Lupakan Dulu Sebagian Kekurangan Muslim

Maret 11, 2016
Pilih Pemimpin MUSLIM

Pilih Pemimpin MUSLIM

Idealnya, orang Muslim itu hebat, keren, pintar, bermoral, tak ada cela. Tapi mencari yang begitu kan susah. Iya gak.
.
SUATU saat, kita harus MEMAKSAKAN DIRI MENUTUP MATA atas kekurangan-kekurangan Muslim, ketika dia sedang BERTARUNG DENGAN KUFAR.
.
Sejelek-jeleknya sosok Muslim; bila berhadapan dengan kufar; dia masih LEBIH BAIK di mata Allah SWT.

(PilihMuslim).


Kala Aktivis Islam Mendukung Foke-Nara (Pilkada Jakarta)

Agustus 13, 2012

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Jujur saja, sering muncul rasa heran di hati melihat pemikiran-pemikiran politik yang berkembang di tengah para aktivis Islam di negeri ini. Sebenarnya, pola aliran politik mereka seperti apa? Konstruksinya bagaimana? Atau dengan bahasa lugas, mereka itu sebenarnya maunya apa? Kebingungan ini muncul ketika melihat begitu rapuhnya pandangan politik para aktivis Islam ketika menyikapi Pilkada DKI 2012 yang nanti mempertemukan pasangan Foke-Nara versus Jokowi-Ahok.

Kalau membaca artikel-artikel di Voa-islam.com, jelas mereka cenderung mendukung Foke-Nara. Mungkin alasannya, karena Ahok beragama Kristen; nanti kalau Jokowi diajak oleh Prabowo sebagai calon Wakil Presiden dalam Pilpres 2014, maka otomatis Ahok akan jadi penguasa DKI Jakarta, sehingga kemudian Jakarta akan berubah menjadi kota milik China. Kok sampai segitunya… Apakah persoalan politik bisa dipetakan se-simple itu?

Tabloid Suara Islam bahkan dalam edisi terbaru, terang-terangan memuat kampanye Foke-Nara di halaman terakhir, penuh satu halaman. Termasuk PKS, akhirnya menyatakan dukungan kepada Foke-Nara. Yang sangat mengesalkan dari PKS ini, padahal kita sudah sama-sama tahu bahwa PKS sangat OPORTUNIS sikap politiknya; mereka memanfaatkan momen dukungan ke Foke-Nara ini untuk memojokkan kalangan Wahabi. PKS-PKS…kalian ini belum berbuat banyak demi kemajuan hidup kaum Muslimin di Nusantara, tetapi sangat berani memfitnah saudaranya yang sebenarnya tidak ada kaitan apa-apa dengan Pilkada DKI.

Jangan Bersikap Partisan. Tetapi Kembangkan “Politik Lobi”.

Ketua DPW PKS DKI Jakarta, Slamet Nurdin, seperti dilansir oleh situs Merdeka.com, Sabtu (11 Agustus 2012) menyebut salah satu alasan PKS mendukung Foke-Nara: “Ada beberapa hal yang termasuk dalam kontrak kerja kita, putaran pertama telah terjadi hal-hal yang mengkhawatirkan berdampak kurang menguntungkan dan berpotensi untuk terjadinya perpecahan di kalangan umat. Maka sebagai penganut Ahlussunnah waljamaah, BUKAN WAHABI anti-maulid dan anti-tahlil, kedua belah pihak telah saling memaafkan dan bersepakat meminta maaf kepada pendukungnya untuk mengutamakan persatuan umat dan konstituennya.” Pernyataan ini dilontarkan Slamet di kantor DPP PKS di Jl. TB. Simatupang Jakarta Selatan. (Dikutip dari: PKS Bukan Wahabi Anti Maulid dan Tahlilan).

Pernyataan seperti ini jelas memecah-belah barisan Ummat. Katanya menghindari perpecahan, tetapi malah membuat perpecahan baru. Atau di mata PKS, kaum Wahabi bisa jadi sudah dianggap bukan bagian dari Ummat Islam? Allahu Akbar! Kaum Wahabi tidak ada kaitannya dengan Pilkada DKI, kok dibawa-bawa? Duhai nasibmu PKS, kalian bukannya mengisi Ramadhan dengan banyak amal kebajikan, malah menyebar fitnah dan perpecahan kaum Muslimin; demi kekuasaan politik. Padahal sebelumnya, PKS ini dikenal sangat benci kepada sosok Foke. Kini mereka menjilat ludah sendiri, demi syahwat kekuasaan.

Cara-cara politik menjijikkan seperti ini tidak ada MASLAHAT-nya bagi kaum Muslimin. Yakinlah, Allah tidak menyukai cara-cara keji dalam perjuangan keummatan. Disebutkan dalam Al Qur’an: “Wa annallaha laa yahdi kaidal kha’inin” (bahwa sesungguhnya Allah tidak meridhai tipu-daya orang-orang yang berkhianat). [Surat Yusuf, 52].

Jika saya menyampaikan kritik seperti ini, bukan berarti saya mendukung Jokowi-Ahok, atau melarang orang mendukung Foke-Nara. Bukan sama sekali. Maksud saya adalah: cobalah dari para aktivis Islam, para ustadznya, para kyainya, para ulamanya, mereka lebih cerdas dalam berpolitik. Jangan bersikap partisan, demi kepentingan jangka pendek, dengan asumsi-asumsi yang mentah! Kalau memang kita pro Syariat Islam, ya timbanglah semua calon itu dengan Syariat Islam. Bila di antara sekian calon itu tidak ada yang memenuhi harapan Syariat, ya sudah jangan memaksakan diri!

Apa Anda tidak pernah belajar dari kisah Nabi dan para Shahabat, bahwa mereka berkali-kali menahan diri, tidak cepat bersikap, bila keadaan belum memungkinkan? Apakah yang dinamakan politik Islami itu selalu memberikan dukungan, wahai Saudaraku? Baca kembali kisah Nabi Saw dan perjanjian Hudaibiyah! Baca juga keberanian Nabi memerintah para Shahabat hijrah ke Habasyah. Baca pula kisah ketika Nabi meminta pertolongan kepada seorang tokoh musyrik di Makkah, Muth’im bin Ady. Baca pula keberanian Nabi Saw mengikat kaum Yahudi dan kabilah-kabilah Arab di Madinah lewat Piagam Madinah. Perhatikan di semua kejadian itu, apakah Nabi Saw selalu bersikap hitam-putih dalam berpolitik?

Menurut saya, sangat berlebihan kalau kini suara kaum Muslimin di DKI dimobilisasi untuk mendukung pasangan Foke-Nara; dengan alasan bahwa Ahok itu Kristen dan punya missi menguasai Jakarta, sehingga kelak Jakarta akan dikuasai oleh orang-orang China. (Tanpa ada Ahok pun, sejak lama bisnis Jakarta sudah dikuasai China). Cara berpikir demikian lebih mencerminkan provokasi dan agitasi, bukan kecerdasan berpolitik yang dibangun di atas kedewasaan, kematangan berpikir, dan pengalaman. Apa kita tidak pernah belajar dari pengalaman sebelum-sebelum, ketika Megawati diserang dengan alasan “haram pemimpin wanita”; terbukti suara Megawati atau PDIP selalu menggungguli partai Muslim. Atau pasangan SBY-Boediono diserang dengan alasan “isterinya Boediono Nasrani” atau “isterinya SBY tidak memakai jilbab”; terbukti pasangan itu tetap menang.

Anda pernah tidak sih merasakan, betapa sakitnya hati kita ketika aspirasi politik Islam selalu diolok-olok oleh kaum Liberalis, para pengamat politik, para jurnalis, serta para peneliti akademik. Mereka sering berkata: “Lihatlah, lihatlah hasil pemilu ini! Ternyata para pemilih sekarang tidak mau lagi menjadikan sentimen agama sebagai pertimbangan untuk memilih partai atau calon pemimpin. Suara peroleh partai “Islam” semakin kecil, tokoh-tokoh politisi “Islam” selalu kalah oleh tokoh-tokoh politisi sekuler.”

Mengapa omongan-omongan seperti itu muncul? Ya karena kita terlalu bernafsu mengklaim ini dan itu, tanpa pertimbangan politik yang matang. Level pemikiran politik kita baru sebatas provokasi dan agitasi, sementara mayoritas rakyat yang dihadapi (sebagai peserta pemilu) adalah kaum “abangan” yang jauh dari nilai-nilai Syariat. Nasib kita tak ubahnya seperti PKB yang selalu mengklaim sebagai partai yang didukung ormas terbesar di Indonesia; tetapi nasib PKB sendiri sejak pemilu 1999 sampai kini, tidak pernah mengantongi dukungan suara lebih dari 13 % (semakin kesini suara PKB semakin merosot, malah nyaris tereliminasi).

Tentang sosok Foke-Nara sendiri, apa alasan Anda mendukung dirinya? Apakah Foke sosok pemimpin pro Syariat Islam? Apa benar dia akan memperbaiki kehidupan rakyat Jakarta, yang dimulai dengan memperbaiki ruhani mereka dengan nilai-nilai Islam? Apakah kepemimpinan Foke selama ini sudah Islami, sudah sesuai Syariat, sehingga layak didukung penuh? Apakah Jakarta di era Foke sudah sepi dari maksiyat, hedonisme, kriminalitas, mafia, kemiskinan, korupsi, pengrusakan lingkungan, kapitalisme, liberalisme, dan lainnya? Apakah Foke telah menjadikan Jakarta sebagai kota Qurrata A’yun (penyejuk pandangan mata), Sakinah wa Rahmah (tenang dan penuh kasih sayang), Aminatan wa Muthma’innah (aman dan damai), Baldatun Thaiyibah wa Rabbun Ghafur?

Maksud saya begini, kalau kita bersikap anti kepada Jokowi-Ahok; itu hak politik kita, boleh-boleh saja, silakan-silakan saja. Tetapi janganlah membawa-bawa nama Islam untuk mendukung Foke-Nara. Foke-Nara bukanlah pemimpin Islami yang sesuai Syariat Islam, bukan sosok pemimpin yang dimunculkan oleh agenda perjuangan kaum Muslimin; dia sama seperti politisi-politisi sekuler lainnya. Ciri kesekuleran Foke sangat jelas, lihat pada SIMBOL KUMIS-nya. Mana ada ajaran Nabi Saw yang memerintahkan: Coblos kumisnya! Ini kan simbolisasi yang bertentangan dengan Sunnah.

Jangan karena air mata Rhoma Irama, kita jadi lebay. Kita jadikan Rhoma sebagai sosok panutan Ummat. Laa haula wa laa quwwata illa billah. Padahal orang ini selama 30 tahun lebih, telah memasyarakatkan Dangdut dan mendangdutkan masyarakat. Anda pernah melihat bahwa lagu-lagu Rhoma telah banyak menipu kaum Muslimin di Asia Tenggara ini? Ratusan juta kaum Muslimin menyangka, bahwa Islam mengajarkan lagu Dangdut, membolehkan Dangdut, atau mengembangkan Dangdut; karena Rhoma selalu menyitir ayat/hadits dalam konser dan lagu-lagunya. Apakah dulu, Nabi kalian –shallallah ‘alaihi wasallam– seorang penyanyi Dangdut, dan mengajarkan agama lewat lagu-lagu Dangdut? Heran sekali, mengapa pada hari ini para aktivis Islam mendadak menjadi bagian dari “Fans setia Bang Haji”? Ada apa ini…

Akhunal karim rahimakumullah…

Dalam Pilkada DKI 2012 ini dan pilkada-pilkada lain; selagi kita belum bisa melahirkan calon yang pro Syariat Islam; cobalah jangan bersikap partisan (mendukung salah satu calon tertentu); tetapi tempuhlah POLITIK LOBI. Biarkan saja pasangan Foke-Nara bertarung dalam Pilkada DKI Jakarta; tidak perlu dipilih salah satunya, karena masing-masing tidak memenuhi kriteria Syariat Islam. Kita memilih bersikap netral saja. Lakukan pendekatan ke kedua pasangan calon; dekati mereka baik-baik, jangan dijelek-jelekkan salah satunya. Dekati mereka baik-baik, sehingga siapapun yang menang dari keduanya, kita nanti bisa memiliki efek pengaruh kepadanya. Kalau Foke menang, karena sudah kita baik-baiki, maka dia akan hargai aspirasi kita; begitu juga kalau Jokowi menang, dia juga akan bersikap baik, karena sudah kita dekati secara simpatik. Inilah politik lobi; bukan politik partisan!

Kalau kita kembangkan politik partisan (dalam kondisi tidak ada satu pun calon yang pro Syariat Islam); maka kalau nanti salah satu calon itu menang, kemenangannya akan merugikan Islam. Andaikan Foke menang, maka kemenangan-nya akan menyulut kebencian para pendukung Jokowi dari kalangan “abangan” terhadap dakwah Islam; mereka menuduh bahwa kekalahan Jokowi karena isu-isu sentimen keislaman. Andaikan Jokowi menang, karena sejak awal dia dipersepsikan sebagai politisi sekuler dan anti Islam, maka kemenangannya akan menjadi alasan bagi dia untuk terang-terangan memusuhi Islam; dan nanti hasil-hasil baik kepemimpinan dia di Jakarta akan diklaim sebagai bukti kehebatan sekularisme.

Dalam kondisi seperti Pilkada DKI 2012 ini, jangan memilih politik partisan. Tetapi pilihlah politik lobi-lobi. Kecuali, kalau kezhaliman dan kemunkaran seorang calon pemimpin sudah nyata-nyata, sangat jelas, tidak samar lagi; maka kita boleh menafikan calon itu dan menyerukan Ummat untuk tidak mendukungnya, karena alasan kezhaliman dan kemunkaran dirinya.

Demikian, semoga bermanfaat. Selamat menyempurnakan ibadah di 10 hari terakhir Ramadhan, sekaligus selamat menyambut datangnya momen Idul Fithri 1433 H. Barakallah fikum jami’an, wa taqabbalallahu minna wa minkum shalihan a’maal; minal a’idina wal fa’izin wa kullu aamin wa antum bi khair.

Ardhullah, 13 Agustus 2012.

AMW.


Apresiasi Karya Kreatif Anak Bangsa…

Juli 15, 2012

Ini adalah sebuah contoh karya kreatif anak bangsa. Temanya, video seputar Pilkada DKI Jakarta, tetapi diambil dari film “Downfall” tentang Hitler. Percakapan dalam film berbahasa Jerman, diberi subtitle bahasa Indonesia asal-asalan, tetapi cukup menggelitik. Subtitle-nya terasa begitu pas dengan adegan dalam film. Cuplikan film ini pertama saya lihat di Facebook, lalu didapati di Youtube.

Tapi…pemuatan ini tak ada niatan politiknya ya. Ini murni buat selingan dan kreativitas saja, karena kami (pengelola blog) secara politik termasuk apatis dengan Pilkada DKI Jakarta dan semisalnya. Baik Jokowi, Foke, atau siapapun di antara kandidat Gubernur DKI, jika tidak mau memperbaiki ruhani rakyat Jakarta, sulit berharap akan terjadi perubahan. Rasulullah Saw memperbaiki kejahiliyahan masyarakat Arab ketika itu, dengan memperbaiki ruhani mereka. Mestinya, momen Pemilu, Pilpres, Pilkada, dll. dimanfaatkan untuk memperbaiki jiwa rakyat, bukan malah membutakan mata-hati mereka.

Sisi kelebihan video yang diunggah oleh Sam Imot ini, antara lain:

[=]. Ia begitu cepat diunggah, pasca kemenangan versi Quick Count, pasangan Jokowi-Ahok. Berarti proses kreatifnya begitu cepat.

[=]. Pemberian subtitle-nya begitu pas dengan potongan-potongan adegan dalam cuplikan film itu. Dialog-dialognya begitu hidup dan relevan dengan action para pemain dalam film. Pas betul…

[=]. Isi dialog itu lucu dan mengesankan kritik sosial yang sangat mengena. Video ini seperti sebuah kritik sosial, tetapi ditumpangkan di atas karya “lipsync” politik.

[=]. Dalam dialog-dialog itu, terlepas apakah datanya valid atau tidak, ada semangat kejujuran yang ingin disampaikan. Ya hidup ini jujur saja…tidak usah banyak berkelit macam-macam. Kebohongan-kebohongan itu kerap kali menipu banyak manusia (awam).

Sekali lagi, pemuatan video ini, tanpa tendensi politik; namun murni untuk selingan, share, dan menggugah semangat kreativitas dalam jalur-jalur tanpa pamrih (non komersial). Semoga berarti dan manfaat ya. Amin.

Berikut link yang bisa dilihat:

Admin.


Harga Sebuah KONSISTENSI

Juli 12, 2012

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Pagi, 12 Juli 2012, sehari pasca Pilkada DKI putaran satu. Seorang sahabat senior mengkritik PKS yang katanya tidak konsisten. Justru PDIP yang jelas-jelas partai nasionalis (sekuler) malah konsisten. Beliau berkata kira-kira, “Selugu-lugunya Megawati, dia sejak dulu sampai sekarang tetap anti SBY. Beda dengan partai-partai Islam, malah seperti laron dan walang.”

Lebih keras lagi kritik beliau ke PAN, PKB, PPP. Partai-partai ini nyaris tidak punya harga diri, mencla-mencle, tukang jilat kesana-sini. Saya hanya tertawa mendengar kritikan yang penuh semangat itu. Apalagi saat beliau menyebut mereka seperti laron dan walang (belalang), tambah meriah saja rasanya. Seperti misal, tadinya PPP mendukung Alex Noerdin; tapi menjelang Pilkada menyebrang ke Foke-Nara. Begitu Pilkada, apes-lah para belalang dan laron itu; Foke tidak seideal yang diharapkan.

Kalau melihat kenyataan begini…saya ada kekhawatiran, nanti para politisi berlabel Islam itu, mereka akan ramai-ramai menjadi penyanyi Dangdut; atau menciptakan goyang “lebih ngebor” dari versi Inul; atau membentuk Boybands yang lebay dan mata jelalatan sejenis Smash; atau membentuk grup komedi semacam OVJ dan Sule; atau ramai-ramai berjualan pulsa elektrik. Ya…namanya orang oportunis (kaum laron dan walang), ya apapun kesempatan akan mereka gunakan. Apalagi selama ini tubuh mereka, daging dan darahnya, dibentuk dari rizki hasil mengkhianati amanah jutaan rakyat. Apalagi yang ditakutkan Bro…

Khusus untuk PKS, ada sedikit catatan. Mestinya, mereka konsisten untuk mendukung Bang Sani dalam Pilkada DKI Juli 2012. Tidak apa-apa suara jeblok atau kalah sekalian; tetapi yang penting mereka punya konsistensi. Tapi sejak zaman Partai Keadilan (PK) dulu sikap tidak konsisten itu juga sudah ada. Katanya semula, tidak mau masuk Pemerintahan (Gus Dur), tapi waktu ditawari jadi Menteri Kehutanan (Nurmahmudi), ternyata diterima juga.

Tentang sosok Hidayat Nur Wahid, ini juga ada masalah. Tahun 1997 beliau ikut sebuah acara besar di Masjid Istiqlal, dalam rangka mengkaji kesesatan Syiah Rafidhah. Waktu itu pakar kesesatan Syiah, KH. Irfan Zidni masih hidup (beliau pernah berguru langsung ke imam-imam Syiah di Iran). Hidayat Nur Wahid sebagai pakar Syiah, mendukung acara itu. Tetapi ketika disana ditanda-tangani “Deklarasi Istiqlal”, beliau tidak ikut menanda-tangani. Malah kemudian, beliau mengklaim, dirinya bukan termasuk golongan yang suka menyesat-nyesatkan, suka mengkafirkan. Padahal puluhan tahun beliau sudah belajar akidah Salaf, bahwa Syiah itu memang sesat.

Ya bilamana kini PKS mendapat hasil begitu (dalam Pilkada DKI 2012), dan Hidayat Nur Wahid semakin meredup pamornya…ini semua tak lepas dari sikap INKONSISTEN yang selalu dipelihara.

Oke itu dulu…yang jelas Al Qur’an mengajarkan sikap KONSISTEN di atas Al Haq. Dalam Al Qur’an, “Wa idza ‘azzamta fa tawakkal ‘alallah” (jika engkau sudah berazzam, tawakal lah kepada Allah).  Nabi Saw bersabda, “Qul amantu billahi tsumma istaqimu” (katakanlah, aku beriman kepada Allah, kemudian istiqamah-lah).

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

(Ayah Syakir).


Bolehkah Memilih Gubernur DKI Jakarta 2012?

Juli 3, 2012

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakaatuh.

Tanggal 11 Juli 2012, semua institusi negeri dan swasta di Jakarta, akan diliburkan. Kenapa? Ada Pilkada DKI, untuk memilih sosok Gubernur DKI untuk periode 2012-2017. Karena ada Pilkada, maka urusan lain diliburkan. Begitulah.

PILKADAL… Maksud Loe? Pil + Kadal…

Dalam beberapa bulan terakhir, orang-orang Jakarta, termasuk mereka yang tinggal di Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang; yang notabene bukan warga Jakarta; bahkan masyarakat non Jadebotabek yang ada di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Papua, dan sebagainya juga ikut-ikutan sibuk bicara Pilkada Jakarta. “Maklum sih, Jakarta adalah ibukota negara. Apapun yang terjadi di kota ini, bangsa Indonesia akan merasakan dampaknya,” begitu logika berpikirnya.

Saya masih ingat, beberapa tahun lalu, ketika ibunda seorang kawan meninggal di Jakarta, ketika itu sudah ada promosi sosok Bang Sani (Triwisaksana). Ketika itu sosok ini sudah dipromosikan lewat baliho-baliho besar di pinggir-pinggir jalan. Memang promosinya tidak berbau politik, misalnya Bang Sani dikenalkan sebagai sosok dai, pemuda yang simpatik, tokoh masa depan. Anda tahu, mengapa Bang Sani dipromosikan demikian? Ya, karena tujuan Pilkada DKI. Waktu itu, PKS berniat mengangkat sosok Bang Sani sebagai calon gubernur dari PKS. Tetapi, ketika detik-detik akhir menjelang penetapan calon gubernur dari PKS, tiba-tiba nama Bang Sani lenyap dari peredaran. Dia diganti total oleh sosok Hidayat Nurwahid dan Didik Rachbini.

Saya pernah bertanya ke seorang kawan, pendukung PKS, mengapa sosok Bang Sani tiba-tiba dibuang begitu saja oleh PKS, padahal dia telah dipromosikan sejak sekitar 3 tahunan sebelumnya? Dia menjawab, menurut surve internal PKS, sosok Bang Sani kurang menjual untuk Pilkada DKI 2012; masyarakat Jakarta katanya kurang berminat. Nilai elektabilitasnya rendah. Ya, kalau menurut saya, yang biasanya berpikir idealis, tetap saja PKS mesti konsisten dengan skema politik yang mereka rencanakan sebelumnya. Meskipun gagal tidak apa-apa, asalkan telah memperjuangkan NILAI; sebab hal inilah yang akan menyelamatkan kehidupan, mempertahankan eksistensi Ummat dan agama. Bukan hitung-hitungan politik yang hanya bermotif kekuasaan. Kekuasaan itu, meskipun dapat diraih, tak menjamin lestarinya kebaikan dan kehidupan; tetapi konsisten dengan janji, amanat, dan ikrar yang telah diucapkan, hal itu akan menjadikan Allah ridha; meskipun resikonya kehilangan kekuasaan. (Disini dengan mudah dapat dibaca, sebenarnya apa yang diinginkan oleh PKS lewat Pilkada DKI itu).

Pilkada DKI 2012 menjadi perhatian semua partai-partai besar, baik Demokrat, PDIP, Golkar, PKS, Gerindra, Hanura, dan lainnya. Mereka butuh Pilkada ini, karena menyangkut persiapan Pemilu dan Pilpres 2014 nanti. Kalau suatu partai bisa menguasai DKI Jakarta, maka ia bisa menjadi semacam “pundi-pundi” untuk mendanai Pemilu-Pilpres 2014. Jadi cara berpikirnya, sudah KORUPSI duluan. Mereka akan jadikan potensi keuangan di DKI Jakarta, sebagai sumber-sumber pendanaan pemenangan Pemilu-Pilpres 2014 nanti. Sampai-sampai untuk Jokowi yang masih menjabat Walikota Solo dan Alex Noerdin yang menjabat Gubernur Sumatera Selatan; keduanya dipaksakan untuk iktu Pilkada DKI 2012. Untuk apa keduanya dipaksa-paksa, padahal masih punya jabatan resmi?

Ya, itu karena sudah NGILER dengan besarnya sumber-sumber dana di DKI yang nantinya akan dipakai untuk membiayai Pemilu-Pilpres 2014 nanti. “Haduh, haduh, haduh… Duit, duit, duit… Duit di DKI ini gedhe banget. Aku nafsu banget, nafsu, aku sangat gairah…lebih nafsu daripada ke isteriku sendiri. Lebih nafsu daripada nonton VCD porno. Haduh, haduh, duit, duit…. DKI ini seksi banget. Ini akan bikin kita bisa menguasai Indonesia, dari Sabang sampai Merauke,” begitulah lamunan politisi-politisi aneh itu.

Seorang kawan lain, pendukung PKS, pernah bilang ke saya; seluruh kader-kader PKS di Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok, dilibatkan untuk pemenangan pasangan Hidayat-Didiek. Bahkan kata kawan lain, kader-kader PKS Jawa Barat (provinsi yang dekat DKI) juga dilibatkan. Wuih…gitu-gitu amat. Nafsu banget sih… Ya begitulah manusia, kalau sudah nafsu berkuasa, apapun cara dan  bagaimanapun, akan dilakukan. Tapi cara-cara demikian, bisa menghancurkan keberkahan, bisa melenyapkan kebaikan, bisa membuyarkan benih-benih kebajikan; karena sangat nafsu berkuasa.

Okelah…satu pertanyaan penting seputar Pilkada DKI 2012 ini: Bagaimana sikap seorang Muslim, apa perlu ikut Pilkada DKI atau tidak usah ikut? Kalau ikut mesti bagaimana, kalau tidak ikut apa alasannya?

Disini saya tidak akan langsung menjawab pertanyaan ini to the point; tapi akan saya sebutkan beberapa sikap kaum Muslimin saat berhadapan dengan pertanyaan demikian…

SATU. Kalau merujuk ke fatwa MUI, seperti pernah disampaikan oleh Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub, MA. bahwa golput itu haram (tidak boleh. Kaum Muslimin harus memilih dan menggunakan hak pilihnya, tidak boleh bersikap golput.

DUA. Kalau merujuk pendapat kawan-kawan Jihadis, mereka mengharamkan Pemilu/Pilkada/Pilpres, dengan alasan ia dilakukan melalui mekanisme demokrasi, sedangkan demokrasi haram mutlak menurut mereka, karena berusaha mengambil alih hak Allah dalam penetapan hukum. Dapat dipastikan, kawan-kawan Jihadis akan golput.

TIGA. Kawan-kawan Salafi berada dalam dilema. Satu sisi, mereka harus “taat ulil amri”, tetapi di sisi lain mereka juga mengharamkan Pemilu seperti pandangan Jihadis. Mungkin dalam praktiknya nanti, kawan-kawan Salafi akan datang ke TPS-TPS, tetapi sekedar datang saja, untuk memenuhi panggilan “ulil amri”. Tetapi mereka sendiri tak akan memilih, karena alasan “pemilu haram”. Soal Salafi di Mesir sudah mendirikan partai politik (An Nuur). Itu lain cerita. “Kan di Indonesia, kata ustadz-ustadz, hukum pemilu masih haram. Belum dihalalkan. Jadi kami tawaquf sajalah.” (Tawaquf, ngikut saja, gak banyak coment).

EMPAT. Pandangan moderat kawan-kawan aktivis Islam. Mereka memakai pertimbangan “politik daripada”, atau “politik memilih yang terbaik di antara yang terjelek”. Singkat kata, mereka akan tetapi memilih salah satu dari pasangan: Foke-Nara, Jokowi-Ahok, Hidayat-Didiek, dan Alex-Nono. Dua pasangan lain, dianggap “sonoh ke laut ajah”. Dalam pandangan ini, di antara sekian kandidat yang ada, pasti ada yang terbaik di antara mereka. Naga-naganya, mereka akan memilih Hidayat-Didiek, karena pasangan ini masih ada unsur “bau-bau ustadz” pada sosok Hidayat Nurwahid. Soal Hidayat punya kekurangan sekian-sekian, mereka tidak mau tahu; yang penting memilih dia karena masih ada unsur ustadz-nya. Sementara kalangan Habaib Jakarta dan komunitas “mauludan forever and forever“, mereka mendukung Foke-Nana. Karena, sosok Hidayat masih dianggap “berbau Wahabi”.

LIMA, kalangan yang tidak memilih sama sekali, karena merasa tidak ada satu pun kandidat yang layak dipilih dari 6 kandidat tersebut. Masing-masing memiliki catatan negatif yang membuatnya tidak layak dipilih. Foke-Nara kekurangan terbesarnya, dia didukung Partai Demokrat (SBY). Memilih Foke-Nana sama dengan memilih Partai Demokrat. Hendardji-Reza, dia itu seorang karateka (Ketua FORKI), tidak ada pengalaman memimpin birokrasi. Jokowi-Ahok, dia ini campuran Kejawen dan Chinese; yang terpenting, Kota Solo jelas berbeda dengan DKI Jakarta. Di Solo Jokowi bisa eksis, di Jakarta belum tentu. Hidayat-Didiek, dia pernah menjadi Ketua MPR, dan tidak ada prestasi significant. Saat jadi Ketua MPR, Pak Hidayat lebih peduli dengan isu Palestina, daripada isu bangsanya sendiri. Banyak pemuda-pemuda Islam dijadikan mainan oleh isu terorisme, tapi beliau diam saja. (Bukan karena isu Palestina tidak penting; tapi setiap pemimpin harus paham tanggung-jawab prioritas di pundaknya). Faisal Basri-Biem, intinya dia NEOLIB. Sudah tidak usah dibahas lagi. Alex Noerdin-Nono, dia ini memimpin Sumatera Selatan belum beres, kok mau memimpin Jakarta. Ini tidak layak.

Adapun alasan umumnya: masing-masing kandidat jauh dari profil politisi Islami, jauh dari keberpihakan kepada Ummat, jauh dari ghirah untuk membela kepentingan kaum Muslimin, mereka sepakat dengan agenda liberalisme-kapitalisme, mereka haus kekuasaan, mereka menjadi alat politik partai-partai menuju Pemilu-Pilpres 2014, mereka tidak ada satu pun yang pro Syariat Islam, mereka tidak ada nyali menghadapi “Mafia PBB” (mafia politik, birokrasi, bisnis), mereka bersikap rapuh terhadap manuver dan intervensi asing (seperti kepemimpinan Foke selama ini)…

Jadi intinya, tidak ada kandidat yang secara Syariat Islam layak untuk dipilih dan didukung. Mungkin sosok Hidayat Nur Wahid masih ada “bau-bau ustadz”, tetapi sosok pemimpin yang diharapkan akan membawa kebaikan bukan seperti itu. Kaidah sederhananya sebagai berikut:

[a]. Hukum asalnya, meminta jabatan itu tidak boleh. Bahkan Nabi Saw melarang memberi jabatan kepada siapa yang sangat menginginkan jabatan itu. Beliau pernah berkata kepada Abu Dzar Al Ghifari Ra, “Ya aba dzar, innaka dhaif, wa innaha amanah, wa innaha yaumal qiyamati hizyu wa nadamah” (wahai Abu Dzar, engkau itu lemah, sementara yang engkau minta itu amanah; amanah itu kelak di Hari Kiamat akan menjadi kehinaan dan sesalan). Jadi hukum asalnya, meminta jabatan itu salah; maka seluruh kandidat Gubernur DKI dan para penyokongnya, otomatis gugur total.

[b]. Namun dalam kondisi tertentu, boleh seseorang menawarkan diri untuk mengemban suatu amanah (jabatan); ketika kondisi membutuhkan manusia yang cakap, handal, dan terpercaya, sementara dia sendiri memiliki sifat handal dan terpercaya. Hal ini seperti yang ditunjukkan oleh Nabi Yusuf As ketika beliau menawarkan diri untuk mengelola Baitul Maal di Mesir, dengan alasan dirinya memiliki dua sifat utama, hafizhun ‘alim (pandai menjaga, dan berpengetahuan luas). Disini, boleh kita meminta jabatan, ketika kondisi membutuhkan tampilnya orang-orang dengan skill handal, sementara kita sendiri memiliki kemampuan itu dan memiliki komitmen moral baik.

Dalam Al Qur’an disebutkan, “Innallaha ya’murukum an tu’addul amanati ila ahliha wa idza hakamtum bainan naasi an tahkumu bil ‘adli” (Allah memerintahkan kalian menunaikan amanat kepada yang berhak, dan jika kalian menetapkan hukum hendaknya menetapkan dengan adil). Surat An Nisaa’, ayat 58.

Menurut Ibnu Taimiyyah rahimahullah, ayat ini berkaitan dengan tugas-tugas pemimpin Islam. Mereka harus menyampaikan amanat-amanat kepada yang berhak, dan menghukumi di antara manusia dengan hukum Islam secara adil. Dapat disimpulkan, posisi kepemimpinan itu benar-benar tugas suci untuk menunaikan amanat Ummat dan memberi hukum yang diridhai oleh Allah Ta’ala. Kalau kepemimpinan tidak seperti itu, ia tidak ada nilainya di sisi Allah.

Kalau dikaitkan dengan Pilkada DKI Jakarta 2012, para kandidat itu sangat nafsu ingin berkuasa dan menempati jabatan birokrasi tertinggi di DKI Jakarta; sementara mereka tidak memiliki kualitas hafizhun ‘alim (pandai menjaga dan berpengetahuan luas). Jadi dari dua kriteria itu, mereka sudah gugur. Bahkan di mata mereka, masalah utama DKI bukan soal ruhani manusia, tapi soal banjir dan kemacetan…suatu pandangan yang sangat primitif. Padahal kata Nabi Saw, sumber masalah manusia itu di hatinya. Kalau hatinya baik, baik hidupnya; kalau hatinya buruk, buruk hidupnya. Yang membuat Jakarta penuh masalah, ya karena kondisi ruhani rakyatnya centang-perenang, atau acak-kadut, atau ancur-ancuran.

Kepemimpinan Islami itu seperti Nabi Saw. Mula-mula beliau perbaiki hati manusia, perbaiki jiwa dan akhlaknya, perbaiki moral dan komitmennya; lalu diperbaiki peradabannya secara keseluruhan. Ya, kalau 6 kandidat itu, ngomong-nya dunia melulu, sampai kapan masalah Jakarta akan beres-beres? Nah, inilah kesalahan mendasar bangsa Indonesia (termasuk warga Jakarta) ketika bicara soal pemimpin. Bawaannya ngomong dunia melulu, tanpa niat memperbaiki ruhani masyarakat dengan dakwah.

Kalau kaum Muslimin di Jakarta tidak memilih salah satu kandidat, itu BOLEH. Itu SAH. Dengan alasan, tidak ada satu pun kandidat yang diyakini memiliki sifat-sifat yang layak. Dengan demikian, kita bisa berlepas diri kalau kelak ditanya oleh Allah Ta’ala soal pemimpin yang kita pilih. Kita tidak mau memilih, karena tidak ada figur yang layak dipilih.

Dalilnya adalah firman Allah, “Laa yukallifullahhu nafsan illa wus’aha” (Allah tidak membebani seseorang, melainkan sesuai kesanggupannya). Surat Al Baqarah, ayat 286. Singkat kata, Ummat Islam disuruh memilih pemimpin yang baik-baik, cakap, amanat, dan berbuat adil. Kalau sosok seperti itu tidak ada, ya tidak ada yang bisa dipilih. Bukan karena tidak mau memilih, tetapi stock pemimpin yang baiknya tidak ada. Bukan salah kita kalau tidak memilih. Kita sudah berusaha sekuat tenaga, semampunya. Bahkan sikap demikian ini merupakan CARA BERPOLITIK (Islami) juga. Itu harus diingat!!!

Kalau kita memilih pemimpin yang keliru, akibatnya akan ditanggung sampai Hari Kiamat nanti. Jangan salah mengira, setiap pilihan Anda nanti akan ditanyakan di Akhirat. Itu harus benar-benar diperhatikan. Logikanya bukan “daripada tidak memilih, mending memilih yang terbaik di antara yang terjelek”. Bukan begitu logikanya. Tetapi mestinya begini: “Kewajiban kami memilih pemimpin yang shalih, amanat, cakap, dan adil. Kalau tidak ada pemimpin begitu, ya sudah kami tidak bisa memilih. Bukan salah kami karena tidak memilih, sebab memilih pemimpin yang salah, kelak akan dipertanggung-jawabkan sampai di Akhirat.”

Bukankah di antara sekian figur itu ada yang terbaik di antara yang jelek-jelek? Mengapa kita tidak memilih sosok seperti itu? Misalnya sosok Pak Hidayat Nur Wahid yang masih ada “bau-bau ustadz”?

Jawabnya, memilih sosok demikian juga tidak menjamin kebaikan bagi masyarakat nanti. Toh, selama ini sudah ada pemimpin-pemimpin birokrasi yang background-nya ustadz, kyai, dan sebagainya. Buktinya mereka sami mawon (sama saja) dengan pemimpin-pemimpin sekuler. Malah memilih pemimpin yang ada unsur Islam-nya, sering kali menjadi menjadi fitnah bagi agama. Mengapa? Ketika pemimpin itu terbukti gagal atau tidak berkualitas; nama Islam selalu dibawa-bawa. “Tuh lihat, itu tuh akibatnya kalau memilih pemimpin seorang ustadz,” kata sebagian orang. Demi Allah, saya pernah membaca sebuah selebaran yang intinya anti pemimpin dengan background agama, setelah kegagalan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI 1999-2003. Bukannya dia memperbaiki citra Islam, malah ikut menjelek-jelekkan citra Islam di mata rakyat.

Lha, kalau tidak ada yang dipilih, lalu bagaimana dong solusinya? Masak tidak memilih sama sekali? Ini pemikiran aneh.

Jawabnya begini: Untuk saat ini, kaum Muslimin tidak bisa berharap akan ada perbaikan kehidupan dari cara-cara seperti ini. Semua ini hanya buang-buang energi, waktu, anggaran, dan lainnya. Kita tidak bisa berharap akan lahir perbaikan, lompatan, atau kemajuan lewat mekanisme semacam Pilkada/Pilpres itu. Siapapun yang terpilih disana, sulit diharapkan akan membawa perubahan positif bagi kehidupan Ummat. Kalau yang terpilih sosok ustadz/kyai, belum tentu akan menjalankan missi-missi Islam; kalau yang terpilih sosok anti Islam, toh selama ini sudah banyak orang seperti itu (contoh SBY dan kawan-kawan). Jadi lewat mekanisme Pilkada/Pilpres dan semacam ini, jujur tidak ada hasil positif yang bisa diharapkan.

Lalu solusinya bagaimana kalau tidak melalui Pilkada/Pilpres?

Solusinya, ada di antara kaum Muslimin ini yang membuat partai yang berorientasi Syariat Islam. Cita-cita dan tujuannya, murni menegakkan Syariat Islam. Lalu ia diperjuangkan dengan cara-cara politik Islami. Nah, sarana ke arah itu harus ada dulu. Setelah itu, seluruh barisan dakwah dan perjuangan Islam sepakat untuk mendukung partai tersebut. Harus muncul partai yang murni berbasis Islam. Kalau dilarang, harus terus diperjuangkan, agar bisa ikut dalam kancah Pemilu. Demi mencapai kemenangan, jangan menempuh cara seperti PKS. Partai itu harus berorientasi menyebarkan dakwah, bukan mencapai kekuasaan. Meskipun sudah habis-habisan, sudah pada meringis karena keluar dana besar, sementara hasil kekuasaan tidak ada; harus tabah, harus sabar, harus tetap konsisten di atas jalan Islam; jangan cepat silau oleh kekuasaan (seperti PKS); karena namanya perjuangan Islam, mana ada sih yang instan, bertabur bunga dan semerbak wewangian? Tapi…dengan cara dakwah ini, yakinlah Allah akan mengubah keadaan kaum Muslimin. Demi Allah Rabbul Izzati, perjuangan Partai Keadilan (PK) dulu sudah mulai membuahkan hasil berkah tersebut; kalau elit-elit PKS tidak keburu kecebur “perburuan kekuasaan”. Sudah menampak tanda-tanda baiknya, tetapi keburu dipangkas habis oleh Hilmi Aminuddin Cs, ketika tanaman masih berusia belia. Sayang sekali…

Nah, itulah solusinya. Saat ini tidak ada satu pun garis partai/sosok politisi yang mewakili perjuangan dakwah Islam dan missi Islamisasi kehidupan…maka tidak perlu memilih satu pun kandidat calon Gubernur Jakarta 2012. Siapapun sosok yang terpilih nanti, kalau dia ustadz/kyai/syaikh kecil peluang akan membawa kebaikan; kalau dia sosok anti Islam, tidak ramah kepada dakwah, sekuler murni, dan sejenisnya, maka kita sudah biasa menghadapinya.

Tapi bagaimanapun, ini adalah pendapat pribadi saya. Boleh setuju, boleh menolak. Kata Imam Malik rahimahullah, pendapat seseorang boleh diambil atau ditolak, kecuali pendapat Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam. Wallahu a’lam bisshawaab.

(Abinya Syakir).