Bid’ah dan Beberapa Perkara Baru

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Seperti dijelaskan sebelumnya, bid’ah secara bahasa ialah sesuatu yang baru, ciptaan baru tanpa contoh sebelumnya, atau suatu perkara yang diada-adakan. Dalam istilah lain bid’ah juga kerap disebut sebagai muhda-tsatul umur (urusan baru yang diada-adakan).

Ummat Islam sangat diperingatkan oleh Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam terhadap urusan bid’ah ini karena belajar dari pengalaman para pengikut Nashrani yang banyak berbuat bid’ah, lalu mereka tersesat. Bid’ah di kalangan Nashrani misalnya, mewajibkan kerahiban, sehingga seorang rahib Nashrani meninggalkan dunia, tidak menikah, mengasingkan diri dalam biara-biara untuk fokus ibadah. Mereka juga menghalalkan gambar dan patung-patung orang shalih, menghalalkan Salib dan menyembahnya, menjadikan kuburan orang shalih sebagai tempat bersujud (dulunya dalam ibadah Nashrani ada ritual bersujud), dan sebagainya.

Baru Tidak Selalu Bid'ah. You Know?

Rasulullah  Shallallah ‘Alaihi Wasallam dalam hadits populer dari Irbath bin Sariyyah Radhiyallahu ‘Anhu pernah berkata: “Wa iyyakum min muhdatsatil umur, fa inna kulla muhdasatin bid’ah, wa kulla bid’atin dhalalah” (hati-hatilah kalian dari perkara baru yang diada-adakan, karena setiap yang baru (diada-adakan) itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat). Dalam riwayat lain disebutkan tambahan, “Wa kullu dhalalatin fin naar” (dan setiap yang sesat itu nanti resikonya masuk neraka). Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

Jadi, menghindari bid’ah itu adalah jalan untuk menjauhkan diri dari siksa neraka. Bukan karena ingin disebut Wahabi, atau karena ingin menang-menangan dalam perdebatan. Mungkin ada yang bilang: “Lihat nih, gua lebih hebat dari lu. Gua dalilnya lebih kuat, sedangkan lu dalilnya rusak. Singkat kata, gua nih calon ahli syurga, sementara lu calon ahli neraka. Rasain tuh jadi calon ahli neraka! Ha ha ha…!” Omongan seperti ini tidak boleh ada dalam agama. Ia adalah omongan setan yang nyaru menjadi manusia. Dalam beragama kita harus “mukhlishina lahud diin” (mengikhlaskan agama semata-mata untuk Allah). Bukan untuk menang-menangan di mata manusia.

Banyak orang mendefinisikan bid’ah dengan pengertian sekedar: “Sesuatu yang tidak ada di zaman Nabi” (maa laa yakunu fi ahdin Nabi). Definisi demikian terlalu general. Nanti bisa menimbulkan masalah-masalah ketika kita bertemu hal-hal baru yang tidak ada di masa Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam.

Mestinya definisi itu diperbaiki menjadi: “Sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan tidak sesuai dengan Syariat Islam” (maa laa syara’allahu bihi wa Rasuluhu, wa huwa yukhalifu Syariatal Islam). Intinya, bid’ah itu selain tidak diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, ia juga menyelisihi Syariat Islam. (Dalam hal ini, Anda mesti ingat kaidah para ulama, bahwa Syariat Islam ditujukan untuk menjaga jiwa, menjaga agama, menjaga harta, menjaga akal, menjaga keturunan kaum Muslimin).

Kemudian pertanyaannya, adakah hal-hal baru yang tidak ada di masa Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam, tetapi ia sesuai dengan Syariat Islam? Jawabnya, ada dan banyak! Nah, hal demikian harus benar-benar dipahami, agar Anda tidak bingung ketika memahami persoalan Sunnah dan bid’ah.

Disini akan kita sebut hal-hal yang baru tersebut, dengan izin dan rahmat Allah Ta’ala:

[A]. MASLAHAH MURSALAH. Istilah ini sudah populer di kalangan pengkaji ilmu-ilmu fiqih. Intinya, dalam Islam itu ada urusan-urusan baru yang tidak pernah dilakukan di masa Nabi, tetapi ia sangat dibutuhkan oleh Ummat Islam, demi kemaslahatan hidupnya. Para ulama menyebut dengan istilah al maslahah al mursalah.

Contoh perkara yang masuk urusan ini ialah: Penulisan Mushaf Al Qur’an, penyeragaman Qira’ah Al Qur’an, penerapan sistem administrasi yang mengadopsi sistem orang Persia di masa Khalifah Umar Radhiyallahu ‘Anhu, musyawarah untuk menentukan Khalifah kaum Muslimin, mengangkat pegawai Khalifah dan memberikan gaji kepadanya, membuat kaidah-kaidah keilmuwan Islam, penulisan dan penerbitan buku-buku ilmiah, pendirian madrasah-madrasah Islam, membuat sistem militer yang teratur dan tetap, dan lain-lain. Semua perkara ini tak ada di masa Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam, tetapi sangat dibutuhkan oleh Ummat, sehingga ia diadakan dan dipelihara dari masa ke masa. Alasannya, kalau perkara-perkara itu tidak dilakukan, khawatir akan muncul kerusakan atau madharat yang merugikan.

Dulu di masa Rasulullah Shallallah ‘Alaihi Wasallam untuk belajar agama, kaum Muslimin belajar di masjid-masjid, dalam halaqah-halaqah majlis taklim. Tetapi cara seperti itu dianggap kurang efektif dan memenuhi kebutuhan Ummat. Maka dibentuklah madrasah-madrasah untuk mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Dengan adanya madrasah ini, proses belajar bisa lebih fokus, terarah, dan hasilnya lebih mudah dilihat.

Dasar pikiran yang sama dikembangkan di dunia militer, pelayanan kesehatan, pengembangan ekonomi, baitul maal, birokrasi, dll.

[B]. IJTIHAD ILMIAH. Selain al maslahah al mursalah, ada pula perkara ijtihad. Ijtihad ini ialah kerja ilmiah secara sungguh-sungguh untuk memberikan solusi atas masalah-masalah aktual kaum Muslimin, berlandaskan Syariat Islam. Jadi ijtihad itu bermula dari masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan kaum Muslimin, sedangkan solusinya secara qath’i (pasti) belum ada dalam Kitabullah dan Sunnah. Maka para ulama bersusah-payah mengkaji dalil-dalil Syariat untuk memberikan solusi atas masalah itu.

Imam Syafi’i rahimahullah dikenal sebagai salah seorang Ulama Mujtahid (ulama yang banyak berijtihad). Ketika beliau tinggal di Irak, fatwa-fatwa beliau dikenal sebagai Qaulun Qadim (pendapat lama). Ketika kemudian pindah ke Mesir, pendapat-pendapat beliau dikenal dengan sebutan Qaulun Jadid (pendapat baru). Ketika diteliti mengapa Imam Syafi’i seolah berubah pendapatnya. Ternyata, beliau menyesuaikan pendapatnya dalam Qaulun Jadid dengan kenyataan masyarakat di Mesir yang umumnya bekerja sebagai petani. Disini dapat dilihat betapa eratnya hubungan antara ijtihad ulama dengan masalah-masalah kehidupan sosial suatu masyarakat.

Kalau al maslahah al mursalah dibutuhkan untuk memenuhi kemaslahatan hidup kaum Muslimin dan menghindarkan mereka dari resiko madharat (mafasid). Maka ijtihad ulama muncul sebagai respon atas masalah-masalah aktual yang muncul dalam kehidupan Ummat, dimana masalah itu belum ada dalilnya yang pasti dalam Syariat Islam (Kitabullah dan As Sunnah).

Contoh, di zaman modern kita menemui hal-hal baru seperti internet, televisi, operasi cesar, operasi plastik, donor organ tubuh, kloning, rekayasa genetik, bank, asuransi, transaksi elektronik, hukum merokok, video porno, dll. Semua ini masalah-masalah aktual yang muncul di tengah kaum Muslimin. Ia tidak secara pasti ada dalilnya dalam Kitabullah dan As Sunnah, sehingga membutuhkan kerja keras ulama untuk meneliti masalah itu dan mengeluarkan hukum-hukumnya.

Dalam urusan maslahah mursalah jelas-jelas tujuannya untuk mencapai maslahat dan menolak kerusakan (mafsadah). Tetapi dalam kasus ijtihad, tidak bisa dipastikan bahwa setiap urusan disana otomatis halal dilakukan. Tidak demikian. Hukum perkara-perkara dalam ijtihad bisa halal (mubah), haram, atau syubhat (meragukan). Jadi dalam perkara ijtihad tidak selalu mengharuskan untuk dilakukan. Kalau suatu urusan diputuskan hukumnya haram, maka ia jelas harus dijauhi.

Sejujurnya, peranan MUI selama ini lebih banyak dalam ranah perkara-perkara ijtihad ini. MUI dengan Komisi Fatwa-nya bekerja menghasilkan keputusan-keputusan hukum untuk memberi kepastian hukum atas masalah-masalah sosial yang ada, sesuai dengan Syariat Islam (menurut metode yang diterapkan di MUI).

[C]. ADAT. Selain maslahah mursalah dan ijtihad, ada pula perkara adat. Adat adalah suatu kebiasaan masyarakat yang bersifat alamiah, berkembang secara turun-temurun dalam masa yang panjang, dan menjadi ciri khas suatu masyarakat dibandingkan masyarakat lain. Dalam banyak hal, adat ini diberi toleransi oleh ajaran Islam, sehingga ada kaidah fiqih, “Al ‘adad al muhakamah” (adat itu bisa memberikan nilai hukum).

Kalau disebut adat, jangan Anda bayangkan kita bicara tentang kreasi-kreasi kesenian suatu masyarakat, seperti tari-tarian, baju adat, ritual adat, rumah adat, adat pernikahan tradisional, dll. Bukan, bukan yang semisal ini; meskipun pada bagian-bagian tertentu ada korelasinya. Pendek kata, Anda lepaskan dulu kesan bahwa adat itu adalah kesenian. Lepaskan dulu gambaran seperti itu!

Perkara adat ini, misalnya soal makanan pokok. Di dunia Arab dan di masa Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam yang dikenal sebagai makanan pokok adalah kurma dan  tepung untuk membuat roti. Di Indonesia, kita makan beras; di Madura –katanya- masyarakat mengonsumsi jagung; di Maluku masyarakat mengonsumsi sagu; di Papua masyarakat mengonsumsi ubi-ubian. Ketika tiba saat membayar Zakat fitrah, maka ketentuan yang berlaku di negara kita tidak ditakar dengan kurma atau tepung, tetapi dengan beras, jagung, sagu, atau ubi-ubian.

Contoh lain, profesi petani padi berbeda dengan profesi pencari sagu, apalagi nelayan pencari ikan di laut. Kalau petani padi, setiap pagi datang ke sawah, lalu pulang sore hari. Maka pencari sagu, mereka bisa kapan saja datang ke hutan untuk menebang pohon sagu, lalu memproses batang-batang sagu untuk mendapatkan makanan yang dibutuhkan. Berbeda lagi dengan nelayan, mereka pergi ke laut malam-malam, pulang saat pagi atau siang hari. Lalu apa pentingnya kita membedakan profesi-profesi ini? Jelas penting, sebab hal itu menyangkut pengaturan waktu sehari-hari yang dikaitkan dengan kewajiban Shalat Lima Waktu. Hal itu juga berkaitan dengan penggunaan air dalam profesi tersebut. Petani sangat butuh air untuk mengairi sawah, nelayan butuh air tawar untuk minum di tengah laut, sedang pencari sagu juga butuh air untuk menghasilkan sagu. Begitu pula, profesi tersebut juga berkaitan dengan modal yang dibutuhkan disana.

Contoh lain, misalnya tentang bentuk bangunan masjid. Di Indonesia, setiap masjid selalu dilengkapi atap dan saluran-saluran air, karena di Indonesia sering hujan. Air hujan kalau tidak diatur, bisa menimbulkan banyak masalah di dalam masjid. Namun di negara Afrika (seperti Sudan, Somalia, Tunisia, dll.) bentuk bangunan masjid tidak harus seperti di Indonesia, sebab disana hujan jarang turun. Maka saat membangun masjid di Indonesia, wajib hukumnya membuat atap yang rapat dan saluran-saluran air. Hal ini sesuai dengan kondisi kita di negeri ini. Kalau membuat masjid berbentuk bulat-bulat seperti di Afrika, tanpa saluran air yang memadai, hal itu justru dilarang.

Contoh lain, makanan orang Indonesia kebanyakan cirinya mengutamakan cita-rasa (rempah-rempah), keragaman menu, kandungan protein hewani terbatas, banyak mengandung karbohidrat dan serat. Pola makan seperti ini mungkin terkait dengan kondisi alam yang ramah, hangat dan banyak hujan. Kalau di negara-negara dengan empat musim, saat ada musim dingin, menu ala orang Indonesia sangat tidak cocok. Menu ala Indonesia dianggap tak cukup untuk melawan rasa dingin. Maka ketika musim dingin di bulan Ramadhan, di negara-negara itu jangan sekali-kali memberikan menu masakan Indonesia, kecuali sekedar selingan saja.

Banyak contoh adat kebiasaan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, antara satu negara dengan negara lain. Adat kebiasaan itu nanti bisa menghasilkan hukum “wajib” dan “haram”, disesuaikan dengan kondisi adat kebiasaan setempat. Misalnya, bagi orang Indonesia, membuat tempat wudhu berdampingan dengan toilet, di setiap masjid-masjid adalah hal lumrah. Tetapi belum tentu itu cocok di Afrika, karena untuk mendapatkan air saja disana tidak mudah. Maka membuat tempat wudhu di setiap masjid di Indonesia bisa dianggap “wajib”, tetapi tidak untuk di Afrika. Begitu pula, orang Indonesia pergi ke masjid dengan baju tipis dan sarung, hal itu biasa dan lumrah. Tetapi di negara-negara empat musim, saat turun salju, memakai pakaian seperti itu ke masjid, sama juga dengan “bunuh diri”. Maka ia bisa dianggap perbuatan “haram” karena mencelakakan diri sendiri.

[D]. INOVASI KEDUNIAAN. Inovasi keduniaan juga merupakan hal-hal baru. Biasanya ia terkait dengan perkembangan teknologi, perkembangan sarana, atau perubahan kebiasaan hidup. Alat-alat modern seperti TV, internet, HP, telepon, pesawat terbang, mobil, mesin, obat-obatan, alat medis, dll. merupakan produk-produk inovasi kehidupan.

Hukum penemuan produk seperti ini afdhal (utama). Ia serupa seperti ilmu-ilmu agama yang bermanfaat. Seorang Muslim yang menemukan hal-hal bermanfaat itu, ia akan mendapat PAHALA JARIYAH (terus mengalir), selama penemuannya terus bermanfaat bagi kehidupan Ummat. Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallah ‘Alaihi Wasallam: “Al ‘ilmu yuntafa’u bihi” (ilmu bermanfaat termasuk amal yang tidak terputus pahalanya).

Bisa juga dimasukkan sebagai dalil dalam urusan ini ialah sabda Nabi:  “Man sanna fil Islami sunnatan hasanatan falahu ajruhu bi mitsi ujuri man tabi’ahu, wa laa yanqhusu min ajrihim syai’a” (siapa yang memulai dalam Islam ini suatu sunnah yang baik, maka dia mendapat pahala sebanyak pahala orang-orang yang mengikutinya, dengan tidak mengurangi pahala mereka sedikit pun). Inovasi Salman Al Farisi Radhiyallahu ‘Anhu saat mengusulkan konsep “perang parit” dalam Perang Ahzab, bisa dimasukkan kategori amal ini. Beliau mengusulkan suatu teknik baru yang belum dikenal di Jazirah Arab sebelumnya, dan teknik itu bermanfaat.

Seharusnya, dalam urusan-urusan keduniaan ini kaum Muslimin sangat semangat, gigih, dan kerja keras. Disini terbuka lebar jalan-jalan menuju pahala jariyah yang kan terus mengalir. Jangan sebaliknya; dalam urusan ibadah malah banyak inovasi, sedang dalam keduniaan lebih banyak bersandar kepada takdir; atau selalu menanti datangnya Imam Mahdi. Ironis sekali!

Demikianlah, ternyata ada hal-hal baru dalam Islam yang bukan termasuk bid’ah. Ia adalah al maslahah al mursalah, al ijtihad, dan adat suatu masyarakat. Anda harus bisa bedakan perkara-perkara ini dengan bid’ah. Bedakan dengan baik, insya Allah dirimu akan dilapangkan untuk memahami Syariat agama ini. Allahumma amin. Bid’ah ya tetap bid’ah, tidak perlu disebut bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah.

Semoga artikel sederhana ini bermanfaat. Mohon dimaafkan atas segala salah dan kekurangan. Allahummaghfirli wa li walidaiya marhamhuma ka maa rabbayani shaghira. Allahummaghfir li umina min kulli khathiah wa dzunub, wa yassir laha hayataha fi baqiyati ‘umriha, wahdi qalbaha ila maghfiratika, rahmatika, wa husnil khatimah.

(Wahai pembaca budiman, mohon ikut doakan, agar Bundaku dapat menjalani sisa hidupnya dalam sakinah dan kedamaian, serta beliau diberi khusnul khatimah. Semoga nikmat yang demikian juga diberikan kepada Bunda Anda sekalian, serta Bunda orang-orang Mukmin seluruhnya). Amin Allahumma amin. Wa shallallah ‘ala Rasulillah Muhammad wa ‘ala alihi wa ashabih ajma’in.

Jabodetabek, 17 Desember 2011.

[Ayah Aisyah, Fathimah, Khadijah].

Catatan: Naskah ini sudah ditulis sejak pertengahan Desember 2011, tetapi baru publikasi sekitar pertengahan Januari 2012. Harap dimaklumi!

Komentar ditutup.