TRAGEDI POLITIK di Indonesia

Oktober 9, 2009

Saudara-saudaraku seiman dan seaqidah…

Disini saya akan berbagi dengan Anda tentang sebuah HAKIKAT POLITIK yang sangat penting kita ketahui bersama. Hal ini merupakan refleksi dinamika politik Indonesia sejak tahun 90-an sampai saat ini (2009). Hanya saja, saya menulisnya secara singkat saja agar lebih praktis untuk dipahami. Adapun untuk penjelasan yang lebih terperinci, silakan Anda sendiri mencari dalam sumber-sumber lain. Di blog ini sendiri ada bahan-bahan yang bisa dipakai sebagai pembanding. Silakan dicari secara mandiri.

LATAR BELAKANG

Beberapa catatan dinamika politik di Indonesia yang terjadi dalam waktu-waktu terakhir ini menjadi titik-tolak tulisan ini. Misalnya catatan-catatan sebagai berikut:

=> Berbagai kasus, pelanggaran, dan kecurangan dalam Pemilu Legislatif 2009 dan Pilpres 2009.

=> Gencarnya opini “perang melawan terorisme”, padahal isu terorisme itu sendiri sudah mulai dilupakan masyarakat sejak tahun 2005 lalu.

=> Sikap pemerintah yang sangat arogan dalam kasus Bank Century. Khususnya terkait sikap Departemen Keuangan, BI, Polri, dsb.

=> Sikap pemerintah yang katanya “pro pemberantasan korupsi”, tetapi mereka diam saja ketika lembaga KPK hendak diamputasi kekuatannya. Mereka juga diam ketika berkembang opini tentang “Cicak Vs Buaya”. Padahal itu adalah ungkapan menjijikkan dalam kehidupan berpemerintahan.

=> Dukungan SBY agar Taufik Kiemas menjadi Ketua MPR, padahal semua orang tahu dalam Pilpres kemarin, bahkan dalam periode Pemerintahan 2004-2009, PDIP menjadi oposisi Pemerintah. Bahkan penentuan pejabat Ketua MPR itu sendiri tergantung pilihan politik SBY sendiri.

=> Sikap SBY kepada Partai-partai Islam/Muslim yang mendukungnya saat Pilpres 2009, seperti ungkapan: “Habis manis, sepah dibuang.”

=> Pernyataan keberatan SBY atas pernyataan Jusuf Kalla dalam Munas Golkar di Riau yang mengajak Partai Golkar agar menjadi partai oposisi terhadap Pemerintah.

=> Dukungan Pemerintah, agar Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum Golkar, menggantikan Jusuf Kalla. Tujuannya, tentu agar Golkar tidak beroposisi, melainkan mau bermitra dengan Pemerintahan SBY. Harus dicatat dengan tinta tebal, dalam susunan Pengurus Inti DPP Golkar hasil Munas di Riau, Rizal Malarangeng menjadi salah satu pengurus elit DPP Golkar. Kita tahu maksudnya, agar politik Golkar selalu sejalan dengan politik SBY.

Dari semua kenyataan di atas, dapat disimpulkan: Bahwa SBY sedang membangun kekuatan Pemerintahan yang sangat kuat, under one hand, dimana segala macam faktor-faktor politik akhirnya memusat ke dirinya. Sebagian pengamat menyebut kenyataan ini sebagai “model Orde Baru dengan baju demokrasi”. Serupa esensinya, tetapi lain namanya.

Saat ini, secara realistik, semua unsur-unsur politik sedang berlomba menengadahkan tangan ke hadirat SBY, mengharap kemurahan, kasih-sayang, dan keridhaan-nya. Apapun agenda politik SBY tidak masalah, selama bisa ikut dalam “rombongan Bapak”. Tidak terkecuali elit-elit partai Islam. Mereka tidak peduli masyarakat akan berkomentar apapun, selama mereka bisa “ikut nampang” dalam rombongan Kabinet 2009-2014. Politik hari ini benar-benar mengabdi untuk: kesejahteraan diri!

ANTI ORDE BARU

Kita masih ingat saat tahun 90-an dulu. Waktu itu Pak Harto mendekat kepada Ummat Islam (apapun tujuan politiknya). Beliau memutuskan kemitraan politik dengan Beny Murdani, setelah mantan jendral itu diindikasikan telah merancang skenario kudeta menggulingkan Soeharto. Hanya saja, media-media massa “membisu” dari agenda Beny tersebut.

Waktu itu Soeharto dikecam habis-habisan dalam isu: Korupsi, keluarganya memperkaya diri, militeristik, pelanggaran HAM, masalah Timor Timur, juga sikap otoriter anti demokrasi.

Media-media massa, para pakar akademis, para pengamat politik, cendekiawan, politisi, media-media asing, dan lain-lain, waktu itu mereka serentak menghujani Pemerintah Soeharto dengan serangan-serangan seputar isu-isu di atas. Soeharto tidak diberi waktu istirahat, melainkan dia harus menelan segala macam tuduhan-tuduhan itu. Pendek kata, Soeharto digambarkan sebagai pemimpin: Tangan besi, militeristik, korup, anti demokrasi, pelanggar HAM, dan sebagainya.

Prestasi-prestasi Soeharto tidak diungkap sama sekali. Tetapi segala borok-borok politiknya diungkap secara obralan. Icon perlawanan anti Soeharto waktu itu ada di tangan Amien Rais yang berlindung di balik struktur Muhammadiyyah, ICMI, dan penulis ahli Republika. Tujuan politik Amien Rais menghentikan sikap otoriter Soeharto, sementara saat yang sama Soeharto sedang dekat dengan Ummat Islam. Maka Amien pun menggunakan “amunisi Ummat” untuk mencapai target politiknya. [Perlu diingat, seidealis-idealisnya seorang Amien Rais, dia tetap doktor lulusan Amerika dan sangat American minded. Sehingga Adian Husaini pernah mengkrisi Amien dengan bukunya “Amien Rais dan Amerika” (?)].

Media-media massa, seperti RCTI, SCTV, Indosiar, dll. mereka juga sangat aktif dalam menggalang opini tentang arus gerakan politik anti Orde Baru. Terlebih ketika mulai bangkit gerakan mahasiswa tahun 2008, TV-TV itu sangat kuat dalam mengarahkan opini ratusan juta rakyat Indonesia.

IRONI ERA REFORMASI

Sejujurnya, kita bersyukur ketika ada gerakan sosial-politik untuk memperbaiki kondisi kehidupan bangsa Indonesia. Demi Allah, kita bersyukur atas semangat masyarakat (khususnya aktivis) untuk mengadakan perbaikan kondisi Orde Baru. Orde Baru jelas jauh dari ideal, banyak kekurangan-kekurangannya. Ketika hal itu ingin diperbaiki, ya alhamdulillah. Itulah yang diinginkan semua pihak. Pendek kata, agenda-agenda politik untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat Indonesia adalah sangat mulia.

Namun anehnya, setelah Reformasi berjalan lebih dari 10 tahun (1998-2009) kenyataan baik yang kita harapkan sangat jauh dari harapan. Ya, masyarakat semua telah menyaksikan bahwa kondisi kehidupan saat ini jauh lebih sulit ketimbang era Orde Baru dulu. Secara sederhana saya katakan: “Apa sih artinya Reformasi itu? Apa sih arti Reformasi secara bahasa?” Reformasi kan artinya perbaikan, atau rekonstruksi. Lho, kok setelah Reformasi bergulir kehidupan masyarakat menjadi semakin buruk, sengsara, penuh penderitaan lahir-batin? Berarti selama ini yang terjadi bukan Reformasi, tetapi DEKONSTRUKSI (penghancuran) kehidupan.

Alih-alih mau menyamai prestasi Orde Baru dalam kebaikan, menyamakan harga beras saja agar sama seperti era Orde Baru dulu dengan standar Rp. 1000,- per kilogram, susahnya bukan main. Bahkan sangat musrtahil tercapai saat ini. Meskipun Indonesia diklaim telah “swasembada beras”.

Dan lebih aneh lagi ketika kita menyaksikan sikap-sikap politik regim SBY dalam 5 tahun terakhir, khususnya sejak 2008 sampai 2009. Hal-hal yang dulu dikecamkan ke Soeharto, sepertinya satu demi satu dilakukan oleh penguasa masa kini. Sikap otoriter, pemusatan kekuasaan, memakai mesin birokrasi untuk tujuan politik, bersikap repressif kepada Ummat Islam (dalam isu terorisme), dan sebagainya, kini dilakukan lagi.

Dan untuk semua kenyataan ini: Media massa, pakar politik, pakar akademisi, para cendekiawan, media-media Barat, politisi, para birokrat, dan sebagainya, mereka memilih diam, membiarkan, mendukung, men-support, melindungi, mengiyakan, memproteksi, dan seterusnya. Ketika Soeharto melakukan hal-hal yang zhalim dalam politiknya, mereka semua sepakat MENGEROYOK Soeharto sampai terjatuh. Tetapi saat sikap-sikap otoriter itu dilakukan oleh penguasa saat ini, mereka diam seribu bahasa.

Inilah kenyataan yang sangat aneh bin ajaib. Ketika Soeharto bersikap otoriter, semua pihak menghabisinya dengan hujatan-hujatan luar biasa. Namun saat penguasa saat ini (SBY) bersikap otoriter dan memusatkan kekuasaan ke dirinya, mereka semua diam saja, seolah seperti “gak tahu apa-apa”. Dari sekian banyak media-media TV, hanya MetroTV saja yang berani bersikap independen. Meskipun dalam banyak kasus yang lain, MetroTV juga sama-sama membeo kekuasaan.

INTINYA DI MANA?

Kita menjumpai perkara yang sama, yaitu sikap OTORITER penguasa, baik di masa Orde Baru, maupun di zaman sekarang. Sama-sama otoriternya. Hanya saja, Soeharto lebih panjang waktu berkuasanya, sehingga lebih banyak catatan kezhalimannya yang ditulis para pemerhati. Sementara SBY baru 5 tahun, dan akan memimpin 10 tahun, dengan ijin Allah. Baik kepemimpinan Soeharto atau SBY, sama-sama mengadung sikap politik otoriter. Hanya bedanya, Soeharto mudah tersenyum, sedang yang satu lagi mahal senyum.

Mengapa sikap media massa, pengamat, akademisi, politisi lain kepada dua pemimpin itu (Soeharto dan SBY)?

Ternyata yang membuat berbeda itu adalah keberpihakan masing-masing pemimpin. Seoharto berpihak ke petani, nelayan, penguasaha kecil, pengrajin, pedagang. Dia juga berpihak ke pembangunan desa, KUD, koperasi, BMT, transmigrasi, dan lain-lain. Sementara SBY secara umum berpihak ke AGENDA LIBERALISASI dan WESTERNISASI. Nah, inilah beda utamanya. Soeharto berpihak “ke dalam”, sementara SBY berpihak “ke luar”.

Bagi media massa, para pakar, pengamat, politisi, pengusaha, dll. tidak masalah dengan sikap OTORITER, ZHALIM, DEMOKRASI CURANG, dll. selama tetap mendukung agenda liberalisasi. Dengan liberalisasi, mereka diberi kebebasan untuk membabat rakyat kecil yang lemah (mustadh-afin) sesuka hatinya. Sementara kalau sistem PROTEKSI ala Soeharto, mereka merasa sangat terbelenggu, terpenjara, untuk menghabisi kehidupan rakyat kecil.

Bagi para pendukung liberalisasi itu, “Bullshit dengan demokrasi.” Mereka sama sekali muntah dengan prinsip-prinsip demokrasi, atau apalah yang selama ini didengung-dengungkan. Bagi mereka target utamanya bukan menjadi “penyelamat demokrasi atau HAM”, tetapi mendapat kesempatan bebas untuk menindas masyarakat kecil sesuka hati, seenak perutnya sendiri, dimanapun dan kapanpun mereka menginginkannya. Nah, inilah intinya target mereka.

Demokrasi dimanapun akan mereka bela mati-matian, kalau dengan jalan itu mereka bisa menindas orang-orang lemah sesuka hatinya. Sebaliknya, demokrasi akan mereka kencingi, mereka ludahi, mereka injak-injak, kalau demokrasi ditujukan untuk melindungi kepentingan rakyat kecil, masyarakat lemah, seperti rakyat Indonesia selama ini.

Jadi tujuan utama mereka adalah: ketamakan harta-benda, penindasan masyarakat untuk memperkaya diri, memuaskan hawa nafsu hewani mereka.

REKOMENDASI

Saya menasehatkan kepada saudara-saudara budiman:  jangan pernah lagi percaya dengan media massa, para pakar politik, pengamat, akademisi, politisi, pejabat politik, dan lain-lain. Jangan mempercayai mereka semua, sebab mereka hanyalah “senjatanya kaum kapitalis”. Mereka tidak jujur dalam ucapan, tindakan, dan pemikiran-pemikirannya. Mereka hanyalah “centeng-centeng” kapitalisme, jangan dipercaya sama sekali. Mempercayai mereka, sama saja dengan ridha terhadap penindasan masyarakat.

Hanya memang sulitnya, masyarakat Indonesia sebagian besar kurang terpelajar, sangat lugu, dan mudah diapusi (ditipu). Inilah masalah besar kita selama. Alhamdulillah, Allah mengajarkan kita pengertian-pengertian tentang “benang merah” berbagai persoalan. Namun sayang, rakyat sendiri awam, polos, gampang sekali dikendalikan dengan iming-iming materi. Itulah dilemanya hidup di negeri Indonesia ini.

Tapi apapun juga, jangan berputus-asa. Lakukan perbaikan sekuat kemampuan. Hidup kita tak lebih dari sebuah ungkapan, “In uridu illal ishlaha mastatha’tu” (aku ini tak lain hanyalah menginginkan perbaikan, sekuat kemampuanku). Ya terus lakukan perbaikan, sampai Allah memberi satu dari dua kenyataan: Hidup mulia dalam Islam, atau wafat sebagai bagian dari para syuhada’.

Alhamdulillah Rabbil ‘alamin. Wallahu A’lam bisshawaab.

(Mine).