SBY dan kawan-kawan saat ini lagi pening menghadapi Pansus Hak Angket Century yang terus mendorong penyelesaian kasus itu lewat jalur hukum. Lebih pening lagi ketika mendengar istilah “impeachment”. Seakan ia menjadi “mimpi buruk” yang membuat para pejabat “kurang tidur” dan “susah makan”.
Tadinya, SBY Cs ingin merayakan kemenangan telak dalam Pilpres 2009 lalu, yang menang satu putaran itu, dengan segala kemeriahan pesta politik. Maka SBY mencanangkan program “100 hari” pemerintahan KIB II. Tetapi belum juga 100 hari, mereka sudah menjadi bulan-bulanan opini publik, karena kasus kriminalisasi KPK, kisruh di tubuh Polri, dan tentu saja Pansus Hak Angket Bank Century.
Namun jika melihat kenyataan saat ini, sepertinya sangat berat masa kepemimpinan SBY selama 5 tahun ke depan. Belum juga 1 semester dia memimpin, sudah banyak gonjang-ganjing aneka masalah. Kalau SBY bisa lolos dari masalah Bank Century, masih ada masalah-masalah lain yang tidak kalah rumit, seperti Liberalisasi Ekonomi, China-ASEAN Free Trade Agreement, sistem outsourcing dalam ketenaga-kerjaan, pemberantasan korupsi, dan sebagainya. Masih jauh dari harapan bisa “tidur lelap”.
Kalau melihat reputasi politik SBY sejak era Presiden Megawati, kita akan mendapati suatu taktik politik yang menarik. Ia bisa disebut sebagai taktik “makan tebu”; habis manis, sepah dibuang. Sejujurnya, banyak orang yang telah dimanfaatkan SBY, lalu dia kecewakan. Kemudian mereka berbalik menjadi lawan-lawan politik SBY.
<=> Megawati dan PDIP adalah pihak yang mula-mula merasa paling tersakiti oleh move-move politik SBY. Bisa dikatakan, bintang SBY mencorong di masa Pemerintahan Megawati. Waktu itu SBY sebagai Menkopolkam, dan sering berpidato di media-media, dengan segala pernyataan yang cerdas, tegas, dan penuh wibawa. Pamor SBY “naik daun”, sementara pamor Megawati tersaingi. Maka SBY pun di-eliminasi dari Kabinet Megawati. Nah, kasus eliminasi inilah yang membuat pamor SBY semakin gemilang, dengan istilah yang populer, “SBY dizhalimi!” Di kemudian hari Megawati marah atas klaim “dizhalimi” itu, sebab dirinya merasa tidak menzhalimi.
Harus dicatat, Megawati yang mengukuhkan posisi SBY sebagai Menkopolkam, dan Mega juga yang membesarkan image SBY sebagai pihak “yang terzhalimi”. Nah, ini satu contoh, jasa yang tak terbalaskan.
<=> Ketika SBY maju dalam Pilpres 2004 bersama JK, sebenarnya secara perhitungan modal dana, JK lebih kuat dari SBY. Maklum, JK seorang pengusaha. Tentu dia akan memanfaatkan kekuatan dana dan jaringannya untuk mendukung suksesnya pasangan SBY-JK. Namun setelah memimpin, SBY merasa tidak sreg dengan JK. Sebab JK dianggap “suka jalan sendiri”, “ingin jadi presiden juga”, serta “kurang kompromi dengan mitra-mitra asing”. Kasus perintah penangkapan Robert Tantular oleh JK, merupakan satu alasan yang membuat citra JK di mata SBY hancur berkeping-keping. Maka setelah dialog dengan Boediono dan Sri Mulyani, JK dianggap berbahaya, sehingga tidak perlu lagi “ikut kereta SBY”. Padahal semula, JK itu pengusaha sekaligus politisi yang berjasa bagi posisi SBY.
<=> Kemudian ada lagi, Surya Paloh, pemimpin Media Grup, pemilik MetroTV. Tokoh ini juga besar jasanya bagi kemenangan SBY. MetroTV atau Media Indonesia, pada sekitar tahun 2004, mau menjadi “humas” yang sering mengangkat citra politik SBY di mata publik. MetroTV itu dulu seperti pro SBY banget lah. Namun entahlah, kemudian Surya Paloh ditinggalkan juga oleh SBY. Padahal ia tadinya sangat mendukung SBY.
<=> Tokoh yang paling parah “disakiti” adalah Yusril Ihza Mahendra dan PBB-nya. Baik Yusril maupun PBB adalah elemen “partai kecil” yang sejak awal siap mendukung total SBY dan Partai Demokrat. Rasa sakit hati PBB muncul karena mereka menjadi pendukung utama SBY sejak awal bergulirnya pasangan SBY-JK. Tetapi setelah kemudian muncul mitra-mitra koalisi lain yang lebih potensial, seperti PKS dan Golkar, nasib PBB seperti dilupakan. Hanya, MS Ka’ban saja yang tetap dipertahankan. Malah posisi Yusril yang tadinya sebagai Menkumdang di-reshuffle. Adapun PBB saat ini, setelah Partai Demokrat mendapat suara 20 %, ya dilupakan sama sekali. Begitulah taktik “makan tebu”, habis manis sepah dibuang.
<=> Ada pula Bachtiar Chamsah, politisi PPP, mantan Menteri Sosial di KIB I. Orang ini sangat loyal kepada SBY. Ketika Pilpres 2009, PPP sebenarnya di bawah Suryadarma Ali sebenarnya ingin koalisi dengan Gerindra yang membawa missi ekonomi kerakyatan. PPP tadinya tidak mau mendukung pasangan SBY-Boediono. Tetapi Bachtiar Chamsah memainkan kekuatannya, sehingga PPP terbelah. Satu kubu pro SBY-Boed, satu kubu lagi ingin sinergi dengan pasangan politik lain. Konflik politik antara Suryadharma Ali dan Bachtiar Chamsah cukup tajam menjelang Pilpres Juni 2009 lalu. Setelah SBY menang, ternyata Bachtiar Chamsah dilupakan begitu saja. Malah, saat ini dia menghadapi ancaman KPK terkait korupsi di Depsos.
<=> Siapa lagi, oh ya PKS. Partai ini juga sempat dikecewakan oleh SBY dan Partai Demokrat, meskipun mereka telah mengorbankan pamor politiknya semurah-murahnya, sehingga pamor itu hancur di mata para aktivis Islam. PKS mendukung SBY sejak Pemilu Legislatif. Padahal ketika itu, PDIP, Golkar, dll. amat sangat kritis kepada SBY. Kesepakatan koalisi PKS-Demokrat tercapai, setelah SBY bertemu elit-elit PKS, yaitu Hilmi Aminuddin, Anis Matta, Fahri Hamzah, dll. SBY konon komitmen untuk memperbaiki komunikasi dengan elit-elit PKS. Bahkan disana mencual “deal politik”, bahwa SBY akan dipasangkan dengan Hidayat Nurwahid, sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam Pilpres. Namun kemudian, ternyata SBY lebih memilih sosok “di kantongnya” yaitu Boediono. Pilihan ini jelas membuat kubu PKS kecewa berat, sehingga Anis Matta dan Fahri Hamzah terang-terangan mengancam akan mundur dari koalisi dengan SBY (Partai Demokrat). Ancaman itu oleh Ahmad Mubarak dari PD disebut sebagai “olah-raga politik”. Akhirnya, kubu PKS melunak setelah SBY bertemu langsung dengan Ustadz Hilmi Aminuddin. Seakan, “pertemuan langsung” itu menjadi senjata andalan SBY untuk menaklukkan siapapun.
<=> Termasuk yang kecewa kepada SBY adalah mantan Ketua PAN, Soetrisno Bachir. Soetrisno tadinya ingin koalisi dengan Gerindra, atau ingin menjadi partai oposisi. Tetapi PAN diarahkan dengan sangat kuat untuk merapat ke Demokrat. Tanda tangan Soetrisno yang menyetujui koalisi dengan PD diperoleh, tetapi posisi Soetrisno sendiri di kancah politik diabaikan. Karier politiknya nyaris ambles sekarang.
<=> Juga termasuk yang kecewa adalah Aburizal Bakrie dan Akbar Tandjung. Kedua politisi Golkar ini dan politisi-politisi senior seperti Muladi, mereka dalam Pilpres lebih mendukung SBY-Boed, daripada mendukung pilihan kader Golkar sendiri, JK-Wiranto. Katanya, mereka bergerilya meyakinkan DPD-DPD Golkar di daerah agar menyalurkan suaranya ke SBY-Boed. Maka itu kita merasa sangat aneh ketika JK-Wiranto dalam Pilpres mendapat suara kecil, termasuk di kantong-kantong suara Golkar. Tapi kita maklum, ketika Aburizal dan Akbar terang-terangan tidak mendukung JK-Wiranto, dan mendorong Golkar menjadi sekutu terdekat Partai Demokrat. Tapi saat ini kondisinya sangat lain. Aburizal Bakrie dan SBY seperti dua elit politik yang saling berseteru sangat kencang. Golkar mendapat serangan-serangan keras dari elit-elit Demokrat, terkait hasil-hasil di Pansus Bank Century. Elit Golkar juga tak kalah galaknya dalam melayani serangan elit-elit Demokrat. SBY seperti lupa, bahwa Aburizal itu tadinya berjasa mendukung dia merebut suara dari kantong-kantong Golkar.
Ya, setidaknya, ini yang saya ketahui. Mungkin para pemerhati lain bisa mendapati informasi yang lebih lengkap. Intinya, strategi “makan tebu”; habis manis, sepah dibuang. Itulah gaya politik SBY yang dipraktikkan dari waktu ke waktu. Gaya demikian, bagus bagi dominasi politik SBY, tetapi juga efektif melahirkan lawan-lawan politik yang selalu bertambah.
Lihatlah dengan pandangan yang jujur: SBY sangat sering memanfaatkan metode bertemu langsung untuk menjinakkan lawan-lawan politiknya. Itulah yang sering kita dengan sebagai LOBI. Banyak pihak yang luluh dengan metode lobi ini.
Kemudian, lihatlah lagi: Potensi politik sehebat apapun, bisa dibuang, kalau dianggap sudah tidak bermanfaat lagi. Tetapi SBY sangat antipati untuk membuang Boediono dan Sri Mulyani. Di mata SBY, kedua orang itu lebih berharga dari JK, Surya Paloh, Bachtiar Chamsah, PKS, Aburizal, dan sebagainya. Nah, mengapa dia bisa begitu fanatik dengan Boediono dan Sri Mulyani? Ada apa ini? Entahlah, silakan kaji sendiri.
Maka, bagi siapapun yang bermain politik, dan ingin membuat kerjasama dengan SBY. Hendaklah mereka mengaca diri dulu! Anda itu apa, sehingga berharap SBY akan loyal kepada Anda? Anda harus menjadi seperti Boediono dan Sri Mulyani dulu, kalau mau diberi loyalitas kuat. Begitoeh…
Siapa mau menyusul masuk klub “BSH”?
= Mine =