Rekayasa Media Massa

Januari 4, 2010

Di kalangan media-media Yahudi telah lama dikenal prinsip, “Ulang-ulangilah terus kesalahan, maka ia lama-lama akan diterima sebagai kebenaran.” Jadi kebenaran itu diterima bukan karena SUBSTANSI-nya memang benar, tetapi karena ia dipaksakan untuk diterima akal manusia, melalui ekspose media yang tak kenal henti.

Hal yang sama terjadi pada diri Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dilihat dari berbagai sisi, sebenarnya tokoh ini tidak terlalu istimewa. Masih banyak tokoh yang lebih baik dari dirinya. Namun karena rekayasa media yang luar biasa, akhirnya ia tampil seperti tokoh “SUPERMAN” yang penuh keistimewaan, dan tidak pernah melakukan kesalahan sedikit pun. Kalau seseorang menemukan kesalahan pada tokoh satu ini, dia segera dibentak keras, “Hai, lihat mata kamu! Bukan dia yang salah, tapi mata kamu rabun. Tahu?”

Nah, disinilah kita bisa merasakan betapa hebatnya peranan orang-orang Freemasonry dalam membentuk opini. Mereka benar-benar mengendalikan media massa, terutama media-media TV, sehingga yang keluar dari media itu isinya hanya pujian, kekaguman, fantasi, obsesi yang bersifat mengagung-agungkan tokoh itu.

Sedikit perlu disini dibuka data-data menyangkut kiprah Gus Dur di masa lalu:

[=] Ketika tahun 1984 terjadi pembantaian berdarah pemuda-pemuda Islam di Tanjung Priok. Itu adalah buntut dari rencana Soeharto untuk memaksakan Pancasila sebagai Azas Tunggal. Pasca pembantaian itu, LB. Moerdani dan Try Soetrisno menjadi perhatian besar Ummat Islam, sebab mereka berdua adalah pejabat militer yang paling bertanggung-jawab terhadap Tragedi Priok tersebut. Lalu Gus Dur mengajak LB. Moerdani keliling pesantren-pesantren untuk meyakinkan pesantren bahwa tindakan militer dalam tragedi itu sudah benar. (Inilah salah satu bukti, bahwa Gus Dur seorang humanis, karena dia menyayangi LB. Moerdani, dan melupakan ratusan korban Priok dan keluarga mereka).

[=] Gus Dur ini pernah menjadi anggota MPR dari Golkar, ketika Soeharto masih dekat dengan Moerdani CS.  Tetapi ketika Soeharto dekat Habibie dan ICMI, Gus Dur mulai menjadi tokoh oposisi. Dia sangat tidak mau masuk ICMI, dan rela membentuk Fordem (Forum Demokrasi). Alasan dia ketika itu, ICMI cenderung sektarian. Tapi fakta sejarah tetap tercatat, bahwa Gus Dur pernah mendapat gaji karena menjadi anggota MPR dari Golkar.

[=] Gus Dur disebut-sebut sebagai tokoh demokrasi. Benarkah? Tahun 1999 Gus Dur mau saja menjadi Presiden RI, padahal ketika itu PKB bukanlah pengumpul suara terbanyak. Suara terbanyak ada di tangan PDIP, lalu Golkar. Kalau dia demokrat sejati pasti malu menjadi presiden. Ketika menjadi Presiden, Gus Dur pernah menghina lembaga DPR, dengan kata-kata, “Seperti anak TK.” Bahkan dia pernah mengatakan “Prek!” yang bernada menghina forum DPR. Lalu dia pernah hendak memberlakukan Dekrit Presiden, dibantu Prof. Harun Al Rasyid. Bahkan Gus Dur membiarkan saja para pengikutnya di Pasuruan dan lain tempat melakukan intimidasi-intimidasi, untuk menghalangi gerakan politik yang menuntut dirinya mundur. Saya masih ingat ancaman yang pernah diucapkan “PROFESOR DOKTOR KYAI HAJI” Sa’id Agil Siraj, ketika dia membela Gus Dur. Kata dia waktu, “Warga Nahdhiyin di bawah, sudah pada mengasah golok.” Itu untuk mengintimidasi siapapun yang hendak menjatuhkan Gus Dur. Bahkan meskipun Gus Dur sudah tidak menjadi Presiden lagi, dia tetap menyalahkan mekanisme Sidang Istimewa (SI) yang buahnya menjatuhkan dia dari kursi kepemimpinan RI. Itu tandanya, bahwa dia tidak legowo dengan aturan Parlemen.

[=] Pasca kerusuhan Ambon, tahun 1999, Gus Dur membuat pernyataan sangat melukai Ummat Islam. Kata dia, korban kerusuhan itu paling hanya 5 orang saja. Masya Allah, kalau hanya 5 orang, tidak perlu menjadi TRAGEDI yang sampai saat ini lukanya masih berbekas di hati-hati masyarakat disana. Ini menjadi bukti, bahwa seorang Gus Dur adalah tokoh “humanis” yang “bijaksana”.

[=] Ketika berlangsung Mukmatar NU di Tasikmalaya (di pesantren KH. Ilyas Ruchiyat), dalam pencalonan kandidat Ketua PBNU, Gus Dur ditantang oleh Abu Hasan. Abu Hasan ini tadinya tokoh yang loyal dan dipuji oleh Gus Dur. Tetapi ketika dia menjadi penantang Gus Dur menuju kursi Ketua PBNU, Gus Dur menghembuskan fitnah yang tidak pantas. Katanya, Abu Hasan terlibat korupsi sekian sekian miliar. Ini lagi-lagi menjadi bukti bahwa Gus Dur adalah seorang “demokrat” sejati.

[=] Pasca kerusuhan Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI. Setelah Soeharto lengser, tiba-tiba media massa mengangkat Amien Rais, Megawati, Gus Dur, dan Sultan Hamengku Boewono sebagai “4 sekawan tokoh Reformasi”. Kalau Amien Rais bisa dimaklumi didaulat sebagai tokoh Reformasi, sebab sejak tahun 90-an dia sudah kritis kepada Soeharto. Tetapi mengangkat Gus Dur sebagai tokoh Reformasi adalah sangat aneh. Bagaimana tidak? Sebelum terjadi kerusuhan Mei, Gus Dur diundang Soeharto bersama 8 tokoh lain, untuk membicarakan konsep Reformasi. Setelah pertemuan itu, Gus Dur menyerukan kepada mahasiswa agar mereka menghentikan demonstrasi-demonstrasinya. Tapi himbauan Gus Dur tak diindahkan mahasiswa.

[=] Banyak tokoh-tokoh yang semula sangat loyal dan mendukung penuh Gus Dur, tapi lama-lama mental, dan memilih berseberangan dengan Gus Dur. Di antara mereka Abu Hasan, Matori Abdul Jalil, Alwi Shihab, Khofifah Indar Parawansa, Muhaimin Iskandar, Lukman Edi, dan lainnya. Kalau kita berseberangan dengan Gus Dur, mungkin bisa dimaklumi. Tapi kalau kader-kader terbaik Gus Dur sendiri berseberangan, dan itu bukan satu atau dua orang, jelas sangat aneh. Apalagi Muhaimin Iskandar yang disebut-sebut sebagai “anak ideologis” Gus Dur. Hal ini menjadi bukti bahwa Gus Dur layak disebut “bapak bangsa” karena selalu “mengayomi” kader-kadernya.

[=] Dan fakta-fakta lain.

Dari semua ini jelas tampak, bahwa besarnya Gus Dur itu karena “DIBESARKAN” oleh media-media massa. Samalah, seperti media massa membesarkan orang-orang seperti Tukul Arwana, Komeng, Aming, Demi Persik, Inul, dan sebagainya. Mereka bukanlah orang-orang yang memiliki moralitas baik, menurut Syariat Islam. Tetapi media-media massa memaksakan diri mereka menjadi “PANUTAN MASYARAKAT”.

Kalau melihat MetroTV, media ini tampak sangat komit dengan nilai-nilai pembelajaran sikap kritis masyarakat. Slogannya saja, Be Smart Be Informed! Tapi ketika bicara tentang Gus Dur, mereka terus mengulang-ulang klaimnya, bahwa Gus Dur itu bapak bangsa, tokoh demokrasi, tokoh pluralisme, tokoh humanisme, dan sebagainya.

Ya, sebagai mantan Presiden RI, secara sosial mungkin Gus Dur memiliki hak-hak untuk diperlakukan oleh negara secara terhormat. Sama ketika bangsa ini waktu itu memperlakukan Soeharto.

Tapi masalahnya, pemberitaan-pemberitaan media itu sudah mengarah ke “kultus individu”, mengagung-agungkan Gus Dur melebihi kepantasan. Mereka kemukakan segala opini indah seputar Gus Dur, tetapi mereka lupa dengan fakta-fakta lain yang seharusnya tidak disembunyikan. Ketika Soeharto meninggal, banyak media-media tetap mengkritisi Soeharto. Mereka buka juga data-data kekeliruan Soeharto. Ketika Gus Dur meninggal, semua seakan sepakat untuk mengangkat Gus Dur tinggi-tinggi, ke derajat kultus individu.

Disana sangat tampak betapa OPORTUNIS-nya media-media itu. Mereka tidak mau melihat masyarakat kecil di bawah mengagung-agungkan manusia dengan cara tidak rasional. Tetapi mereka juga yang membuat masyarakat bersikap seperti itu. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Sesungguhnya, FAKTOR BESAR yang membuat bangsa Indonesia di jaman sekarang ini semakin sakit, hidup susah, menderita, adalah peranan media-media massa, terutama media TV. Hari ini kita teriak-teriak, “Awas liberalisasi, awas liberalisasi, awas liberalisasi!!!” Padahal ujung tombak liberalisasi adalah media-media itu sendiri.

Kita sama-sama sudah tahu kenyataan di lapangan. Selama puluhan tahun, sejak tahun 80-an, media-media massa rajin mengangkat pamor Gus Dur. Dari semua pemimpin NU yang menjadi tokoh nasional, hanya Gus Dur satu-satunya yang amat sangat DICINTAI media-media massa. Bahkan nama kakek Gus Dur sendiri, pendiri NU, almarhum KH. Hasyim Asyari, beliau tidak seterkenal Gus Dur.

Kalau melihat kemampuan Gus Dur dari sisi ilmu keagamaan, menurut pandangan NU, dia bukan tokoh yang alim ilmu agama. Gus Dur itu tidak pernah menulis buku agama, seperti ibadah, akidah, akhlak, bahasa Arab, tarikh Islam, dan lain-lain. Kalau Gus Dur ceramah, jangan membahas dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Dia jarang mengucapkan “Allah Subhanahu Wa Ta’ala”, atau “Rasulullah shallallah ‘alaihi wassallam”, dan semisalnya. Dia jarang ikut dalam forum-forum keilmuwan Islam.

Gus Dur itu lebih banyak bicara politik, isu sosial, demokrasi, humor, kebudayaan, dan sebagainya. Citra dia sebagai seorang tokoh keagamaan Islam, tidak nampak. Bahkan isteri dan anak-anaknya juga tidak ada yang mengenakan jilbab, selain kerudung penutup kepala.

Banyak orang mengelu-elukan dirinya dengan berbagai pujian yang berlebihan. Seorang pemuda NU di Malang, pernah bicara kepada saya. Katanya, Gus Dur itu bisa membaca isi hati seseorang. Kalau Gus Dur mengatakan “anjing” ke seseorang, besar kemungkinan sifat orang itu seperti “anjing” juga.

Ya, semua ini hanya sebagai tambahan saja, bahwa upaya mengagung-agungkan Gus Dur adalah tidak tepat. Okelah, menghormati dia sebagai mantan Presiden RI, secara wajar, tidak masalah. Wong, itu memang hak baginya. Tapi menganggap dia dengan sebutan-sebutan berlebihan, apalagi sebagai “pahlawan nasional”, ini terlalu berlebihan. Pahlawan apa, Pak? Darimana parameternya?

Kasihan sekali almarhum Buya Muhammad Natsir. Beliau jelas-jelas sangat berjasa bagi bangsa Indonesia, berjasa bagi Ummat Islam Indonesia, bahkan berjasa bagi Dunia Islam. Tapi lihatlah, betapa amat lambatnya negara ini mengakui kepahlawanan beliau. Lalu Gus Dur, akankah secepat kilat menjadi “pahlawan nasional”, ketika tanah pusaranya sendiri masih memerah? Laa haula wa laa quwwata illa billah.

AMW.


Shalat Ghaib untuk Gus Dur

Januari 2, 2010

Baru-baru ini saya mendapat SMS dari teman di Jakarta. Katanya, hari Jum’at lalu dirinya ikut Shalat Jum’at di Masjid Istiqlal Jakarta. Niatnya, mau Shalat Jum’at sekaligus mendengar khutbah Syaikh Abdurrahman As Sudais, Imam Masjidil Haram yang terkenal itu. Seperti diberitakan sebagian media Islam, Syaikh As Sudais memang akan datang ke Indonesia. Setelah Shalat Jum’at selesai, eee…ternyata dilakukan Shalat Ghaib mendoakan Gus Dur yang baru meninggal. Syaikh As Sudais sendiri yang mengimami shalat.

Teman saya itu jelas tidak mau ikut Shalat Ghaib. Hanya dia merasa kasihan saja, masak orang seperti Gus Dur dishalatkan ghaib? Malah katanya, di halaman masjid banyak orang berbincang-bincang, katanya Syaikh Sudais datang untuk ta’ziyah atas kematian Gus Dur. Wah, kok bisa begitu ya? Padahal Syaikh Sudais kedatangannya sudah direncanakan sebelumnya.

Sangat prihatin dengan sikap MUI, termasuk pengelola Masjid Istiqlal. Bagaimana bisa mereka menyuruh Syaikh Sudais menyalatkan ghaib Gus Dur itu? Apa alasannya? Hal ini kan bisa menimbulkan fitnah di kalangan orang-orang yang tidak tahu.

Nabi Saw pernah hendak menyalatkan Abdullah bin Ubay ketika dia mati. Kata Nabi, andaikan beliau bisa berdoa 70 kali untuk memintakan ampunan bagi Abdullah bin Ubay, hal itu akan beliau lakukan. Berbeda dengan Umar bin Khattab Ra, beliau tetap tidak sudi mendoakan Abdullah bin Ubay. Ternyata, kemudian turun ayat yang melarang Ummat Islam secara mutlak untuk menyalatkan orang-orang munafik.

Orang munafik yang kekafirannya samar-samar saja, tidak boleh dishalatkan. Lalu bagaimana dengan Gus Dur yang: Ikut mendirikan Shimon Perez Institut, pernah datang ke Israel, mendapat “medali keberanian” dari lembaga Yahudi, pernah mau menghapuskan Tap MPR No. 25 tentang gerakan Komunisme, pernah mau membuka hubungan dagang dengan Israel, dan sebagainya. Bagaimana dengan kata-kata Gus Dur, “Al Qur’an itu kitab suci paling porno“? Bagaimana dengan kiprahnya yang terus-menerus menyerang Syariat Islam, membela sekularisme, pluralisme, berkali-kali menghina lembaga fatwa (MUI), membeli para penentang RUU APP, dan seterusnya?

Apa perbuatan-perbuatan kufur seperti itu tidak tampak ya di mata orang Islam Indonesia? Apa Ummat Islam Indonesia akan mengecam keras Harmoko ketika salah membaca Al Fatihah, atau mengecam keras Arswendo Atmowiloto ketika membuat pooling yang melecehkan Nabi Saw? Tetapi mereka tidak berani mengecam Gus Dur karena dia adalah “putra darah biru”, cucu KH. Hasyim Asyari, pendiri NU?

Apakah dalam kita beragama ini, ada keistimewaan bagi orang-orang tertentu, dari silsilah keturunan tertentu? Sejak kapan kita mengadopsi prinsip Hindu yang mengagung-agungkan kaum Brahmana?

Rasanya sangat berat, nyesek di hati… Ya Rabbi ya Rahman ampuni hamba-hamba-Mu ini! Hampir saja mereka akan ditenggelamkan seperti kaum Nabi Nuh As, kalau tidak segera bertaubat dari KEBANGKRUTAN cara beragama mereka. Sangat menjijikkan melihat sikap elit-elit Muslim yang tidak memberi contoh yang benar! Mereka oportunis, ikut memuja-muja Gus Dur demi mengundang KEMURKAAN Allah Ta’ala.

Nabi Saw pernah mengatakan, “Lau saraqat Fathimah binti Muhammad, la qatha’tu yadaha” (kalau seandainya Fathimah mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya).

Hadits ini merupakan bukti, bahwa ajaran Islam bersifat UNIVERSAL. Ajaran Islam berlaku bagi siapapun, tak memandang bulu, siapapun dirinya. Bahkan, anak seorang Nabi pun kalau melanggar, tetap akan dihukum. Malah Nabi Saw sendiri yang akan melakukan hukuman atas anaknya.

Demi Allah, Fathimah binti Rasulillah Ra sepanjang hidupnya, sejak kecil tidak pernah mencuri. Kita tahu, mencuri itu perbuatan hina. Mengapa Nabi Saw mengaitkan nama Fathimah yang mulia dengan kejahatan mencuri yang hina? Mengapa Nabi tidak memakai nama lain saja, selain nama anaknya sendiri?

Itu menunjukkan, bahwa Nabi Saw amat sangat serius dengan ajaran Islam ini. Tidak peduli, beliau harus mengorbankan nama anaknya, Fathimah, didekatkan dengan tindak pencurian. Dan seumur hidupnya, Fathimah benar-benar tidak pernah mencuri, wahai manusia! Ingat itu!!!

Adapun sekarang, hanya karena soal “darah biru”, “darah coklat”, “darah abang ijo”, seseorang diberi keistimewaan untuk menghujat agama Allah, membela kekafiran dan kaum kafir, serta melecehkan Syariat Islam.

Ya Rabbi ya Karim, maafkan kami, maafkan kami. Ampuni ya Allah, ampuni kami…

Beginilah keadaan kami, Ya Allah. Kami terlalu lemah, terlalu lemah. Kami membutuhkan agama hanya agar menjadi kendaraan untuk melampiaskan nafsu-nafsu kami. Tidak ada keberanian di hati kami untuk membela agama-Mu. Yahudi lebih kami takuti daripada murka-Mu. Omong kosong ya Allah, kami teriak-teriak “Bela Palestina…Bela Palestina…Bebaskan Al Quds…Tolong Masjidil Aqsha…” Ya Allah, semua itu omong kosong kok. Itu cara kreatif kami untuk dapat nikmat-nikmat dunia, agar nafsu-nafsu kami tambah bergembira ria. Itu saja kok, Ya Allah. Jangankan membela Palestina, wong membela kesucian Al Qur’an di negeri ini, kami sangat takut. Kami takut kehilangan jabatan, kehilangan gaji 30 juta rupiah per bulan, takut kehilangan investor, takut tidak diundang oleh TV, kami takut diawasi Densus 88, kami takut suara partai kami jeblok, kami takut menentang kaum facebookers, ya Allah terlalu banyak yang kami takuti dalam hidup ini. Kami takut diancam oleh agen-agen Yahudi. Ya Allah, saksikanlah, kami lebih takut kepada Yahudi, Gus Dur, PBNU, dan sebagainya, daripada kepada-Mu. Ya Allah, moral kami sudah ambruk, agama kami hancur berkeping-keping, akidah kami rusak serusak-rusaknya. Kami tak tahu harus berbuat apa lagi…

Kasihan, sungguh kasihan Ummat ini. Mereka tidak diberi teladan yang benar.

Ya Allah ya Karim, ampuni kami, ampuni diriku kalau berlebih-lebihan. Ya Allah, selamatkan kami dari musibah, fitnah, dan semua kesesatan yang memilukan itu. Selamatkan kami dari tipu daya syaitan dan bala tentaranya. Selamatkan kami dari makar orang-orang kafir, munafik, zhalim. Ya Allah, kami takut kepada-Mu, meskipun seluruh manusia harus memurkai diri kami. Kami tidak peduli dengan mereka semua, selama Engkau tetap meridhai kami. Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajmain.

Kami menghimbau kepada gerakan Islam, aktivis dakwah, organisasi Islam, dan siapa saja yang peduli dengan AKIDAH UMMAT. Mohon Anda angkat bicara!!! Belalah akidah Islamiyyah, dan jelaskan kebathilan-kebathilan Gus Dur, agar Ummat Islam tahu. Mari kita tolak REKAYASA MEDIA dan orang-orang Liberal –laknatullah ‘alaihim– dalam upaya mereka untuk memuja-muja Gus Dur, dan mengangkatnya sebagai “pahlawan nasional”.

AMW.


Gerakan Pemujaan Gus Dur…

Januari 2, 2010

Terus terang, akhir-akhir ini rasanya sumpek melihat berita-berita TV. Isinya didominasi pemujaan-pemujaan terhadap Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Banyak suara-suara yang mengusulkan agar Gus Dur diangkat sebagai pahlawan nasional. Termasuk gerakan di DPR, facebook, dan sebagainya. Sementara pernyataan dari tokoh-tokoh Islam, seperti MUI, PP Muhammadiyyah, dan sebagainya “setali tiga uang”. Semua mengarah kepada upaya memuja Gus Dur. (Atau mungkin mereka ingin menempatkan Gus Dur sebagai “nabi jaman modern”? Entahlah).

Jujur saja, sikap-sikap seperti inilah yang selama puluhan tahun telah mematikan cahaya kebenaran. Ummat Islam tidak diajari bersikap tegas, jelas, dan lurus. Para elit agamawan, tokoh sosial, dan politik berlomba-lomba mencari muka, dengan resiko mengundang kemurkaan Allah Al Aziz. Na’udzubillah min dzalik.

Bayangkan, saat tahun 2001 lalu, ketika Gus Dur menjadi Presiden RI, mayoritas kekuatan politik di Indonesia menyerang dirinya dari berbagai sisi. Segala macam dalil-dalil untuk menjatuhkan Gus Dur, dikeluarkan semua. Termasuk foto Gus Dur memangku Ariyanti Sitepu, VCD Gus Dur dibaiat di gereja, dokumen keterlibatan Gus Dur dalam partai Ba’ats Irak, dan sebagainya. Tetapi lihatlah saat ini, setelah Gus Dur meninggal, semua orang berusaha memuja-muja Gus Dur. Seolah dia adalah ‘Tuhan’ yang berhak diagung-agungkan.

Ummat Islam mundur terus-menerus karena sejak lama ditipu terus oleh elit-elitnya. Mereka tidak diajari sikap yang benar, konsisten, tegas, dan pemberani. Semua elit rata-rata mencari muka, dengan alasan “sikap diplomatis”. Ya, ada kalanya “sikap diplomatis” bisa dipakai. Tetapi tidak dalam segala persoalan harus memakai “sikap diplomatis”. Dalam urusan akidah yang membahayakan Ummat, seperti dalam soal film “Kiamat 2012” lalu itu, kita harus bersikap tegas.

Baiklah, mari kita bahas kembali tentang Gus Dur. Siapakah Gus Dur ini? Siapakah dia, bagaimanakah ideologinya? Bagaimana perjuangannya?

Dari sekian banyak proses pembacaan dan analisis terhadap kiprah Gus Dur sejak dia memimpin PBNU, saya dapat menyimpulkan, bahwa: “Mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un ketika Gus Dur meninggal, adalah kesalahan. Kematian Gus Dur bukanlah musibah, tetapi bagian dari pertolongan Allah Al Aziz kepada kaum Muslimin di Indonesia.”

Ketika bicara tentang Gus Dur, maka kita harus berbicara tentang YAHUDI. Nah, inilah asas segala pembicaraan tentang Gus Dur. Siapapun yang berbicara tentang Gus Dur tanpa menyinggung gerakan Yahudi internasional, dia salah!!!

Coba kita runut masalah ini secara jernih, bi idznillah:

[01] Setiap hari kita membaca Surat Al Fatihah dalam Shalat. Disana ada doa, agar kita diberi petunjuk oleh Allah, yaitu mengikuti Shiratal Mustaqim. Shirat Al Mustaqim ini bukan jalan “al maghdhub ‘alaihim” (jalan orang yang dimurkai oleh Allah). Nabi Saw menjelaskan, bahwa kaum yang dimurkai itu adalah kaum Yahudi. Maka ketika kita bicara tentang Yahudi, otomatis kita bicara tentang suatu kaum yang dimurkai Allah Al Aziz. Ini bukan perkara sepele, tetapi amat sangat serius.

[02] Yahudi (Bani Israil) mengalami pasang-surut gerakan selama ribuan tahun. Awal gerakan mereka adalah di masa Nabi Ya’qub As dan anak keturunannya yang diberi tempat oleh raja Mesir di Kan’an. Di kalangan Bani Israil ada yang shalih-shalih, tetapi lebih banyak yang durhaka. Para Nabi-nabi, seperti Ya’qub, Yusuf, Musa, Harun, Dawud, Sulaiman, Zakariya, Yahya, Isa, dan lain-lain ‘alaihimussalam, mereka termasuk bagian Bani Israil yang shalih-shalih.

[03] Di jaman modern, atau setidaknya setelah Eropa mengalami Renaissance, Yahudi mengalami transformasi gerakan keagamaan baru. Gerakannya berbeda dengan risalah Nabi-nabi dari kalangan Bani Israil. Gerakan mereka justru menginduk kepada inspirasi Samiri yang pernah membuat patung Al Baqarah (sapi betina) untuk pemujaan. Mereka mengambil ide-ide kemusyrikan dari bangsa Mesir, di jaman Fir’aun. Hampir semua simbol-simbol keagamaan yang dipakai Yahudi modern, itu digali dari peradaban kemusyrikan Mesir. Jadi, Yahudi modern bukanlah pengikut Musa, Dawud, atau Sulaiman, tetapi mengikuti Samiri yang membuat patung sapi betina untuk pemujaan. Hal itu dikuatkan dengan doktrin Talmud yang mengagung-agungkan etnis mereka, dan melecehkan Tuhan (Allah Ta’ala). Yahudi yang berpegang kepada Talmud bukanlah bagian dari Ahli Kitab, tetapi mereka adalah orang-orang musyrik yang mengikuti jalan Samiri.

[04] Secara umum, Yahudi modern terdiri dari dua komunitas besar, yaitu: Yahudi asli (original Jewish) dan Yahudi warna-warni (colored Jewish). Yahudi asli maksudnya, orang-orang yang mewarisi darah Yahudi. Darah Yahudi ditentukan oleh silsilah keturunan dari jalur ibu. Inilah manusia yang benar-benar disebut Yahudi. Dan harus dicatat, kaum Yahudi ini amat sangat ketat dalam menjaga kemurnian etnis mereka. Mereka tidak tertarik melakukan asimilasi seluas-luasnya, sebab mereka merasa sebagai “etnis terbaik di dunia”, sementara etnis lain dianggap “budak” yang bebas dieksplotasi tanpa batas. Lalu yang disebut Yahudi warna-warni adalah siapa saja dari etnis apapun selain Yahudi yang bekerja mensukseskan misi Yahudi internasional. Mereka ini bisa disebut “budak-budak” Yahudi asli. Mereka bisa orang Jawa, bisa orang pesantren, bisa bergelar kyai haji, bisa asal Jombang, dan sebagainya. Mereka itu jelas-jelas tidak berdarah Yahudi, karena ibunya bukan Yahudi, tetapi mau suka-rela berjihad membela missi Yahudi internasional.

[05] Yahudi warna-warni itu biasanya tergabung dalam organisasi-organisasi mantel pendukung Zionisme internasional. Selama ini, mereka kita kenal sebagai “Freemasonry”. Tetapi menurut ahlinya, organisasi mantel itu bisa macam-macam. Freemasonry hanya satu bentuk saja. Rizki Ridyasmara menyebut mereka sebagai kelompok Luciferian, karena mereka mengabdi kepada “tuhan” yang bernama Lucifer yang disimbolkan dalam bentuk bintang, di dalamnya ada bentuk kepala kambing bertanduk dua. Bisa dikatakan, Lucifer adalah simbolisasi Iblis itu sendiri. Kaum Freemasonry ini bisa berasal dari berbagai etnis, dari berbagai negara, dari berbagai status, ikatan keagamaan, organisasi, dan sebagainya. Tapi mereka satu kata dalam simbol keagamaan, ideologi, dan missi memperjuangkan kepentingan Yahudi nternasional.

[06] Pertanyaannya, mengapa Yahudi asli harus membentuk organisasi mantel yang bermacam-macam? Atau mengapa Yahudi asli harus meminta bantuan “Yahudi abang ijo”? Jawabnya: Yahudi membutuhkan penetrasi ke berbagai negara/etnis di dunia, untuk mendukung missi mereka. Sedangkan cara terbaik penetrasi ialah dengan memakai tangan orang-orang dari negara/etnis masing-masing. Misalnya, Yahudi mengambil seorang kyai haji sebagai agen mereka. Maka diharapkan, semua jamaah kyai haji itu akan mudah dikendalikan untuk mendukung missi Yahudi. Kemudian, Yahudi sendiri merasa dirinya terlalu suci untuk berhubungan dengan manusia-manusia lain. Mereka tidak mau “kotor tangan”, maka dipakailah agen-agen dari setiap negara untuk menggarap negara masing-masing. Soal biaya, mereka bersedia memberikan dukungan penuh.

[07] Perlu dicatat, bahwa siapapun yang terlibat dalam gerakan mantel Yahudi seperti Freemasonry, mereka bukan orang Muslim. Mereka itu kafir. Tidak diragukan lagi. Mengapa? Sebab mereka berani mengkhianati agamanya sendiri dalam rangka mensukseskan missi Yahudi. Kemudian, mereka tidak meyakini lagi bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Ideologi mereka diganti dengan humanisme, pluralisme, dan demokratisme. Kemudian, mereka selama hidupnya selalu memusuhi missi perjuangan Islam. Dan mereka ridha dengan ritual-ritual kekufuran yang berlaku di organisasi seperti Freemasonry itu.

[08] Untuk mengenali apakah seseorang terlibat Freemasonry atau tidak, sungguh tidak mudah. Mungkin hanya kerja intelijen negara yang bisa menyingkap hal itu. Tetapi seorang anggota Freemasonry bisa dikenali tanda-tandanya, misalnya: (1) Mereka bukan Yahudi asli, ibunya bukan berdarah Yahudi; (2) Selama hidupnya dia mengagung-agungkan slogan humanisme, pluralisme, dan demokrasi; (3) Dia sangat memusuhi misi perjuangan Islam, dan membenturkan misi tersebut dengan seruan Sekularisme atau Nasionalisme; (4) Dia memiliki sumbangan, sedikit atau banyak, bagi kemajuan Yahudi internasional; (5) Dia mendapat penghargaan resmi dari organisasi Yahudi internasional.

[09] Adalah sulit untuk memastikan bahwa Gus Dur adalah seorang Freemason, sebab kita tidak memiliki bukti validnya. Bisa jadi kalangan Muslim lain memiliki data tersebut, sehingga ia bisa dibuka. Namun untuk menyimpulkan, bahwa Gus Dur adalah seorang penyokong gerakan Yahudi internasional sangatlah mudah. Banyak tanda-tandanya. Misalnya, dia pernah terlibat mendirikan Shimon Perez Institute; dia pernah pergi ke Israel; dia pernah mendapat medali dari organisasi Yahudi karena keberaniannya membela kepentingan Yahudi di Indonesia; ketika menjadi Presiden RI, dia pernah hendak membuka hubungan dagang dengan Israel; Gus Dur secara formal pernah membela Yahudi di depan media massa. Dia mengatakan, “Yahudi itu orang beragama, bukan atheis. Kalau dengan Soviet yang komunis saja Indonesia mau menjalin hubungan, mengapa tidak dengan Israel?” Begitu kira-kira alasan dia ketika itu. Sangat jelas sekali bahwa Gus Dur adalah seorang Zionis (pembela Israel) dari kalangan bangsa Indonesia.

[10] Fakta kecil yang perlu disinggung, yakni kedekatan Gus Dur dengan Ahmad Dhani, dari band Dewa. Semua orang sudah tahu, bagaimana sikap Dhani kepada Gus Dur. Dhani sangat memuja-muja Gus Dur. Pendek kata, Gus Dur mau berbicara apapun, Dhani dijamin akan mendukung. Sementara Dhani ini sangat layak dicurigai sebagai bagian dari Freemasonry di Indonesia. Ada yang pernah membahas simbol-simbol yang dipakai Dhani dalam cover album-albumnya. Dhani pernah menginjak-injak kaligrafi Allah yang telah disamarkan, di atas panggung band. Kemunculan abum “Laskar Cinta” ditujukan sebagai anti-tessa “Laskar Jihad” (segala upaya Jihad untuk membela Islam). Dalam salah satu lagu hits-nya, Dhani melantunkan lirik yang kurang lebih isinya sebagai berikut, “Tak ada yang lain, selain diri-Mu yang selalu kupujaaa… Dengan mata-Mu aku melihat, dengan lidah-Mu aku bicara.” Di mata kita, mungkin lagu ini dianggap bentuk pujian kepada Allah. Maka ia dianggap sebagai lagu “pop religi” Dhani dan bandnya. Padahal bisa jadi, yang dimaksud diri-Mu, memuja-Mu, mata-Mu, lidah-Mu itu adalah Lucifer, dewa pujaan kaum Freemasonry. Sebab disana tidak ada disebutkan kata “Allah” sedikit pun. Malah kaligrafi Allah diinjak-injak oleh Dhani dan kawan-kawan. Ada sebuah informasi menarik, ketika Kraton Solo tiba-tiba menganugerahi Dhani dengan gelar “Raden”. Tidak ada angina, tidak ada hujan, tiba-tiba Dhani dianugerahi gelar itu. Dhani sendiri merasa heran dengan gelar itu, sebab dia bukan orang Jawa. Ini sangat janggal. Ada apa ini, tiba-tiba dia di-raden-kan oleh Kraton Solo? Hal lain yang tak kalah menarik, kasus Dhani dengan Mulan Jamila. Hampir tidak ada satu pun media infotainment yang menghujat sikap Dhani yang mengkhianati isterinya itu. Padahal ketika kasus yang sama menimpa pasangan artis-artis lain, media infotanment getol memberitakan hal itu. Saya juga masih ingat, betapa Dhani sangat ngefans dengan Manchester United yang dikenal dengan julukan “Setan Merah”. Ketika MU akan bertanding dengan FC Barcelona dalam Piala Champions, Dhani secara emosional mendukung MU. Malah ketika MU datang ke Malaysia, Dhani mengajak anak-anaknya datang kesana. Banyak sisi-sisi menarik seputar kiprah Dhani “Dewa” yang mencerminkan kedekatan manusia itu dengan gerakan Freemasonry.

[11] Patut diingat dengan jelas, bagaimana peranan media massa, terutama media TV dalam memuja-muja Gus Dur. Selama ini saya cukup bersimpati kepada MetroTV, sering mengakses TVOne, dan berita-berita lain. Tetapi dengan gerakan pemujaan Gus Dur, ini tampak nyata bahwa media-media itu seperti berlomba mencari keridhaan Yahudi internasional. Caranya, dengan memuja-muja Gus Dur. Sejujurnya, sejak dulu Gus Dur itu tidak ada apa-apanya. Dia menjadi besar bukan karena dirinya, tetapi karena REKAYASA MEDIA. Media yang membuat Gus Dur besar, dan media pula yang membuat tokoh-tokoh lain kecil. Bayangkan, media massa tidak pernah peduli ketika Ketua PP Persatuan Islam, KH. Shiddiq Amin wafat. Begitu pula, ketika KH. Husein Umar wafat. Media tidak mau memberitakan, atau menghargainya secara layak. Tetapi ketika ada seorang icon Yahudi di Indonesia mati, mereka berlomba-lomba melakukan “ritual pemujaan”. Sangat menyedihkan! Kalau akhirnya nanti Gus Dur benar-benar ditasbihkan sebagai “pahlawan nasional”, sungguh kita patut memboikot semua media-media sekuler itu. Jangan lagi merasa memiliki media, selain media yang kita buat sendiri.

[12] Orang-orang yang mengklaim dirinya pro pluralisme, pro demokrasi, pro humanisme, lalu memuja-muja Gus Dur sebagai manusia yang berjasa besar dalam ketiga isu tersebut. Pada dasarnya, mereka adalah orang-orang BODOH yang tidak mengerti ujung dari gerakan pluralisme, humanisme, dan demokrasi itu sendiri. Pluralisme adalah ideologi untuk mematikan keimanan kepada agama-agama (bukan hanya Islam). Seorang pluralis sejati tidak memiliki keyakinan yang kuat kepada suatu agama, selain agama pluralisme itu sendiri. Orang-orang yang berakidah humanisme, mereka mempertuhankan “kepentingan manusia”, sehingga manusia dianggap bebas merdeka, termasuk bebas dari aturan agama. Manusia yang berakidah demokrasi, mereka meyakini bahwa “suara rakyat suara Tuhan”. Artinya, cukuplah kesepakatan rakyat untuk menggantikan peranan aturan Tuhan. Ketiga prinsip (pluralisme, humanisme, demokrasi) ini adalah hakikat atheisme, sebagaimana prinsip-prinsip yang diajarkan oleh Freemasonry kepada para pengikutnya.

[13] Semua orang yang memuja-muja Gus Dur, pada dasarnya tidak keluar dari 3 kemungkinan: Pertama, mereka orang bodoh yang tidak tahu informasi dan sempit wawasan. Mereka orang-orang fanatik yang tidak bisa membedakan hitam dan putih; Kedua, mereka orang oportunis yang merasa perlu mencari keridhaan umat manusia (khususnya investor Yahudi) agar mendapat keuntungan-keuntungan duniawi; Ketiga, mereka satu barisan dengan Gus Dur dalam rangka memadamkan cahaya agama Allah dan membesarkan missi Yahudi laknatullah ‘alaihim. Hanya ini kemungkinannya.

[14] Betapa banyak manusia takut kepada Gus Dur, selama hidupnya. Mereka tidak berani mengkritik Gus Dur, tidak berani berbeda pendapat, tidak berani membantah, tidak berani menentang pendapat-pendapatnya yang keliru. Termasuk, ketika Gus Dur mengatakan, bahwa Al Qur’an adalah kitab suci yang paling porno. Mereka tetap tidak berani mengingatkan Gus Dur. Mereka sangat takut kepada Gus Dur, karena takut kuwalat, takut celaka, takut mengalami kemalangan. Lihatlah, betapa banyak manusia sudah mempertuhankan Gus Dur. Kepada Allah mereka tidak takut, tetapi kepada Gus Dur begitu ketakutan. Realitas seperti itu adalah kemusyrikan dalam bentuk baru.

[15] Terakhir, betapa hinanya manusia yang mau membela, membantu, mendukung, menyokong, mempermudah gerakan Yahudi internasional. Padahal mereka semula adalah Muslim, orang Indonesia, orang pesantren, dan sebagainya. Sayang sekali, mereka mendukung Yahudi internasional yang terkenal dengan misi-misi kejahatan mereka untuk memperbudak seluruh manusia di dunia. Mereka mendukung gerakan yang tujuan akhirnya menjadikan semua manusia bersimpuh di telapak kaki Yahudi. Bahkan sangat disayangkan sekali, mereka lahir dari rahim wanita-wanita non Yahudi. Mengapa? Sebab selama mereka tidak memiliki darah Yahudi, statusnya tetap sebagai “budak”. Sangat menyedihkan, mereka bersusah-payah mendukung misi kerusakan di muka bumi.

Sulit bagi saya untuk memastikan, apakah Gus Dur seorang Freemason atau bukan? Tetapi setidaknya kita mendapat banyak bukti, bahwa dia adalah tokoh yang selama hidupnya banyak menolong missi-missi Yahudi internasional. Dalam Surat Al Maa’idah dikatakan, “Wan man yatawallahum, fainnahu minhum” [siapa yang loyal kepada mereka (Yahudi atau Nashrani), sesungguhnya dia bagian dari mereka].

Sekali lagi ditegaskan disini, Gus Dur bukan saja tidak pantas dianggap sebagai “pahlawan nasional”. Bahkan mengucapkan “innalillah wa inna ilaihi raji’un” saat dia mati, adalah sebuah kesalahan.

Saudaraku, Anda jangan takut kepada siapapun dalam rangka mentaati Allah dan Rasul-Nya. Sekaligus Anda jangan berani memuja-muja manusia yang tidak pantas dipuji, sehingga perbuatan Anda itu akan mengundang kemurkaan Allah Ta’ala. Jadilah Muslim sejati yang bicara apa adanya; katakan benar jika benar, katakan salah jika salah. Demi Allah, orang-orang oportunis dimanapun tidak akan beruntung. Mereka takut dimusuhi manusia, tetapi tidak takut dimusuhi Allah Ta’ala.

Perhatikan nasib orang-orang yang saat ini berlomba-lomba memuja Gus Dur, kemudian mereka tidak bertaubat dari kesalahan-kesalahannya. Lihatlah apa yang nanti akan menimpa mereka! Mari kita sama-sama menyaksikan!

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, wallahu Akbar, wallahu Akbar, wallahu Akbar walillahil hamdu.

Abu Muhammad Waskito.

(Dulu dibesarkan dalam kultur Nahdhiyin, di Malang).