaitu Islam. Inilah yang sedang terjadi saat ini. Kenapa harus di Indonesia?

Manulang menambahkan bahwa jumlah penduduk Indonesia yang 230 juta dan mayoritas Islam merupakan potensi dan sekaligus bahaya besar untuk kapitalisme. Karena itulah, mereka melemahkan semua potensi yang akan menghambat kapitalisme.

”Salah satu cara yang dilakukan Amerika adalah mengangkat semacam ‘sweet boy’ untuk menjadi pemimpin negara yang mayoritas Islam di seluruh dunia,” jelas AC Manulang.

Jose Rizal Jurnalis dari presidium Mer-C yang juga sebagai pembicara di acara diskusi tersebut menambahkan, ”Terlalu aneh kalau seorang Air dan Eko yang menurut saksi mata masih shalat Jumat di Solo bisa dikatakan tertembak pada Sabtu jam 2 pagi di Jatiasih, Bekasi.”

Menurut Jose, bagaimana mungkin dua orang yang mengangkut bom ratusan kilogram bisa secepat itu tiba di Bekasi, dan langsung tertembak di lokasi.

Selain soal Air dan Eko, dua orang yang disebut polisi sebagai teroris dan tewas ditembak polisi di Bekasi, Jose juga menganggap aneh peristiwa penyerbuan 600 polisi di Temanggung. ”Umumnya penyerangan terhadap suatu tempat persembunyian biasanya dengan gas air mata. Dan semua orang pasti tidak akan tahan dengan cara ini,” ujar dokter yang akrab dengan suasana konflik.

Tapi anehnya, masih menurut Jose, Ibrahim tidak pernah keluar rumah yang diserbu tersebut. Bahkan, darah yang mestinya berceceran di lokasi tidak ada. Tidak tertutup kemungkinan, Ibrahim memang sudah tidak lagi hidup ketika penyerbuan berlangsung.

Jose kembali mengkritisi pasca peledakan Mariot-Ritz Carlton, ”Kenapa polisi tidak mengecek lebih lanjut siapa ratusan orang asing yang menginap di dua hotel tersebut. Tapi, langsung mengarahkan semua tuduhan itu kelompok yang disebut sebagai Nurdin M Top.”

Senada dengan Jose, AC Manulang juga mengungkapkan bahwa saat ini pihak intelejen tidak punya data soal Nurdin M Top. ”Saat ini, sepengetahuan saya, pihak intelijen tidak tahu banyak soal Nurdin M Top,” jelas Manulang.

Ismail Yusanto, sebagai juru bicara HTI yang juga sebagai pembicara di acara tersebut menegaskan bahwa Islam tidak mengajarkan cara-cara terorisme seperti itu dalam jihad.

Bahkan Ismail membeberkan sejumlah fakta bahwa ada ketidakcocokan antara motivasi teror dengan aksi terorisme. ”Kita sudah paham bahwa motivasi yang disampaikan aparat lewat media adalah perang melawan Amerika, tapi kenapa aksinya tidak tertuju pada aset Amerika?” ujar Ismail.

Menurutnya, hingga saat ini, dari sekian banyak peristiwa terorisme di Indonesia, tidak satu pun warga AS yang menjadi korban. Bahkan, kantor Dubes AS di Jakarta tidak tersentuh bom sama sekali.

Lalu, siapa dalang di balik teror di Indonesia? Jose mensinyalir bahwa kelompok multinasional korporat atau pebisnis multinasional di belakang gembar-gembor terorisme. Jose berargumen bahwa hanya merekalah yang tahu adanya rapat pebisnis besar di Mariot saat peristiwa bom terjadi.

Selain itu, masih menurut Jose, pasca naiknya Obama menggantikanBush, isu terorisme akan disudahi oleh Obama. Tapi, kelompok multinasional yang memang selama ini membiayai sarana militer Amerika dan negara-negara besar lainnya, tetap menginginkan kondisi konflik karena itu memudahkan bisnis mereka. Mnh.

Semoga Ummat Islam semakin paham, apa yang terjadi, siapa yang mereka hadapi, dan akan kemana fitnah ini bergulir? Allahumma amin.


Usia Berapa Aisyah Ra. Dinikahi Nabi?

Juli 17, 2009

Catatan editor: Tulisan ini merupakan kontribusi bapak Tohir Bawazir, seorang prakisi perbukuan Islam di Jakarta. Ia merupakan diskursus tentang usia Aisyah binti Abu Bakar Ra. saat menikah dengan Nabi. Silakan direnungkan, dibaca, dan diapresiasi. Diskusi terbuka luas, asal tetap baik dan santun. Moga Pak Tohir berkenan merespon diskusi-diskusi yang muncul dalam topik ini. Terimakasih kepada semua pihak, khususnya kepada Pak Tohir Bawazir. (AMW).

Melihat gegernya kasus pernikahan seseorang yang mengaku sebagai Syaikh Puji dengan anak di bawah umur (baru 12th), saya jadi terpancing untuk ikut berkomentar. Terlebih lagi pernikahan yang tak wajar ini selalu dikaitkan dengan pernikahan junjungan kita Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah ra. yang juga masih di bawah umur (ada yang menyebut 6th dinikahi dan 9th dicampuri, ada pula yang menyebut 9th dan baru umur 12th dicampuri, namun ada pula yang menyebut 12th dinikahi dan baru 15th dicampuri).

Para ulama dan sejarawan Islam berbeda pendapat kapan tepatnya usia Aisyah dinikahi Nabi. Karena mereka berbeda pendapat berapa persisnya usia Aisyah ketika dinikahi Nabi, berarti dari berbagai versi ini pastilah banyak yang salah hitung, atau malah bisa jadi semuanya salah. Namun paling tidak tiga versi inilah yang paling banyak  dipakai atau diterima pandangannya. Sebelum kasus pernikahan tak lazim Syaikh Puji dengan anak-anak, kalangan non-Muslim terlebih  Orientalis, sudah sering menyudutkan pribadi dan kemuliaan junjungan  Nabi kita Muhammad SAW karena menikahi Aisyah ra yang masih di bawah umur. Yang jadi pertanyaan usia berapa Aisyah dinikahi Nabi? Benarkah Nabi menikahi anak yang baru 6th, atau 9th atau 12th (usia Aisyah dalam berbagai versi yang paling masyhur)?

Sebagian sejarawan Islam dan  para ulama sering ‘memantas-mantaskan’ usia Aisyah yang masih anak-anak,seolah-olah sudah pantas dinikahi karena tabiat masyarakat kala itu, usia sebesar itu sudah siap dinikahi dibanding masyarakat sekarang.  Dimana pada usia sekitar 13th anak perempuan  zaman sekarang baru mulai menstruasi (tanda kematangan biologis, dimana organ tubuh sudah mulai siap reproduksi). Kalau ini yang menjadi argumen, justru menurut pandangan saya malah terbalik. Anak-anak zaman sekarang sudah tentu  lebih cepat matang dan dewasa karena iklim yang makin terbuka, informasi makin gampang diakses, gizi juga semakin baik, sehingga kematangan biologis anak-anak sekarang lebih terpacu karena ada pemicunya. Otomatis anak-anak zaman sekarang pasti lebih cepat matang secara seksual dibanding tempo dulu, apalagi di zaman Nabi. Jadi kalau saya membayangkan usia Aisyah yang katakanlah baru 9th, menurut saya memang masih anak-anak. Namun yang jelas Nabi menggauli Aisyah ketika Aisyah sudah haidh (artinya sudah matang secara biologis, bukan anak-anak lagi).

Mengingat sejarawan Islam bersepakat bahwa Nabi SAW menggauli Aisyah ra ketika Aisyah sudah baligh , jadi mestinya kita bisa menjawab tuduhan para orientalis bahwa Nabi SAW tidaklah menggauli istrinya ketika masih anak-anak, namun  Aisyah sudah layak digauli yaitu ketika sudah datang bulan (haidh).  Inilah ukuran/patokan kapan seorang anak perempuan boleh dinikahi/digauli. Yang masih tersisa pertanyaannya  yaitu berapa umur istri Nabi pada saat itu? Maaf, saya boleh berpendapat (toh memang sudah ada perbedaan pendapat sebelumnya)  berbeda dengan sebagian ulama  dan sebagian sejarawan Islam yang menggambarkan seolah-olah usia Aisyah masih anak-anak betul ketika dinikahi Nabi (ada yang berpendapat masih 6th atau 9th).

Menurut saya ada ketidakakuratan  dalam tarikh Islam ketika membicarakan usia seseorang.

Pertama, Ini bisa dimaklumi di masa lampau penanggalan belumlah selengkap sekarang, dimana kelahiran dan kematian seseorang biasanya dikaitkan dengan peristiwa tertentu, misal  Nabi lahir di Tahun Gajah ( tahun dimana ada penyerbuan tentara bergajah ke Mekkah).

Kedua, ada kebiasaan orang Arab yang  berlebihan /hiperbola ketika menyebut sesuatu. Misal, si A masih muda, ditulisnya muda banget (anak-anak), si B sudah tua, ditulisnya tua banget (nenek-nenek). Saya suka termenung dan bertanya keheranan (kurang percaya) ketika dalam tarikh Islam disebutkan usia Aisyah masih sangat muda(6 atau 9th) ketika dinikahi Nabi, sedang usia Khadijah ra ketika dinikahi Nabi sudah tua (berusia 40 tahun). Padahal dari Khadijah, Rasulullah SAW mendapat 5 orang anak (satu-satunya anak lelaki yang bernama Qasim meninggal ketika masih bayi).

Apakah seorang janda yang berusia 40 tahun masih begitu suburnya sehingga masih dapat melahirkan anak hingga 5 orang? Jangan-jangan yang salah, adalah justru menghitung usia yang tepat ketika Khadijah ra ketika dinikahi Nabi. Begitu pula banyak riwayat yang menyebut istri-istri Nabi lainnya sudah terlalu tua ketika dinikahi Nabi (ada yang diatas 50 tahun). Padahal Khadijah hidup dengan Nabi selama 27 tahun, sedang Aisyah selama 9 tahun. Jangan-jangan kebiasaan menghitung usia seseorang pada saat itu memang belum akurat, karena tidak punya alat ukur sehingga ada unsur kira-kira, ceroboh atau sekenanya karena penanggalan saat itu pastilah belum ada seperti sekarang ini.

Baca entri selengkapnya »


Sikap Ulama Salaf dan Umara’

April 18, 2009

Pengantar

Sebuah artikel bagus di www.hidayatullah.com berjudul “Ulama Salaf Enggan Dekati Pintu Penguasa” (Bagian 1 dan 2). Pertama terbit 5 April 2009, lalu yang kedua terbit 15 April 2009. Artikel seperti ini menjadi NASEHAT berharga bagi kaum Muslimin di Indonesia yang sedang hangat-hangatnya terlibat pesta demokrasi. Seharusnya, kekuasaan itu diposisikan sebagai sarana mengupayakan mashlahat, bukan sebagai obyek rebutan dengan istilah “kue kekuasaan”. Di sisi lain, ia juga menjadi nasehat bagi mereka yang selalu kreatif menemukan alasan untuk membela kepentingan penguasa, kemudian di sisi lain sangat konfrontatif terhadap hak-hak para dai Muslim yang giat mengupayakan perbaikan. Ulama Salaf itu tidak ada yang gandeng-renteng, menadah tangan, apalagi bersimpuh di hadapan para Sulthan. Mereka tahu, bahwa ilmu itu lebih mulia daripada gemerlap manisnya perhiasan dunia.

Kepada redaksi hidayatullah.com, saya meminta ijin mengkopi artikel “Ulama Salaf Enggan Dekati Pintu Penguasa”. Maaf belum kontak secara formal dulu, sebab khawatir kelamaan dan terlalu birokratis. Kalau ada keberatan silakan hubungi saya di: langitbiru1000@gmail.com. Syukran jazakumullah khair, wa nasharakumullah ‘ala kulli jiddiyatikum fi amalil Islami. Allahumma amin. AMW.

Ulama Salaf Enggan Dekati Pintu Penguasa

(Bagian I)

Hidayatullah.com–Imam Malik (179 H ) diminta oleh Khalifah Harun Ar Rasyid untuk berkunjung ke istana dan mengajar hadits kepadanya. Tidak hanya menolak datang, ulama yang bergelar Imam Dar Al Hijrah itu malah meminta agar khalifah yang datang sendiri ke rumah beliau untuk belajar,”Wahai Amiul Mukminin, ilmu itu didatangi, tidak mendatangi.”

Akhirnya, mau tidak mau, Harun Ar Rasyidlah yang datang kepada Imam Malik untuk belajar. Demikianlah sikap Imam Malik ketika berhadapan dengan penguasa yang adil sekalipun semisal Ar Rasyid. Ia diperlakukan sama dengan para pencari ilmu lainnya walau dari kalangan rakyat jelata. Selain itu, para ulama menilai, bahwa kedekatan dengan penguasa bisa menimbulkan banyak fitnah. Kisah ini termaktub dalam Adab As Syari’iyah (2/52).

Tidak hanya Imam Malik, yang memperlakukan Ar Rasyid demikian, para ulama lainnya pun memiliki sikap yang sama. Suatu saat Ar Rasyid pernah meminta kepada Abu Yusuf, qadhi negara waktu itu, untuk mengundang para ulama hadits agar mengajar hadits di istananya.

Tidak ada yang merespon undangan itu, kacuali dua ulama, yakni Abdullah bin Idris 92 H) dan Isa bin Yunus (86 H), mereka bersedia mengajarkan hadits, itupun harus dengan syarat, yakni belajar harus dilaksanakan di rumah mereka, tidak di istana. Akhirnya kedua putra Ar Rasyid, Al Amin dan Al Makmun mendatangi rumah Abdullah bin Idris. Di sana mereka berdua mendapatkan seratus hadits. Setelah itu, mereka berangkat menuju rumah Isa bin Yunus. Sebagai ”ucapan terima kasih”, Al Makmun memberikan 10 ribu dirham. Tapi Isa bin Yunus menolak, dan mengatakan,”Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, tidak untuk mendapatkan apa-apa, walau hanya segelas air untuk minum”

Sedangkan Abu Hazim (140 H), ulama di masa tabi’in, pernah menyatakan, bahwa di masa sebelum baliau, jika umara mengundang ulama, ulama tidak mendatanginya. Jika umara memberi, ulama tidak menerima. Jika mereka memohonnya, mereka tidak menuruti. Akhirnya, para penguasa yang mendatangi ulama di rumah-rumah mereka untuk bertanya. (Riwayat Abu Nu’aim).

Kedekatan ulama dengan penguasa merupakan seuatu hal yang dianggap sebagai aib oleh para ulama saat itu.Bahkan Abu Hazim mengatakan,”Sebaik-baik umara, adalah mereka yang mendatangi ulama dan seburuk-buruk ulama adalah mereka yang mencintai penguasa.”

Selain Abu Hazim, Wahab bin Munabih (110 H), ulama dari kalangan tabi’in juga pernah menyatakan agar para ulama menghindari pintu-pintu para penguasa, karena di pintu-pintu mereka itu ada fitnah, ”Kau tidak akan memperoleh dunia mereka, kecuali setelah mereka membuat mushibah pada agamamu.” (Riwayat Abu Nu’aim).

Para ulama bersikap demikian, karena keakraban dengan penguasa bisa menyebabkan sang ulama kehilangan keikhlasan, karena ketika mereka mendapatkan imbalan dari apa yang mereka berikan kepada penguasa, maka hal itu bisa menimbulkan perasaan ujub, atau kehilangan wibawa di hadapan penguasa. Ujung-ujungnya, mereka tak mampu lagi melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, jika para penguasa melakukan kesalahan.

Inilah yang sejak awal sudah diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam (SAW), beliau telah bersabda, ”Barang siapa tinggal di padang pasir, dia kekeringan. Barang siapa mengikuti buruan ia lalai. Dan barang siapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa, maka ia terkena fitnah. (Riwayat Ahmad). [thoriq/www.hidayatullah.com]

Ulama Salaf Enggan Dekati Pintu Penguasa

(Bagian II)

Hidayatullah.com–Suatu saat Muhammad bin Rafi’ An Naisaburi (245 H), ulama hadits semasa Imam Bukhari menerima seorang utusan dari Amir Thahir bin Abdullah Al Khuza’i, seoarang penguasa pada waktu itu. Utusan itu menemui Muhammad bin Rafi’ yang sedang makan roti dengan menyodorkan uang lima ribu dirham. Sekantong uang itu diletakkan di samping Muhammad.

Utusan itu menjelaskan bahwa Amir Thahir mengirimkan uang ini untuk belanja kaluarga Muhammad. ”Ambil, ambillah harta itu untukmu. Saya tidak membutuhkan. Saya telah berumur 80 tahun, sampai kapan saya akan terus hidup?” Jawab Muhammad.

Akhirnya, utusan itu pergi dengan sekantong uang dirham. Namun, setelah utusan itu pergi, putra Muhammad muncul dari dalam rumah, ”Wahai Ayah, malam ini kita tidak memiliki roti!” serunya, sebagaimana dikisahkan Ad Dzahabi dalam Thabaqat Al Huffadz (2/510).

Ada pula sebuah kisah menarik lainnya, tentang Imam Al Auza’i (157 H). Setelah memberi nasehat kepada Khalifah Al Manshur, beliau meminta izin kepada khalifah, untuk pergi meninggalkannya demi menjenguk anaknya di negeri lain. Al Manshur merasa bahwa Al Auza’i telah berjasa kepadanya, karena nasehat-nasehat yang telah disampaikan kepadanya. Akhirnya, ia ingin memberi ”bekal perjalanan” untuk ulama ini. Namun apa yang terjadi? Sebagaimana disebutkan dalam Al Mashabih Al Mudzi` (2/133,134), Imam Al Auzai menolak. ”Saya tidak membutuhkan itu semua, saya tidak sedang menjual nasehat, walau untuk seluruh dunia dan seisinya.” Ucap beliau dengan tegas.

Ada beberapa ulama lain, yang juga tegas menolak pemberian para penguasa. Adalah Kamal Al Anbari (513 H), dalam Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra (7/155), disebutkan bahwa beliau adalah ulama nahwu yang memiliki harta pas-pasan. Hidupnya hanya mengandalkan sewa kedai, yang dalam sebulan cuma menghasilkan setengah dinar.

Namun keadaan itu tidak mempengaruhi sikap beliau. Suatu saat khalifah Al Mustadhi’ mengirimkan utusan kepadanya, dengan membawa uang 500 dinar, untuk diberikan kepadanya. Akan tetapi Al Anbari menolak. Sehingga utusan tersebut mengatakan, ”Kalau engkau tidak mau, berikanlah harta ini kepada anakmu”.

Al Anbari menjawab,”Jika aku yang menciptakannya, maka akulah yang memberinya rezeki”

Perkataan Al Anbari menunjukkan bahwa Allah telah mengatur rizki anaknya, hingga ia tidak perlu menerima dan memberikan hadiah itu kepada anaknya.

Abu Hasan Al Karkhi (410 H) termasuk bagian dari deretan para ulama yang menolak pemberian penguasa. Saat beliau menderita sakit keras, 4 sahabatnya menjenguk, merasa iba dengan keadaan Al Karkhi. Akhirnya mereka berunding mengenai biaya pengobatan, karena tidak ingin memberatkan umat Islam, mereka bersepakat untuk meminta penguasa waktu itu, Saif Ad Daulah agar memberikan bantuan.

Setelah dilaksanakan, mereka mengabarkan hal itu kepada Al Karkhi. Bukan malah senang, Al Karkhi malah menangis, dan berdoa, ”Ya Allah, jangan Engkau jadikan rezeki untukku, kacuali apa yang biasa Engkau berikan.”

Doa Al Karkhi terkabul, beliau telah wafat terlebih dahulu, sebelum bantuan itu sampai. Barulah setelah itu, surat dari Saif Ad Daulah berserta sepuluh ribu dirham tiba, dan disebut dalam surat, bahwa penguasa berjanji, siap memberikan uang sebesar itu pula suatu saat nanti. [thoriq/www.hidayatullah.com].


Seruan FUI Menghadapi Pemilu 2009

April 3, 2009

FORUM UMAT ISLAM

Sekretariat: Gedung Menara Dakwah Lantai 3, Jl. Kramat Raya No. 45 Jakarta. Telp. 021-8515254, 3909059, Fax. 021-8515254, E-mail: fui.pusat@gmail.com

SERUAN FUI MENGHADAPI PEMILU 2009

Dalam rangka mengambil hak-hak politik umat Islam pada pemilu 2009 di negeri mayoritas muslim terbesar ini, dan setelah Forum Umat Islam (FUI) mengkaji beberapa firman Allah SWT yang:

(1) Menyatakan kedaulatan syariah:

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. dia menerangkan yang Sebenarnya dan dia pemberi Keputusan yang paling baik”. (QS. Al An’am [06]: 57)

(2) Mewajiban umat bertahkim kepada syariah:

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa [04]: 65)

(3) Mewajiban umat memposisikan hukum Allah SWT sebagai hukum terbaik yang harus didaulat:

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al Maidah [05]: 50)

(4) Mewajiban penguasa Muslim menerapkan hukum Allah SWT kepada seluruh warga negara:

“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu…” (QS. Al Maidah [05]: 49)

(5) Mewajibkan umat mengangkat penguasa (ulil amri) yang akan memerintah dengan hukum Allah SWT dalam poin 5 tersebut serta mewajibkan mengangkat para ulama yang ahli hukum syariah sebagai hakim konstitusi yang mengadili perkara perselisihan antara penguasa dengan umat:

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa [04]: 59).


Dan setelah memperhatikan fatwa MUI tentang kewajiban memilih pemimpin, maka Forum Umat Islam (FUI) memutuskan menyatakan:

1) Umat Islam WAJIB memilih pemimpin/wakil rakyat yang BERJUANG MENJAGA AQIDAH dan MENEGAKKAN SYARIAH sebagai UNDANG-UNDANG NEGARA.


2) Umat Islam HARAM memilih pemimpin/wakil rakyat yang MENODAI AQIDAH ISLAM dan MENOLAK SYARIAH sebagai UNDANG-UNDANG NEGARA”.


FUI juga menyerukan kepada para pimpinan Parpol Islam dan Berbasis Massa Islam serta para Caleg Muslim yang pro Syariah agar mengkampanyekan :

1. Program penjagaan aqidah umat Islam.

Dalam hal ini caleg pro syariah, perlu membuat rumusan dan pernyataan yang jelas bagi umat untuk memberikan peluang kepada para ulama/MUI untuk menjelaskan aqidah Islam yang benar. Caleg itu juga mendesak pemerintah dengan UU PNPS No 1/1965 untuk membubarkan Ahmadiyah dan berbagai aliran sesat yang mengaku Islam serta berbagai kelompok yang punya tujuan merusak aqidah Islam semacam JIL dan AKKBB.

2. Program legislasi syariat Islam agar hukum-hukum syariat tentang ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam negeri luar negeri, hukum pidana dan hankam bisa diperjuangkan menjadi Undang-undang.


Yakni, agar hukum syariat tentang ekonomi, sosial, pendidikan, politik dalam dan luar negeri, hukum pidana, dan hankam bisa diperjuangkan menjadi Undang-undang. Dalam hal ini, caleg pro syariah bisa membuat legal drafting untuk sejumlah hukum syariat, misalnya menjadikan sistem pendidikan Islam yang bertujuan melahirkan para lulusan yang memiliki kepribadian Islam yang mulia dan memiliki ketrampilan yang unggul dalam bidang sains dan teknologi sebagai UU. Contoh lain misalnya menjadikan hukum-hukum jihad dan penjagaan perbatasan (ribath) bisa dijadikan undang-undang sistem pertahanan wilayah negara.

3. Program amandemen UU yang tidak sesuai syariat dan tidak berpihak kepada kemaslahatan publik.


Para caleg pro syariah harus memiliki program untuk mengamandemen undang-undang yang bertentangan dengan syariat Islam seperti UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU tentang Migas, UU Penanaman Modal dan lain-lain digantikan dengan UU yang sesuai dengan Syariat Islam yang berpihak kepada kepentingan umat. Sehingga tidak ada lagi aset-aset negara yang dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing seperti Blok Cepu, Freeport, dll.

Semoga dengan kampanye syariah dan kesungguhan umat Islam untuk menegakkan syariah di bumi ini, Allah SWT menolong kita semua sebagaimana firman-Nya:

”Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad [47]: 7).

ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR! Walillahilhamd!

Jakarta, 1 Rabiul Akhir 1430H/28 Maret 2009
Atas Nama Umat Islam Indonesia
Forum Umat Islam

KH. Muhammad Al Khaththath
Sekretaris Jenderal

FORUM UMAT ISLAM :

Perguruan As Syafi’iyyah, Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia (BKSPPI), Nahdlatul Ulama (NU), Muhamadiyyah, Hizb Dakwah Islam (HDI), Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Persaudaraan Muslim Indonesia (GPMI), YPI Al Azhar, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Jamaah Anshorut Tauhid, Gerakan Reformasi Islam (GARIS), MER-C, Gerakan Pemuda Islam (GPI), Taruna Muslim, Al Ittihadiyah, LPPD Khairu Ummah, Syarikat Islam (SI), Forum Betawi Rempug (FBR), Tim Pengacara Muslim (TPM), Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), PERSIS, BKPRMI, Al Irsyad Al Islamiyyah, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Badan Kontak Majlis Taklim (BKMT), Front Perjuangan Islam Solo (FPIS), Majelis Tafsir Al Quran (MTA), Majelis Adz Zikra, PP Daarut Tauhid, Korps Ulama Betawi, Hidayatullah, Al Washliyyah, KAHMI, PERTI, IKADI, Ittihad Mubalighin, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Koalisi Anti Utang (KAU), PPMI, PUI, JATMI, PII, BMOIWI, Wanita Islam, Missi Islam, Forum Silaturahmi Antar-Pengajian (FORSAP), Irena Center, Laskar Aswaja, Harakah Dakwah Islamiyah Indonesia (HADII), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Nahdlatul Umat Indonesia (PNUI), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dan organisasi-organisasi Islam lainnya.

CATATAN AMW:

Alhamdulillah bi ni’matillah. Wasshalatu was salamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in, wa ba’du: Dengan syukur kepada Allah Ta’ala, saya sepenuhnya mendukung pernyataan FUI di atas. Semoga hal tersebut menjadi lentera penerang yang bisa membimbing Ummat Islam kepada kebaikan, perbaikan kehidupan, kehormatan, kemajuan, serta kejayaan Islam di negeri ini. Allahumma amin ya Rahman ya Rahiim.

Apa yang disampaikan FUI adalah bagian dari Siyasah Islamiyyah yang seharusnya ditempuh. Selain Ummat Islam bisa berperan di Parlemen, Ummat juga harus berpolitik ekstra Parlementer. Untuk menjalankan Siyasah ekstra Parlemen, tidak harus menanti kaum Muslimin menjadi pakar politik semua, tetapi dengan daya apapun yang kita miliki, sejauh kita berhajat kepada perbaikan kehidupan kaum Muslimin, saat itu juga ijtihad siyasi Islami selalu dibutuhkan. Walhamdulillah.

Sekali lagi, kita perlu mendukung seruan FUI demi Izzah Islam Wal Muslimin. Allahumma amin.

Terima kasih kepada suara-islam.com atas sumber informasinya. Mohon maaf saya belum ijin dulu. Moga tidak berkeberatan. Jazakumullah khairan katsira.

Bandung, 3 April 2009.

AM. Waskito.


Mengatasi Masalah dengan Masalah

Maret 19, 2009

(Mengharamkan Demokrasi demi Madharat

yang Lebih Besar)

Oleh: Abduh Zulfidar Akaha.

(Penulis dan Ketua Dewan Redaksi Pustaka Al Kautsar)

Catatan Editor:

Berikut sebuah tulisan dari Ustadz Abduh Zulfidar, Redaksi Pustaka Al Kautsar, tentang demokrasi dan Pemilu. Intinya, beliau menyayangkan sikap sebagian orang yang mendukung Golput. Kemudian juga mempertanyakan, solusi lain jika Pemilu dianggap haram.

Seperti pada tulisan sejenis, posisi saya (editor) adalah member ruang bagi suara-suara kontra terhadap tulisan-tulisan yang ada di blog ini. Tujuannya, agar muncul dialog dua arah. Namun tulisan yang dimuat ini tidak mewakili pendirian saya pribadi dalam soal demokrasi dan Pemilu. Terimakasih.

Pemilu sudah di depan mata. Polemik antara yang mengharamkan golput dan mengharamkan demokrasi terus bergulir, bahkan disampaikan dalam khutbah Jum’at yang saya saksikan sendiri. Satu pakem bagi saya yang selama ini tidak mau menyampaikan permasalahan khilafiyah atau polemik umat di khutbah Jum’at, kecuali jika bisa disampaikan secara adil, obyektif, dan proporsional.

Beberapa waktu lalu, tepatnya Jum’at 6 Maret 2008, khatib memberikan materi yang cukup “berat”, yakni kewajiban golput. Bagi yang setiap hari setiap saat pergi ke masjid, hal ini bisa jadi tidak menjadi soal. Namun bagi mereka yang ke masjidnya hanya seminggu sekali pas shalat Jum’at saja, mungkin ini akan membingungkannya. Sekalinya ke masjid, langsung “disuguhi” sesuatu yang membuatnya bingung. Sesuatu yang berbeda dengan yang diketahui dan diyakininya selama ini; golput itu haram.

Kembali pada sang khatib, dia mengatakan bahwa kita mesti “menghargai” fatwa MUI yang mewajibkan memilih pemimpin yang shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah. Jika ada pemimpin yang memiliki kriteria ini, maka kita wajib memilih dan haram golput. Sebaliknya, jika tidak ada pemimpin yang memenuhi kriteria shiddiq, amanah, tabligh, dan fathanah; maka mafhum mukhalafahnya adalah kita wajib golput. Dan, khatib pun mengisyaratkan bahwa saat ini tidak ada calon pemimpin yang memenuhi kriteria sebagaimana yang difatwakan oleh MUI. Dengan demikian, kita wajib golput!

Saya sangat menyayangkan khutbah yang bermaterikan semacam ini. Bagaimanapun ini adalah khutbah Jum’at, bukan forum diskusi, dialog terbuka, atau ceramah umum yang memungkinkan hadirin untuk bertanya. Selain itu, ada beberapa catatan saya. Pertama; apa dasar dan bukti khatib menganggap bahwa tidak ada (calon) pemimpin yang memenuhi kriteria MUI. Kedua; jika tidak ada pemimpin yang memenuhi syarat, kenapa harus golput. Apakah dengan golput akan muncul pemimpin yang memenuhi syarat?

Ketiga; jika tidak setuju pemilu, lalu cara seperti apa agar kita bisa mendapatkan pemimpin yang memenuhi kriteria? Keempat; apakah dengan cara yang ditawarkan tersebut, bisa dijamin bahwa akan terpilih pemimpin yang memenuhi kriteria? Dan kelima; jika terpilih seorang pemimpin menurut cara sang khatib, kriteria versi siapakah yang dipakai? Apakah pemimpin tersebut juga memenuhi kriteria menurut mereka yang tidak golput?

Baca entri selengkapnya »