Seorang Ibu Menghafal Al-Qur`an di Usia 70 Tahun

Juni 12, 2015

Mungkinkah kita akan menghafal di usia dewasa? Mungkinkah? Bisakah? Ahh…rasanya mustahil. Tapi seorang ibu mampu melakukan itu, di usia 70 tahun. Subhanallah.

***

UMMU Shalih. 82 tahun, mulai menghafal Al-Qur’an pada usianya yang ke-70. Tamasyanya ke taman hafalan Al-Qur’an, sungguh sangat menginspirasi. Cita-citanya yang tinggi, kesabaran, dan juga pengorbanannya patut kita teladani.

Inilah hasil wawancara dengan Ummu Shalih yang dimuat Majalah Ad-Dakwah di Malaysia.

==> Motivasi apa yang mendorong Anda untuk menghafalkan Al-Qur’an pada umur yang setua ini?

Sebenarnya, cita-cita saya untuk menghafal Al-Qur’an sudah tumbuh sejak kecil. Kala itu ayah selalu mendoakanku agar menjadj hafizhah Al-Qur’an seperti beliau dan juga seperti kakak laki-lakiku. Dari hal itulah, aku mampu menghafal beberapa surat —kira-kira 3 juz.

Ketika usiaku menginjak 13 tahun, aku menikah. Tentu setelah itu aku tersibukkan dengan urusan rumah dan anak-anakku. Ketika aku dikaruniai 7 (tujuh) orang anak, suamiku wafat. Karena ketujuh buah hatiku masih kecil-kecil, maka seluruh waktuku tersita untuk mengurusi dan mendidik mereka.

Nah, ketika mereka sudah dewasa dan berkeluarga, maka waktu ku pun kembali luang. Dan hal yang pertama kali aku tunaikan adalah mencurahkan tenaga dan waktuku untuk mewujudkan cita-cita agungku yang tertunda untuk menghafal Kitabullah Azza wa Jalla.

==> Bagaimana awal perjalanan Anda dalam menghafal?

Aku mulai menghafal kembali ketika putri bungsuku masih duduk di bangku Tsanawiyah (SMP). Dia salah satu putriku yang paling dekat denganku, dan dia sangat mencintaiku. Sebab kakak-kakak perempuannya telah menikah dan disibukkan dengan kehidupan baru mereka. Sedangkan, dia (putri bungsuku) tinggal bersamaku. Dia sangat santun, jujur, dan mencintai kebaikan.

Putri bungsuku pun bercita-cita untuk menghafal Al-Qur’an—terlebih ketika ustadzahnya menyemangati dirinya. Dari sinilah, saya dan juga putri bungsuku menghafal Al-Qur’an, setiap hari 10 ayat.

==> Bagaimana metode yang Anda gunakan untuk menghafal?

Setiap hari, kami hanya menghafal 10 ayat saja. Pada ba’da Ashar, Kami selalu duduk bersama. Putriku membaca ayat, kemudian aku menirukannya hingga 3 (tiga) kali. Setelah itu putriku menerangkan makna dari ayat-ayat yang Kami baca. Lantas membaca kembali ayat-ayat tersebut hingga 3 (tiga) kali.

Keesokan harinya, sebelum berangkat ke sekolah putriku mengulangi ayat-ayat tersebut untukku. Tak cukup itu saja, saya pun menggunakan tape recorder untuk mendengar murattal Syaikh Al-Hushairi, dan aku mengulanginya hingga 3 (tiga) kali. Aku pun mendengar murattal tersebut pada sebagian besar waktuku.

Kami menetapkan hari Jum’at, khusus untuk mengulangi kembali ayat-ayat yang kami hafal selama satu pekan. Demikian seterusnya, saya dan putri bungsuku selalu menghafal ayat-ayat Al-Qur’an dengan cara tersebut.

==> Kapan Anda selesal menghafal seluruh Al-Qur’an?

Kira-kira 4,5 tahun berjalan aku sudah hafal 12 Juz dengan cara yang telah saya sebutkan. Kemudian putriku pun menikah. Ketika suaminya mengetahui kebiasaan kami, dia pun mengontrak sebuah rumah yang dekat dengan rumahku untuk memberikan kesempatan kepadaku dan putriku untuk menyempurnakan hafalan kami.

Semoga Allah membalas kebaikan menantuku dengan kebaikan yang lebih baik. Dialah yang selalu menyemangati kami, bahkan terkadang dia menemani kami untuk menyimak hafalan kami, menafsirkan ayat-ayat yang kami baca, dan juga memberikan pelajaran-pelajaran berharga kepada kami.

Tiga tahun kemudian, putriku tersibukkan dengan urusan anak-anaknya dan pekerjaan rumahnya. Sehingga tidak bisa melazimi kebiasaan yang telah kami jalani. Putriku pun merasa khawatir hafalanku menjadi terbengkalai. Maka, putriku pun mencarikan untukku seorang ustadzah agar dapat menemaniku menyempurnakan hafalanku.

Dengan taufik Allah Azza Wajalla aku pun telah purna menghafalkan seluruh Al-Qur’an. Semangat putriku pun masih membara untuk menyusulku menjadi hafizhah Al-Qur’an. Bahkan, tidak mengendur sedikit pun.

==> Cita-cita Anda sangat tinggi, dan Anda pun telah mewujudkannya. Siapakah sosok wanita di sekitar Anda yang selalu mendukung Anda?
Motivasi saya telah jelas dan terang. Putri-putriku, juga para menantu perempuanku pastinya selalu mendukungku. Walau hanya satu jam, kami sepakat untuk mengadakan pertemuan sepekan sekali. Dalam pertemuan itu kami menghafal beberapa surat, dan saling menyimak hafalan. Terkadang pertemuan itu pun macet. Tetapi kemudian mereka bersepakat kembali untuk bertemu. Saya yakin, niat mereka semua sangat baik.

Tak ketinggalan pula, cucu-cucu perempuanku yang selalu memberikan kaset-kaset murattal Al-Qur’an. Hingga aku pun selalu memberi mereka bermacam-macam hadiah.

Awalnya, tetangga-tetanggaku juga tidak simpatik dengan cita-citaku. Mereka selalu mengingatkanku betapa sulitnya menghafal di usia yang daya ingatnya telah lemah. Tetapi ketika mereka melihat kebulatan tekadku, akhirnya mereka pun berbalik mendukung dan menyemangatiku. Ada di antara tetanggaku yang juga ikut tersulut semangatnya untuk menghafal, dan sedikit demi sedikit hafalannya pun mulai bertambah.

Ketika tetangga-tetanggaku mengetahui bahwa aku telah purna menghafal seluruh Al-Qur’an, mereka pun sangat berbahagia. Hingga kulihat air mata bahagia menetes di pipi mereka.

==> Sekarang, apakah Anda merasa kesulitan untuk muraja’ah (mengulangi) hafalan?

Saya selalu mendengarkan murattal Al-Qur’an, dan menirukannya. Demikian juga ketika shalat, saya selalu membaca beberapa surat panjang. Terkadang pula saya meminta salah seorang putriku untuk menyimak hafalanku.

Di antara putra-putri Anda, adakah yang juga hafizh seperti Anda?
Tak ada satu pun dari mereka yang hafal keseluruhan Al-Qur’an. Tetapi, insya Allah mereka selalu berusaha mencapai cita-cita menjadi hafizh. Semoga Allah menyampaikan mereka pada hal tersebut dengan bimbingan-Nya.

Setelah hafal Al-Qur’an, tidak terpikirkan untuk menghafal hadits?
Saat ini, saya telah hafal 90 hadits, dan saya tetap berkeinginan untuk melanjutkannya, Insya Allah. Saya menghafalnya dengan mendengarkan dari kaset. Pada setiap akhir pekan, putriku membacakan untukku 3 (tiga) hadits. Sekarang, saya telah mencoba untuk menghafal hadits lebih banyak lagi.

==> Setelah kurang lebih 12 tahun Anda disibukkan dengan menghafal Al-Qur’an, perubahan apa yang Anda rasakan dalam kehidupan Anda?

Benar, saya merasakan perubahan yang mendasar dalam diri saya. Walau sebelum menghafal–untuk Allah segala pujian—saya selalu menjaga diri untuk senantiasa dalam ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Setelah disibukkan dengan menghafalkan Al-Qur’an, justru saya merasakan kelapangan hati yang tak terkira, dan sirnalah seluruh kecemasan dalam diriku. Saya pun tidak pernah menyangka akan terbebas dari perasaan khawatir terhadap urusan-urusan yang menimpa anak-anakku.

Moral dan spiritku benar-benar terangkat. Hingga aku pun rela berpayah-payah untuk mewujudkan kerinduanku dalam mewujudkan cita-citaku. Inilah nikmat terbesar yang diberikan oleh Sang Khaliq Azza Wajalla kepadaku sebagai wanita tua, suami pun telah tiada, dan juga anak-anaknya pun mulai berkeluarga.

Di saat wanita lanjut usia lainnya terjebak dalam angan-angan dan lamunan. Tetapi aku —segala puji hanya untuk Allah— tidak merasakan hal yang demikian. Saya benar-benar tersibukkan dengan urusan besar yang memiliki faedah di dunia dan akhirat.

Ketika itu, apakah Anda tidak berpikir untuk mendaftarkan diri pada sebuah pesantren penghafal Al-Qur’an?
Pernah beberapa wanita yang mengusulkan kepadaku, tapi saya adalah wanita yang terbiasa untuk berdiam diri di dalam rumah dan jarang sekali keluar rumah. Alhamdulillah, karena putriku telah mencukupi segalanya dan membantuku dalam segala urusan. Sungguh, putriku benar-benar tidak ada duanya. Aku pun telah banyak mengambil pelajaran darinya.

==> Apa saran Anda kepada wanita yang telah lanjut usia, dan menginginkan untuk dapat menghafalkan Al-Qur’an, tetapi terhalang oleh rasa khawatir dan merasa tidak mampu untuk melaksanakannya?

Saya katakan, “Jangan berputus asa terhadap cita-cita yang benar. Teguhkanlah keinginanmu, bulatkan tekadmu, dan berdoalah kepada Allah di setiap waktu. Kemudian, mulailah sekarang juga. Setelah umurmu berlalu dan kau curahkan seluruhnya untuk memenuhi tanggung jawab sebagai ibu rumah tangga, mendidik anak, dan mengurus suami. Maka sekarang saatnyalah Anda memanjakan diri. Bukan berarti kemudian memperbanyak keluar rumah, memuaskan diri dengan tidur, bermewah-mewah, dan banyak beristirahat. Tetapi memanjakan diri dengan amal shalih. Hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala kita memohon khusnul khatimah.

==> Nasihat Anda terhadap para remaja?

Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Nikmat Allah berupa kesehatan, dan banyaknya waktu luangmu, maksimalkanlah untuk menghafal kitab Allah Azza Wa Jalla. Inilah cahaya yang akan menyinari hatimu, hidupmu, dan kuburmu setelah engkau mati.

Jika kalian masih memiliki ibu, bersungguh-sungguhlah dalam membimbingnya menuju ketaatan kepada Allah. Demi Allah, tidak ada nikmat yang lebih dicintai seorang ibu kecuali seorang anak shalih yang mau menolongnya untuk mendekatkan diri kepada Allah Azza Wa Jalla.

Sumber: Facebook, @Koin untuk penghafal qur’an.


Sudah Putus Asa…

Maret 17, 2015

* Seorang kawan menelpon lama. Dalam pembicaraan dia ngaku sudah skeptis dengan negeri ini. Dia sudah muak bicara karut marut dunia politik. Terus, dia sudah meyakini bahwa Indonesia sudah “tak ada”. Dia sudah siap terima kenyataan “negeri ini tiada”.

* Sambil bercanda, saya tanggapi. “Kalau sedang melihat foto elit politik dari kaum politisi busuk, baca saja: a’udzubillahi minas syaithonir rojiim.” Smoga dia paham apa maksudnya.

Ayo Tetap Semangat

Ayo Tetap Semangat

* Kawan ini background enginer, teknik sipil. Biasa berpikir tentang kalkulasi, analisis, logika proses, dll. Kmudian beliau terapkan dalam lingkup politik SAAT INI. Hasilnya…skeptis atau putus asa.

BEBERAPA SARAN:

1. Ketika melihat kondisi yang sangat prihatin, jangan buru-buru memvonis negeri ini hancur. Tapi BERDOALAH mohon KESELAMATAN kepada Allah. Contoh doa simple: “Ya Allah, selamatkan negeri kaum Muslimin ini. Beri hidayah kepada pemimpin dan rakyatnya untuk memperbaiki diri. Tolaklah makar orang-orang zhalim yang menghendaki kerusakan.” Baca doa seperti ini stiap selesai shalat. Itu sudah KONTRIBUSI POLITIK. Namanya “politik langitan” atau “politik transenden”; maksudnya, minta pertolongan pada ALLAH Jalla Jalla Luhu.

2. HINDARI orang-orang bodoh yang bicara politik. Maksudnya, hindari omongan politik MINUS IMAN. Siapa pun juga yang ngomong politik apakah Ketua MK, anggota DPR, pakar ekonomi, media massa, pengamat politik, pakar akademisi, aktivis twitter, paranormal, pakar hukum, lembaga surve, dll. Kalau dalam omongannya tidak ada kata “Allah dan Rasul-Nya”, maka tinggalkan omongan mereka. Samakan omongan mereka dengan “suara jangkrik”.

“Wa idza khotobal jahiluna qolu salama” (kalau orang-orang jahil berbicara, mereka (orang saleh) cukup bicara yang baik-baik saja).

3. BANYAK-banyaklah berpikir, berbuat, berkontribusi kebaikan; dengan niat amal saleh. Jangan pedulikan kondisi politik karut marut. Kontribusi ini akan MEMPERPANJANG UMUR KEBAIKAN di tengah masyarakat. Tentu kontribusi semampunya saja. Ikhlas. Jangan banyak Selfie (RIYA’).

4. KALAU mau lakukan kontribusi politik, untuk perbaikan. Boleh. Tapi harus “berani syahid”, cerdas bertindak, dan kuat mental. Ancaman maut, dijebak, dan tekanan psikologis jadi risiko. Kalau modal tanggung, jangan. Sebaiknya banyak berdoa saja.

* JADI dalam kondisi seburuk apapun, peluang berbuat baik tetap ada. Tidak pernah tertutup. Peluang tertinggi MERAIH SYAHID, dengan menantang sekian risiko. Peluang moderat, terus menebar kebajikan tanpa lelah. Peluang termudah, BERDOA kepada Allah SWT. Tapi harus sabar dan kontinue.

* HINDARI media-media yang hanya bikin stress saja. Banyak-banyak BACA Al Qur’an, berdzikir, baca fikih, baca Sirah Nabawi dan Sejarah Khulafaur Rasyidin.

* Demikian saran dari kami. Jangan putus asa ya. Kalau Anda putus asa, nah itu yang dituju oleh setan-setan. Setan menggoda ke sana. Na’udzubillah min kulli dzalik. Terimakasih.

(WeAre).


Titik Balik Sebuah Langkah

Juni 8, 2011

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Hidup ini tidak selalu datar, “The life is never flat,” katanya. Namanya liku-liku, kelokan, turunan-tanjakan, serta jalan berbatu, pastilah ada. Semakin dinamis sebuah jalan kehidupan, semakin “seru” warna-warni di telapak kaki.

Seperti orang yang saban hari makan nasi. Saat lapar tiba, dia mengambil piring, menuju bakul nasi (bagi yang masih tradisionalis), menyentong nasi, mengambil lauk dan sayur, lalu “bismillah”…nasi pun disantap.

Telaga Bening di Atas Terjal Bebatuan.

Tetapi siapa boleh melarang kalau ada yang mau mengubah ritme. “Oh, tidak. Cara kami makan sekarang beda. Tujuan sama, tapi cara beda. Kami mula-mula makan sayur dulu yang banyak. Berkuah tak masalah. Setelah kenyang, kami mulai makan lauk-pauk. Kalau di lidah terasa tajam, kami gunakan nasi sebagai komplemen. Inilah cara kami makan, setelah bosan dengan cara lama.”

Bolehkah mengubah ritme itu…? Tentu boleh saja, asal tujuan memberi asupan zat-zat makanan untuk tubuh tercukupi dengan baik. Kata Nabi Saw. bahkan, “Sekedar cukup untuk menegakkan tulang rusuk.” Masya Allah.

Kadang puyeng sendiri kalau menikmati menu-menu berita… Kok isinya sedih melulu, putus-asa terus, wajah kehidupan serba suram. “Mana dong senyumnya?” kata tukang foto memberi arahan. “Ayo senyum yang manis!” begitulah permintaan tukang foto, sekaligus permintaan makhluk-makhluk di sekitar, ketika kita telah suntuk dengan aneka rupa kesedihan.

Daripada marah terus, ayo kita berbuat! Berbuat yang baik-baik dan manfaat bagi kehidupan kaum Muslimin. Berbuat merupakan obat terbaik penyembuh luka politik, luka pemikiran, luka sejarah!

“Rizki Allah tidak akan tertukar,” kata seorang dai, yang kini namanya mulai layu selayu belukar Putri Malu saat disentuh jari. Ya benar, rizki dan pertolongan Allah tidak akan tertukar. Mana yang sudah menjadi bagian Si Fulan akan sampai ke tangannya; begitu pula mana yang tertolak dari tangan Si Fulanah tak akan sampai kepadanya, meskipun ia ditangisi dengan air mata darah.

Allahumma laa mani’a li maa a’thaita wa laa mu’tiya li maa mana’ta, wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu. (Ya Allah, tidak akan tertolak apa yang Engkau berikan, dan tidak akan menerima apa yang Engkau tolak, dan tidak bermanfaat usaha seseorang untuk mengubah ketetapan di sisi-Mu).

Bila menuruti amarah, mungkin sampai tua kita akan marah. Marah kepada aneka konspirasi yang mendera kehidupan ini. Namun sayang, kalau umur kita habis dalam kemarahan itu.

Marilah kita berbuat yang baik, kongkrit dan manfaat; sekuat kemampuan dan daya; sesuai peluang dan momen yang ada; dengan niatan mencapai Keridhaan Allah Ta’ala. Kita bisa berbuat di bidang-bidang apapun yang memungkinkan, sejauh masih di ranah kebajikan dan takwa.

Biarlah mereka menabur fitnah dan bencana; kita kan selalu menanam kebajikan, terus menanam, selama masih sanggup menanam. Selebihnya, kita yakinkan hati akan kemurahan dan pertolongan Allah Ta’ala. “Gusti Allah mboten sare,” kata nenek Mbak Marsinah. Ya, hal itu harus diyakini!

Teruslah berbuat, sampai engkau memahami, bahwa hakikat kehidupan ini tak lain hanyalah beramal dan terus beramal. Sampai Imam Ahmad rahimahullah mengatakan, bahwa kita akan istirahat ketika sebelah kaki sudah menginjak tanah Syurga. Masya Allah.

Di titik ini perlu ada perubahan. Tak guna terus marah dan mengeluh. Berbuatlah yang nyata dan manfaat. Selebihnya, kembalikan kepada Allah Rabbul ‘alamiin. Walhamdulillahi fi awwali wal akhir.

Abinya Syakir.


REFLEKSI: Kesalahan Terbesar Bangsa Indonesia!

Agustus 20, 2010

Bismillahirrahmaanirrahiim.

CATATAN: Tulisan ini sebenarnya sudah muncul Agustus tahun 2010 lalu. Karena begitu pentingnya isi tulisan ini, agar kaum Muslimin di negeri ini paham kondisi kehidupannya; ia sengaja di-lekat-kan. Selamat membaca kembali!

Baru-baru ini politisi Partai Demokrat (PD), Ruhut Sitompul melemparkan isu besar, tentang kemungkinan masa jabatan Presiden RI diperpanjang sampai 3 periode. Konsekuensinya, harus mengamandemen UUD pasal 7 yang membatasi jabatan Presiden RI hanya 2 periode saja. Sontak usulan ini membuat geger masyarakat politik Indonesia. Banyak suara-suara muncul memberi komentar. Saya meminjam kata-kata para selebiritis kalau sedang terjerumus suatu kasus asusila, “Ya, dimana-mana selalu ada pro dan kontra. Itu biasa saja, kok.”

Secara politik, wacana perpanjangan masa jabatan presiden sampai 3 periode itu, dapat dipahami sebagai ambisi politisi Demokrat untuk mengangkat SBY menjadi Presiden RI lagi pada periode 2014-2019 nanti. Kalau upaya itu berhasil, misalnya SBY sukses menjadi presiden lagi pada periode 2014-2019, apakah amandemen UUD itu akan berakhir? Tidak akan. Nanti menjelang masa jabatan ke-3 berakhir, akan ada lagi usulan amandemen kesekian kalinya, sehingga SBY bisa menjadi Presiden RI ke-4 kalinya. Kalau sudah 4 kali jadi presiden, akan UUD akan diamandemen lagi, sehingga SBY akan menjadi presiden sampai wafat. Bahkan nanti, Ruhut Sitompul akan mengusulkan, agar Presiden RI bisa dijabat oleh seseorang yang sudah dikubur dalam tanah. Dia menjadi Presiden RI secara ad interim; jasadnya sudah dikubur, tetapi nama dan fotonya masih berkuasa penuh.

Baca entri selengkapnya »


Sebagian Pengalamanku dalam Dakwah

Agustus 10, 2009

Alhamdulillah laa haula wa laa quwwata illa billah. As shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du.

Dalam tulisan ini saya ingin menceritakan beberapa pengalaman yang pernah saya alami dalam dakwah Islam. Rata-rata adalah pengalaman bernuansa kerpihatinan. Namun semua ini hanya sebagian pengalaman saja, sekedar sebagai ibrah untuk dipahami. Dan misi utama dari penuturan ini adalah agar kita lebih mengerti kondisi sebenarnya saat berhadapan dengan kaum Muslimin di Indonesia.

Pihak-pihak yang saya hadapi dalam aktivitas dakwah itu sendiri beragam. Disini sengaja tidak disinggung nama-nama atau sebutan mereka secara verbal, karena tujuannya memang untuk mengambil pelajaran. Kalau dihitung secara waktu, bisa jadi semua pengalaman itu terjadi dalam rentang waktu lebih dari 10 tahunan. Dan jika dalam penuturan ini ada salah dan kekurangan, mohon dimaafkan sebesar-besarnya. Kepada Allah juga kita memohon rahmat, hidayah, dan ampunan-Nya. Allahumma amin.

Berikut beberapa pengalaman dakwah yang pernah saya alami:

[ 1 ] Waktu itu saya masih remaja. Tapi alhamdulillah, sudah mulai memahami aspek-aspek ajaran Islam. Di masjid kami setiap bulan diadakan pengajian umum, diisi oleh seorang ustadz senior dari Kabupaten Malang. Masjid tempat kami shalat, adalah masjid warga Nahdhatul Ulama. Dalam tradisi NU, mereka sangat menghormati para alim-ulamanya. Termasuk bentuk-bentuk penghormatan secara fisik.

Suatu hari, setelah Shalat Isya’, jamaah masjid sedang menanti datangnya ustadz (Bapak Kyai Haji) pengisi pengajian. Jamaah yang menanti sudah banyak, tetapi ustadz-nya masih belum kunjung datang. Kami menanti dengan gelisah. Pihak Ta’mir Masjid (semacam DKM) kelihatan keluar-masuk masjid sambil gelisah. Saya sendiri hanya diam saja di dalam masjid sambil menanti.

Tidak lama kemudian tampak kegaduhan. Oh, rupanya ustadz yang dinanti sudah tiba. Para jamaah yang tadinya menanti di masjid, mereka segera bangkit dari duduknya, lalu menghambur keluar ruangan masjid, untuk menyambut ustadz tersebut. Mereka berdiri, bergerombol, berdesak-desak mendekati ustadz yang baru masuk ruangan. Sebagian mereka, mencium tangan ustadz tersebut sambil membungkuk-bungkukkan badannya.

Sari sekian banyak hadirin yang ada di dalam masjid, hanya saya sendiri yang tetap duduk. Saya tidak bereaksi, selain melihati tingkah orang-orang itu. Terus-terang saya tidak suka menyambut seseorang secara berlebihan seperti itu. Nabi Saw pernah datang ke suatu majlis, lalu para Shahabat Ra. berdiri menyambut kedatangannya. Ternyata, Nabi bukan senang, justru beliau mengecam perbuatan seperti itu. Kata beliau, cara penghormatan seperti itu telah membuat kaum-kaum di masa lalu binasa.

Akhirnya, pengajian pun dimulai. Saya duduk agak ke depan, meskipun tidak paling depan. Sepanjang acara pengajian itu, saya perhatikan ustadz penceramah tersebut. Beliau tidak mau mengarahkan wajahnya ke saya. Jangankan tersenyum, sekedar mata menatap ke arah saya pun tidak. Materi pengajian itu sendiri sudah tidak teringat di benak saya. Tetapi sikap ustadz tersebut selalu teringat.

[ 2 ] Ketika SMA, saya masuk sekolah favorit di Malang. Sebagian besar siswa di sekolah ini dari keluarga yang mapan ekonomi. Saya mungkin termasuk sebagian siswa yang kurang bisa bersaing karena lemah dari sisi fasilitas. Di sekolah ini saya jumpai seorang pelajar laki-laki yang istimewa. Dia dari kelas sebelah. Selain pintar secara akademik, dia aktif di OSIS dan berprestasi dalam kompetisi-kompetisi antar pelajar. Kalau tidak salah, dia sempat menjadi pelajar teladan se-Indonesia. Di sekolah kami, meraih gelar tingkat Indonesia itu bukan hal aneh, sudah sering terjadi.

Hanya saja, siswa itu dalam pergaulan sehari-hari bersikap sekuler. Ya, seperti umumnya teman-teman di sekolah kami waktu itu. Mayoritas bersikap sekuler, hanya sedikit yang peduli dengan nilai-nilai keislaman. Yang berani memakai jilbab pun bisa dihitung dengan jari. Itu pun masih bongkar-pasang, sebab belum diperbolehkan memakai jilbab secara penuh di kelas. Klub-klub kajian Islam pun sepi peminat. Jika ada anggota, suasananya terkesan formalistik.

Suatu saat, di sekolah ada peringatan hari besar Islam. Saya lupa tepatnya, apakah Maulid Nabi atau Isra’ Mi’raj. Di aula sekolah diadakan seremoni peringatan hari besar tersebut. Menariknya, siswa tadi didaulat untuk memberikan orasinya di depan hadirin. Padahal saya tahu, dia bukanlah pelajar yang komitmen dengan nilai-nilai Islam. Dia bersikap sekuler, atau hanya berorientasi akademik saja. Entahlah, atas dasar apa siswa itu dipilih untuk berorasi? Yang jelas, dia sama sekali tidak dianggap mewakili arus semangat Islam di sekolah.

Setelah orasi itu, suatu saat seorang teman sekelas berbicara kepada saya. Dia memuji siswa yang berprestasi itu. Kata teman saya, selain siswa itu pintar secara akademik, dia juga bisa menyampaikan orasi keislaman. Prestasi sekolah bagus, pengetahuan keislaman bagus. Begitulah kesimpulan sederhana dari teman saya.

Terus terang, saya tidak suka dengan pujian terhadap siswa itu. Bukan karena saya iri hati, atau saya menginginkan kesempatan berorasi. Saya sendiri kalau diminta mengisi orasi itu, belum tentu bisa melakukannya. Tetapi saya melihat, siswa itu bercorak sekuler, jauh dari nilai-nilai Islami. Dia sangat mendukung budaya “glamor klas menengah” di sekolah. Menurut saya, orang seperti itu tidak layak berbicara tentang Islam. Dia hanya bicara Islam dalam tataran teori, bukan sebagai tanggung-jawab. Namun, di mata guru-guru kami waktu itu, sosok seperti siswa itu sudah dianggap memadahi untuk berbicara tentang Islam. Maklum, segala sesuatu diukur dari sisi seremoni, bukan tanggung-jawab.

Saat ini, siswa itu menjadi seorang eksekutif di sebuah perusahaan telekomunikasi. Kalau melihat penampilan dan foto-fotonya, tampaknya sikap sekuler itu masih terus dipegang sampai saat ini. Semoga Allah Al Hadi memberikan hidayah kepada hamba-Nya agar sadar dari kekeliruan-kekeliruannya. Allahumma amin.

[ 3 ] Kami sekeluarga pernah tinggal di dekat sebuah kampus negeri di Bandung. Disana kami mengontrak sebuah rumah, di tengah-tengah pemukiman penduduk. Berkali-kali kami berpindah kontrakan dari satu rumah ke rumah lain. Saya, isteri, dan anak-anak yang waktu itu masih kecil-kecil; kami hidup berumah-tangga, sambil tetap menjalani aktivitas kuliah.

Di dekat rumah kami ada sebuah mushalla kecil. Ukurannya tidak terlalu besar, tetapi alhamdulillah setiap hari selalu diadakan shalat berjamaah di dalamnya. Kami berkenalan baik dengan tetangga, anak-anak, para remaja, serta ustadz pembimbing di masjid itu. Seperti umumnya masjid lain, warga disana juga orang-orang NU. Sementara kami sendiri waktu itu terlibat dalam sebuah jamaah dakwah modern.

Secara umum, warga masjid menyambut baik kedatangan kami. Anak-anak dan para remaja sangat senang dengan kehadiran kami di masjid. Mereka sering datang ke rumah untuk silaturahmi. Sebenarnya, yang banyak terlibat dengan anak-anak adalah isteri. Saya hanya mendukung saja. Istri bisa dikatakan aktif dengan kreasi-kreasi kegiatan untuk menyemarakkan kegiatan anak-anak.

Anak-anak itu tampak begitu haus dengan ilmu-ilmu dan kegiatan keislaman. Mereka sering datang ke rumah. Mereka juga begitu nurut ketika diarahkan. Karena begitu tulusnya mereka, suatu saat saya menawarkan untuk mengajar mereka di masjid, setiap habis Shalat Ashar. Disana saya mengajarkan hadits-hadits pendek, cara membacanya, arti terjemahnya, dan pemahamannya. Hal ini terjadi beberapa kali. Dan alhamdulillah anak-anak sangat antusias dengan pelajaran itu.

Namun setelah pelajaran itu berlangsung beberapa kali, ustadz pembimbing di masjid itu melakukan tindakan di luar dugaan. Dia mengambil porsi pelajaran yang biasa saya berikan, tanpa terlebih dulu bericara kepada saya. Sejak saat itu, saya tidak bisa lagi mengajar anak-anak. Pelajaran diambil-alih ustadz tersebut. Bahkan anak-anak pun mulai menjauhi kami. Mereka tidak tampak datang silaturahmi ke rumah kami. Bahkan yang kami dengar, mereka sibuk dengan berbagai acara di rumah ustadz itu.

Saya menduga, ustadz itu khawatir pengaruhnya tergeser oleh kami. Dia melakukan hal-hal yang tidak mengenakkan, untuk menjauhkan anak-anak dari kami. Padahal, awalnya kami hanya mau membantu mengisi kegiatan anak-anak. Itu pun atas permintaan anak-anak sendiri. Bahkan ustadz itu pun meminta dukungan kami untuk membantunya membimbing anak-anak.

Baca entri selengkapnya »