Kok Jadi Menghina Islam?

September 30, 2010

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Sejak lama kita telah mengingatkan Ummat Islam bahaya aksi-aksi Densus 88. Hal ini sudah diingatkan berkali-kali, di berbagai media, termasuk di blog ini. Densus 88 sudah benar-benar membabi-buta dalam menjalankan wewenangnya untuk memberantas terorisme.

Bukan berarti kita tidak setuju dengan pemberantasan pelaku teror yang membuat onar di tengah masyarakat. Tetapi masalahnya: SATU, isu terorisme itu sendiri penuh rekayasa, bukan seperti kejadian teror yang benar-benar murni teror. DUA, banyak orang yang tidak bersalah, tidak tahu-menahu, atau baru sebatas dicurigai, telah menjadi korban pemberantasan terorisme yang membabi-buta. Pelaku terornya sendiri tetap aman, sementara kaum Muslim yang tidak berdosa menjadi korban.

Densus 88: “Membunuhi Orang Shalat, dengan Biaya APBN.”

TIGA, pemberantasan terorisme ini telah ditunggangi oleh semangat kebencian terhadap Islam, oleh sekumpulan anggota Polri dari unsur non Muslim, yang diasuh oleh Gorries Mere, selaku Ketua BNN. Menurut FUI, di tubuh Polri ada sebuah kelompok kecil beranggota 40-an orang, non Muslim semua, yang kerap beraksi membunuhi pemuda-pemuda Islam yang belum jelas kesalahannya di mata hukum. Pasukan itu kerap berlindung di balik nama Densus 88 untuk menghancurkan kehidupan pemuda-pemuda Islam tak bersalah dan keluarga mereka.

Kini terjadilah apa yang terjadi… Densus 88 dengan dukungan penuh Polri, mereka menembaki manusia yang sedang Shalat Maghrib. Katanya, orang-orang itu sedang memegang senjata, sedang hendak menyerang aparat keamanan. Padahal mereka ditembaki saat Shalat Maghrib di rumah. Betapa kejinya pernyataan -manusia terkutuk- Bambang Hendarso yang memfitnah manusia-manusia itu. Bahkan Yuki Wantoro, yang tidak tahu apa-apa tentang Perampokan Bank CIMB ikut difitnah juga, dan terbunuh disana. Masya Allah, mana lagi ada kebiadaban yang lebih keji dari itu? (Maka tidak berlebihan jika dikatakan, banyak dari pejabat-pejabat negara kita selama ini, bukan merupakan golongan manusia, tetapi golongan syaitan yang keji).

Sebenarnya, saat Densus 88 menangkap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir di Banjar ketika itu, memecahkan mobil, membekuk sopir dan laki-laki dalam mobil itu, menangkap kaum wanita, bahwa menghardik Ustadz Abu Bakar dengan ucapan, “Kutembak kamu!” Ini adalah pelecehan, penghinaan, penistaan besar terhadap Islam dan kaum Muslimin.

Dan kini terjadi lagi penistaan yang lebih biadab. Orang-orang sedang shalat ditembaki, beberapa dibunuh. Ustadz Khairul Ghazali dibatalkan shalatnya, lalu dijatuhkan, dan diinjak-injak pula. Allahu Akbar, mana lagi kezhaliman yang lebih besar dari kekejian manusia-manusia syaitan ini? Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar!

Wahai kaum Muslimin, kami sudah lama mengingatkan Anda akan masalah ini. Sudah sering kami mengingatkan Anda, termasuk kami tidak peduli dengan nasib kami sendiri. Kami ingatkan bahaya besar kesewenang-wenangan seperti ini. Tetapi Anda sepertinya hanya menganggap biasa-biasa saja.

Al Qur’an dihina oleh Gusdur, Anda diam. Dakwah dan aktivis Islam terus-menerus difitnah oleh Kapolri dan jajarannya, Anda juga diam. Ustadz Ba’asyir ditangkap dengan cara-cara yang keji, Anda diam. Kini Densus 88 menyerang orang sedang shalat, -saya yakin- Anda pun akan diam kembali.

Lalu bagaimana nanti kalau ada yang menginjak-injak Al Qur’an? Bagaimana nanti kalau Nabi Saw dihinakan serendah-rendahnya? Bagaimana kalau ribuan Muslim dimurtadkan? Bagaimana kalau kekayaan kaum Muslimin di negeri ini terus dibawa ke luar negeri? Bagaimana kalau negerimu dihancurkan oleh koruptor-koruptor kelas kakap yang membawa kabur triliunan rupiah uang rakyat? Bagaimana kalau ribuan nasib saudari-saudarimu dilecehkan, dihina, dihukum mati, diperkosa di luar negeri? Anda pun -saya yakin- akan diam juga.

Kalau begitu, apa artinya Anda disebut sebagai Muslim? Apakah Islam sama sekali tidak berharga di mata Anda? Apakah yang paling penting dalam hidup ini adalah pekerjaan, gaji, karier, bisnis, title akademik, popularitas, hubungan seksual dengan wanita, punya anak lucu-lucu, punya aset banyak, diwawancarai media-media massa, terkenal di mata ibu-ibu dan kaum wanita? Apakah yang seperti itu yang Anda anggap paling penting dalam hidup ini? Masya Allah, laa haula wa laa quwwata illa billah.

Kita harus punya rasa malu, wahai Saudaraku! Kita harus punya rasa malu. Malu-lah hidup bemandi kesenangan, sementara keimanan Anda sangat tipis, rasa pembelaan Anda kepada Islam sangat krisis, rasa solidaritas Anda kepada sesama Muslim sangat kecil. Malu-lah, malu-lah, malu-lah, malu-lah, malu-lah…

Rasulullah Saw mengatakan, “Unshur akhaka zha-liman au mazh-luman” (tolonglah saudaramu yang zhalim dan terzhalimi). Maksud menolong saudara yang zhalim, ialah mencegah dia dari perbuatan zhalim itu.

Densus 88 atau Polri selama ini telah amat sangat sering menzhalimi pemuda-pemuda Islam. Begitu enaknya mereka menuduh orang lain sebagai teroris, atas dasar persepsi sendiri, atas dasar segala bentuk rekayasa. Tidak terhitung, betapa banyaknya keluarga Muslim, isteri-isteri, dan anak-anak mereka teraniaya karena tuduhan sebagai bagian komplotan teroris. Tetapi kita sendiri selama ini tidak ada niatan untuk menghentikan semua kezhaliman itu. Kita biarkan saja selama ini Densus 88, Bambang Hendarso -semoga Allah melaknat dia dan keluarganya-, Polri, TVOne dan MetroTV, terus-menerus menzhalimi kita semua. Betapa banyak orang-orang tak bersalah menjadi korban semua rekayasa terorisme ini.

Di Amerika sendiri, yang disebut sebagai boss-nya perang anti terorisme, mereka sudah mengendurkan ketegangan seputar isu terorisme ini. Padahal mereka telah kehilangan WTC, ribuan manusia tewas, miliaran dollar aset ekonomi hancur (yang tentu saja, peledakan WTC itu bukan dilakukan oleh Usamah Cs). Sedangkan di Indonesia, isu terorisme menjadi “penyakit menular” yang tidak sembuh-sembuh sejak lama.

Kita harus berusaha mengakhiri semua kezhaliman ini. Jangan lagi ada kaum Muslimin yang teraniaya secara sewenang-wenang. Rasulullah Saw mengingatkan, “Fattaqu zhulma, fa inna zhulma zhulumatun fid dunya wal akhirah” (takutlah kalian akan kezhaliman, sebab kezhaliman itu merupakan kegelapan di dunia dan akhirat). Kurang lebih seperti itu kata Nabi (mohon maaf bila ada lafadz yang tidak tepat).

Kalau sekarang anak buah Gorries Mere bisa membunuhi manusia saat sedang shalat. Suatu saat, mereka akan menembaki orang-orang yang sedang shalat jamaah di masjid. Suatu saat, mereka akan memerangi Islam dan kaum Muslimin, atas nama “perang melawan terorisme”. Adapun orang-orang terlaknat seperti Bambang Hendarso dan sejenisnya, mereka akan sangat mudah mencarikan dalil untuk melegalkan perang atas Islam ini. Mereka akan mencari dalil-dalil agar pemuda-pemuda bisa terus diperangi, dengan biaya APBN.

Aku telah mengingatkanmu, wahai Saudaraku! Inilah sebatas tanggung-jawab yang mampu kupikul. Selebihnya adalah tanggung-jawab Anda sendiri sebagai seorang Muslim yang masih menghargai agamanya. Bila agama itu sudah tak berharga di mata Anda, silakan lakukan apapun yang Anda sukai!

Ya Allah, ya Rahiim, ya Aziz, ya Ghafurr…kasihilah kami, sayangilah kami, sayangilah Ummat Muhammad ini. Bila Engkau tidak menolong kami dalam menolak kezhaliman manusia-manusia berhati syaitan, tentulah kami akan semakin tercerai-berai, agama-Mu semakin ternista, pemuda-pemuda kami akan terus teraniaya, wanita-wanita kami dan anak-anak kami, akan terus dicekam ketakutan, orangtua-orangtua kami akan menangis tidak berdaya. Ya Rahiim ya Aziz, tolonglah kami ya Allah, lindungi kami ya Mannan, belalah kami ya Jabbar.

Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

(Joinus)


Bangsa Sakit Seharga “180 M”

September 28, 2010

Inna lillahi wa inna ilaihi ra’jiun. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Bangsa kita saat ini sedang mengalami “sakit” parah. Sakit lahir batin, urusan dunia Akhirat, urusan pribadi dan masyarakat. Ciri bangsa yang sakit, mereka tidak bisa menempatkan akal, sikap, dan perbuatan pada koridor yang benar. Perkara yang penting diremehkan, perkara yang remeh dipenting-pentingkan. Urusan besar dikecilkan, urusan kecil dianggap raksasa. Masalah prioritas diletakkan di urutan belakang, masalah sepele dinomor satukan. Begitulah, bangsa sakit.

Di saat negara sedang serba ringkih seperti ini, mencuat ide membangun komplek makam Abdurrahman Wahid (Gusdur) dengan anggaran negara sebesar Rp. 180 miliar. Berita tentang hal ini banyak dibahas di media-media. Antara lain sebagai berikut: Pemerintah Siapkan Rp. 180 Miliar untuk Perbaiki Makam Gus Dur; Makam Gus Dur Jadi Wisata Religi; Renovasi Makam Gus Dur Telan Rp. 180 M; Demokrat: Renovasi Makam Gus Dur Wajar; Presiden: Kembangkan Makam Gus Dur; Rp. 180 M untuk Rapikan Makam Gus Dur; Pembangunan Kompleks Makam Gus Dur Dimulai Tahun Depan. Dan banyak lagi sumber berita-berita lain seputar masalah ini.

Memuja Makam Manusia. (sumber gambar: nasional.kompas.com).

Kenyataan yang paling ironis, upaya membangun makam Gusdur dengan dana gila-gilaan ini justru merupakan instruksi Presiden RI dalam rapat kabinet terbatas 20 September 2010 lalu. Isi pernyataan SBY, “Satu hal yang saya mintakan kepada Menko Kesra adalah upaya pembangunan kawasan di sekitar makam Presiden Abdurahman wahid yang tentunya juga harus dapat atensi yang baik dari negara.” (nasional.kompas.com, 20 September 2010).

Agenda pembangunan kompleks makam dengan biaya senilai Rp. 180 miliar ini semakin menambah daftar panjang SAKIT-nya bangsa Indonesia. Di masa-masa kehidupan serba susah seperti ini, negara bukan memelopori semangat kebangkitan, tetapi malah semakin memerosokkan rakyat dan negeri ini dalam kehinaan luar biasa. Seharusnya, saat menderita sakit, kita berlomba mengobati bangsa ini; bukan malah berlomba membunuh negara ini lebih cepat. Allahu Akbar, laa haula wa laa quwwata illa billah.

Beberapa catatan kritis perlu disampaikan disini…

PERTAMA, di Indonesia banyak pahlawan-pahlawan besar, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Teuku Umar, Cut Nya’ Dien, Jendral Soedirman, Ir. Soekarno, Moch. Hatta, dll. Jasa mereka besar bagi bangsa ini dan tidak diragukan lagi. Lalu adakah komplek makam mereka dibuat mewah dengan biaya Rp. 180 miliar?

KEDUA, di dunia ini banyak tokoh-tokoh internasional yang dikenal memiliki jasa besar bagi negara masing-masing. Misalnya, Napoleon Bonaparte, Benyamin Franklin, Abraham Lincoln, Albert Einstein, Gandhi, Madame Teresa, dll. Apakah makam-makam mereka dibangun sedemikian mewah dengan anggaran Rp. 180 miliar? Padahal mereka tokoh dunia yang telah diakui reputasinya.

KETIGA, dalam sejarah Islam telah lahir ribuan ulama-ulama yang sangat mumpuni dan berkah ilmunya luar biasa, sejak jaman Abdullah bin Abbas Ra., Imam Syafi’i rahimahullah, Imam Bukhari rahimahullah, Ibnu Taimiyyah rahimahullah, Ibnu Katsir, Ibnu Hajar Al Asqalani, Imam An Nawawi, Imam As Suyuthi, As Syaukani, dll. Adakah makam-makam mereka dibuat sedemikian mewah memakan biaya sampai Rp. 180 miliar? Padahal ilmu mereka luar biasa dibandingkan wawasan keislaman Gusdur. Bahkan perhatikan makam para Syuhada Uhud di pinggiran Kota Madinah? Bahkan pernahkah Anda melongok keadaan makam Nabi Muhammad Saw di sekitar komplek Masjid Nabawi? Adakah makam itu sebegitu mewahnya? Pernahkah Anda melongok keadaan komplek makam Baqi’ di Madinah? Padahal disana banyak dimakamkan para Shahabat dan Shahabiyah radhiyallahu ‘anhum.

KEEMPAT, mungkin saja seseorang harus dimuliakan makamnya karena ingin memuliakan jasa-jasanya selama hidup. Lalu pertanyaannya, apa jasa Gusdur bagi kehidupan bangsa Indonesia dan Ummat Islam? Adakah kontribusinya yang layak dikenang? Justru, Gusdur ini wafat dengan meninggalkan penghinaan akbar kepada Al Qur’an. Gusdur pernah mengatakan, “Menurut saya, kitab suci yang paling porno di dunia adalah Al Qur’an. Ha ha ha…” Hanya karena Al Qur’an bicara tentang ayat-ayat menyusui bayi, Gusdur menuduh Al Qur’an sebagai kitab suci yang porno. Padahal di masa bayi, Gusdur pasti disusui oleh ibunya sendiri. Bagaimana hal seperti ini akan dilestarikan dengan memuliakan makamnya? Allahu Akbar.

KELIMA, andaikan komplek makam itu akhirnya direnovasi dengan biaya Rp. 180 miliar, apakah tidak ada lagi masalah yang lebih penting di Tanah Air ini, sehingga kita harus membuang-buang dana APBN dan APBD untuk hal-hal yang tidak bermanfaat? Apakah kondisi masyarakat yang penuh penderitaan seperti selama ini tidak lebih layak dikasihani?

Saya mencatat, dari dana 180 miliar ini sangat bisa digunakan untuk mengadakan hal-hal yang sangat bermanfaat bagi masyarakat luas, antara lain sebagai berikut:

[=] 180.000 paket sembako seharga @ Rp. 1 juta, dibagi untuk 180.000 ribu keluarga fakir-miskin.

[=] 18.000 paket bantuan modal untuk UKM, dengan nilai @ Rp. 10 juta.

[=] 9.000 paket beasiswa kuliah sampai sarjana, dengan nilai @ Rp. 20 juta per mahasiswa.

[=] 5.142 tiket Haji gratis, senilai @ Rp. 35 juta.

[=] 12.000 tiket Umrah gratis, senilai @ Rp. 15 juta.

[=] Untuk membangun 36.000 MCK gratis untuk desa-desa di Indonesia, dengan nilai @ Rp. 5 juta per MCK.

[=] Untuk 36.000 paket pelatihan SDM gratis bagi para pengangguran di Indonesia, dengan nilai @ Rp. 5 juta.

[=] Untuk 72.000 paket bantuan kesehatan gratis dengan nilai @ Rp. 2,5 juta.

[=] Untuk 1000 mobil ambulans gratis dengan nilai @ Rp. 180 juta per ambulan.

[=] Untuk membangun 180 klinik bersalin ibu dan bayi, dengan biaya @ Rp. 1 miliar.

[=] Dan lain-lain semisal itu.

Dari dana Rp. 180 miliar itu amat sangat bermanfaat jika dipakai untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Bukan digunakan untuk hal-hal yang mubadzir seperti pembangunan komplek makam itu. Bisa saja, komplek makam itu direnovasi, tetapi dengan biaya yang wajar saja. Mengeluarkan biaya Rp. 5 miliar untuk perbaikan kompleks makam, itu sudah sangat berlebihan. Apalagi sampai 180 miliar? Sangat tampak bahwa di negeri ini banyak orang-orang elit yang tidak pintar mendidik rakyatnya. Mereka anggap, rakyat hanyalah obyek pasar yang mudah dibodoh-bodohi.

KEENAM, ini yang paling mengerikan. Pembangunan komplek makam seperti itu akan membuka pintu-pintu KEMUSYRIKAN seluas-luasnya. Masyarakat akan berduyun-duyun datang ke tempat itu untuk ngalab berkah, mencari peruntungan, mencari perlindungan. Jelas semua itu termasuk praktik kemusyrikan yang harus dicegah.

Tokoh-tokoh elit agama atau elit politik, seharusnya mereka bisa membimbing rakyat agar hidup secara wajar dan rasional. Untuk membangun kemuliaan, kesejahteraan, serta kebahagiaan hidup, caranya bukan memuja-muja makam. Tetapi caranya dengan: memaksimalkan kekuatan diri, memaksimalkan kerjasama dengan orang lain, serta memaksimalkan permohonan doa kepada Allah Ta’ala. Hanya 3 cara itu yang seharusnya ditempuh. Bukan dengan ngakal-ngakali orang awam, atas nama melestarikan situs makam orang-orang tertentu.

KETUJUH, dari sisi kepentingan warga NU sendiri, pembangunan komplek makam dengan biaya bombastik sampai Rp. 180 miliar, justru akan menghancurkan ormas NU sendiri. Lho kok bisa? Bisa jadi, dengan pembangunan komplek itu akan ada pendapatan yang diperoleh Pesantren Tebu Ireng, keluarga besar KH. Hasyim Asyari, pemasukan buat Pemkab. Jombang, serta usaha-usaha bisnis bagi masyarakat sekitar. Ya, bisa seperti itu.

Tetapi mereka harus mengkhawatirkan “bahaya tersembunyi” yang tidak mereka sadari. Bahaya apakah itu? Lihatlah, sejak puluhan tahun lalu, tidak ada kepedulian dari Pemerintah Pusat atau Pemkab. Jombang terhadap makam keluarga besar KH. Hasyim Asyari. Mereka adalah ayah-ibu, kakek-nenek, dan paman-paman Gusdur. Selama puluhan tahun, tidak ada anggaran negara yang disediakan untuk renovasi makam mereka. Anggaran ratusan miliar baru akan digelontorkan, setelah Gusdur meninggal. Artinya, makam keluarga besar KH. Hasyim Asyari belum dihargai, kecuali setelah Gusdur meninggal. Tampak jelas, bahwa nama Gusdur ingin dibangun lebih kuat dari nama ayah-ibu, bahkan kakek-neneknya, yang notabene pendiri NU itu sendiri.

Di mata warga Nahdhiyin yang memang mayoritas awam, mereka akan memandang bahwa sejarah besar NU ada di tangan Gusdur. Pemikiran, tradisi, gagasan besar NU, ada di tangan Gusdur. Padahal kesan besar tentang Gusdur itu lebih sebagai hasil rekayasa ciptaan media. Dari sisi ilmu agama, Gusdur tidak ada apa-apanya dibandingkan kakek, atau ayahnya, atau pamannya. Cara-cara seperti ini kan sama saja dengan upaya menenggelamkan sejarah NU, lalu diganti sejarah Gusdurisme yang dibawa Gusdur. Apa mereka tidak berpikir sejauh itu ya? Atau jangan-jangan mereka sudah lama menerapkan falsafah super pragmatis ini, “Sekarang jaman edan. Yang tidak edan, tak akan kebagian.” Entahlah kalau seperti itu.

Sekedar ingin mengingatkan. Warga NU selama ini amat sangat membenci apa yang mereka sebut sebagai “Wahhabi”. Tetapi ada contoh baik dari seorang raja dari negeri “Wahhabi” yang meninggal beberapa tahun lalu. Ia adalah mendiang Raja Fahd bin Abdul Aziz. Raja Fahd sangat besar jasanya, terutama dalam merenovasi Dua Masjid Suci, Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Beliau berjasa membangun lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Saudi, memuliakan para jamaah Haji dari berbagai negeri. Berjasa membantu negeri-negeri Islam dengan bantuan sosial, beasiswa, investasi, dst. Indonesia termasuk yang banyak menerima bantuan sosial dari Saudi di masa Raja Fahd. Proyek besar beliau yang sulit diingkari, ialah pembangunan Komplek Percetakan Mushaf Al Qur’an terbesar di dunia, di Madinah. Percetakaan ini telah menyebarkan Mushaf Al Qur’an gratis ke segala penjuru dunia, juga menerjemahkan Al Qur’an ke dalam berbagai bahasa.

Lalu bagaimana keadaan komplek makam beliau?

Makamnya ternyata sangat sederhana. Hanya seperti gundukan tanah, dengan taburan batu, dengan nisan batu kotak, tanpa nama, tanpa hiasan apapun. Tanpa taburan bunga, tanpa aksesoris, tanpa dibangun komplek ziarah, dan sebagainya. Raja Fahd besar jasanya, di luar kesalahan-kesalahannya sebagai seorang Raja. Tetapi makamnya sangat sederhana. Seharusnya, kalau NU merasa lebih baik dari “Wahhabi”, mereka bisa membuat sesuatu yang lebih baik, lebih bersih, lebih adil bagi kehidupan kaum Muslimin di negeri ini.

Hanya harapan yang bisa dihaturkan kepada Allah Ta’ala, agar Dia mencegah pembangunan komplek makam senilai Rp. 180 miliar yang sangat menciderai rasa keadilan rakyat Indonesia, dan berpotensi merusak akidah Ummat itu. Amin Allahumma amin.

ya Ilahi ya Rahmaan, kami tidak berputus-asa memohon kebaikan dan perlindungan kepada-Mu

AM. Waskito.


Awas: Adu Domba TNI dan Ummat Islam!!!

September 25, 2010

Sejak lama banyak kalangan Islam tidak yakin dengan segala isu terorisme. Dari sekian panjang proses pemberantasan terorisme, sejak 12 Oktober 2002, banyak pihak meyakini bahwa terorisme adalah fenomena yang diciptakan sendiri oleh Polri. Mereka yang menciptakan semua itu, mereka yang kerepotan, lalu urusan negara dikorbankan.

Mengapa dikatakan demikian?

Pertama, mantan Kepala BIN di jaman BJ. Habibie, Mayjend ZA. Maulani pernah diminta MUI untuk mencari fakta seputar kasus Bom Bali I di Legian Bali. Setelah melihat fakta-fakta kerusakan dahsyat yang ada, beliau tidak percaya bom sedahsyat itu dibuat oleh Imam Samudra Cs. Masalahnya, teknologi bom Pindad pun belum setaraf itu. Jadi sejak tahun 2002 isu terorisme ini sudah digugat oleh para ahli.

Kedua, sejak era tahun 80-an sampai tahun 2000, tidak pernah terjadi kasus-kasus terorisme di Indonesia. Baru sejak Bom Bali I 12 Oktober 2002, terjadi terus-menerus peristiwa teror di Indonesia. Dan terjadinya hampir setiap tahun. Sempat terhenti sejak tahun 2005, lalu terjadi lagi dengan ledakan bom di JW Marriot – Ritz Carlton tahun 2009 lalu. Pada mulanya bangsa Indonesia tidak pusing oleh kasus-kasus terorisme ini, tetapi sejak tahun 2002, kasus teror seperti menjadi rutinitas.

Otak Pemfitnah Ummat! (sumber: inilah.com).

Ketiga, hampir di semua kasus terorisme yang diungkap Polri, selalu menyisakan tanda tanya dan misteri yang semakin menggunung. Contoh, dalam kasus Aceh, ada puluhan pemuda Islam sedang latihan jihad untuk menuju Ghaza, karena tahun 2008 lalu terjadi Tragedi Ghaza yang sangat memilukan. Lalu mereka diklaim sedang latihan untuk menyerang Presiden RI saat peringatan 17 Agustus 2009. Bahkan yang terakhir, seorang remaja Yuki Wantoro dituduh terlibat perampokan Bank CIMB. Padahal ada bukti valid yang menjelaskan, bahwa saat perampokan itu terjadi Yuki sedang di Solo, nonton berita perampokan dari TV.

Keempat, Polri terus-menerus mengklaim telah melakukan pemberantasan terorisme sebaik-baiknya. Tetapi nyatanya, aksi-aksi kekerasan tidak semakin mereda, bahkan semakin berkembang. Andaikan mereka jujur dalam isu terorisme, bukan menjadikan isu itu sebagai “komoditas nafkah”, tentu masalah ini sudah bisa diselesaikan sejak lama.

Kini masalah terorisme menjadi semakin serius, dengan rencana melibatkan TNI dalam pemberantasan apa yang diklaim oleh Polri sebagai terorisme itu. Baru-baru ini Pemerintah membentuk badan yang bernama BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Hakikat badan ini dijelaskan oleh Bambang Hendarso Danuri, “Teman-teman dari TNI dalam momen tertentu jika dibutuhkan kita akan libatkan detasemen-detasemen khusus yang dimiliki oleh tiap angkatan di TNI seperti Denjaka, Den Bravo dalam striking force bersama.” Hal itu disampaikan Bambang Hendarso di Rupatama Mabes Polri, di Jakarta Jumat 24 September 2010 (Sumber: http://www.inilah.com, 24 September 2010).

PERHATIKAN: Satuan ini merupakan kekuatan pemukul, yaitu merupakan penggabungan Densus 88 ditambah satuan elit TNI seperti Den Jaka, Den Bravo, dan Gultor Kopasssus. Jadi, pemberantasan terorisme di negeri kita tidak pernah berubah dengan pendekatan psikologi, sosial, humanitas, tetapi selalu dengan prinsip sikat, sikat, sikat habis. Persis seperti aksi-aksi brutal Densus 88 selama ini. Hanya nanti, akan ditambah anggota dari satuan elit TNI. Istilah striking force itu bukan pendekatan manusiawi, bukan pendekatan sosial, atau kultural, tetapi pendekatan: Sikat habis!

Lalu, kira-kira apa yang nanti akan terjadi di Indonesia?

Dapat dipastikan, di negara ini eskalasi konflik antara Ummat Islam dengan pemerintah akan semakin hebat. Betapa tidak, selama ini Ummat Islam telah sedemikian rupa dalam mengkritik, mengecam, dan mengoreksi aksi-aksi oleh Densus 88. Bukan hanya Ummat Islam, tetapi juga kalangan TNI, para cendekiawan, para pengamat yang jujur, dll.

Dengan dibentuknya BNPT itu sama saja dengan mengadu-domba Ummat Islam dengan TNI. Selama ini, jika ada konflik kepentingan, hanya antara Ummat Islam dengan Polri. Tetapi kini akan diperluas lagi, dengan melibatkan TNI, khususnya satuan-satuan elit. Padahal kita tahu, fondasi keutuhan NKRI ada di tangan kalangan Islam dan TNI. Jika kemudian kedua-belah pihak dihadap-hadapkan, seperti jaman Orde Baru dulu, jelas akibatnya sangat fatal bagi NKRI.

Demi Allah, Ummat Islam tidak suka dengan cara-cara teror, Ummat Islam tidak mendukung aksi-aksi terorisme yang merusak kehidupan. Tetapi masalahnya, apakah benar terorisme yang dituduhkan itu? Atau ia hanya rekayasa belaka untuk memojokkan Ummat Islam dengan memakai fasilitas kekuasaan negara? Kalau benar-benar ada aksi terorisme yang sangat merugikan, kita pasti mendukung ia diberantas. Tetapi jangan semena-mena menyerang Ummat Islam atas alasan terorisme!

Kenyataan yang sangat menyakitkan. Begitu mudahnya Kapolri menuduh ini teroris, itu teroris, lalu membuat fakta-fakta seenaknya sendiri. Tak lupa, Polri yang memang memiliki hubungan khusus dengan Karni Ilyas, mereka akan memakai TVOne, atau akan memakai MetroTV untuk menjelek-jelekkan Ummat Islam, untuk membangun opini palsu.

Betapa tidak, dalam kasus latihan militer di Aceh, itu latihan legal yang diketahui aparat keamanan. Tujuannya, untuk persiapan Jihad di Ghaza, lalu diklaim sebagai terorisme untuk menyerang SBY di Jakarta. Video yang ditayangkan berulang-ulang di TVOne dan MetroTV itu adalah video latihan pemuda-pemuda Islam untuk persiapan ke Ghaza. Bagaimana bisa video ini lalu dibelokkan ke rencana menyerang SBY di Jakarta? Betapa tololnya pengelola media-media itu. Mereka sehari-hari makan-minum dari memfitnah Ummat Islam, menjelek-jelekkan pemuda Islam.

Yang paling parah ialah penggerebekan sebuah bengkel motor di Solo beberapa waktu lalu. Sebelum penggerebekan, aparat Polri melakukan persiapan di rumah makan, hanya sejarak 200 m dari lokasi. Ketika masuk bengkel itu, wartawan dilarang masuk dulu, aparat sedang “mempersiapkan” TKP. Begitu wartawan bisa masuk ke bengkel, disana senjata api, amunisi, peluru, dll. sudah ditata sangat rapi. Sudah digelar di lantai sangat rapi. Kalau boleh bertanya, “Itu para teroris sebenarnya lagi persiapan penyerangan, atau mereka mau jualan peluru ya? Kok cara menata peluru itu begitu rapi sekali?” Dan Kepala Dest Antiteror, Ansyad Mbai hadir dalam penggerebekan ke bengkel tersebut. Di TV ditayangkan kehadirannya.

Semua ini kan penipuan luar biasa. Polisi sendiri yang membuat-buat isu terorisme, mereka membuat kezhaliman luar biasa, atas nama pemberantasan teroris. Berapa banyak manusia yang akhirnya dirugikan, keluarga dirugikan, anak-isteri kehilangan ayah, kakak, paman mereka, akibat semua skenario itu? Yuki Wantoro yang tak tahu apa-apa tentang perampokan CIMB akhirnya menjadi korban sia-sia. Dia mati dalam keadaan tak bisa menuntut kezhaliman para polisi itu.

Wahai manusia Indonesia… Coba kalian pikir dengan akal kalian yang bersih, jika akal itu masih ada. Pernahkah akan tercipta keamanan negara, tentram, sentausa, dengan segala konspirasi penuh kezhaliman itu? Kezhaliman pasti akan menimbulkan mata rantai kerusakan sosial yang panjang. Hal ini akan menyebabkan dendam kesumat sosial secara luas di tengah masyarakat. Siapapun yang membuka pintu-pintu kezhaliman, dia tak akan bisa menutup pintu, hingga dirinya sendiri menjadi korban paling hina dari kezhaliman yang dilakukannya sendiri.

Kini masalahnya semakin serius. TNI hendak dilibatkan dalam konflik yang diciptakan oleh Kepolisian ini. Jelas akibatnya, eskalasi konflik itu akan semakin besar, semakin membara, semakin luas. Dan akibatnya kelak, jangan heran kalau NKRI akan lebih cepat hancur-lebur. Kalau Ummat Islam sudah membenci NKRI, Anda tidak akan memiliki kekuatan lagi untuk mempertahankan keutuhan negara ini.

Sekali lagi, kami bukan mendukung teroris, atau setuju dengan aksi terorisme. Tidak sama sekali. Tetapi kami sangat MENGGUGAT OPINI terorisme yang selama ini dikembangkan oleh Polri. Mereka seenaknya sendiri menuduh orang terlibat terorisme, menangkap, menembak mati, menyerbu, menggerebek, dan sebagainya. Mereka hanya bermodal opini tunggal di kepalanya sendiri, tanpa ada opini pembanding sama sekali.

Adapun Bambang Hendarso Danuri. Betapa zhalimnya orang ini, dengan segala penampilan dan retorikanya yang tampak santun. Semoga Allah melaknati dirinya, melaknati isteri dan anak-anaknya, melaknati keluarganya. Semoga Allah melaknati perwira-perwira Polisi yang berserikat dengannya dalam memfitnah Ummat Islam, dan melaknati siapa pun yang mendukung konspirasi zhalim atas kaum Muslimin di negeri ini. Semoga Allah melumpuhkan kekuatan mereka, sehingga mereka tidak mampu lagi berbuat zhalim kepada siapapun, selain menghancurkan diri mereka sendiri. Semoga Allah menyelamatkan bangsa ini dari manusia-manusia berhati syaitan. Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in.

Semoga kita bisa mengambil sebaik-baik pelajaran.

AMW.


Tradisi Kita: Melanggar Hukum!

September 24, 2010

Sebodoh-bodohnya manusia, ialah mereka yang membuat aturan, lalu aturan itu dia langgar sendiri. Mengapa dilanggar? Agar sebagian orang bisa bebas menindas sebagian yang lain. Masya Allah.

Sebuah cerita kecil dari Kota Leipzig di Jerman. Cerita ini saya baca di sebuah harian nasional beberapa waktu lalu. Ada ibrah besar yang harus kita ketahui disini.

Belum lama lalu terjadi kasus hukum yang unik di Leipzig. Seorang wanita, sudah bekerja di sebuah supermarket selama 27 tahun. Dia diajukan ke pengadilan karena telah melakukan pelanggaran. Ceritanya, supermarket itu menjual roti-roti. Setelah berlalu waktu tertentu, roti-roti itu ada yang kedaluarsa. Menurut aturan di supermarket itu, roti tersebut harus dibuang, dikosongkan dari rak-rak roti. Tetapi oleh wanita itu, sebungkus roti dia simpan di tasnya, hendak dibawa pulang. Ketika ada inspeksi, tas-tas karyawan diperiksa, ditemukan sebungkus roti di tas wanita itu.

Karena dia telah menyimpan roti yang seharusnya dibuang, dia disidangkan. Hasilnya, wanita itu dipecat dari pekerjaannya. Namun selang beberapa lama, keputusan diubah, dia tak jadi dipecat, karena roti itu sendiri sudah berstatus “sampah” yang tidak merugikan apapun bagi kepentingan supermarket. Andaikan roti itu menyebabkan seseorang sakit perut, resiko sakit akan dihadapi wanita itu sendiri, bukan konsumen roti. Akhirnya, wanita itu tetap mendapat kesempatan kerjanya.

Negara Rendah: Hukum Senilai Duit!

HIKMAH. Lihatlah, betapa ketatnya orang-orang Barat dalam menegakkan hukum di kalangan mereka! Ketat sekali, sehingga hanya masalah sebungkus roti saja, mereka tegakkan hukum, tanpa pandang bulu. Kalau dipikir, apalah artinya sebungkus roti di mata seorang karyawan yang sudah bekerja 27 tahunan? Tetapi hukum tetap hukum, ia harus ditegakkan secara PRESISI. Ibaratnya, tidak menyimpang walau hanya sehelai rambut.

Bangsa Barat meraih kemajuan tinggi karena mereka KONSISTEN menegakkan hukum, tanpa pandang bulu. Mereka konsisten sekali, sehingga indeks korupsi di kalangan mereka selalu kecil. Padahal hukum yang berlaku di negeri-negeri itu tidak selalu bagus, adil, dan mulia.

Orang-orang Barat diberi kecukupan ekonomi, kesejahteraan, fasilitas hidup, kemajuan sains dan teknologi, dll. bukan karena KUALITAS HUKUM yang mereka anut. Tetapi karena sikap KONSISTEN mereka dalam menegakkan hukum itu sendiri. Seburuk-buruk hukum yang dijalankan Jengis Khan, kalau diterapkan secara konsisten, membuat mereka bisa merajai Asia di masanya. Bahkan mereka bisa menghancur-luluhkan peradaban kaum Muslimin yang telah pudar dan penuh kemerosotan di Baghdad ketika itu.

Lalu, mari kita lihat kondisi bangsa Indonesia ini! Di negeri ini tidak sedikit orang pintar, tidak sedikit ilmuwan, ahli hukum, pakar birokrasi, dan sebagainya. Tetapi mereka tidak memiliki KOMITMEN untuk menegakkan hukum sama sekali; apalagi jika aturan hukum itu akan memakan hak-hak pribadi, keluarga, dan kelompoknya.

Mau bukti? Tidak usah yang jauh-jauh. Kita angkat yang mudah-mudah saja, yang sedang aktual, yang banyak dibicarakan masyarakat saat ini. Sebagiannya adalah sbb.:

[1] Ketua MK sudah memutuskan, mengabulkan sebagian permohonan judicial review dari Yusril Ihza Mahendra. Di harian Kompas, Ketua MK jelas-jelas sudah mengatakan, masa jabatan Hendarman Supandji menjadi ilegal setelah keputusan itu ditetapkan. Tetapi anehnya, Staf Ahli Hukum Kepresidenan, Deny Indrayana, mengklaim Hendarman Supandji tetap sah sebagai Ketua Kejaksaan Agung. Sudi Silalahi juga mengatakan demikian. Sementara Hendarman Supandji sendiri, lebih percaya ke Presiden daripada keputusan MK. Lihatlah, betapa hebatnya tingkah orang-orang ini dalam mengangkangi hukum yang sudah ditetapkan MK?

[2] Lihatlah aksi Densus 88 saat masuk Bandara Polonia, yang menyebabkan Polri diprotes oleh Angkatan Udara! Densus itu kan aparat hukum, mau menegakkan hukum, tetapi caranya melanggar hukum. Densus 88 sudah melanggar wilayah steril Angkatan Udara, juga melanggar ketentuan koordinasi dengan pihak Polda Sumut.

[3] Lihatlah ketika seorang Presiden gagal telekonferensi di daerah Cikopo karena ada gangguan signal telekomunikasi. Belum melakukan check-recheck, dia langsung memarahi Dirut Telkom dan Telkomsel. Itu marah-marah di depan umum. Ternyata, kemudian terbukti, aplikasi telekonferensi itu tidak memakai jaringan milik Telkomsel. Pelanggaran hukum, mencemarkan nama baik orang lain sudah dilakukan, setelah itu “cuci tangan”, tak ada kata maaf sedikit pun.

[4] Lihatlah ketika seorang Presiden berkomentar keras soal insiden penusukan jemaat HKBP di Ciketing Bekasi. Dia begitu peduli dengan nasib korban tersebut, dan tentu saja -seperti kebiasaan pro Amerika- selalu menyudutkan ormas Islam tertentu. Penusukan jemaat HKBP begitu berharga baginya, tetapi pembiaran kezhaliman sikap/tingkah jemaat HKBP yang merugikan kepentingan warga Ciketing selama 20 tahunan, dibiarkan begitu saja. Ini namanya, penegakan hukum yang tebang pilih. Apapun ada kesempatan untuk menembak FPI, akan dia lakukan.

[5] Bagaimana dengan kericuhan antara PERADI dan KAI baru-baru ini? Anda tahu semua kan situasi ricuhnya? “Mau apa kau? Beri pintu agar abang kami, presiden kami masuk ruangan?” Ya, begitulah. Ini komunitas advokat yang katanya mengerti hukum, taat hukum, mengabdi di dunia hukum; tetapi kelakuan seperti itu. Menyedihkan sekali kan?

[6] Coba lihat apa yang dilakukan Polisi/Densus 88 dalam berbagai kasus terorisme! Bidik sasaran, tembak di tempat, lalu membuat opininya sendiri. Dalam seluruh sisi kasus terorisme di Indonesia, opini yang berlaku hanya milik Polisi belaka. Tidak ada opini pembanding. Akhirnya mereka bisa sewenang-wenang sesuka hatinya. “Soal opini nanti bisa kita pikirkan.” Tidak heran jika kemudian seorang pejabat Polri ada yang ditolol-tololkan oleh pemimpin ormas Islam.

[7] Opini polisi yang sewenang-wenang itu akhirnya membuahkan masalah serius di Buol, Sulawesi. Kantor polisi dan pemukiman mereka diserbu ribuan orang, karena gemas. Bagaimana tidak? Ada seorang tahanan meninggal di kantor polisi. Kata polisi, dia mati bunuh diri. Tapi saat jenazah diterima keluarga, di sekujur tubuhnya banyak memar-memar akibat pukulan.

[8] Bagaimana dengan kasus Skandal Bank Century? Mengapa Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK diam saja sampai saat ini? Kapan orang-orang yang tertuduh dalam kasus itu akan disidangkan ke pengadilan? Apa mereka menunggu SBY turun dari jabatan RI-1 tahun 2014 nanti, baru kasus Bank Century disidangkan? Lalu bagaimana dengan Sri Mulyani yang sudah nyaman ngantor di sono? Mengapa ia tidak dicekal atau ditetapkan sebagai DPO? Bukankah dia pergi sebelum kasus Bank Century masuk ke meja hukum?

[9] Penghilangan secara sengaja “ayat rokok” dari draft UU Kesehatan yang diduga dilakukan oleh anggota DPR Ribka Ciptaning dan kawan-kawan. Ini sudah menjadi draft UU, tinggal disahkan saja, tetapi malah dihapus. Begitu kejinya tangan manusia-manusia satanic itu.

[10] Kasus Bibit-Chandra tidak karuan sampai saat ini. Apakah kedua orang itu bersalah seperti yang dituduhkan OC. Kaligis, atau dia tidak bersalah.

[11] Hilangnya rekaman Ary Muladi dan Hendra Rahardja, padahal tadinya Bambang Hendarso mengklaim rekaman itu ada. Begitu buruknya komitmen Kepala Polri terhadap hukum yang mestinya dia tegakkan.

[12] Kasus Susno Duadji, sang “peniup peluit” yang saat ini nasibnya tidak karuan. Mau disidang, kapan? Tidak disidang, mengapa dia sudah dipastikan sebagai tersangka? Begitu pula masalah “rekening gendut” perwira Polri juga tidak ada kelanjutannya.

[13] Dan lain-lain kasus yang sangat banyak.

Lihatlah dengan mata hati, dengan logika jernih, dengan akal sehat, dengan naluri sebagai manusia sewajarnya; apakah semua itu layak terjadi di negara yang katanya “menghormati hukum” ini? Masya Allah. Sungguh sangat menyedihkan kondisi ini.

Di Barat, urusan hukum tidak bisa ditawar-tawar. Tetapi disini, para elit dan penegak hukum, justru memberi contoh cara melanggar hukum yang seindah-indahnya, sehebat-hebatnya, selicik-liciknya, senikmat-nikmatnya.

Kalau begini, lalu apa yang bisa kita harapkan? Adakah masa depan bagi bangsa Indonesia? Adakah “adil dan makmur” seperti yang sama-sama kita dambakan itu? Bukankah kita ini seperti manusia yang setiap hari sarapan omong kosong; minum omong kosong; menelan omong kosong; mandi omong kosong; tidur di atas omong kosong; bermimpi omong kosong; berpikir omong kosong; dan sebagainya?

Untuk hukum sekuler yang penuh kekurangan saja, kita tak mampu konsisten melaksanakan. Padahal hukum semacam itu jauh sekali kualitasnya di bawah Syariat Nabi Muhammad Saw.

di atas kesedihan sebagai bangsa beradab

AMW.


Sisa Idul Fithri Kita…

September 21, 2010

Idul Fithri 1431 H sudah berlalu. Kini kita di hamparan bulan Syawwal. Sebagian orang sedang menyempurnakan Shaum Sunnah 6 hari bulan ini, sebagian lain biasa-biasa saja. Bahkan ada yang tidak ingat dengan shaum itu sama sekali, sebab bulan Ramadhan pun dia tidak berpuasa. Ya Ilahi, semoga kita senantiasa istiqamah memelihara Sunnah Nabawiyah ini. Amin.

Saatnya menyegarkan ruhani...

Idul Fithri itu kalau dilukiskan seperti sebuah aliran sungai yang menguji pasukan Thalut yang hendak berperang menuju Baitul Maqdis di Jerusalem. Pasukan Thalut sedang kelelahan, mereka hendak mengusir Jalut dan balatentaranya yang telah menganeksasi wilayah kerajaan Bani Israil di Jerusalem. Thalut mengatakan, “Allah akan menguji kalian dengan sungai di depan nanti. Siapa yang tidak meminum air sungai itu, kecuali seceduk telapak tangan saja, dia masuk barisanku. Siapa yang terjerumus berlebihan meminum air itu, dia bukan bagian dariku.”

Ternyata benar, yang lolos ujian menghadapi sungai itu hanya sedikit saja. Selebihnya, banyak yang gagal, lalu tak berani berperang. Namun dari yang sedikit itu Allah menganugerahkan kemenangan bagi tentara-tentara-Nya. Dawud sendiri berhasil membunuh Jalut. Oleh orang-orang Barat, kisah itu disebut “legenda” David Vs Goliath. Padahal itu asli, kisah sejarah, bukan legenda.

Idul Fithri di mata masyarakat kita seperti itu pula…

Kaum Muslimin di negeri kita ini, di hadapan perhelatan besar hari-raya Idul Fithri, bisa dibagi dalam 3 kelompok:

PERTAMA, orang-orang yang memandang perayaan hari raya dengan segala tradisinya, lebih berharga daripada ibadah di bulan Ramadhan. Mereka mempersiapkan diri menyambut hari raya lebih hebat ketimbang mempersiapkan diri menyempurnakan ibadah di bulan Ramadhan. Mereka melebihkan konsumsi duniawi melebihi “konsumsi” ukhrawi.

KEDUA, orang yang tetap serius melaksanakan ibadah Ramadhan dan ibadah-ibadah tambahan lain, tetapi semua itu hanya sekedar TRADISI semata. Dianggap semacam ritual atau rutinitas ibadah yang selalu hadir setiap setahun sekali. Tidak ada usaha untuk melakukan ibadah yang lebih berkualitas, berkesan, dan berkah.

"Siapa menanam kebajikan. Kan memetik kebajikan (lebih besar)."

KETIGA, orang yang serius melaksanakan ibadah Ramadhan berikut tambahan-tambahan kebajikan lain di dalamnya. Mereka selalu merindui datangnya Ramadhan, sejak tanggal 2 Syawwal. Bayangkan, baru saja Idul Fithri berlalu, mereka sudah merindui datangnya Ramadhan. Seolah bulan-bulan lain “tidak dianggap”. Berbagai sisi kebajikan mereka lakukan di bulan Ramadhan, termasuk Zakat, sedekah, menuntut ilmu, tilawah Al Qur’an, i’tikaf, qiyamul lail, dll.

Lalu apa yang terjadi…

Ternyata, perbedaan cara menyikapi Ramadhan itu, sangat menentukan KEINDAHAN HARI RAYA yang mereka peroleh. Bahkan membedakan kualitas hidup mereka setelah Ramadhan berlalu.

Bagi Golongan 1, mereka benar-benar mendapatkan kesenangan hari raya seperti yang mereka inginkan. Mereka senang-senang, makan-makan, pelesir, berpesta pora, dan sebagainya. Itu berhasil mereka lakukan.

Tapi sayangnya, nikmat yang mereka rasakan itu HANYA SAMPAI SEMINGGU setelah Idul Fithri. Setelah itu, mereka stress lagi. Harus buru-buru balik ke Jakarta. “Hari Senin sudah masuk kantor!” kata mereka. Mereka kembali masuk ke pusaran rutinitas hidup seperti itu lagi. Mereka kembali stress, setelah sejenak senang-senang di hari raya. Begitu saja seterusnya, setiap tahun, sepanjang waktu; bila mereka tidak berhenti dari sikap hidup seperti itu.

Kasihan sekali. Seperti jarum jam yang setiap hari berputar-putar di tempat, tidak kemana-mana, tidak ada dunia jelajah ruhani yang lebih baik, lebih dinamis, dan berbahagia, selain hanya rutinitas “mati” belaka.

Golongan 2, mereka mendapat lebih baik. Mereka mendapat kesan Ramadhan yang lebih panjang. Tidak hanya seminggu setelah Idul Fithri. Allah Maha Pemurah, tetap memberi kebaikan kepada hamba-hamba yang mau beramal. Tetapi secara umum, kehidupan mereka tak banyak berubah. Pemikiran, sikap, perilaku, kedewasaan, wawasan, empati, dll. masih sama seperti yang sudah-sudah. Maklum, mereka beramal hanya sebatas tradisi, maka berkahnya juga sebatas “tradisi”.

...kesegaran telah disediakan bagi para "petani" yang telah bekerja keras.

Orang-orang ini sangat didoakan dan diharapkan agar berubah menjadi lebih baik. Hendaklah mereka menjadi pemakmur bulan Ramadhan, bukan menjadi “tukang puasa” Ramadhan. Kalau mereka tak berubah, kehidupan bermasyarakat, bersosial, berbangsa dan bernegara ini juga susah berubah.

Golongan 3, adalah golongan terbaik. Keberkahan bulan Ramadhan di mata mereka terasa begitu panjang, sampai mereka menjemput Ramadhan yang baru. Bahkan bisa lebih dari itu, karena mendapat keutamaan Lailatul Qadar.

Golongan ke-3 itu jauh sekali dari golongan “jarum jam” yang setiap tahun diputar-putar oleh rutinitas dan rasa capek luar biasa di hamparan Idul Fithri. Mereka mendapat makna, memperoleh berkah yang luas. Alhamdulillah.

Mereka seperti yang disebut oleh Nabi, “Man shama Ramadhana imanan wa ihtisaban, ghufira lahu maa taqaddama min dzanbih” (siapa yang berpuasa Ramadhan dengan iman dan penuh ketakwaan, dia akan diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu). HR. Bukhari.

Kini tinggal kita mengukur makna Idul Fithti ini. Apakah kita masuk Golongan 1, Golongan 2, atau Golongan 3?

Semoga Allah Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan orang-orang beriman yang pantas mendapat ucapan: “Minal a’idina wal fa’izin” (semoga menjadi orang-orang yang kembali suci dan mendapat kemenangan). Allahumma amin.

AMW.


Kasus Jemaat HKBP: Sabar Wahai Ikhwah!

September 16, 2010

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Seperti sudah sama-sama kita ketahui. Pasca Idul Fithri 1431 H ini kita bicara tentang insiden “penusukan jemaat HKBP” di Ciketing Bekasi. Sebelum membaca lebih jauh, ada baiknya Anda baca dulu artikel muhasabah dari Al Ustadz Habib Riziq Shihab berikut ini: Ummat Islam Bekasi Vs HKBP.

Ya, kita semua telah tahu. Setiap ada peristiwa terorisme SBY akan buru-buru mengutuk pemuda-pemuda Islam, yang dia sebut sebagai biang onar dan mengganggu pembangunan. Sebaliknya, ketika ada kasus kecil yang merugikan kaum non Muslim, SBY akan segera pasang badan, menunjukkan kehebatan mantra-mantra pidatonya: “Tegakkan hukum! Jangan biarkan kekerasan berkuasa! Polisi harus usut tuntas! Tindak pelaku-pelaku kekerasan yang merugikan bangsa (baca: merugikan kekasih-kekasihku)!”

"Kita tidak mencari musuh. Tetapi bila musuh ada di depan mata, kita tidak boleh lari."

Memang lain ya, seseorang yang beriman kepada Allah Al Wahdah, pasti akan loyal kepada sesama kaum Mukminin. Itu pasti! Sekalipun orang-orang Mukmin itu menjadi bulan-bulanan media massa, tetap saja, iman yang lurus berbanding lurus dengan solidaritas kepada saudara Mukmin. “Innamal mu’minuna wal mu’minati ba’dhuhum auliya’u ba’dhin” (bahwasanya orang Mukmin laki-laki dan Mukmin wanita itu, sebagian mereka menjadi pelindung sebagian yang lain).

Beda dengan iman yang rusak, bahkan mungkin kekafiran yang sudah menguasai jiwa dan akal. Disana, solidaritas justru terbalik. Kepada wali-wali Allah keras mengutuk, sedangkan kepada wali-wali kekafiran justru memberikan peluk-cium, dengan segunung cinta. Ya begitulah, iman yang sudah rusak, orientasi hidup yang sesat, eksistensi diri yang telah menjadi pion-pion gerakan fasad di muka bumi. Na’udzubillah min dzalik.

Saya masih ingat dulu, di era Presiden Megawati, dengan Wakil Presiden Bapak Hamzah Haz -semoga Allah membalas kebaikannya kepada Ummat Islam, amin-. Di masa itu Bapak Hamzah Haz berani terang-terangan melindungi kepentingan Ummat Islam, meskipun ditekan oleh isu terorisme dari sana-sini. Insya Allah, disana ada jejak-jejak keimanan itu. Berbeda sekali dengan Indonesia ketika dipimpin Si Ono A dan Si Ono B itu.

Kembali ke masalah “penusukan jemaat HKBP”. Sebenarnya, masalah ini bisa dianggap sepele, bisa juga dianggap serius.

Kalau dianggap sepele. Lakukan saja pengusutan yang adil dan obyektif. Siapa yang salah, dari kedua belah pihak, tinggal ditangkap, diadili di pengadilan, diberi hukuman seperti yang diinginkan institusi hukum. Sudah selesai, begitu saja. Tidak usah dibawa kemana-mana.

Tetapi bisa juga dibawa ke ranah serius. Misalnya, seperti klaim orang-orang dari HKBP atau melalui media-media sekuler, yang menganggap kejadian itu sebagai Tragedi 12 September 2010.

Kalau usul saya, jemaat HKBP bisa membawa kasus itu ke DK PBB, agar ia disetujui sebagai TRAGEDI PEMBANTAIAN UMAT KRISTEN TERBESAR di dunia, selama-lamanya. Saya kira upaya itu bisa dicoba. Nanti ke anak-cucu kita perlu diajarkan, bahwa tanggal 12 September 2010, terjadi TRAGEDI KEMANUSIAAN atau sebut saja TRAGEDI PEMBANTAIAN besar-besar oleh pemuda Islam di Bekasi. Korbannya, dua orang terluka, dan sekarang sedang tahap penyembuhan. Bisa itu, kejadian tersebut diklaim lebih keji dari pembantaian Nazi Jerman, atau pembantaian Polpot di Vietnam.

Ya, namanya juga kedengkian orang-orang kafir. Apapun bisa mereka lakukan, demi memuaskan kedengkian di hatinya.

Kasus Ciketing bisa saja diklaim lebih hebat dari pembantaian Kristen atas kaum Muslimin di Ambon, Maluku Utara, pada 1999-2000 lalu. Bisa juga dianggap lebih hebat dari pembantaian Kristen atas Ummat Islam di Poso, pembantaian Katholik di Kupang, dan Tim-tim. Bisa dianggap lebih gila dari pembantaian LB Moerdani di Tanjung Priok, pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan. Bahkan bisa dianggap lebih kejam dari penjajahan Protestan Belanda di Indonesia, selama 3,5 abad.

Bahkan kita bisa luaskan masalah ini ke fakta lain, seperti pembunuhan George Bush atas jutaan warga Irak dan Afghanitas. Pembantaian Katholik Serbia atas 50.000 warga Muslim Bosnia-Herzegovina. Bahkan bisa dibawa ke arah nostalgia Perang Salib di masa lalu. Bisa dibawa ke arah ini, kalau kita mau serius.

Shabar wahai ikhwah…

Ya, kita harus sabar. Sebab saat ini kita sedang diperangi oleh media-media massa, dan regim politik yang tidak pro Islam. Namanya juga diperangi, kita pasti disudutkan terus. Ya, itulah resikonya menjadi orang ISTIQAMAH di jalan Islam. Pasti kita akan selalu berbenturan dengan agen-agen kerusakan di muka bumi. Ya, wali Allah akan sangat sulit akur dengan wali-wali kekafiran.

Shabar wahai ikhwah…

Ada masanya, sesuatu yang sepele menjadi serius, insiden kecil menjadi arena Jihad Fi Sabilillah, jika Allah menghendakinya. Bila masa itu tiba, kita tak boleh lari ke belakang; sebaliknya, bila belum ada, kita juga tak perlu mengangan-angankannya. Seperti filosofi lebah, “Tidak mencari-cari musuh. Tetapi bila musuh sudah di depan mata, pantang lari ke belakang.”

Demi Allah, manakala momentum Jihad itu tiba, di bumi manapun yang Allah kehendaki, orang-orang yang paling banyak bicara saat ini, adalah mereka yang nanti akan bersembunyi di barisan paling belakang. Mereka berkomentar macam-macam, lebih karena alasan “mencari makan”.

Kaum Muslimin perlu waspada dan senantiasa menjalin komitmen kesatuan dengan sesama. Kita harus siap menghadapi kasus “jemaat HKBP” bila mau dibawa SEPELE; dan harus siap juga bila ia mau dibawa SERIUS.

Maklum, konflik antara Islam dan Protestan bukan saat ini saja. Kasus Ambon, Maluku Utara, Poso, Westerling, penjajahan Belanda, dll. berbicara banyak tentang fakta-fakta konflik itu. Intinya, Ummat Islam itu tidak bodoh kok… Kita sehari-hari dididik dengan Al Qur’an, mustahil akan menjadi kaum yang bodoh, mustahil sekali.

Maka shabarlah wahai ikhwah…sabar atas apapun resiko yang Antum terima di Jalan Allah. Ingat wahai ikhwah, inallah ma’as shabirin (Allah itu bersama orang-orang yang shabar).

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

AMW.


Melepas Ramadhan Berlalu…

September 7, 2010

Setahun sudah kita menanti. Menanti hari demi hari, minggu berganti minggu, bulan demi bulan… hingga akhirnya kita berjumpa dengan bulan tercinta, Ramadhan.

Kini, kita berada di penghujung Ramadhan… berharap lagi, bisa berjumpa kekasih hati, Ramadhan Karim. Ya Allah ya Rahiim, kabulkan ya Allah, kabulkanlah… Kami selalu menantikan perjumpaan ini.

Bersama Mentari Terbit

Ramadhan datang dalam ritme putaran waktu, berganti siang-malam, saling bersusulan… Mentari dan bulan beredar, keduanya selalu dibicarakan saat menyambut Ramadhan, juga saat melepasnya pergi. Hidup melintas bersama putaran waktu, tanpa terasa usia kita semakin bertambah saja.

Melayari Liku-liku Kehidupan

Hidup ini diwarnai liku-liku, dinamika, seperti gelombang dengan naik-turunnya. Seperti berlayar di sungai, mengarungi lautan, tak ada yang tahu pasti, apakah pelayaran itu akan sampai? Atau tenggelam di tengah jalan? Ramadhan Karim mendidik jiwa manusia tegar menyikapi realitas hidup.

Jalan Tak Selalu Lurus

Kadang kita mendapati kenyataan berbeda. Jalan tak selalu mulus, lintasan tak selalu lurus, hiruk-pikuk manusia tak selalu menyertai. Apa mau dikata? Apabila itulah realitanya, kita mesti terus berjalan, menyusuri tujuan abadi, meraih ampunan dan rahmat Allah Ta’ala.

Batu Keras Menempa Tapak Kaki

Kerap kali manusia menjadi tangguh, bukan karena belaian mama, bukan karena suapan bibi, bukan karena kasur empuk yang menemani malam-malamnya. Manusia menjadi tangguh karena ditempa alam kehidupan, sehingga tapak kakinya merasakan kerasnya bebatuan, licinnya permukaan, sepinya perjalanan. Setelah mereguk nikmat Ramadhan, adakah KEBERANIAN itu tumbuh di hatimu, wahai Saudara nan dicinta?

Hidup Adalah Pilihan

Kenyataan hidup tak selalu enak. Seseorang kan berjumpa pilihan-pilihan. Bahkan setiap langkah hidupnya, selalu ada pilihan: Yes or no, right or left? Selalu kita diuji dengan pilihan-pilihan. Manusia gagal adalah yang selalu ragu untuk memilih, hanya karena takut kesulitan. Allah akan memberi para pemberani dengan karunia, sebab dia telah menerobos batas-batas ketakutan, demi meraih MAKNA berarti. Jadilah, pemberani!

Banyak yang Tidak Kita Tahu

Berjalanlah…penuh ketegaran laksana kstaria yang terluka, maju di medan tempur… Namun hatimu tetap TUNDUK kepada Kebesaran Ar Rahmaan. Di dunia ini engkau telah banyak tahu, tetapi lebih banyak lagi yang tak engkau tahu. Semakin bertambah ilmumu, semakin engkau tahu ketidak-tahuanmu.

Menuju Kampung Nan Indah

Jangan lelah tuk berusaha, jangan lelah tuk berkarya, jangan lelah tuk mengalami kelelahan. Isi hidupmu dengan prestasi! Isi hidupmu dengan goresan sejarah! Isi hidupmu dengan biografi yang kan menyenangkan hati para generasi nanti! Gantungkan syurga sebagai impianmu tertinggi! Kesana, kita kan terus berjalan…

Peradaban Berubah, Prinsip Hidup TETAP Kokoh

Dalam mana kita melayari hidup ini, segala realitas dan kondisi bisa berubah, tetapi prinsip TAUHID dan SYARIAT tidak boleh berubah. Chasing boleh berganti, hati tetap kokoh di atas PRINSIP ISLAMI.

Wa man yakfur bit thaghuti ya yu’min billahi faqad istamsaka bil ‘urwatil wutsqa lan fishama laha” (siapa yang mengingkari segala sesembahan selain Allah, dan dia beriman tauhid kepada Allah, maka dia benar-benar telah berpegang kepada tali agama Allah yang sangat kuat, selamanya tak akan putus).

Mengalirlah Saudaraku bersama aliran air kehidupan… namun hatimu tetap kokoh di atas TAUHID dan SYARIAT NABI. Inilah jalanmu, jalan Islam, jalan abadi hamba-hamba Allah Ar Rahiim.

Akhirnya, perkenankan kusampaikan ucapan:

Idul Fithri 1431 Hijriyah

SELAMAT IDUL FITHRI 1431 H. Taqabbalallah minn wa minkum. Minal ‘Aidina Wal Fa’izin, Kullu Aamin Wa Antum Bi Khair. Amin. Mohon Maaf Lahir Bathin!

Bandung, 28 Ramadhan 1431 H.

AM. Waskito & Family.


Mengapa Shaum Kita Gagal?

September 4, 2010

Bismillahirrahmaaniarrahiim.

Setiap Ramadhan, pasti kita sangat hafal dengan ayat Shaum, “Kutiba ‘alaikumus shiyam…” Dan para khatib, dai, penceramah, kerap menekankan ujung dari ayat ini yang merupakan tujuan dilakukan Shaum, “La’allakum tattaqun” (agar kalian bertakwa).

Ayat ini kan sudah berulang-ulang disampaikan di berbagai masjid, di acara pengajian, di TV, buletin, majalah, dll. Pendek kata, kita sudah sangat hafal dengan “la’allakum tattaquun” itu.

Puasa Kita Tidak Bisa Menolong Orang-orang yang Tinggal Disini.

Pertanyannya, mengapa Shaum kaum Muslimin di Indonesia seperti jauh dari berkah? Sepertinya, hasil TAQWA itu jauh dari harapan. Oke-lah, dari sisi makna kalimat kita paham; tetapi dari sisi realitas kehidupan, jauh sekali dari ketakwaan itu.

Andaikan bangsa Indonesia bertakwa, pasti keadaan negeri kita tak akan awut-awutan seperti saat ini. Dampak ketakwaan itu banyak, minimal berupa kesejahteraan, dan dijauhkannya kemiskinan. Orang bertakwa pasti hidupnya sejahtera, tidak dililit kemiskinan.

Alasannya apa?

Berikut ini: “Wa man yattaqillah yaj’al lahu makhrajan, wa yarzuqhu min hai-tsu laa yahtasib…wa man yattaqillah yaj’allahu fi amrihi yusra” (dan siapa yang takwa kepada Allah akan Dia jadikan baginya jalan keluar dari kesulitan, dan Dia akan memberi rizki dari arah mana saja yang tidak disangka-sangka,…dan siapa yang takwa kepada Allah, akan Dia jadikan baginya kemudahan dalam urusannya). Disebut dalam Surat At Thalaaq.

Minimal faidah taqwa itu 3: Jalan keluar dari kesulitan, rizki yang datang dari segala arah, dan kemudahan urusan. Kalau kaum Muslimin Shaumnya berkah, pasti hidupnya akan sejahtera, jauh dari nestapa, kelaparan, kemiskinan, dan kebodohan.

Lalu mengapa kondisi hidup kita seperti tidak berubah? Dari waktu ke waktu semakin buruk saja? Lalu dimana bekas-bekas dari hikmah Shaum Ramadhan itu sendiri?

Shaum Kita Tak Bisa Menyelamatkan Nasib Bocah Ini. Lihat Cup Kopi "Starbuck" Itu!

Menurut saya, alasannya sederhana: Sebab kaum Muslimin mengerjakan Shaum sebatas kegaiatan ritual rutin yang bersifat lahiriyah semata. Shaum ini tidak mengubah pemikiran menjadi lebih Islami, tidak mengubah keyakinan semakin kuat kepada Allah, tidak mengubah budaya menjadi lebih bersih, tidak mengubah muamalah menjadi lebih Syariah, dan TERUTAMA tidak mengubah tatanan hidup menjadi Islami.

Logikanya begini. Kita telah berusaha sekuat tenaga membangun sebuah rumah yang kuat, bersih, rapi, sehat, dan menebar aroma harum. Tetapi pada saat yang sama, rumah itu dibangun di atas tumpukan sampah di TPA-TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Usaha internal kita sudah maksimal, tetapi kondisi eksternal kita sangat gelap. Jadi, kapan perbaikan seperti ini akan membuahkan hasil?

Seharusnya, kalau Shaum itu berhasil dan berkah, setiap Shaimin/Shaimat akan tampak perubahan sikapanya, sehingga dia semakin mencintai Islam, merindukan Syariat Islam, dan memberikan kontribusi bagi Kebangkitan Islam.

Coba perhatikan masyarakat kita, apakah tanda-tanda seperti itu ada? Jangankan rakyat kecil yang awam, kalangan ustadz-ustadz saja, doktor-doktor, kyai, ulama, dai kondang, dll. tidak tampak keberaniaanya untuk menegakkan tatanan hidup Islami dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mana Anda lihat tokoh-tokoh Islam yang lantang berani menentang kezhaliman dan menyerukan tegaknya tatanan Islam? Kalau ada, itu adalah tokoh-tokoh atau komunitas yang sudah dikenal selama ini. Jarang ada “darah segar” yang menambah kuat suara kebenaran itu.

Shaum Kita Tak Bisa Meringankan Beban di Pundak Bapak Ini.

Sejujurnya, pengaruh tatanan politik bagi kehidupan Muslim amat sangat kuat. Dimanapun ditegakkan sistem tatanan politik Islam, secara cepat tumbuh keberkahan-keberkahan di tempat itu. Sebaliknya, dimanapun sistem Islami ditinggalkan, seketika muncul aneka rupa musibah, fitnah, konflik, kehinaan, dst. Bukti yang sangat nyata ialah kehidupan di Andalusia Spanyol, kehidupan di Turki Utsmani, juga kehidupan di Saudi. Di tempat-tempat ini, ketika Islam dipakai, mereka berjaya; ketika Islam disingkirkan, mereka terhina. Malaysia dan Brunei, keduanya hidup makmur sejahtera, karena berani terang-terangan mengklaim Islam sebagai budaya mereka. Itu baru sebatas budaya, apalagi kalau tatanan Islam diberlakukan secara optimal?

Adapun banyak orang tak berani bicara tentang penegakan tatatan Islam, sebab mereka takut dengan dominasi Mafia PBB. Siapa Mafia PBB? Mereka adalah mafia politik, mafia birokrasi, dan mafia bisnis, yang selama ini mencengkeram kehidupan rakyat Indonesia. Melalui kekuatan modal, koneksi, pengaruh politik, dll. mereka berhasil menjauhkan kaum Muslimin dari missi kehidupan Islami.

Adapun para Shaimin dan Shaimat di Indonesia, mayoritas tak berani melihat kenyataan ini. Mereka berpuasa agar menjadi insan takwa, tetapi tidak berani melihat pengaruh buruk Mafia PBB itu. “Sudahlah, Anda saja yang bicara tentang mereka. Kami tak mau ikut-ikutan. Ini soal bisnis, dan pekerjaan masalahnya.” Ya, beginilah kualitas Shaum kita, baru sebatas shaum fisik dan tradisi belaka. Jelas, jauh sekali dari kalimat “La’allakum tattaquun“. Orang bertakwa itu tak akan takut, selain hanya kepada Allah saja.

Ternyata, hal ini sudah jauh-jauh hari diingatkan oleh Nabi Saw. “Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan lapar dan dahaga saja, dan berapa banyak orang yang mendirikan ibadah di malam hari, tapi hanya mendapatkan begadang saja.”  (HR. Ahmad).

Puasa Kita Tak Bisa Memberi Harapan Kepada Anak Pemulung Ini.

Dan bukan kebetulan jika Media-media TV sangat berperan membuat masyarakat sekedar mendapatkan shaum fisik belaka ini. Kita tahu, media-media TV merupakan sumber kerusakan terbesar kualitas keagamaan kaum Muslimin di Indonesia (bahkan mungkin di dunia). Media TV menjadi guide kehidupan yang menjerumuskan kaum Muslimin dalam kekalahan demi kekalahan. Sekalipun di antara mereka ada yang memasang slogan, “To elevate knowledge.”

TV-TV itu telah membuat TAFSIRAN keliru tentang Shaum Ramadhan. Di mata mereka Shaum hanyalah menahan makan-minum, tidak jima’ siang hari, dan sebatas tradisi. Karena TV ini merupakan media belajar yang sangat massif dan sistematik, akal kaum Muslimin Indonesia pun rusak karenanya.

Sejauh TV-TV hedonis itu tetap merajalela, jangan berharap ada Kebangkitan Islam. Lupakan saja!

Wallahu A’lam bisshawaab.

AMW.


Humor: “Konggres Racun Bangsa”

September 3, 2010

WARNING: Jangan lihat kerasnya istilah yang dipakai! Tetapi lihatlah, mengapa istilah itu muncul? Dan untuk tujuan apa ia dimunculkan? …membela kepentingan Ummat yang sekian lama dizhalimi tiada henti. Unshur akhaka zhaliman au mazhluman! Mohon dimaklumi!

____________________________________________________________________________________________________

Di suatu negeri, sebutlah nama negeri itu Yabegitulahnesia, diadakan suatu konggres. Ini konggres istimewa, mungkin paling istimewa dalam sejarah acara seperti ini. Orang-orang yang hadir di konggres ini bukan orang sembarangan. Rata-rata mereka memiliki karakter, tugas, serta nama tersendiri. Nama yang mereka sandang mencerminkan missi hidupnya.

Waktu itu, sekitar pukul 2 sore, di gedung konggres semua peserta sudah datang. Konggres ini sedianya akan dibuka oleh seorang Menteri Oportunis, tapi dia berhalangan hadir. Karena pentingnya acara ini, sebuah Stasiun TV Beracun sengaja melakukan liputan langsung, minute to minute. Menurut rencana, konggres ini akan dipimpin oleh Antek Penjajah.

Karena pentingnya konggres ini, mari kita langsung mengikuti acara tersebut.

ANTEK PENJAJAH: “Salam sejahtera buat kita semua. Dan salam tidak sejahtera buat mereka yang ada di luar sana. Hari ini kita akan memulai acara penting, konggres strategis, untuk membicarakan masalah-masalah penting bangsa.”

JONGOS ASING: “Interupsi Pak Ketua. Maaf, saudara kita Anjing Neolib belum hadir. Kita tidak bisa memulai rapat ini kalau salah satu peserta tidak hadir. Semua harus lengkap. Itu sesuai dengan aturan perkumpulan no. 794, pasal 6B, butir 31H, juncto pasal 39 K, butir 506, jungto aturan peralihan no. 134, bab penjelasan, juncto rekomendasi DK PBB, pasal 61M, butir 12, jungto… (Peserta yang dijuluki Jongos Asing ini terus membacakan “juncto-juncto” sampai 5 halaman tersendiri. Semua dia sebutkan, termasuk UU Lalu Lintas, UU HAKI, UU Konservasi Hutan, dll.).

POLITISI BUSUK: “Sudahlah saudara Jongos Asing. Tak perlulah Anda memberi kuliah hukum semacam itu. Kita santai aja. Kalau saudara Anjing Neolib belum datang, ya oke kita tunggu saja. Begitu tho?”

KORUPTOR SEJATI: “Oke oke, aku setuju aja. Kalau acara ini ditunda, berarti aku boleh lakukan transaksi dulu ya? Boleh kan, boleh kan?”

MAHASISWA MEMBLE: “Jangan ditunda lagi, Pak Koruptor Sejati. Nanti malam, saya ada kuliah, di hotel bintang 5. Saya tak mau ketinggalan kuliah itu.”

MAKELAR BANGSA: “Halah, kuliah apaan wahai saudara Mahasiswa Memble? Masak kuliah malam hari, di hotel bintang 5 lagi.”

BANDIT SEKS: “He he he…saudara Makelar Bangsa ini pura-pura tidak tahu ya. Kuliah semacam itu sering dikenal sebagai ‘kuliah cinta’. Tahu kan maksud saya? Ya, anak-anak muda kita sekarang semakin pintar. Mereka lebih hebat dari kita-kita ini.”

KOLEKTOR GADIS: “Ho oh, ho oh. Tadi ada bicara-bicara soal cinta. Cinta apaan tuh? Boleh dong, bagi-bagi sama Om?” (Orang ini bicara sambil memain-mainkan mata nakalnya).

TOILET FREEMASONRY: “Interupsi Pak Ketua. Kita ini mau ngomongin apa sih? Sedari tadi ngomong gak karuan. Ayo fokus ke masalah pertama tadi!”

PENGAMAT AMORAL: “Ya, setuju dengan saudara Toilet Freemasonry. Sebaiknya kita fokus ke pembicaan semula. Menurut pakar organisasi sosial, Tom Hanks, aturan organisasi perlu dituruti secara konsisten.”

PRESENTER HINA: “Lho, Tom Hanks itu kan bintang film, bukan pakar organisasi sosial.”

CENTENG KOMPENI: “Saudara Presenter Hina, mungkin maksudnya itu Tom Hanks yang lain. Kan nama Tom Hanks banyak, ya seperti nama Budi, Iwan, Rudy, Agus, di kita.”

PARPOL MUNAFIK: “Sudah, sudah, tak usah diteruskan. Pembicaraan ini sudah terlalu jauh melenceng dari fokus semula. Bagaimana kalau kita bicarakan saja, tentang film terakhir yang dibintangi Jacky Chan. Itu lebih seru, sambil menunggu saudara Anjing Neolib datang.”

CENDEKIAWAN PALSU: “Katanya Jacky Chan sekarang terlibat skandal ya? Itu gossip yang saya dengar dari kawan. Kalau gak salah, Jacky ada main dengan seorang TKW asal Indonesia di Hongkong. Apa benar berita itu, Pak Antek Penjajah.”

ULAMA BAYARAN: “Maap, maap. Ane gak tahu banyak soal film ini. Ane ijin mau bobo dulu. Bismika Allahumma ahya…”

POLISI KONSPIRATOR: He he he… He he he… (Sejak awal pertemuan, Polisi Konspirator hanya bisa berkomentar he he he…he he he…tanda pengetahuan kurang).

CEWEK GATEL: “Interupsi Pak Ketua. Saya baru ditelepon saudara Anjing Neolib. Dia sudah sampai di lokasi muktamar. Katanya 15 menit lagi sampai disini. Terimakasih.”

KORUPTOR SEJATI: “Aduuh, tolong acara bisa ditunda sedikit lagi ya. Lagi tanggung, saya hampir saja menyelesaikan transaksi proyek dari pemda provinsi anu. Ini alot negosiasinya. Pihak kepala bagian di pemda minta macam-macam. Aku lagi tawar-menawar nih. Sorry ya, tolong ditunda dikit lagi, 20 menit lagi ya. Boleh ya, boleh ya?”

AKTIVIS BEJAT: “Dasar Koruptor Sejati. Bisa-bisanya dalam acara ini dia mengkorupsi waktu? Lebih baik kita diskusikan video Ariel-Luna saja. Menurut saya, video ini sebuah karya seni kebanggaan bangsa.”

MEDIA SAMPAH: “Soal video itu, ya sah-sah saja kan. Ini negara bebas! Semua orang boleh bicara apa saja. Tapi kalau FPI bicara, no way. Kita-kita saja yang boleh bicara.”

SOSIOLOG CABUL: “Ya, ya, ya. Saya lebih suka kita bicara soal video Ariel-Luna. Video itu, memberi semangat baru. Maklum, aku semakin tua, tubuhku sudah lemah, tulang-tulang serasa berbunyi terus. Orang tua macam beta ini, butuh kesegaran baru. Hua ha ha ha…” (Tidak ada satu pun yang tertawa, kecuali Sosiolog Cabul sendiri).

DOSEN NGERES: “Sejujurnya, saya suka dengan diskusi ini. Penuh keterbukaan. Hi hi hi… Hi hi hi…” (Dosen Ngeres terus tersenyum hi hi hi…tak henti-henti, sampai harus dilarikan ke rumah sakit, karena engsel tulang rahangnya copot).

PEMAKAN HUTAN: “Zzzzz…zzzz….zzzz…” (Rupanya, sejak awal Pemakan Hutan tidur pulas. Mungkin malam sebelumnya dia begadang nonton bola).

KONGLOMERAT HITAM: “Saya sangat menghargai kontribusi saudara Pemakan Hutan. Dia tidak banyak bicara. Sejak tadi dia terus produktif dalam tidurnya. Lihat nih, celana saya basah-basah kena iler dia.”

PENJARAH BLBI: “Ha ha ha…lucu juga. Mendingan saudara Konglomerat Hitam, Anda tampung iler-iler itu, lalu dibuat pabrik minuman alami. Bisa diekspor untuk mendatangkan devisa non migas.”

Ketika sedang ramainya pembicaraan ngalor-ngidul, tiba-tiba Anjing Neolib masuk ruangan. Dia langsung menempati kursi yang sudah disediakan, di dekat Mafia Hukum. Mafia Hukum sendiri tak banyak suara, sebab lagi sakit gigi.

ANJING NEOLIB: “Maaf, maaf saya telat datang. Semoga kawan-kawan tidak marah ya. Tadi itu, saya lagi diskusi dengan pejabat IMF dan utusan Bank Dunia. Ya biasalah, tentang pengurangan subsidi bensin, beras, pengurangan subsidi pupuk, pembatasan beasiswa, dll. Maaf, tadi makan banyak waktu.”

SENIMAN HEDONIS: “Saudara Anjing Neolib ini enak saja meminta maaf, padahal sudah merugikan semua orang disini. Kalau waktu menunggu itu gue pakai di rumah untuk membuat lukisan-lukisan telanjang, gedhe tuh untung  buat gue.”

TERORIS MORAL: “Nah, gitu dong, ada kejelasan. Sedari tadi ngomong tak jelas. Oke Pak Ketua, silakan mukmatar dilanjutkan. Saya sudah tak sabar nih.”

SEJARAWAN ISTANA: “Benar Pak Ketua. Buruan saja deh. Nanti malam saya dipanggil ke Istana. Biasa, untuk merumuskan sejarah-sejarah baru, sesuai titipan sponsor. Yang mau jadi sponsor untuk saat ini cukup banyak. Lumayan, buat nambah-nambah, beli kopi satu truk, beli gula satu kontainer, beli rokok satu mobil box penuh.”

MAKELAR KASUS: “Itu sih, bukan buat nambah-nambah Pak Sejarawan Istana. Itu sama saja mau bikin supermarket. Beli gula saja sampai satu kontainer.”

POLITISI BUSUK: “Setuju, 100 %. Mari kita lanjutkan acara konggres ini. Tapi soal film Jacky Chan tadi, jujur gue tertarik tuh. Dimana bisa dapat DVD bajakannya?”

ANTEK PENJAJAH: “Diaam! Diaam! Sudah, jangan ngomong film lagi. Kita fokus ke acara inti kita. Tolong saudari Cewek Gatel, minta panitia membawakan alat-alat yang sudah kita pesan untuk acara konggres ini. Segera laksanakan, waktu kita mepet banget!”

Segera saja, fasilitas utama acara itu didatangkan. Semua peserta konggres menghadapi meja masing-masing dengan alat-alat yang sudah disedikan.

ANTEK PENJAJAH: “Sebelum acara dimulai, tolong saudara Ulama Bayaran memimpin doa dulu.”

ULAMA BAYARAN: “Baik, kita mulai dengan doa: Allahumma inni a’udzubika minal khubutsi wal khabaits…”

Herannya semua peserta rapat mengamini doa itu dengan sangat khusyuk. Apalagi Si Toilet Freemasonry, dia mengucapkan amin sembari matanya terpejam, sangat fokus, tubuh agak bergetar, seperti seseorang mau mengeluarkan tenaga dalam.  Ulama Bayaran sendiri tak peduli. “Yang penting gue dibayar,” kata dia dalam hati.

ANTEK PENJAJAH: “Silakan saudara, silakan! Nikmati, nikmati. Jangan ragu, jangan segan. Masing-masing sudah mendapat jatah sesuai kontribusinya.”

Ternyata, yang disebut acara konggres itu hanyalah makan kambing guling bersama-sama. Kirain mau melakukan apa? Ternyata, cuma pesta kambing guling. Kalau tahu begitu, mengapa harus serius banget sejak awal tadi?

Namanya juga, Konggres Racun Bangsa. Ya isinya racun-racun kehidupan. Di mata mereka, kehidupan itu adalah syahwat mereka sendiri. Urusan rakyat tidak berharga sama sekali. “Hari gene bicara soal rakyat? Ngibul kale…” Begitu slogan yang selalu mereka ucapkan.

Dalam konggres itu, Anjing Neolib menjadi primadona. Namanya dibicarakan banyak orang. Lagi pula, acara itu memang disponsori oleh kapitalis-kapitalis internasional. []

Bumi Allah, 23 Ramadhan 1431 H.

— “atas kesedihan kita sebagai bangsa beradab”—


Politik Praktis dan Etika Tabayun

September 3, 2010

Tema tentang “tabayun” ini sebenarnya sudah beberapa kali disinggung. Dalam sebagian diskusi-diskusi internet pun, ada yang membahasnya. Intinya, sebagian pengikut parpol tertentu, sering menjadikan kaidah tabayun (klarifikasi atau recheck) sebagai alasan untuk membela diri, ketika partainya mendapat kritik. Seolah, setiap kritik masyarakat baru dinyatakan sah, kalau sudah tabayun ke partai itu. Sebelum tabayun, kritik tersebut tidak dianggap.

Tabayun atau klarifikasi adalah salah satu etika penting dalam Islam. Dalilnya adalah ayat ini:

Wahai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka lakukanlah klarifikasi (mengecek kebenaran berita itu), agar kalian tidak menimpakan hukuman kepada suatu kaum, tanpa didasari informasi yang benar. Maka kalau kalian lakukan hal itu, kalian akan menjadi menyesal.” (Surat Al Hujuraat: 6). Inilah dalil utama tentang tabayun.

Harus Komitmen & Integritas !!!

Sebab turunnya ayat ini berkaitan dengan Al Harits bin Dharar Al Khuza’i Ra. Al Harits diajak oleh Rasulullah Saw masuk Islam, dan bersedia. Setelah itu dia diajak membayar Zakat, juga bersedia. Lalu Al Harits menyampaikan tekadnya untuk mengajak kaumnya masuk Islam dan mau membayar Zakat. Rasulullah Saw memberi persetujuan kepada Al Harits untuk melaksanakan tekadnya.

Setelah waktu berlalu cukup lama, tidak ada khabar berita dari Al Harits. Rasulullah cemas memikirkan apa yang terjadi dengan Al Harits di tengah kaumnya. Maka Nabi pun mengutus Al Walid bin Uqbah untuk mendatangi Al Harits dan memeriksa apa yang terjadi disana. Ketika Al Walid sampai di tengah jalan menuju perkampungan Al Harits, dia merasa takut, lalu seketika itu pulang ke Madinah. Tugas belum dilaksanakan, Al Walid sudah pulang ke Madinah.

Di Madinah, Al Walid segera menemui Rasulullah Saw dan menceritakan, bahwa Al Harits menolak memberikan Zakat dan ingin membunuh dirinya. Tentu saja Rasulullah tidak terima dengan perlakuan Al Harits. Beliau segera mengirim sebuah tim ekspedisi untuk menghadapi kemungkaran Al Harits.

Saat tim itu bertemu Al Harits, terjadi dialog. Al Harits bertanya, untuk apa tim ekspedisi itu datang? Kata pimpinan tim, untuk menhadapi Al Harits. Tentu saja Al Harits sangat terkejut. Lebih terkejut lagi ketika dia mendengar khabar bahwa Al Harits dikhabarkan menolak membayar Zakat dan hendak membunuh utusan Nabi, Al Walid. Di hadapan tim ekspedisi itu Al Harits bersumpah: “Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan kebenaran, aku sama sekali tidak melihat Al Walid, dia tidak pernah datang kepadaku.” Sumpah serupa disampaikan lagi oleh Al Harits di hadapan Rasulullah Saw di Madinah. Demikian setting kisahnya. Menurut Ibnu Katsir, para mufassirin sepakat dengan kebenaran peristiwa tersebut.

Singkat kata, Al Walid bin Uqbah telah memfitnah Al Harits dengan perkataan dusta. Hampir saja Rasulullah Saw menghukum Al Harits karena cerita dusta yang disampaikan Al Walid. Disini kaum Muslimin diajari untuk berhati-hati kalau menghadapi khabar orang fasik. [Termasuk bagi kita di jaman modern ini, hendaknya hati-hati saat menerima berita dari media-media sekuler anti Islam, seperti MetroTV yang punya slogan “knowledge to elevate”].

Kembali ke topik parpol di atas. Ayat seputar tabayun ini kerap dipakai untuk membela diri, atau menolak kritik-kritik yang dialamatkan ke pihak tertentu. Kalau suatu kritik ingin diakui kebenarannya, harus ditabayunkan dulu kepada mereka. Meskipun ada 100 kritik, jika semua itu belum diklarifikasikan ke pihak tersebut, kritik-kritik itu tidak dianggap kebenaran. Di mata mereka, kebenaran adalah apa saja yang secara resmi mereka akui dan setujui. Kalau di luar pandangan mereka, dianggap nothing. Itu adalah sikap fanatik berlebihan.

Nabi Saw mengatakan: “Tidak masuk syurga, seseorang yang di hatinya ada sebutir debu rasa kesombongan.” Kesombongan yang dimaksud ialah, batharal haq (menolak kebenaran) dan ghamtun naas (merendahkan manusia yang lain).

Seputar masalah tabayun ini, ada beberapa kritik mendasar yang ingin disampaikan disini:

[1] Dalam politik, dalam UU politik, dalam dunia demokrasi terbuka, tidak ada satu pun aturan yang mewajibkan masyarakat tabayun ke suatu partai ketika menghadapi isu-isu politik tertentu. Kalau tidak percaya, coba cari UU/aturannya, apakah ada ketentuan tabayun itu?

[2] Dunia politik praktis berbeda dengan dunia dakwah, dunia ormas, dunia fatwa, dunia amal sosial, dunia pendidikan, dunia keilmuwan, dunia informasi, dll. Dalam dunia politik, faktor etika biasanya kurang diperhatikan. Semua orang pasti tahu ungkapan semacam ini, “Dalam politik tidak ada kawan abadi atau lawan abadi, yang ada ialah kepentingan abadi.” Ungkapan ini menjelaskan sisi pragmatis kehidupan dunia politik. Kaidah tabayun itu umumnya berlaku di forum-forum yang terkenal menjunjung tinggi prinsip etika, seperti dalam dakwah, ormas, fatwa ulama, kegiatan sosial, pendidikan, dll. Sebagai contoh, kalau ada tokoh agama diisukan melakukan selingkuh, padahal dia tidak melakukan hal itu, maka tabayun sangat dibutuhkan untuk memastikan informasi yang valid dari yang bersangkutan. Berbeda ketika seorang politisi berkata di media, “Saya mencalonkan Mbah Marijan untuk maju dalam Pilpres tahun 2014.” Pernyataan seperti ini, andaikan tidak dilakukan tabayun, tidak masalah. Sebab ucapan politisi itu berubah-ubah, kadang A, kadang B, kadang C, dan sebagainya, tergantung target politik yang ingin dia capai.

[3] Dalam sistem politik terbuka, di alam demokrasi seperti di Indonesia saat ini, berbicara tentang kaidah etika seperti ghibah, fitnah, tabayun, hasad, dll. itu tidak relevan. Sebuah partai politik sudah menjadi institusi terbuka, ia sudah face to face dengan dunia publik. Terserah masyarakat akan bersikap apapun kepada partai itu. Wong, memang UU menjamin hak warga negara untuk memilih sikap politik tertentu. Andai ada orang yang meyakini suatu prinsip seperti ini, “Andaikan Partai X berhasil memimpin bangsa Indonesia, sehingga setiap orang di negeri ini berhasil mereka beri emas masing-masing 5 kg. Saya tetap membenci Partai X, saya tetap anti Partai X.” Secara etika, sikap demikian tidak adil. Tetapi dalam format politik terbuka, itu boleh. Itu hak politik rakyat yang dijamin UU. Dalam konsitusi disebutkan, setiap warga negara memiliki hak menyatakan sikap politiknya.

[4] Adalah sangat tidak adil, ketika suatu partai politik meminta orang-orang yang mengkritiknya untuk tabayun terlebih dulu. Sementara partai itu, sebelum menetapkan kebijakan-kebijakan politik, tidak pernah tabayun kepada segmen politik atau pendukungnya. Ini adalah suatu ketidak-adilan, atau mencerminkan sikap tidak fair. Misalnya, ada partai yang memilih koalisi dengan SBY, mengklaim koalisi dengan SBY, mencalonkan pemimpin pemerintahan wanita, koalisi dengan partai sekuler, acuh dengan kasus-kasus terorisme, tak peduli dengan maraknya Kristenisasi, dll. Pernahkah mereka tabayun dulu kepada Ummat Islam, sebelum melakukan semua itu? Kalau orang lain mengkritik, disuruh tabayun dulu; sementara diri sendiri, bebas-bebas saja menempuh apa yang diinginkan. Tidak fair.

[5] Semakin profesional sebuah partai, dia cenderung semakin sedikit menuntut. Justru dia akan banyak melayani masyarakat. Slogan yang kerap dipakai oleh bisnis-bisnis professional sebagai berikut, “Kalau Anda kecewa, silakan datang kepada kami. Kalau Anda puas, silakan kabarkan kepada teman.” Ini slogan kaum professional sejati, yaitu selalu mengacu kepada pelayanan maksimal. Contoh aktual yang bisa disebut. Ketika Ary Ginanjar dan ESQ mendapat kritik dari berbagai cendekiawan Muslim, tim ESQ tidak menanti datangnya klarifikasi dari orang-orang yang mengkritiknya. Tetapi mereka mendatangi pihak-pihak yang mengkritik itu untuk melakukan klarifikasi aktif. Itu contoh sikap professional. Kita tidak bisa memaksa orang untuk datang ke markaz-markaz politik untuk mendapat kejelasan. Politik modern lebih menjurus ke sikap melayani publik.

[6] Prinsip tabayun itu sebenarnya tidak dipakai untuk semua kondisi. Ada syarat-syarat yang membatasi penggunaan etika tabayun. Dalam Surat Al Hujuraat ayat 6 di atas disebutkan pembatasnya, yaitu: In jaa-akum faasiqun bi naba’in (apabila datang kepada kalian seorang fasik membawa suatu berita). Kalimat ini menjadi pembatas etika tabayun. Apabila datang orang fasik membawa berita, maka periksa dulu berita itu. Artinya, kalau yang membawa berita itu orang Mukmin yang sudah dikenal kejujuran dan keadilannya, tak perlu tabayun lagi. Begitu pula, tabayun itu berlaku untuk urusan-urusan yang samar, yang tidak diketahui secara pasti kebenarannya. Kalau untuk suatu fakta, suatu kenyataan, yang semua orang sedunia sudah pada tahu, tidak berlaku lagi etika tabayun. Misalnya, sebuah partai politik selama 10 tahun terakhir mengkampanyekan boikot produk Amerika/Yahudi. Tetapi kemudian dia mengadakan Munas II di hotel Amerika/Yahudi. Ini kenyataan, ini fakta, semua orang sedunia sudah tahu. Jadi tidak perlu tabayun lagi.

[7] Dalam politik praktis, tidak ada ketentuan tabayun. Andaikan ada yang senang menghujat suatu partai, tanpa mau memakai etika tabayun, itu sah-sah saja. Itu konsekuensi kebebasan politik. Tetapi kalau ada yang mau tabayun, bahkan mau datang ke kantor suatu partai untuk tabayun, itu juga silakan. Meskipun sifatnya tidak ada kewajiban demikian. Harusnya, kalau sudah masuk gelanggang politik terbuka, harus dibedakan dengan saat masih menjadi gerakan dakwah murni. Ya, tahu sendirilah, beda tempat, tentu beda pula aturannya.

[8] Apa yang terjadi kalau kita benar-benar tabayun kepada mereka? Apakah tabayun itu akan menyelesaikan masalah? Belum tentu. Ini harus dicatat tebal-tebal, BELUM TENTU. Mengapa? Ketika suatu organisasi sudah masuk pusaran politik terbuka, mereka lebih peduli dengan urusan kekuasaan, bukan lagi urusan etika. Itu alasan fundamentalnya. Kalau kita datang tabayun kepada mereka, kemungkinan hasilnya ada tiga: Pertama, kritik kita diterima, lalu mereka mengakui kesalahannya. Tetapi kecil kemungkinan, setelah itu mereka akan menyatakan bersalah di depan umum, dan menganulir kebijakannya yang salah. Sangat kecil peluang kesana. Kedua, kritik kita ditolak, lalu mereka buktikan kalau kritik kita salah. Konsekuensinya, kita diminta meminta maaf kepada mereka, dan menyatakan hal itu secara terbuka di media-media. Bahkan mereka akan menjadikan kekalahan kita itu sebagai bahan untuk membanggakan diri. Ketiga, antara pengkritik dan yang dikritik sama-sama kokoh dengan pendiriannya. Tidak ada yang mau secara gentle mengakui kesalahannya. Jika demikian yang terjadi, maka tabayun itu menjadi percuma saja. Tidak ada nilainya. Kalau disimpulkan, tabayun dalam konteks politik praktis ini, lebih banyak merugikan pihak konsumen politik (bukan parpol).

[9] Ada kalanya suatu partai bersikap “standar ganda”. Saat berbicara tentang hak-hak dirinya, partai itu menetapkan standar etika yang sangat tinggi. Mereka tidak boleh digunjing, tidak boleh dikritik, tidak boleh dikejam, tidak boleh dicurigai, tidak boleh diprasangkai buruk, dll. Demi memenuhi hak-haknya, mereka menetapkan standar etika yang tinggi. Tetapi ketika giliran kewajiban mereka memenuhi hak-hak Ummat Islam, mereka tidak bertanggung-jawab. Ada gerakan ekonomi Neolib, diam saja; ada terorisasi aktivis-aktivis Islam, diam saja; ormas Islam menjadi bulan-bulanan media TV, diam saja; merebak paham SEPILIS, masih diam; mencuat kasus Ahmadiyyah, diam juga; ada tuntutan kasus Bank Century dituntaskan, tidak terdengar suaranya; kuatnya dominasi bisnis asing, tak bereaksi; merebak video mesum, malah pelakunya akan diterima sebagai anggota; dan lain-lain. Untuk hak-hak mereka, menuntut pelayanan istimewa. Sementara untuk hak-hak Ummat, diabaikan. Ini jelas sangat aneh.

[10] Sebenarnya, ada satu alasan kuat yang memberi peluang kepada kita untuk melakukan etika tabayun ke partai tertentu. Alasannya, jika ia adalah partai Islam yang komitmen memperjuangkan nilai-nilai Islam. Dari sisi aturan politik, kalau sudah masuk pergolakan politik, etika tabayun tidak menjadi kewajiban untuk dilaksanakan. Setiap orang bebas mengutarakan pendapat politik. Tetapi jika ada elemen-elemen Islam yang komitmen memperjuangkan Islam, boleh kita tabayun, dengan niatan mendukung perjuangan politik Islami itu. Asalkan, ia memang benar-benar politik Islami, bukan politik oportunis. Tandanya, partai semacam itu intensif menyuarakan Syariat Islam, ia bekerja keras menyatukan barisan politik Ummat, ia aktif menasehati penguasa agar tunduk kepada Hukum Allah, ia melaksanakan nahyul munkar, bahkan mengajak kaum non Muslim masuk Islam. Terhadap partai yang Islami, konsep tabayun penting dikembangkan. Hak-hak yang baik tentu diberikan kepada kerja politik orang-orang Mukmin yang komitmen dengan Islam. Kalau tidak komitmen, atau oportunis, jelas tidak perlu diberikan hak-hak etika seperti tabayun itu. Jangankan ke partai politik, ke penguasa politik saja kalau mereka zhalim dan tidak berakhlak, tidak layak dihormati.

Dalam politik ada fatsoen (kesopanan politik). Ya mbok dipakai konsep fatsoen itu. Adab politik yang tinggi kan sebenarnya demi kebaikan mereka juga. Kalau suatu partai sudah diidentifikasi secara negatif, hal ini susah untuk memenangi kompetisi. Kecuali kalau mereka memakai cara-cara tangan besi untuk berkuasa. Itu lain. Seharusnya, kelompok anak-anak muda bisa menunjukkan dirinya sebagai elemen masyarakat yang energik, produktif, idealis, komitmen tinggi, penuh inovasi, jujur, moralis, dan lain-lain. Seharusnya begitu, bukan lebay.

Ya, setidaknya Anda semua bisa memahami cara meletakkan konsep TABAYUN secara benar. Tabayun adalah bagian penting dari etika Islami. Semoga bermanfaat, dan selamat menyambut datangnya hari nan mulia: Idul Fithri 1431 H. Semoga menjadi hamba yang kembali suci dan mendapat kemenangan. Minal ’a-idzina wal fa’izin, kullu aamin wa antum bi khair. Allahumma amin.

(Politische).