Sebenarnya sangat melelahkan membahas kiprah partai label Islam/Muslim. Disini kita mengalami krisis moralitas politik yang sangat akut. Setelah Reformasi, kita semua menyangka akan terjadi lompatan-lompatan moral luar biasa dalam bidang perpolitikan. Ternyata realitasnya berbeda. Kita justru disuguhi permainan rebutan fasilitas kekuasaan yang minim keluhuran moral. Para politisi Muslim seperti tidak malu-malu lagi membuka aurat-aurat politiknya; demi fasilitas kekuasaan.
Meskipun begitu, sebagai bagian dari tanggung-jawab dakwah Islam, kita tetap perlu memberikan perhatian-perhatian tertentu pada masalah-masalah yang sangat peka. Bagi saya sendiri, mungkin ini tulisan “pamungkas” di bidang politik praktis, sebelum WARNING III saya sampaikan, menjelang Ramadhan nanti (insya Allah). Semoga tulisan ini bisa menjadi tadzkirah bagi kita semua, khususnya bagi generasi muda Muslim Indonesia, dan para politisi.
Ada sebuah filosofi masyarakat Jawa yang dulu pernah populer, tetapi saat ini sudah dilupakan. Filosofi itu berbunyi: “Becik ketitik, olo ketoro.” (Yang baik akan kecirian, dan yang buruk juga akan kelihatan). Filosofi ini kembali diingatkan oleh Habiburrahman El Shirazi di balik salah satu novelnya. Perbuatan baik akan membuahkan kebaikan bagi pelakunya. Begitu pula, perbuatan buruk akan berakibat buruk bagi pelakunya. Hal ini sesuai pandangan Qur’ani: “Jika kalian berbuat baik, maka kalian berbuat baik untuk diri kalian sendiri. Dan begitu pula jika kalian berbuat buruk (keburukannya untuk kalian sendiri).” (Al Israa’: 7).
Filosofi di atas jika diangkat dalam dunia politik, kira-kira maknanya: Investasi kebaikan dalam politik akan membawa maslahat bagi partai politik dan kehidupan masyarakat luas; sebaliknya, investasi keburukan akan kembali kepada yang bersangkutan berupa keburukan-keburukan juga. Bahkan investasi keburukan itu bisa berakibat merusak kehidupan masyarakat luas. Na’udzubillah min dzalik.
RESIKO KOALISI POLITIK
Akhir-akhir ini, partai Islam/Muslim mulai merasa klenger, setelah mereka memutuskan berkoalisi dengan Demokrat atau SBY. Belum juga roda Pemerintahan berjalan, tetapi kerugian-kerugian politik mulai menimpa mereka.
Ada beberapa realitas politik yang membuat elit-elit partai Islam/Muslim merasa “sport jantung” dan terus melakukan rapat-rapat intensif untuk melakukan penyikapan atas dinamika-dinamika politik terkini. Realitas itu antara lain sebagai berikut:
[o] Kemungkinan partai-partai Islam/Muslim tidak akan mendapatkan jatah kursi menteri seperti yang mereka harapkan saat teken kontrak politik dengan Demokrat. Kalau mendapatkan, kemungkinan tidak sebanyak yang mereka harapkan semula. Hal itu muncul, sebab saat ini berkembang luas isu, bahwa kabinet bentukan SBY nanti lebih mengedepankan faktor keahlian, bukan asal partai.
[o] Jumlah kursi partai Islam/Muslim mengalami pengurangan cukup significant, setelah keluar keputusan MA yang mengubah mekanisme penentuan kursi tahap kedua di Parlemen. Partai-partai besar, terutama Demokrat, justru menjadi semakin gemuk dengan pemberlakuan mekanisme tersebut. Untuk PAN sendiri diperkirakan akan kehilangan sampai 18 kursi di Parlemen.
[o] Saat ini sedang bergerak arus kuat di tubuh Golkar dari kubu Akbar Tandjung (atau Aburizal Bakrie) yang menghendaki Golkar koalisi dengan SBY. Mereka ingin merapat ke kekuasaan, dengan dalih seperti ucapan super oportunis Fahmi Idris, “Golkar tidak biasa menjadi partai oposisi.” Jika Golkar akhirnya masuk merapat ke Pemerintahan SBY, kemungkinan dia akan menyingkirkan peranan partai Islam/Muslim yang sudah terlebih dulu bergabung dengan SBY. Saya bayangkan, Akbar Tandjung mengejek para politisi Islam/Muslim itu: “Kalau mau jadi oportunis, jangan tanggung-tanggung. Sekalian saja!”
[o] Elemen-elemen politik di tubuh Demokrat sejak lama bersikap ‘setengah hati’ dengan partai Islam/Muslim. Mereka tidak memiliki komitmen koalisi yang bisa dipegang. Bahkan sampai saat ini pun, PKS selalu mereka waspadai. Alasannya, mereka merasa risih dengan corak politik agamis yang (konon) diperjuangkan oleh partai-partai itu. Bagaimanapun Demokrat adalah partai nasionalis pro Amerika. Wajar kalau dia merasa tidak nyaman dengan partai Islam/Muslim. Di balik Partai Demokrat ada LSI, lembaga surve yang tokoh-tokohnya sangat anti politik agama. Apalagi kaum Liberalis seperti Rizal Malarangeng dan kawan-kawan, mereka lebih “nek” lagi dengan politik agama. Mereka rata-rata pengagum ideologi Sekularisme.
[o] Setelah Pilpres Juli 2009 selesai, KPU memutuskan bahwa pasangan SBY-Boediono menang mutlak dalam satu putaran saja (25 Juli 2009). Kemenangan ini tentu atas dukungan partai Islam/Muslim juga. Tetapi dalam opini-opini yang berkembang, dikesankan bahwa kunci kemenangannya adalah: elektabilitas SBY sendiri. Nah lho, setelah menang baru keluar opini seperti ini. Mengapa ia tidak muncul sejak awal-awal sebelum Pilpres dulu? Entahlah.
Sampai disini, nasib partai Islam/Muslim itu tampak sangat mengenaskan. Mereka dibutuhkan saat Demokrat kesepian. Saat Demokrat sudah mengantongi kemenangan, partai Islam/Muslim itu tidak disukai, sebab wataknya agamis, bukan partai nasionalis. Sudah rahasia umum, bahwa Demokrat mau berkoalisi dengan partai Islam/Muslim, tetapi mereka khawatir dengan partai-partai itu. Okelah, untuk tujuan pemenangan Pilpres, dukungan partai Islam/Muslim sangat dibutuhkan. Tetapi untuk membangun kebijakan Pemerintahan ke depan, mereka kurang suka dengan eksistensi partai yang mengusung simbol-simbol agama.
Saya menduga, nanti dalam komposisi kementrian dalam kabinet SBY, tokoh-tokoh dari partai Islam/Muslim tidak akan diberi posisi yang significant. Ya mungkin akan mendapat pos-pos jabatan seperti Menteri Sosial, Menteri Olah Raga, Menteri Wanita, Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pariwisata, atau maksimal Menteri Agama. Posisi-posisi minor yang kurang berpengaruh.
Atau kalau seorang pemimpin tega hati, mungkin tokoh-tokoh partai Islam/Muslim itu akan dibuatkan kementerian baru, misalnya: Menteri Perpustakaan, Menteri Kesenian Daerah, Menteri Urusan Arsip, Menteri Pemeliharaan Benda Purbakala, Menteri Urusan PKK, Menteri Pembinaan Karangtaruna, dll. Atau bisa jadi dibuka kementerian lain, misalnya: Menteri Pelayanan Komplain, Menteri Urusan Menghadapi Debt Collector, Menteri Khusus Debat di TV, Menteri Urusan Manohara, dll. (Maaf beribu maaf, ini hanya humor).