Bencana Alam di Negeri Muslim

November 22, 2010

PERTANYAAN:

“Kalau benar bencana alam itu terjadi karena dosa-dosa manusia, mengapa di negeri Muslim seperti Indonesia ini sering terjadi bencana alam? Mengapa negeri-negeri kafir justru jarang tertimpa bencana alam? Mohon dijelaskan!”

JAWABAN:

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in. Amma ba’du.

[1] Bencana alam terjadi di berbagai negara, baik yang Muslim atau negara non Muslim. Contoh, di Jepang kerap terjadi gempa bumi, di China kerap terjadi banjir; di India, Srilangka, Filipina juga terjadi banjir. Di Yunani, Fuji, dan Iran juga terjadi gempa bumi. Di Amerika ada badai Catherina, badai Rita, badai Tornado, banjir, dan juga hawa panas menyengat. Belum lagi bencana seperti gunung meletus, tanah longsor, salju longsor, kebakaran hutan, dll. Jadi bencana alam tidak melulu di negeri-negeri Islam, di negeri non Muslim juga sering.

[2] Landasan pokok untuk memahami perkara ini adalah: “Wa lau anna ahlal qura amanu wat taqau la fatahna ‘alaihim barakaa-tin minas sama’i wal ardhi, wa lakin kad-dzabu fa’akhad-nahum bima kanu yaksibun” (dan seandainya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya Kami bukakan atas mereka barakah-barakah dari langit dan bumi. Akan tetapi mereka mendustakan (agama Allah), maka Kami siksa mereka karena amal perbuatannya. Al A’raaf: 96). Intinya, kebaikan akan dibalas kebaikan, dosa-dosa akan dibalas siksa.

[3] Balasan bagi dosa manusia tidak selalu berupa bencana alam. Bisa pula berupa hal lain seperti konflik berdarah, peperangan besar, penindasan, kejahatan, penjajahan, kemiskinan, kelaparan, kehancuran moral, hilangnya kebahagiaan, dll. Bencana alam hanya satu di antara instrumen balasan atas dosa-dosa manusia.

Akibat Amukan Bencana.

[4] Pada awalnya alam itu baik, stabil, harmoni. Tidak ada alam yang kejam, bengis, atau senang menyengsarakan manusia. Hanya ketika dosa-dosa manusia sudah tak tertahan, alam bereaksi. Itu pun hanyalah reaksi kecil dibanding kekuatan alam sendiri. Andaikan alam mengerahkan kekuatannya untuk menyerang manusia tanpa henti, tidak akan ada yang eksis di muka bumi ini.

[5] Perbuatan-perbuatan manusia yang bisa mengundang datangnya bencana alam, misalnya: kekafiran, kemusyrikan, kemunafikan; kezhaliman hukum, penindasan terhadap orang-orang lemah, korupsi dan pengkhianatan amanah, perbuatan zina, selingkuh, praktik ribawi, sikap bakhil, rasialisme, dll. Meskipun negeri Muslim, kalau perbuatan-perbuatan jahat tersebut subur, dijamin akan panen bencana.

[6] Perbuatan-perbuatan manusia yang bisa menolak bencana alam, misalnya: keimanan, ketakwaan, dan keshalihan; sikap adil dalam hukum; melindungi kaum lemah dan dhuafa’; birokrasi yang bebas korupsi; amanah-janji yang dilaksanakan; sikap dermawan kepada orang lemah (ingat, sedekah menolak bencana), sikap baik kepada binatang dan alam lingkungan, dll. Di negeri kafir sekalipun, kalau disana ditegakkan hal-hal yang baik, maka hal itu bisa menjadi penolak bala.

[7] Kadang orang kafir tidak segera dihukum atas dosa-dosanya. Dosa mereka dibiarkan dikumpulkan dulu sampai banyak. Kalau sudah sempurna, mereka baru dibinasakan sampai ke akar-akarnya (Al An’aam: 44-45). Inilah yang dikenal sebagai istidraj (diangkat berangsur-angsur, sebelum dihancurkan).

[8] Sungguh aneh kalau melihat keadaan negeri-negeri Muslim, misalnya Indonesia. Katanya ini negeri Muslim, tetapi kekafiran, kemusyrikan, dan kesesatan merajalela dimana-mana. Praktik ribawi dihalalkan, perzinahan dihalalkan, pelacuran diperbolehkan, perjudian diperbolehkan. Korupsi marak dimana-mana, sejak level RT sampai level Kepresidenan. Kezhaliman, penindasan, kesewenang-wenangan kepada fakir-miskin, terjadi dimana-mana. Mafia hukum, jual-beli hukum, kecurangan hukum terjadi tanpa malu-malu. Kerusakan moral, kerusakan adab, budi pekerti mati; yang ada hanyalah egoisme, sikap kasar, dan miskin rasa malu. Kadang kita bertanya-tanya, “Ini negeri Muslim atau negeri kafir? Kok perilaku rakyat negeri ini lebih keji dan biadab daripada orang-orang di negeri kafir?”

[9] Kalau bagi warga Muslim, bencana alam bisa menjadi penggugur dosa-dosa. Tetapi bagi negeri kafir, bencana merupakan siksa dan kehinaan. Sebelum nanti mendapat siksa Akhirat yang lebih perih lagi.

[10] Setiap perbuatan dosa manusia ada balasannya. Hanya saja, balasan itu tidak seketika diberikan, atau semacam mengikuti selera kita. Allah lebih tahu tentang bencana yang mesti diturunkan. Kekafiran dan kedurhakaan negeri-negeri kafir tidak akan dibiarkan. Semua dosa-dosa mereka diakumulasikan. Bila skor-nya sudah cukup, bila pintu-pintu tolak bala sudah tidak ada, maka bencana itu pun akan datang dengan tiba-tiba. Tanpa perlu permisi kepada manusia sedikit pun.

[11] Kadang Allah tidak segera menghukum suatu negeri kafir, karena di kemudian akan lahir anak-cucu mereka yang lebih baik, beriman, dan beramal shalih. Atau bisa juga bencana itu ditangguhkan, karena Allah ingin menyempurnakan nikmat atas negeri-negeri kafir. Bisa jadi, selama ratusan tahun mereka berjuang, bekerja keras, dan membangun. Jerih-payah itu akan diberi imbalan di dunia. Salah satu imbalannya, mereka dihindarkan dari bencana alam. Tetapi kalau imbalannya sudah habis, bencana pun akan mendatangi rumah-rumah mereka.

Allah Maha Adil, Dia menurunkan bencana dengan ukuran-ukuran yang sangat teliti. Karena dosa-dosa manusia maka terjadi bencana alam. Meskipun akibat perbuatan dosa tidak selalu dibalas dengan bencana alam. Allahu A’lam bisshawaab, walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

AMW.


Redaktur Republika dan Ayat Bencana

November 13, 2010

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Seseorang yang mengaku sebagai redaktur koran Republika, bernama Rahmad Budi Harto, asli Yogya. Beliau ini menolak keras ketika disampaikan bahwa bencana alam yang terjadi (seperti letusan Gunung Merapi) adalah karena dosa-dosa manusia. Dosa itu sendiri bisa berupa kemusyrikan, kezhaliman, penindasan, maksiyat, prostitusi, ribawi, dan lain-lain. Dengan kata-kata cacian dia menyerang pandangan itu.

Bagi orang yang mengerti ajaran elementer Islam, keyakinan seperti itu seharusnya tidak perlu ditanyakan lagi. Sebab dalam kisah Nabi dan Rasul ‘alaihimussalam telah dijelaskan hal-hal tersebut. Bahkan para Nabi sering mengingatkan kaumnya akan ancaman siksa pedih, bila mereka terus durhaka. Siksa itu bukan hanya di Akhirat, tetapi juga di dunia.

Berbagai peninggalan arkheologis tentang kaum-kaum di masa lalu yang telah dihancurkan, cukuplah menjadi bukti yang nyata. Sebuah tim dokumenter dari Malaysia pernah membuat kisah berseri, Jejak Rasul. Dalam dokumentasi itu banyak diperlihatkan bukti-bukti peninggalan masa lalu. Harun Yahya juga membuat dokumentasi khusus tentang sisa-sisa peninggalan kaum-kaum terdahulu. Bahkan kalau mau jujur, Pyramid dan Sphinx di Mesir adalah sisa-sisa kejayaan imperium Pharaoh (Fir’aun) yang telah dikubur oleh sejarah.

Alam itu pada awalnya: harmoni, ramah, dan bersahabat. (sumber foto: AP Photo/Trisnadi).

Ketika Fir’aun membangkang dari ajaran Musa As, bangsa Mesir tertimpa kekeringan, negerinya dipenuhi kutu, katak, belalang. Bahkan air-airnya pernah diubah menjadi darah. Dalam dimensi yang lebih kecil, bencana alam terjadi di berbagai tempat. Bisa jadi kualitas bencana itu tidak sedahsyat yang menimpa negeri Fir’aun di Mesir, negeri Saba’, kaum Sodom, bangsa Pompeii, Atlantis, bangsa Iram, dll. Tetapi hakikatnya sama, yaitu akibat perbuatan dosa.

Perlu diketahui, posisi seorang redaktur di sebuah media cetak, ia bukan posisi sembarangan. Redaktur lebih tinggi dari reporter, wartawan biasa, bahkan anggota redaksi biasa. Redaktur itu ibarat “penjaga gawang” bagi dimuat-tidaknya suatu berita, sesuai bidang keredaksian orang tersebut. Jadi, sangat menyedihkan kalau ada seorang redaktur media sekelas Republika tidak memahami keyakinan elementer yang biasa diajarkan ke anak-anak SD dalam kisah Nabi-nabi itu. Mungkin Republika sudah terlalu suntuk dengan masalah-masalah industri media, sehingga menghasilkan kualitas redaktur seperti itu. Entahlah.

Dalam menyikapi fenomena perbuatan syirik di Yogya dan tempat-tempat lain di Indonesia, kita tidak perlu sungkan-sungkan. Sampaikan saja kebenaran apa adanya! Tidak perlu ditutup-tutupi, harus dibuka secara transparan! Sebab, dengan pertimbangan “menjaga perasaan” terbukti di negeri ini terus-menerus dilamun bencana alam mengerikan. “Qulil haqqa walau kaana murran” (katakan kebenaran, meskipun pahit konsekuensinya). Dimana saja ditemukan kemungkaran yang nyata, harus ada yang berani mengingkari kemungkaran itu, tanpa basa-basi. [Sifat inilah yang telah “hilang” dari karakter para pejuang Islam di Indonesia, sehingga dari tahun ke tahun tidak banyak kemajuan dakwah yang tercapai. Peluang lompatan dakwah yang seharusnya terjadi, selalu kandas gara-gara “menjaga perasaan” manusia].

Berikut ini adalah terjemah ayat-ayat dalam Al Qur’an Al Karim yang secara tegas menjelaskan hubungan antara dosa manusia dengan siksa berupa bencana alam. Dan ayat-ayat semisal ini tidak sedikit dalam Al Qur’an, baik yang secara langsung atau tidak langsung menyebutkannya.

Selamat membaca dan semoga bermanfaat!

(1) Surat Al An’aam: 6.

Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain.”

(2) Surat Ali Imran: 11.

(keadaan mereka) adalah sebagai keadaan kaum Fir’aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami; karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan Allah sangat keras siksa-Nya.”

(3) Surat Al A’raaf: 100.

Dan apakah belum jelas bagi orang-orang yang mempusakai suatu negeri sesudah (lenyap) penduduknya, bahwa kalau Kami menghendaki tentu Kami azab mereka karena dosa-dosanya; dan Kami kunci mati hati mereka sehingga mereka tidak dapat mendengar (pelajaran lagi)?

(4) Surat Al Ankabuut: 40.

Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.

(5) Surat Al Ahqaaf: 24-25.

Maka tatkala mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, berkatalah mereka: “Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kami.” (Bukan!) bahkan itulah azab yang kamu minta supaya datang dengan segera (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih, yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.”

(6) Surat Fusshilat: 16.

Maka Kami meniupkan angin yang amat gemuruh kepada mereka dalam beberapa hari yang sial, karena Kami hendak merasakan kepada mereka itu siksaan yang menghinakan dalam kehidupan dunia. Dan Sesungguhnya siksa akhirat lebih menghinakan sedang mereka tidak diberi pertolongan.”

(7) Surat Yusuf: 110.

Sehingga apabila para Rasul tidak mempunyai harapan lagi (tentang keimanan mereka) dan telah meyakini bahwa mereka telah didustakan, datanglah kepada para Rasul itu pertolongan Kami, lalu diselamatkan orang-orang yang Kami kehendaki. Dan tidak dapat ditolak siksa Kami dari pada orang-orang yang berdosa.”

(8) Surat Al An’aam: 42.

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.”

(9) Surat Al Mujaadilah: 5.

Sesungguhnya orang-orang yang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti nyata. Dan bagi orang-orang kafir ada siksa yang menghinakan.”

(10) Surat Maryam: 84.

Maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksa terhadap mereka, karena sesungguhnya Kami hanya menghitung datangnya (hari siksaan) untuk mereka dengan perhitungan yang teliti.”

Andaikan setelah disampaikan semua ini, hati kita masih menolak keyakinan bahwa dosa-dosa manusia bisa mendatangkan siksa berupa bencana alam; bahwa keshalihan itu bisa mendatangkan kebaikan, dan kedurhakaan bisa mendatangkan sengsara; maka penolakan seperti itu bukan hal yang aneh. Sejak jaman dahulu, kaum-kaum durhaka juga bersikap sama. Ketika para Nabi dan Rasul memberi mereka peringatan akan ancaman siksa bila mereka tetap kufur, tetapi kaum-kaum itu malah meminta supaya ancaman itu segera didatangkan.

Perhatikan perkataan Nuh As kepada kaumnya, “Sesungguhnya aku ini adalah pemberi peringatan yang nyata. Janganlah kalian menyembah, selain hanya kepada Allah saja (jangan berbuat kemusyrikan). Sungguh aku takut kalian akan tertimpa adzab di hari yang sangat pedih.” (Huud: 25-26).

Tetapi kaum Nuh bukan percaya atas peringatan itu, malah mereka meminta supaya adzab itu segera didatangkan. Bahkan saat Nuh dan orang-orang beriman membangun bahtera, mereka terus-menerus mengejek. Hingga akhirnya mereka dibenamkan dalam banjir dahsyat, yang akibatnya mengangkat permukaan tanah di kawasan Mesopotamia, Jazirah Arab, dan sekitarnya.

Kedurhakaan terhadap risalah agama Allah terus terjadi, sampai saat ini. Hakikatnya sama, hanya bentuknya berbeda. Kalau dulu kaum durhaka menolak peringatan para Nabi dan Rasul dengan kesombongan dan ejekan. Maka kini mereka menolak semua itu dengan dalih “ilmu pengetahuan modern”. Di mata mereka, sains modern lebih tinggi dari Wahyu Allah Ta’ala. Mereka lebih percaya kepada para saintis daripada kepada Allah Ta’ala yang berkuasa memberikan setiap nafas bagi ara saintis itu. Manusia yang bodoh, pelupa, dan lemah diyakini; sedangkan Allah Ta’ala yang Maha Agung, Maha Sempurna, Maha Bijaksana, diingkari. Why and why?

Hendaklah mengambil pelajaran orang-orang yang masih mau mendapatkan pelajaran. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

AM. Waskito.


Indonesia Kini Dilamun Bencana…

Oktober 7, 2010

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Beberapa waktu lalu kami sudah mengingatkan, agar Pemerintah tidak melakukan kebijakan-kebijakan yang berakibat menyengsarakan masyarakat. Tulisannya ada disini: Presiden SBY, Kasihanilah Rakyat Indonesia! Intinya, menangakap Ustadz Abu Bakar Ba’asyir itu kebijakan zhalim. Apalagi memfitnah beliau, memfitnah pemuda-pemuda Islam yang tidak bersalah dalam kasus terorisme, bahkan membunuh dan menyiksa pemuda-pemuda Islam yang tidak tahu apa-apa tentang aksi terorisme. Semua ini kezhaliman besar!

Jakarta Diserbu Angin Puting-beliung.

Kalau cara-cara zhalim itu terus dilakukan, akibatnya bangsa Indonesia akan dikepung bencana dari segala arah. Harusnya, kalau terjadi kezhaliman, warga Indonesia yang mampu dan punya kekuatan, harusnya mencegah kezhaliman itu. Kalau tidak ada yang mencegah, maka semua kalangan akan terkena getahnya, terutama rakyat kecil yang hanya menjadi obyek penderita. Faktanya, hal itu benar-benar terjadi!

Saat ini setiap hari kita mendengar berita seputar bencana dari segala penjuru. Ini adalah kenyataan, ini adalah fakta yang nyata. Di antara yang bisa disebut:

[=] Meletusnya Gunung Sibanung di Sumatera Utara. Bahkan kini pun Gunung Merapi mulai bergejolak lagi. Seismograf menunjukkan aktivitas Merapi semakin tinggi.

[=] Banjir bandang di Waisor, Papua. Korban meninggal sudah sekitar 85 orang. Masih hilang sekitar 65 orang.

[=] Banjir di Bandung Selatan, banjir di Jakarta, banjir di Semarang, banjir di Kalimantan, dll. Banjir bisa karena curah hujan, bisa juga karena luapan air laut.

[=] Tanah longsor di beberapa titik di Jawa Barat dan Jawa Timur.

[=] Musibah kecelakaan KA di Pemalang, korban sekitar 35 orang meninggal. Padahal sudah lama kita tidak mendengar ada kecelakaan tragis seputar KA.

[=] Gempa bumi di Aceh, Papua, Banten. Kalau tidak salah, tidak ada korban atau kerusakan serius. Tapi ini merupakan peringatan yang harus diwaspadai.

[=] Hujan deras, angin puting beliung dimana-mana, terutama di Jakarta. Pohon-pohon tumbang, menimpa rumah, mobil, makam, dll.

[=] Cuaca sangat panas di Surabaya, suhu bisa mencapai 40 derajat celcius. Cuaca panas ini membantah klaim La Nina yang disampaikan orang-orang BMG. Kalau La Nina, pasti banyak hujan di suatu kawasan. Tidak mungkin di satu wilayah (misal Pulau Jawa) ada panas tinggi, sekaligus hujan deras. La Nina itu skalanya dunia, bukan skala Jawa atau Indonesia.

[=] Ketakutan tentang turunnya permukaan tanah Jakarta, akibat penyedotan air tanah secara terus-menerus, sehingga ada ide memindahkan ibukota negara ke tempat lain.

[=] Lumpur Lapindo juga mulai bergerak lagi. Setelah sekian lama diam, akhir-akhir ini mulai hangat kembali.

[=] Fenomena gagal panen yang sangat mengkhawatirkan. Banyak tanaman petani gagal, seperti padi, bawang, sayuran, bahkan usaha garam; karena curah hujan terus-menerus.

[=] Dan lain-lain.

Trend yang berkembang saat ini, bencana-bencana ini tidak terlalu besar, tetapi rata terjadi di berbaagai daerah. Rata terjadi dimana-mana. Kalau belajar dari yang sudah-sudah, yang sangat kita takutkan ialah, saat akan terjadi satau atau dua BENCANA SKALA BESAR di balik bencana-bencana kecil itu. Dan kita tidak tahu dimana bencana besar itu sedang dipersiapkan? Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Dan parahnya, pejabat-pejabat negara seperti tidak mau tahu soal bencana ini. Terus saja mereka menebar fitnah, menebar dusta seputar terorisme, membiarkan amoralitas, membiarkan korupsi, membiarkan orang-orang asing merajalela, dan seterusnya. Sepertinya, di kelapa pejabat-pejabat itu, mereka tidak peduli sebesar apapun penderitaan yang menimpa masyarakat. Seolah otak mereka berbiacara, “Biarkan saja ada bencana! Biarkan saja ada korban tewas! Semakin berkurang jumlah penduduk, semakin mengurangi beban subsidi Pemerintah.”

Ya sudahlah kalau begitu… Saya sebatas mengingatkan masalah ini. “Fa dzakkir, fa innad dzikra tanafa’ul mukminin” (maka terus berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman).

Ya pemimpin, ya elit politik, ya penguasa… Kasihanilah rakyat kecil, kaum dhuafa, anak-anak, kaum wanita, orang-orang miskin, fakir, lanjut usia. Kasihanilah mereka! Sayangilah mereka! Jangan menjadikan mereka sebagai obyek penindasan, alat permainan, atau seperti rumput yang diinjak-injak.

Kasihanilah mereka, kasihani rakyat ini, wahai Bapak, Ibu, Tuan, dan Nyonya. Agar hidupmu selamat, agar keluargamu selamat, agar urusan bisnis dan kariermu tetap berjalan. Bila tidak, demi Allah, kalian sendiri akan dikejar-kejar oleh bencana (apapun bentuknya) sampai kelak kalian sakit putus-asa. Allahumma amin ya Mujibas sa’ilin.

Ampuni diri-diri kami ya Arhama Rahimin. Amin.

AM. Waskito.


Ketika Alam Tidak Lagi Ramah…

Agustus 24, 2010

Hampir setahunan ini kami di Bandung merasa tidak mengalami musim kemarau, sepanjang tahun terus hujan. Dalam teori, siklus musim hujan dan kemarau di Indonesia kerap disebutkan sbb.: April-Oktober musim kemarau, sedangkan Oktober-April musim hujan. Namun dalam tahun terakhir, sepanjang tahun hujan terus. Kadang hujan sangat deras, sehingga terjadi banjir dan longsor di daerah-daerah tertentu.

Di TV kerap diberitakan bencana alam yang terus mendera daratan China, berupa banjir besar dan tanah longsor. Sudah ribuan manusia tewas menjadi korban. Begitu juga banjir yang melanda Pakistan, juga menyebabkan ribuan orang meninggal.

Polusi Berat CO2 Membuat Iklim Tak Menentu

Di hari-hari ini kita merasakan perilaku alam yang sulit dipahami. Kadang terasa gerah, tetapi tiba-tiba bertiup angin yang sangat dingin. Kadang cuaca sangat dingin, lalu berubah menjadi hawa panas. Kadang angin bertiup menderu-deru, membuat kita berprasangka, musim akan segera berganti. Tetapi ternyata, ia hanyalah “pancaroba semu”.

Begitulah, cuaca kini penuh turbulensi, penuh gejolak dengan segala ketidak-menentuan. Mungkin inilah realitas yang kerap disebut sebagai extremely climate change (perubahan iklim secara ekstrim). Daerah yang panas menerima dingin, begitu pula sebaliknya, dengan siklus yang tidak teratur. Padahal sebelumnya, selalu teratur dan dapat diprediksikan dengan mudah. Hujan atau panas, datang-berganti seperti tanpa siklus.

Menarik mengamati banjir besar yang terus-menerus mendera China. Hawa dingin, tanah longsor, dan lain-lain. Hari-hari ini China seperti panen dua realitas kontradiktif: panen pujian sebagai raksasa ekonomi baru, tetapi juga panen bencana-bencana besar.

Mengapa terjadi kondisi perubahan cuaca secara ekstrim?

Hal ini bisa dipahami dengan pendekatan sains. Menurut sains, akar persoalan ini muncul karena perilaku karbondioksida (CO2) di udara semakin liar. Polusi, pembakaran BBM, pembakaran bahan organik, menyebabkan produksi CO2 di udara meningkat sangat pesat. Menurut penelitian modern, gas CO2 itu tidak bisa dibuang keluar dari atmosfer bumi. Gas itu semakin bertambah, membuat ruang atmosfer bumi semakin panas. Inilah yang kerap disebut sebagai global warming (pemanasan global).  Ada juga yang menyebut green house effect (efek rumah kaca). Kalau Anda masuk rumah kaca, akan terasa sumuk (gerah), sebab disana udara panas seperti terperangkap dalam ruangan tersebut.

Panas di atmosfer berdampak meningkatkan suhu, meningkatkan penguapan air laut, juga mengubah formasi kelembaban udara. Suhu berubah, kelembaban udara berubah, maka perilaku angin juga berubah. Kan sesuai hukum sains, “Angin bertiup dari udara yang dingin ke udara panas, dari kondisi tekanan tinggi ke tekanan rendah.”

Dengan demikian kita menjadi paham mengapa kemudian terjadi perubahan-perubahan cuaca ini. Ia terjadi karena tingkat polusi yang luar biasa besar-besaran. China dan Amerika termasuk negara-negara penghasil polusi udara terbesar di dunia. Pabrik-pabrik di negara itu setiap waktu terus merobek-robek struktur harmonis ruang atmosfer. Mereka enak mendapat uang banyak, tetapi ummat manusia sedunia menjadi korban.

Beberapa waktu lalu sempat ada konferensi internasional tentang perubahan iklim di Nusa Dua, Bali. Waktu itu sempat dibahas tentang isu “perdagangan karbon”. Maksudnya, negara penghasil polusi CO2 terbesar di dunia, seperti China dan Amerika, harus memberi subsidi kepada negara-negara yang memiliki hutan luas, seperti Indonesia dan Brasil. Hutan-hutan ini kan setiap detik terus memproduksi O2, sementara pabrik-pabrik di China, Amerika, Jepang, Eropa, dll. terus memproduksi CO2. Negara-negara pollutan itu diminta memberi sumbangan untuk pengembangan dan pelestarian hutan di negara-negara tropik. Ternyata, mereka ogah membantu.

Sudah begitu Si SBY tawadhu banget. Melihat negara-negara pollutan tidak mau membantu, SBY terima aja. Maklum sih, Si SBY ini badannya ada di hadapan kita, tetapi hatinya sudah parkir di New York sana. Harusnya, kalau laki-laki sejati, negara asing tidak mau bantu menjaga hutan kita, usir saja mereka dari konferensi itu. Usir mereka, biar malu! Tetapi kita semua tahu, Si SBY ini kan karakternya begitu: rela mengorbankan rakyat sendiri, demi mencari keridhaan asing.

Ada hikmah besar di balik realitas perubahan iklim ekstrim ini. Hikmah apakah itu?

Perubahan iklim ekstrim ini terjadi lebih karena AMBISI MATERIALISME negara-negara industri tersebut. Di mata mereka, mumpung selagi hidup, harus mencari uang sebanyak-banyaknya, bagaimanapun caranya. Kalau sudah dapat uang, mereka akan gunakan untuk senang-senang sepuasnya, tidak peduli akibat dari senang-senang itu merusak lingkungan.

Di mata kaum jahiliyyah pemuja hawa nafsu itu, tidak ada istilah “ramah lingkungan”, “peduli nasib generasi”, “peduli beban bumi”, “empati dengan nasib manusia”, dan seterusnya. Di mata mereka ya hanya senang, senang, senang, senang, senang,… Sepanjang hayat hanya senang-senang saja. Maka itu Al Qur’an menyebut mereka, “Ya’kuluna kamaa ta’kulul ‘an-am” (mereka makan seperti makannya binatang).

Ironisnya, kehidupan seperti itulah yang oleh para ekonom kerap ditutup-tutupi dengan istilah: pertumbuhan ekonomi, kenaikan produk domestik bruto, iklim investasi, laju inflasi, kenaikan indeks saham, dll. Padahal semua itu intinya hanyalah: kehidupan ala binatang yang memuja hawa nafsu. Akibat kehidupan seperti ini sangat jelas, yaitu kerusakan lingkungan, perubahan cuaca ekstrim, dan seterusnya.

Alam ini sebenarnya diciptakan dalam kondisi harmonis. Allah Ta’ala telah meletakkan fungsi-fungsi, mekanisme, dan tabi’at alam yang ramah bagi kehidupan insan. Hanya saja, karena nafsu senang-senang (yang kerap ditutup-tutupi dengan istilah “pertumbuhan ekonomi”) itulah, maka alam ini rusak. Sayangnya, dalam kondisi seperti ini kita dipimpin oleh “artis” yang senang berdandan di depan cermin; bukan dipimpin manusia tegas.

Semoga kita bisa memetik hikmah dan manfaat! Amin.

AMW.


Antara Pemimpin Politik dan Bencana Alam

Juli 2, 2009

Dalam 5 tahun terakhir (2004-2009), kita semua mengalami keprihatinan besar. Hal ini berkaitan dengan bencana alam yang susul-menyusul melanda negeri ini. Dimulai dari bencana Tsunami di Aceh (menelan korban lebih dari 100 ribu jiwa), lalu gempa bumi besar di Yogya (menelan korban sekitar 5000 jiwa), lalu Tsunami II di Pangandaran Ciamis, lalu bencana Lumpur Lapindo di Sidoarjo yang menenggelamkan desa-desa di sekitarnya, termasuk bencana banjir karena meluapnya Bengawan Solo di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Begitu pula dengan banjir di Sulawesi, tanah longsor di Papua, sampai banjir “Tsunami kecil” di Situ Gintung, Tangerang Banten.


Belum termasuk ancaman bencana gunung meletus yang terus-menerus mengancam dari Gunung Semeru, Gunung Merapi, Gunung Kelud, dan lainnya. Praktis selama 5 tahun terakhir ini kita disuguhi “bencana alam” yang seolah tidak putus-putusnya. Padahal ini baru bencana alam, belum masuk di dalamnya soal kecelakaan transportasi, wabah flu burung, wabah demam berdarah, kelaparan dan gizi buruk, konflik pasca Pilkada, dekadensi moral, fenomena kemiskinan (50 % penduduk menurut standar Bank Dunia), dll.

Sebagian orang percaya, bahwa datangnya bencana-bencana alam itu ada kaitannya dengan kepemimpinan politik. Namun ada juga yang membantah. Pihak yang membantah beralasan, “Kalau bencana, ya bencana saja. Tidak usah dihubung-hubungkan dengan pemimpin.” Yang lain lagi mengatakan, “Bencana alam terjadi karena faktor alam saja, tidak ada kaitannya dengan politik.” Pihak lain mengatakan, “Jangan selalu memahami masalah bencana dengan tafsiran-tafsiran mistis. Ini sudah jaman modern. Berpikirlah lebih rasional!” Banyak sekali pandangan seperti ini, baik di tingkat rakyat biasa, mahasiswa, akademisi, intelektual, kaum santri, termasuk para pemimpin politik dan ormas.

Puncaknya adalah ketika seorang partai politik tertentu mendapat dukungan luas dalam Pemilu Legislatif beberapa waktu lalu. Hasil Pemilu itu menggambarkan bahwa mayoritas rakyat Indonesia tidak peduli dengan banyaknya bencana-bencana yang terjadi dalam masa 5 tahun terakhir. Mereka percaya, bahwa bencana alam tidak ada kaitannya dengan pemimpin politik. Demikian kesimpulan yang bisa diambil, dengan catatan, andai masalah kecurangan dalam Pemilu dan indoktrinasi pencitraan melalui iklan-iklan di TV sengaja diabaikan.

Terus-terang kita merasa prihatin dengan bencana-bencana alam itu, dan lebih prihatin dengan fenomena buruknya persepsi Ummat dalam memahami masalah bencana. Nabi Saw pernah mengatakan, “Seorang Mukmin itu tidak akan terperosok dalam lubang yang sama, sampai dua kali.” (HR. Muslim). Ini menandakan bahwa orang Mukmin itu pandai mengambil pelajaran dan tidak akan celaka untuk kedua kalinya. Berkali-kali Al Qur’an menjelaskan prinsip seperti ini: “Berjalanlah kalian di muka bumi, lalu perhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang bergelimang dosa!” (An Naml: 69).

Hayo yang pintar mengambil pelajaran! Jangan seperti batu yang bisu dan tidak berdaya! Sampai ada yang mengatakan, “Kambing congek saja tidak akan menanduk batu untuk kedua kalinya.” Belajar dari pengalaman adalah kemestian dari tradisi hidup orang-orang berakal.

Secara umum, kita harus meyakini bahwa bencana-bencana alam itu ada kaitannya dengan dosa-dosa suatu bangsa, dan ada kaitannya dengan pemimpin politik yang berkuasa. Melalui tulisan ini saya ingin menjelaskan kaitan antara bencana alam, dosa masyarakat, dan posisi pemimpin politik. Semoga Allah menolong dan memudahkan untuk menetapi perkara-perkara yang diridhai-Nya. Amin.

Antara Dosa dan Bencana

Sudah menjadi keyakinan dasar seorang Muslim untuk meyakini bahwa perbuatan dosa itu bisa mendatangkan bencana (adzab). Perbuatan dosa dalam kadar kecil masih memungkinkan dimaafkan (An Nisaa’: 31). Begitu pula perbuatan dosa yang diikuti taubat atau istighfar, ia juga diampunkan (Az Zumar: 53). Namun dosa-dosa yang telah bertumpuk, kekafiran besar, kedurhakaan, perbuatan keji, arogansi, dan lain-lain semisal itu, ia akan mendatangkan adzab Allah. Adzab bukan hanya di Akhirat, bahkan ia ada yang diperlihatkan di dunia.

Nasib kaum-kaum di masa lalu, seperti kaum Nabi Nuh, kaum ‘Aad, Tsamud, negeri Sodom, negeri Madyan, negeris Saba’, dll. mereka dibinasakan karena dosa-dosanya yang telah memuncak. Bukti-bukti arkheologis dengan sangat baik menampakkan bekas-bekas kaum yang dimusnahkan itu. Harun Yahya membuat publikasi berharga tentang kaum-kaum yang dimusnahkan di masa lalu itu. Stasiun TV Malaysia juga pernah membuat serial dokumentasi “Jejak Rasul” yang memotret sisa-sisa kehancuran kaum-kaum itu. Sisa-sisa kehancuran kota Pompei, Atlantis, Inca, dan lainnya semakin membuktikan hal itu. Atlantis selama ini dipercaya sebagai kota yang hilang di tengah laut, karena tenggelam.

Nabi Nuh As. pernah berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya aku ini adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kalian. Janganlah kalian menyembah, melainkan hanya kepada Allah saja. Sesungguhnya aku takut kalian akan tertimpa adzab pada hari yang sangat pedih.” (Huud: 25-26). Adzab bagi kaum Nuh bukan hanya terjadi di Akhirat nanti, tetapi juga terjadi saat di dunia.

Saya menyangka, banjir di jaman Nabi Nuh waktu itu sangat dahsyat dan luas. Hal itu terlihat dari efek banjir yang berakibat menghancurkan struktur tanah, vegetasi, dan binatang-binatang. Tidak berlebihan jika Nabi Nuh diperintahkan membawa setiap pasangan binatang-binatang. Bahkan, akibat banjir itu, Jazirah Arab yang semula hijau dengan tumbuhan, terangkat permukaannya, sehingga menjadi gersang. Nabi Saw pernah mengatakan, bahwa dulunya jazirah Arab itu hijau. Sedangkan di masa Ibrahim As., wilayah di Makkah sudah gersang. Dan kita tahu bahwa Ibrahim datang setelah berlalu masa Nuh As.

Beberapa ayat Al Qur’an menjelaskan hubungan antara dosa dan bencana yang dialami manusia, antara lain:

(Keadaan mereka) adalah seperti keadaan kaum Fir’aun dan orang-orang yang sebelumnya; mereka mendustakan ayat-ayat Kami; karena itu Allah menyiksa mereka disebabkan dosa-dosa mereka. Dan Allah sangat keras siksa-Nya.” (Ali Imran: 11).

Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyak generasi yang telah Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu) telah Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan Kami ciptakan sesudah mereka generasi yang lain.” (Al An’aam: 6).

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al A’raaf: 96).

Tak ada suatu negeri pun (yang durhaka penduduknya), melainkan Kami membinasakannya sebelum Hari Kiamat atau Kami adzab (penduduknya) dengan adzab yang sangat keras. Yang demikian itu telah tertulis di dalam kitab (Lauh Mahfuzh).” (Al Israa’: 58).

Dan sebuah ayat yang menggambarkan keadaan negeri Saba’. “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (An Nahl: 112).

Negeri Saba’ diceritakan memiliki kesuburan tanah luar biasa. Tanaman tumbuh dimana-mana, dengan hasil melimpah. Mereka memiliki bendungan besar untuk mengelola irigasi. Namun setelah penduduk negeri itu durhaka, mereka tertimpa banjir besar yang menghancurkan negerinya. Setelah banjir, kesuburan tanah di negeri itu lenyap. Dimana-mana tumbuh tanaman berbuah pahit.

Kalau orang materialis, atheis, atau freemasonris, tidak percaya hubungan antara dosa dan bencana. Itu wajar saja. Sebab nenek moyang mereka telah mendahului dalam kekafiran dan kedurhakaan. Kaum-kaum yang binasa di masa lalu tidak kalah kafirnya dengan kaum materialis, atheis, freemasonris di masa kini.

Namun kalau ada Muslim yang tidak percaya kaitan antara dosa dengan bencana. Ini sungguh sangat menyedihkan. Bagaimana mungkin ajaran seterang itu tidak mereka percayai? Jangan-jangan mereka sudah tidak percaya dengan kisah Nabi-nabi di masa lalu. Apakah hati mereka sudah membatu karena keracunan pemikiran-pemikiran materialis? Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Baca entri selengkapnya »