Ulil Amri dan Ketaatan Politik Ummat

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Bulan Syawwal sering dimaknai sebagai bulan “peningkatan”, khususnya peningkatan taqwa kita setelah sebulan penuh menjalankan ibadah Ramadhan. Syawwal memiliki korelasi kuat dengan tujuan ibadah shaum itu sendiri, “La’allakum tattaquun“.

Demi membuka lembar-lembar bulan Syawwal dan seterusnya dengan nilai-nilai PENAMBAHAN, berikut saya tulis sebuah topik menarik tentang kaitan antara Syariat Islam, Ulil Amri, dan kepatuhan politik Ummat terhadap lembaga Ulil Amri itu sendiri. Dan hal ini tidak lepas dari perselisihan yang terjadi di antara kita seputar penentuan momen Idul Fithri 1432 H.

Dalam konteks kehidupan di Indonesia, muncul pertanyaan serius: “Mana yang lebih tepat dilakukan oleh kaum Muslimin Indonesia, apakah mentaati penetapan momen 1 Syawwal menurut Pemerintah, atau memilih yang diyakini lebih benar daripada penetapan itu?”

Harmoni di Bawah Naungan Syariat Ar Rahmaan.

Pertanyaan ini kemudian melebar menjadi: “Apakah Pemerintah seperti yang berlaku di Indonesia ini layak disebut Ulil Amri, seperti yang diajarkan oleh Al Qur’an dan As Sunnah?”

Sebenarnya sikap politik ini bagi saya pribadi bukan sesuatu yang baru. Dalam banyak kesempatan sudah saya jelaskan sikap politik itu. Minimal, sikap politik saya pribadi. Tetapi tidak mengapa diulang disini, sekalian diberi penjelasan lain, agar semakin jelas di mata Ummat. Insya Allah.

Konstruksi politik Islami setidaknya dibangun di atas 3 landasan utama:

PERTAMA, kaum Muslimin diperintahkan taat kepada Allah, taat kepada Rasul Allah, dan kepada Ulil Amri di antara kaum Muslimin. (Surat An Nisaa’: 59). Para ahli tafsir menjelaskan, makna Ulil Amri itu bisa dua macam: Pemimpin Ummat Islam dalam mengurusi kehidupan, atau para ulama yang membimbing dengan ilmu Syariat.

KEDUA, kewajiban kaum Muslimin untuk selalu menetapi Al Jamaah, dan tidak keluar dari ketaatan kepada Ulil Amri. Bila keluar dari ketaatan itu, mereka bisa mendapat kematian seperti mati jahiliyyah. Sebagian ulama hadits menjelaskan, seperti mati jahiliyyah maksudnya mati tanpa tanggung-jawab pemimpin atau kesaksian darinya seperti layaknya kematian orang kafir.

KETIGA, apabila terjadi perselisihan pendapat, dalam segala persoalan apapun, kembalinya ialah kepada Allah (hukum Al Qur’an) dan Rasul-Nya (hukum Rasul-Nya). Dalilnya, masih Surat An Nisaa’ ayat 59. Bahkan dalil ini masih kelanjutan dari dalil ‘athiullah wa ‘athiurrasula wa ulil amri minkum di atas.

Konsep politik Islam tak akan jauh dari ketiga prinsip ini, meskipun diungkapkan dengan bahasa/kalimat berbeda-beda. Ketiga prinsip di atas menjadi alas bagi tegaknya peradaban Islam di bidang siyasah (politik).

Pertanyaan yang kerap muncul: “Bagaimana dengan keadaan pemerintahan-pemerintahan yang berdiri di negeri-negeri Muslim? Mereka tidak menegakkan Syariat Islam, atau menegakkan sebagiannya dan melarang sebagian lainnya; apakah mereka bisa diklaim sebagai Ulil Amri?”

Di kalangan para penuntut ilmu, masalah seperti ini menjadi perdebatan pelik. Satu pendapat, menerima setiap penguasa sebagai Ulil Amri, bagaimanapun cara mereka mendapatkan kekuasaan. Salah satu contoh, ialah pendapat seorang ustadz sebagai berikut: Apakah Presiden Termasuk Ulil Amri? Pendapat lain, tak mengakui bahwa pemerintah sekuler seperti di Indonesia termasuk Ulil Amri (atau Wulatul Amri). Alasannya, Ulil Amri itu adalah pengurus urusan Ummat dalam hal-hal yang selaras dengan Syariat Islam.

Kalau kita mengkaji Sirah Nabawiyyah dari kehidupan dan perjuangan Nabi Saw, insya Allah kita akan mendapat bekal yang cukup untuk memahami segala musykilah (keruwetan) persoalan ini. Hanya saja masalahnya, sanggup kah kita menghadapi Sirah Nabawiyyah itu dengan hati lapang dada? Kalau tak sanggup, nah disana masalah utamanya.

Disini akan coba kita runut beberapa isu penting seputar politik Islami, dengan dalil perbuatan Rasulullah Saw sesuai lembaran-lembaran sirah kehidupan beliau dan para Shahabat Ra. Untuk memudahkan, disini akan dijelaskan dengan beberapa poin pertanyaan.

1. Apakah Rasulullah Saw tunduk kepada hukum jahiliyyah (non Islami)?

Jawabnya, TIDAK sama sekali. Rasulullah tidak tunduk kepada hukum non Islami apapun. Ketika berdakwah di Makkah selama 13 tahun, Rasulullah dipaksa untuk taat dengan hukum-hukum kaum musyrikin Quraisy. Namun Rasulullah tidak melakukannya. Puncaknya, beliau memilih hijrah ke Madinah daripada tunduk kepada hukum non Syariat Islami.

Ketika di Madinah pun, kaum Yahudi telah memiliki posisi politik kuat, dan mereka memiliki hukum-hukum yang berlaku atas kaumnya. Disana pun Rasulullah tidak tunduk kepada hukum Yahudi. Beliau hanya menjalin kerjasama damai dengan Yahudi yang kita kenal sebagai Piagam Madinah itu. Pernah terjadi, Umar bin Khattab Ra suatu saat membawa kitab Taurat dan ingin mengambil kebaikan-kebaikan darinya. Rasulullah mengingkari perbuatan Umar Ra itu, dan beliau bersumpah; jangankan hanya Umar, andai Nabi Musa As sendiri masih hidup, beliau harus tunduk kepada hukum Nabi Saw.

Lihatlah dengan jelas; saat masih dakwah maupun sudah berkuasa, Nabi Saw tak pernah mau tunduk kepada hukum non Islami.

2. Apakah wajib menegakkan hukum Islam bagi Ummat Islam dalam kehidupannya?

Jawabnya, YA! Wajib bagi kaum Muslimin menegakkan hukum Islam dalam kehidupannya, apabila mereka sanggup mewujudkan hal itu. Bila tak sanggup, mereka wajib mengusahakan hal itu, sekuat kemampuannya. Dalilnya adalah ayat Allah, “Fattaqullaha mastatha’tum” (taqwalah kalian kepada Allah sekuat kesanggupanmu).

Nabi Saw ketika mendapat kekuasaan di Madinah, beliau mulai menerapkan Syariat Islam secara bertahap sampai sempurna. Ketika beliau menaklukkan Kota Makkah, beliau seketika itu langsung menerapkan Syariat Islam di Makkah. Bentuknya berupa membersihkan area Ka’bah dan Kota Makkah dari segala berhala dan simbol-simbol kemusyrikan. Juga ketika itu beliau meminta bai’at dari penduduk Makkah, termasuk kaum wanitanya. Beliau menetapkan hukuman mati atas tokoh-tokoh penghina Islam di Makkah, dll. Ini adalah bukti sikap Nabi Saw dalam menegakkan Syariat Islam.

Sikap Nabi Saw itu lalu diikuti oleh para Khulafaur Rasyidin Ra. Mereka menerapkan Islam di Jazirah Arab, Mesir, Persia, Syam, dll. yang telah berhasil ditaklukkan oleh pasukan Islam. Dimana kekuasaan Islam tegak, disana otomatis Syariat Islam berdiri.

Dalam kondisi kaum Muslim tidak memiliki wilayah kedaulatan Islam, maka berlaku hukum USAHA/PERJUANGAN dalam rangka menegakkan Syariat Islam atau hukum Islam. Hal itu seperti yang dilakukan Nabi Saw saat masih di Makkah.

3. Sejauhmana batasan pelaksanaan hukum Islam dalam kehidupan ini?

Secara hakiki, hukum Islam bersifat komprehensif (menyeluruh), dan kewajiban Ummat terhadap Syariat ialah masuk secara menyeluruh, seperti dalam dalil Al Qur’an: “Ud-khulu fis silmi kaaffah” (masuklah ke dalam agama ini secara menyeluruh). Nabi Saw melaksanakan Syariat Islam di Madinah secara tadarruj (bertahap) sampai ia sempurna, dengan ditandai turunnya Surat Al Maa’idah ayat 3, saat terjadi Haji Wada’. Itulah ayat yang menetapkan telah sempurnanya Syariat Islam, telah lengkap, dan diridhai Allah.

Shalat adalah unsur penting dalam Syariat Islam, tetapi ia bukan satu-satunya urusan dalam Syariat ini. Di Madinah atau di Makkah (setelah takluk ke tangan Islam), Nabi Saw tidak mencukupkan Syariat Islam semata-mata hanya dengan batasan Shalat. Justru saat turun ayat Al Maa’idah ayat 3, itu terjadi saat Nabi Saw sedang melaksanakan Haji Wada’. Bukan saat beliau lagi Shalat.

Bahkan Shalat adalah satu dari 5 unsur Rukun Islam. Seseorang menjalankan Shalat, tetapi hatinya menolak Rukun Islam yang lain: hukumnya kufur. Seperti ketika Khalifah Abu Bakar Ra memerangi orang-orang Muslim yang tak mau membayar Zakat Maal karena berkeyakinan bahwa hukum zakat itu hanya berlaku di jaman Nabi Saw saja. Mereka disebut murtadin, orang-orang yang keluar dari Islam; meskipun masih bersyahadat, masih menjalankan shalat, atau amal-amal lain.

4. Apakah semua jenis kekuasaan politik dan para penguasanya, dimana Ummat Islam hidup di bawah kekuasaan mereka, semua itu bisa diklaim sebagai Ulil Amri yang wajib ditaati setelah Allah dan Rasul-Nya?

Ini adalah pendapat yang sangat berbahaya bagi keyakinan seorang Muslim, berbahaya bagi nasib kaum Muslimin, dan berbahaya bagi masa depan Islam itu sendiri. Siapapun yang berpendapat demikian secara sadar dan tahu ilmu; dia akan berhadapan dengan hisab Allah Ta’ala yang sangat sulit dan kesaksian Rasulullah Saw yang akan mendustakan pendapatnya.

Dinamakan Islam, karena agama ini telah menggantikan segala bentuk agama, ajaran, paham, peradaban jahiliyyah (non Islami). Maka itu dalam 3 ayat Al Qur’an disebutkan ayat luar biasa: “Huwal ladzi arsala rasulahu bil huda wa dinil haqqi liyuzhhirahi ‘alad dini kullih” (Dialah Allah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar, untuk dimenangkan atas segala agama).

Ketika ditanda-tangani perjanjian Hudaibiyyah dengan musyrikin Makkah; Nabi Saw mengirim delegasi untuk menyampaikan surat dakwah ke Kaisar Hiraklius Romawi, Kisra Persia, Muqauqis di Syam, Raja Najasyi di Habasyah, Penguasa Mesir, Raja Oman, Bahrain, dll. Mereka dikirimi surat ajakan masuk Islam, agar mereka selamat dan rakyatnya selamat pula. Dalam setiap surat itu selalu dimulai dengan ucapan salam: “As salamu ‘ala man tabi’al huda” (keselamatan atas orang-orang yang mengikuti ajaran Islam). Nabi Saw tidak mengakui mereka sebagai Muslim, sehingga harus diberi salam seperti layaknya salam kepada sesama Muslim.

Andai semua penguasa politik itu merupakan Ulil Amri, tentu Rasulullah Saw tak akan menulis surat dakwah dan mengajak mereka masuk Islam. Sebelum wafat pun, Rasulullah sedang mempersiapkan pasukan perang untuk menghadapi pasukan Romawi di Syam, dipimpin Usamah bin Zaid Ra. Hanya pasukan itu belum menunaikan tugas, beliau sudah wafat.

(Dalam peristiwa pengangkatan Usamah bin Zaid Ra itu sangat tampak, betapa bijak Rasulullah Saw. Beliau pernah menegur keras Usamah ketika dia membunuh seseorang yang telah mengatakan “laa ilaha illa Allah”. Akibat teguran itu, Usamah merasa sangat trauma. Demi mengangkat kembali moral Usamah, agar dirinya bangkit dari rasa penyesalan besar. Nabi Saw menunjuk Usamah memimpin perang menghadapi ancaman Romawi. Padahal usia Usamah ketika itu baru 18 tahun. Kalau di era kita, baru usia anak SMA. Padahal saat itu masih banyak para Shahabat senior seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, ‘Ali, Khalid, Abdurrahman ‘Auf, Abu Dzar, Zubair, Thalhah, Saad bin Abi Waqash dll. Radhiyallahu ‘anhum. Inilah salah satu cara tarbiyah Rasulullah Saw. Beliau sangat peka hatinya. Salam dan shalawat -daiman abadan- untuk beliau atas segala teladan dan kemuliaan hidupnya).

5. Mungkinkah ada masanya kaum Muslimin hidup tanpa memiliki Ulil Amri? Adakah kenyataan seperti itu?

Jawabnya, ADA. Saat berdakwah di Makkah, Rasulullah Saw dan para Shahabat Ra tidak memiliki Ulil Amri. Begitu pula, saat para Shahabat Ra di bawah pimpinan Ja’far bin Abdul Muthalib Ra hijrah ke Habasyah (kekuasaan Raja Najasyi), disana mereka juga hidup tidak di bawah Ulil Amri. Sebab para Shahabat disana mencari suaka politik dan tidak tunduk hukum kaum Nashrani di Habasyah (Ethiopia).

13 tahun di Makkah, Nabi Saw tidak berada di bawah Ulil Amri. Bahkan sekalipun beliau dilindungi Bani Hasyim, beliau tetap tak mengakui mereka sebagai Ulil Amri.

6. Bagaimana hukumnya sebuah kepemimpinan/pemerintahan yang tidak memutuskan hukum seputar darah kaum Muslimin, harta mereka, agama mereka, jiwa mereka, kehormatan mereka, kaum wanita mereka, anak-keturunan mereka, dll. berdasarkan hukum Syariat Islam; tetapi pemimpin negeri itu masih menampakkan diri melakukan Shalat? 

Tujuan diturunkan hukum Allah ke muka bumi, karena Allah hendak menghukumi urusan kehidupan manusia dengan hukum-Nya; terutama dalam urusan darah, akidah, harta benda, jiwa, kehormatan, keturunan, akal manusia, dll. Kalau bukan karena ini, untuk apa lagi Allah menurunkan agama-Nya?

Dalam Surat Al Maa’idah ayat 48 disebutkan, artinya:

“Dan Kami telah menurunkan kepadamu -wahai Muhammad Saw- Al Qur’an secara haq, membenarkan Al Kitab yang ada di sisinya dan menjadi penguji atasnya; maka putuskan hukum di antara mereka dengan apa yang telah diturunkan Allah itu; dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (sehingga berpaling) dari apa yang telah Allah turunkan kepadamu. Dan bagi setiap kalian (setiap Ummat) telah Kami jadikan Syariat dan Minhaj tertentu.”

Rasulullah Saw pernah marah besar kepada Usamah bin Zaid Ra ketika dia membunuh seseorang yang telah mengucap “laa ilaha illa Allah”. Beliau juga marah besar ketika ada seorang Shahabat yang terkena batu di kepalanya, lalu ada yang memerintahkan agar Shahabat itu tetap menyempurnakan wudhu, sehingga dirinya akhirnya meninggal. Nabi Saw pernah marah ketika melihat seorang Shahabat terlihat memakai cincin emas di jarinya. Dan lain-lain contoh. Di semua ini menjelaskan bagaimana cara Nabi Saw dalam menjaga jiwa manusia, darah manusia, agama manusia, berdasarkan Syariat Islam. Bukan berdasarkan Syariat non Islam.

Kepemimpin/regim politik yang tidak berdasarkan Syariat Islam, ya jelas tidak boleh diklaim sebagai Pemerintahan/Kekuasaan Islami. Otomatis segala atribut kepemimpinan Islam tidak berlaku atasnya, termasuk sebutan Ulil Amri. Dalilnya, ya cara Nabi Saw dalam menjalankan sistem pemerintahan/kekuasaan berdasarkan Syariat Islam itu sendiri.

Di Madinah, ada tokoh politik dan termasuk pemimpin kaum Arab Madinah, yaitu Abdullah bin Ubay. Ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah, Abdullah bin Ubay hampir saja dikukuhkan sebagai raja di Madinah. Secara zhahir dia Muslim dan mentaati ajaran Islam, termasuk menjalankan Shalat. Tetapi para Shahabat Ra tahu bahwa dia adalah pemimpin kaum munafiqin. Tidak sedikit masalah-masalah sosial muncul karena hasutan Abdullah bin Ubay ini, misalnya fitnah terhadap diri Aisyah binti Abi Bakar Ra, mundurnya orang-orang Madinah dari perang Uhud, tersebarnya isu-isu meresahkan di barisan Jihad, dll. Sebagian Shahabat, terutama Umar bin Khattab Ra meminta ijin kepada Nabi Saw untuk menamatkan riwayat Abdullah bin Ubay ini, tapi dilarang oleh Nabi Saw.

Andaikan kepemimpinan Islami cukup diwakili oleh perbuatan seorang pemimpin dengan mengerjakan Shalat; tentu Nabi Saw akan tunduk kepada kepemimpinan atau hukum Abdullah bin Ubay. Toh, dia pemimpin politik, dan secara zhahir menampakkan diri melaksanakan Shalat. Begitu juga, andaikan Daulah Islam cukup diwakili dengan perbuatan seorang pemimpin dalam melaksanakan Shalat, maka Sa’ad bin Muadz Ra serta tokoh-tokoh Anshar lain, mereka lebih berhak atas Khilafah daripada para Shahabat Muhajirin, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali Radhiyallahu ‘Anhum. Tokoh-tokoh Anshar itu jelas melaksanakan Shalat, sangat beriman, ilmunya kokoh, dan Jihad-nya tak diragukan lagi.

Memang ada hadits yang menjelaskan tentang larangan memberontak kepada pemimpin yang masih melaksanakan Shalat, meskipun dirinya berbuat zhalim. Namun pemahamannya, pemimpin seperti itu berdiri di atas hukum Islam dan tidak mengganti hukum Islam dengan hukum-hukum jahiliyyah. Buktinya, adalah kepemimpinan Dinasti Umayyah, Dinasti Abbassiyyah, Dinasti Umayyah Andalusia, Dinasti Saljuk, Dinasti Mamalik, Dinasti Turki Utsmani, dll. Meskipun di antara mereka ada raja-raja yang zhalim, kejam, dan saling berebut kekuasaan; tetapi mereka sepakat RUJUK dan MELESTARIKAN Syariat Islam. Ini adalah bukti dari pengamalan sistem politik selama ribuan tahun dalam sejarah Islam. Justru, pemimpin-pemimpin sekuler yang mengganti hukum Islam, meskipun dirinya masih kelihatan melaksanakan Shalat; semua itu baru muncul di abad ke-20 M saja.

Kalau kita mengakui bahwa regim politik non Islami diakui sebagai regim politik Islami, diakui sebagai Daulah Islamiyyah, diakui sebagai Ulil Amri seperti yang diajarkan Kitabullah dan As Sunnah, maka konsekuensinya: Kita telah berdusta kepada Allah dan Rasul-Nya, kita telah membohongi Ummat, dan kita telah menuduh sistem kekuasaan yang berlaku di masa Rasulullah SAMA SAJA dengan sistem di mata kekuasaan non Islami. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dhalal wal fasad.

7. Bagaimana hukum kaum Muslimin yang hidup di bawah sistem non Islami, seperti sistem sekuler, nasionalisme, sosialisme, kapitalisme, paganisme (kemusyrikan), Nashrani, Yahudi, kesukuan, dll. yang tidak menerapkan hukum Islam? Bolehkah mereka tinggal disana?

Tergantung kepentingannya. Kalau dia tinggal dalam rangka dakwah dan memperjuangkan hukum Allah, hal itu benar; dalilnya ialah perjuangan Rasulullah Saw selama 13 tahun di Makkah. Beliau tetap bertahan di Makkah, sampai Allah memerintahkannya hijrah ke Madinah.

Kalau dia tinggal di bawah kekuasaan non Muslim, dalam rangka mencari suaka politik, dan mereka mendapat perlindungan politik di tempat itu; maka hal demikian diperbolehkan. Dalilnya, adalah hijrahnya para Shahabat Ra ke Habasyah (Ethiopia). Padahal hukum yang berlaku disana hukum Raja Najasyi dan kaum Nashrani.

Kalau dia tinggal di bawah kekuasaan non Islami, karena tidak ada negeri lain yang Islami; atau ada negeri lain, sedangkan mereka tak mampu/tak tahu arah jalan menuju negeri itu; maka kesalahan mereka dimaafkan. Baca Surat An Nisaa’ ayat 98-99.

Kalau dia tinggal di suatu negeri non Islami, dalam waktu tertentu, dalam rangka bisnis atau keperluan tertentu yang dibutuhkan; bersifat tidak menetap dan akan kembali ke negeri asalnya yang Islami; hal itu juga diperbolehkan. Seperti ada urusan safar, berdagang, berobat, mencari ilmu yang dibutuhkan, berdakwah menyebarkan Islam, menjalankan missi politik Islami, dll. Dalilnya, para Shahabat Ra di masa Nabi Saw juga berniaga ke negeri lain yang aman dan dapat menghasilkan keuntungan di dalamnya.

Tetapi bersikap lapang dada, tenteram hati, ridha, mencintai, suatu negeri di bawah kekuasaan non Islami, semata-mata karena negeri itu adalah negeri nenek-moyangnya; tanpa ada upaya perbaikan atau dakwah Islam; tanpa ada niat berhijrah ke negeri Islami, jika negeri seperti itu ada; maka sikap demikian tidak diperbolehkan. Itu sama seperti para Shahabat yang enggan berhijrah ke Madinah, memilih tetap tinggal di Makkah, padahal mereka mampu hijrah ke Madinah. Ini dilarang seperti dalam Surat An Nisaa’ ayat 97.

8. Bagaimana dengan pendapat, bahwa kaum Muslimin tidak boleh memberontak kepemimpinan politik, selama pemimpinnya masih shalat? Bahkan memerintahkan taat kepada pemimpin seperti itu, tidak boleh ghibah, tidak boleh mencela di depan umum, dll.?

Sekali lagi kita ingatkan. Shalat adalah Syariat besar dalam Islam, tetapi ia bukan satu-satunya Syariat Islam. Bahkan hakikatnya, Shalat adalah satu di antara 5 unsur Rukun Islam. Seseorang ikhlas menjalankan shalat, tetapi menolak hukum Syahadat, Zakat, Shaum Ramadhan, Haji; maka dia dianggap kufur. Ingat hukum Khalifah Abu Bakar Ra yang memvonis kufur orang-orang yang menolak hukum Zakat Maal di masanya. Lalu ada ulama yang mengatakan, siapapun yang menolak salah satu bagian Syariat Islam, karena tidak cocok dengan hawa nafsu atau akalnya; ia bisa disebut kufur juga.

Masalah utamanya itu bukan soal boleh atau tidaknya memberontak. Tetapi bagaimana keyakinan kaum Muslimin itu sendiri? Bagaimana mereka bisa menganggap suatu kepemimpinan disebut Ulil Amri, ketika mereka: “Menghalalkan agama lain selain Islam, menghalalkan kemusyrikan dan melindungi situs/ritual kemusyrikan, menghalalkan ribawi dan menjadikan ia soko guru perekonomian, menghalalkan seks bebas demi membatasi jumlah penduduk lewat kontrasepsi, menghalalkan aurat terbuka dan wanita memamerkan keseksian tubuhnya, menghalalkan perampasan harta negara oleh non Muslim asing, menghalalkan sistem Neolib/Kapitalistik yang menindas Ummat, menghalalkan hukum pidana kolonial dalam urusan darah-harta-jiwa kaum Muslimin, mengklaim para pendukung Syariat Islam sebagai tertuduh terorisme, dll.?” Atas alasan apa mereka mengklaim semua itu sebagai Ulil Amri. Laa haula wa laa quwwata illa billah.

Ini adalah kesesatan yang nyata, jelas, terang-benderang. Kita mengajak manusia-manusia yang masih berkubang dalam kesesatan seperti itu agar bertaubat kepada Allah Ta’ala, kembali ke manhaj Islami, dan kembali ke jalan Salafus Shalih yaitu Nabi Saw, para Khulafaur Rasyidin Ra, dan para Shahabat Ra, dan kembali ke jalan para imam kaum Muslimin selama ribuan tahun. Mereka harus keluar dari kesesatan itu, jiwa masih dikandung badan.

Kalau kesadaran Islami, seperti manhaj Salafus Shalih itu pulih di tengah Ummat ini; maka kita tak perlu memberontak lagi. Insya Allah, bangsa ini bisa menjadi bangsa Islami, tanpa harus terjadi pemberontakan politik.

Jangan seperti selama ini. Hak-hak kemuliaan untuk Ulil Amri yang sesuai kriteria Syariat Islam, malah diberikan kepada “Ulil Amri” yang berdiri di atas hukum non Islami. Hal itu adalah KEDUSTAAN BESAR yang harus dijelaskan secara nyata kepada Ummat ini. Kita jadi seperti meletakkan mahkota emas ke atas kepala srigala. Na’udzubillah min dzalik.

9. Ada yang berpendapat, “Hukum Islam yang mana yang belum ada di Indonesia ini? Semuanya sudah ada, mengapa kita masih saja ribut soal penegakan hukum Islam? Lihatlah, ada bank Syariah, ada ibadah Haji, ada jilbab, label halal, Departemen Agama, MUI, dll. Apa lagi hukum Islam yang belum boleh di negeri ini?”

Cara melihatnya sederhana. Tujuan dasar Syariat Islam dikenal dengan sebutan Ushulul Khamsah atau Maqashidus Syariah. Intinya adalah 5 perkara: Menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga akal, menjaga keturunan kaum Muslimin. Selama sebuah pemerintahan/kepemimpinan melaksanakan amanah 5 PRINSIP ini, ia bisa diklaim sebagai pemerintahan Islami, meskipun namanya bukan Negara Islam.

Lalu lihat dalam kehidupan bangsa: Apakah secara teori, UU, dan realitas, negara kita melaksanakan 5 prinsip tersebut? Coba Anda jawab secara jujur pertanyaan ini. Kalau merujuk ke Pancasila dan UUD 1945, posisi Ummat Islam tidak istimewa dibandingkan ummat yang lain. Malah posisinya sama saja di mata hukum negara.

Adapun soal Bank Syariah, jilbab, ibadah Haji, Depag RI, pendidikan Islami, dll. maka pertanyaannya: Sejauhmana posisi hukum dari kebijakan-kebijakan itu, dan apa pula pengaruhnya bagi kehidupan kaum Muslimin di negeri ini? Masalahnya, semua itu bukan merupakan HUKUM DOMINAN yang berlaku di negeri kita, dan tidak bisa menjaga hak-hak kaum Muslimin secara baik dalam urusan agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan.

Intinya, selama belum ada jaminan secara penuh bagi perlindungan 5 URUSAN Ummat dalam soal agama, jiwa, harta, akal, keturunan, dengan perlindungan seperti yang dikehendaki Syariat Islam; maka tidak ada dalil untuk mengklaim, bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam di negeri ini sudah berakhir.

Kita semua berjuang menegakkan Syariat Islam, bukan untuk apa-apa, bukan untuk siapa-siapa. Tetapi untuk melindungi agama, jiwa, harta, akal, keturunan, serta kehidupan kaum Muslimin. Jika atas perjuangan seperti ini lalu muncul tuduhan-tuduhan buruk; maka jawabnya: Tawakkalna ‘ala Allah, laa haula wa laa quwwata illa bihi.

10. Ada pertanyaan, “Mengapa sebagian orang suka mengkafirkan orang-orang yang berbeda pham? Mereka berpaham Khawarij karena suka mengkafirkan sesama Muslim, mengkafirkan pemerintah yang sah, dll.

Kalau kita membaca Sirah Nabawiyyah secara teliti, maka Rasulullah Saw tidak menjadikan metode TAKFIR sebagai landasan perjuangannya. Selama di Makkah, Rasulullah menetapkan metode: Dakwah, Tarbiyyah, dan Shabar. Lalu puncak dari perjuangan itu adalah Hijrah dari Makkah ke Madinah. Seharusnya, 4 metode ini yang dilakukan dalam membangun kekuatan Islam dan mencapai penegakan Syariat Islam.

Takfir adalah bagian dari Tahkim (pemberian vonis hukum). Takfir itu dalam perjuangan Islam tidak bisa ditempuh, sebelum kaum Muslimin memiliki OTORITAS hukum. Bagaimana akan mengkafirkan kalau legal hukumnya belum ada? Ya, hal itu sama saja seperti menerapkan sanksi-sanksi hukum Islam di bawah pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Islam. Akibatnya bukan barakah, malah bisa menjadi fitnah. Maka gerakan-gerakan Islam harus menjauhi metode takfir sebelum kaum Muslimin memiliki otoritas kekuasaan Islami.

Kalau takfir yang bersifat umum, dalam rangka mengingatkan Ummat agar tidak terjerumus dalam kekafiran misalnya perkataan seperti ini: “Jauhi perbuatan syirik, sihir, dan menolong musuh-musuh Islam; agar kalian tidak jatuh dalam kekufuran!” Ucapan seperti ini diperbolehkan, karena bersifat umum dan merupakan peringatan. Setidaknya, kita boleh  menyebut seseorang kufur, asalkan berdasarkan Syariat Islam, berdasarkan bukti-bukti yang valid, dan hal itu ditujukan untuk memperingatkan Ummat.

Dalam kondisi kaum Muslimin tidak memiliki kekuasaan politik, sehingga bisa menerapkan Sistem Islami; kita tidak bisa menjadikan takfir sebagai metode perjuangan. Kecuali memberi peringatan-peringatan seputar batas keimanan dan kekufuran, untuk memberi peringatan Ummat agar tidak jatuh dalam kekufuran. Juga untuk membantah orang-orang tertentu yang sudah terang-benderang kekufurannya, agar Ummat tidak ikut kufur bersamanya.

TAMBAHAN PENTING: Meskipun begitu, tidak lantas kita harus menolak segala kebijakan Pemerintah di negeri ini. Tidak demikian. Kebijakan yang bersifat BENAR dan BERMANFAAT, tetap kita terima dan dukung semampunya. Tetapi kebijakan yang salah dan tidak sesuai Syariat Islam, tidak perlu didukung. Seperti sabda Nabi Saw, “Innamat tha’atu fil ma’ruf” (bahwa ketaatan itu hanya dalam hal-hal yang ma’ruf saja). Seperti penentuan 1 Syawwal yang mengeliminasi kesaksian melihat hilal, itu harus ditolak. Untuk apa mengadakan Sidang Itsbat, kalau kesaksian melihat hilal malah dieliminasi? Jangan sampai masyarakat akhirnya menyimpulkan, bahwa Sidang Itsbat sejatinya adalah: majelis para ahli hisab, tapi dibumbui aksesoris rukyatul hilal. Ini jelas kebohongan yang nyata. Kita tidak boleh bersepakat di atas kebohongan seperti itu!

Maka dapat disimpulkan, bahwa Ulil Amri dalam Islam bukan semata-mata soal kekuasaan. Tetapi ia adalah kekuasaan yang dibangun di atas prinsip Syariat Islam, demi melindungi kehidupan kaum Muslimin. Bila tak memenuhi syarat dasar Syariat dan perlindungan kepentingan Ummat itu, maka ia tak bisa diklaim sebagai Ulil Amri. Hal demikianlah yang kita lihat dari ajaran Nabi Saw, para Khulafaur Rasyidin Ra, para Shahabat Ra, dan imam-imam kaum Muslimin dalam sejarahnya.

Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat. Dan bila masih terus mengundang syubhat, keraguan, atau prasangka macam-macam; semata kepada Allah Ar Rahiim kami berlindung diri dari fitnah kesesatan dan kaum sesat. Semoga Allah Ta’ala melempangkan jalan kita menuju Keridhaan-Nya. Allahumma amin.

Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, wallahu a’lam bisshawaab.

Depok, 4 September 2011.

AM. Waskito.

34 Responses to Ulil Amri dan Ketaatan Politik Ummat

  1. arjuno berkata:

    Mohon izin kopi Tazd…..

  2. Abu abyan berkata:

    Masalah ini adalah masalah yang sangat pelik dan kaum muslimin berbeda pendapat dalam masalah ini.

    antum dengan pendapat antum diatas, akan disebut sebagai orang yg memiliki sedikit sifat KHAWARIJ oleh orang2 salafy.
    Dan mungkin antum pun akan menyebut orang2 salafy sebagai orang2 yg memiliki sedikit sifat MURJIAH dg pendapat mereka dalam masalah ulil amri ini.

    Kondisi di indonesia ini memang unik, negara kita berbeda dg negara arab yang walaupun dalam pelaksanaan hukumnya mereka mungkin terkadang jauh dari syariat islam, tp secara semangat dan konstitusi mereka masih tetap menjadikan alquran dan alhadits itu sebagai landasan/dasar dalam aturan bernegara mereka, sehingga walaupun terkadang tindakan pemimpin arab itu bertentangan dengan syariat, akan tetapi secara umum mereka masih sedikit layak disebut sebagai ulil amri.

    Anehnya, walaupun secara semangat dan konstitusi negara kita ini tidak berdasar kepada alquran dan alhadits, akan tetapi negara kita ini masih memberikan kebebasan kepada setiap warganya untuk menjalankan syiar2 islam, sehingga kurang cocok juga bila kita menyebutnya sebagai negara kafir.

    Dan, Sudah kita ketahui bahwa kondisi pemimpin itu sesuai dengan kondisi rakyatnya, negara dan pemimpin kita tidak islami, walaupun ia beragama islam, mungkin dikarenakan rakyatnya juga yg tidak islami, walaupun mayoritas mereka adalah beragama islam.

    Tapi yg jadi pertanyaan ana adalah siapakah yg layak dijadikan ulil amri di indonesia pada saat ini apakah MUI, pemimpin ormas, ketua DKM, ulama A, atau siapa? Atau menurut antum pada saat ini tidak ada ulil amri? Kl tidak ada ulil amri, berarti alquran memerintahkan mentaati suatu yg tidak ada??

  3. Abu abyan berkata:

    Dalam hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu
    ‘anhuma ,
    ﻯَﺀﺍَﺮَﺗ ُﺱﺎَّﻨﻟﺍ َﻝَﻼِﻬْﻟﺍ ُﺕْﺮَﺒْﺧَﺄَﻓ َﻝﻮُﺳَﺭ
    ِﻪَّﻠﻟﺍ -ﻰﻠﺻ ﻪﻠﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺳﻭ- ﻰِّﻧَﺃ
    ُﻪُﺘْﻳَﺃَﺭ ُﻪَﻣﺎَﺼَﻓ َﺮَﻣَﺃَﻭ َﺱﺎَّﻨﻟﺍ ِﻪِﻣﺎَﻴِﺼِﺑ
    “ Orang- orang berusaha untuk melihat
    hilal, kemudian aku beritahukan
    kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
    wa sallam bahwa aku telah
    melihatnya . Kemudian beliau
    berpuasa dan memerintahkan orang-
    orang agar berpuasa .”

    Dari hadits diatas disebutkan orang yg melihat hilal itu melaporkannya kepada Rosulullah, kemudian Rosulullah menetapkannya, dan memerintahkan semua orang untuk mengikutinya.

    Pertanyaannya, siapakah yg berposisi sebagai rosulullah pada saat ini, yg menerima kabar hilal dari seseorang, kemudian menetapkannya?

  4. abisyakir berkata:

    @ Abu Abyan…

    Masalah ini adalah masalah yang sangat pelik dan kaum muslimin berbeda pendapat dalam masalah ini. antum dengan pendapat antum diatas, akan disebut sebagai orang yg memiliki sedikit sifat KHAWARIJ oleh orang2 salafy. Dan mungkin antum pun akan menyebut orang2 salafy sebagai orang2 yg memiliki sedikit sifat MURJIAH dg pendapat mereka dalam masalah ulil amri ini.

    Respon: Tidak apa-apa, mereka mau menyebut apapun. Sebutan mereka bukan tujuan ibadah kita, alhamdulillah. Kata Al Albani, kalau selalu menuruti omongan manusia, sampai kapanpun mereka akan selalu mencela kita. Sekedar mengingatkan, Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Sayyid Sabiq rahimahumallah, beliau berdua termasuk ulama ahli hadits yang sangat kritis kepada pemimpin sekuler. Lagi pula, kalau Antum mau jujur, coba jawab pertanyaan ini: memang sejak kapan kaum Muslimin di dunia ini mengenal sejarah pemimpin/UU sekuler? Apakah sejak ribuan tahun lalu, atau baru puluhan tahun lalu?

    Anehnya, walaupun secara semangat dan konstitusi negara kita ini tidak berdasar kepada alquran dan alhadits, akan tetapi negara kita ini masih memberikan kebebasan kepada setiap warganya untuk menjalankan syiar2 islam, sehingga kurang cocok juga bila kita menyebutnya sebagai negara kafir.

    Respon: Selama Antum membaca tulisan-tulisan saya, apakah Antum pernah membaca bahwa saya memvonis kaum Muslimin di negeri ini sebagai kaum kafir penghuni negara kafir? Alhamdulillah, hal itu tidak saya lakukan. Tapi kalau saya ditanya, lalu bagaimana kita katakan tentang keadaan di Indonesia ini? Jawaban saya: “Negara Indonesia bukanlah negara Islami, tetapi negara yang menerapkan sistem jahiliyyah, karena tidak berdasar Syariat Islam.” Sangat jelas, tidak ada yang ditutup-tutupi.

    Dan, Sudah kita ketahui bahwa kondisi pemimpin itu sesuai dengan kondisi rakyatnya, negara dan pemimpin kita tidak islami, walaupun ia beragama islam, mungkin dikarenakan rakyatnya juga yg tidak islami, walaupun mayoritas mereka adalah beragama islam.

    Respon: Saya tidak selalu sepakat dengan pandangan ini. Singkat kata, saya menolak. Tetap saja, posisi pemimpin (pengendali kekuasaan) sangatlah besar pengaruhnya, apalagi di negeri dengan corak mental seperti bangsa kita ini. Pemimpin tetaplah sangat kuat pengaruhnya. Alasannya sebagai berikut:

    1. Kalau Antum perhatikan hewan-hewan, rata-rata membentuk koloni, dan setiap koloni ada pemimpinnya. Hewan-hewan itu menuruti arahan pemimpin mereka. Ini adalah dalil dari fitrah kehidupan hewan.

    2. Secara logika, pemimpin disebut ra’is (kepala). Kepala manusia disebut ra’sun, dalam bahasa Arab. Ini bukan kebetulan. Arah hidup manusia, tergantung kepalanya. Kalau kepalanya beres, beres juga kehidupannya.

    3. Ucapan Qadhi bin Iyadh dan para Salaf, “Kalau aku punya doa yang makbul, tentulah akan aku doakan para penguasa.” Alasannya, kalau penguasa itu baik, maka baik pula kehidupan rakyatnya.

    4. Fakta sejarah, di berbagai negara, termasuk di dunia Islam; keadaan masyarakat akan menjadi baik ketika dipimpin para pemimpin yang baik. Ummat ini menjadi baik di masa Khalifah Rasyidah Ra, di masa Umar bin Abdul Aziz, di masa Harun Al Rasyid, di masa Shalahuddin Al Ayyubi, di masa Muhammad Al Fatih, dll.

    5. Ibnu Taimiyyah rahimahullah menulis kitab Siyasah Syar’iyyah. Salah satu isinya, beliau membahas Al Qur’an Surat An Nisaa’ ayat 59. Ayat ini menurut beliau ditujukan kepada para penguasa kaum Muslimin. Bunyinya, “Innallaha ya’murukum an tu’addul amanati ila ahliha, wa idza hakamtum bainan naasi an tahkumu bil ‘adli”.

    6. Begitu kuatnya pengaruh pemimpin politik dalam kehidupan, maka para anggota gerakan Freemasonry dkk. mereka membuat klub-klub seperti Rotary, Lions Club, dll. Tujuannya, untuk menyetir para penguasa agar selalu memuluskan agenda-agenda mereka. Caranya, mereka membanjiri para penguasa itu dengan hadiah harta benda, bisnis, dan sebagainya. Imbalannya, mereka meminta penguasa itu mendukung kehidupan sekuler, anti Islam. Missi mereka, bisa dikatakan 95 % sukses di negeri-negeri Muslim.

    Maka dari itu, saya terus terang SANGAT JENGKEL dengan asumsi-asumsi seperti yang Antum sampaikan itu, dan saya sudah mendengar pemikiran seperti itu sejak lama.

    Tapi yg jadi pertanyaan ana adalah siapakah yg layak dijadikan ulil amri di indonesia pada saat ini apakah MUI, pemimpin ormas, ketua DKM, ulama A, atau siapa? Atau menurut antum pada saat ini tidak ada ulil amri? Kl tidak ada ulil amri, berarti alquran memerintahkan mentaati suatu yg tidak ada??

    Respon: Ya, jangan sentimen begitu. Kita diskusi biasa saja, secara fair. Tidak perlu sentimen. Afwan kalau saya menilai hal itu termasuk sikap “sentimen”. Sekali lagi afwan katsira.

    Dalam Tafsir Ibnu Katsir, makna Ulil Amri itu kan ada 2. Pertama, penguasa kaum Muslimin. Kedua, para ulama. Kalau pihak pertama tidak menjalankan Syariat atau tidak konsisten dengannya, ya kita menaati para ulama yang istiqamah. Kalau ulama yang istiqamah tidak ada, ya kita bersabar di atas fitnah; dan terus istiqamah dengan Islam, meskipun harus “memakan akar kayu”.

    Kl tidak ada ulil amri, berarti alquran memerintahkan mentaati suatu yg tidak ada??

    Sekarang saya balik pertanyaan Antum: Kalau di negara kita ada pencuri, tidak bisa dihukum dengan Syaiat Islam, karena hukum yang berlaku bukan hukum Islam. Apakah itu berarti, Al Qur’an mengajarkan ajaran hukum yang tidak bisa dilaksanakan? Apakah itu berarti, Al Qur’an mengajarkan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan? Banyak contoh, selain soal hukum mencuri yang bisa dijadikan analogi.

    Semoga Antum menapatkan pelajaran berharga; dan yang lebih penting lagi, semoga Antum TIDAK TAKUT dengan akal sehat yang Allah Ta’ala karuniakan kepada Antum. Allahumma amin.

    AMW.

  5. Dedie K berkata:

    artikel mnarik, bermanfaat… jazakallah khair..

  6. Anonim berkata:

    “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Qs : 4:59)
    Melalui ayat di atas ta’at kepada pemimpin adalah satu hal yang wajib dipenuhi, tetapi dengan catatan, para pemimpin yang di ta’ati, harus menggunakan hukum Allah, hal ini sebagaimana di nyatakan dalam ayat-Nya yang lain :
    “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”. (Qs: 7 :3)
    “..Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir…” (Qs :5:44)
    “..Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim…” (Qs: 5 45)
    “..Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik..” (Qs: 5 :47)
    ” Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?”. (Qs : 5 :50)
    Dan bagi kaum muslimin Allah telah dengan jelas melarang untuk mengambil pemimpin sebagaimana ayat;
    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (Qs : 5 : 51)
    Dari beberapa ayat diatas, bisa disimpulkan, bahwa pemimpin dalam islam adalah mereka yang senantiasa mengambil dan menempatkan hukum Allah dalam seluruh aspek kepemimpinannya.

    Umat Islam selalu dipimpin oleh satu pemimpin disluruh dunia ini, yang pertama oleh Rosullah sendiri, lalu dipimpin oleh satu Khalifah yaitu sahabat, lalu diteruskan oleh para Khalifah berikutnya sampai yang terakhir Khalifahan Turki Utsmani. Inilah yang menjadikan umat Islam terpecah belah. Ketaatan umat Islam haruslah pada pemimpin yang satu untuk Umat Islam. bukan kepada penguasa yang memecah belah kesatuan umat Islam.

  7. fattah bee nahl berkata:

    Assalamualaikum ustadz, mau tanya kalo jamaah yg terjun berdakwah dalam hukum positif di dalam pemerintahan, bagaimana hukumnya?

  8. abisyakir berkata:

    @ Fattah Bee Nahl…

    Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakaatuh.

    Maksud pertanyaannya bagaimana ya? Jamaah terjun berdakwah dalam hukum positif di pemerintahan? Maksudnya bagaimana ya?

    Apakah maksudnya semacam PKS yang terlibat dalam sistem pemerintahan, sehingga otomatis berkecimpung dalam sistem berdasar hukum positif (non Islami)?

    Jawabannya kira-kira sebagai berikut:

    Kalau mereka masuk dalam sistem pemerintahan non Islami dalam rangka memperbaiki, menukar, atau mengganti sistem hukumnya menjadi Islami; hal itu dibuktikan dengan segala kesungguhan mereka dalam meninggikan Syariat Islam, dan mengoreksi syariat sekuler; ya langkah mereka dibenarkan. Ia dianggap sebagai politik Islami (Siyasah Syar’iyyah).

    Tetapi kalau keikutsertaan mereka dalam sistem pemerintahan, termasuk berhukum dengan hukum non Islami; hal itu semata-mata demi hawa nafsu kekuasaan, agar kader-kadernya hidup makmur, agar pemimpin-pemimpin mereka menjadi selebritis politik, agar mereka mudah dapat proyek negara, agar banyak anggaran negara terserap komunitas mereka; maka alasan2 seperti itu tidak dibenarkan. Ia sama saja dengan rela berhukum dengan hukum sekuler. Hal ini sangat jelas konsekuensinya menurut Syariat Islam. Siapa saja yang melapangkan dadanya kepada hukum sekuler, bahkan berjuang mempertahankan hal itu, maka hukumnya adalah…seperti disebut dalam bab pembatal-pembatal keislaman.

    Bagaimana kalau mereka beralasan, “Kita butuh proses. Kita butuh waktu. Pada akhirnya semua akan kesana. Kami akan menegakkan Islam, suatu hari nanti.”

    Ya jawabnya sederhana: Jangan terlalu muluk2 soal nanti, masa depan, atau entah kapan nanti. Sekarang buktikan saja yang bisa dibuktikan. Buktikan bahwa kalian pro Syariat Islam dan hendak mengangkat Syariat Islam sebagai hukum dalam pemerintahan. Kalau yang begitu tidak tampak bukti-buktinya, tidak kelihatan tanda-tandanya, tidak tercium aromanya…ya sudah jangan ngabulatuk soal proses dan sebagainya. Setiap urusan itu ada alamatnya. Kalau aromanya saja tidak ada, bagaimana berharap akan ada perubahan di masa nanti.

    Wallahu a’lam bisshawaab.

    AMW.

  9. Dedy Nirwana berkata:

    Pak Ustad, saya minta kesimpulannya yg ringkas, apa syaratnya untuk menjadi Ulil Amri yg wajib dipatuhi. Terimakasih.

  10. abisyakir berkata:

    @ Dedy Nirwana…

    Baik Pak, terimakasih atas perhatiannya. Syarat Ulil Amri yang layak dipatuhi oleh kaum Muslimin sangat jelas disebutkan dalam Al Qur’an. Baca ayat berikut ini:

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)

    “Wahai orang-orang beriman, taatlah kalian kepada Allah, taatlah kalian kepada Rasul-nya, dan kepada Ulil Amri di antara kalian. Maka jika kalian berselisih pendapat dalam satu perkara (saja), kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As Sunnah); yaitu jika kalian beriman kepada Allah dan Hari Akhirat. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.”

    Ayat ini sangat jelas, bahwa ketaatan kepada Ulil Amri sifatnya BERSYARAT, yaitu apabila sang Ulil Amri taat kepada Allah dan Rasul-Nya (atau dengan kata lain, menegakkan Hukum Allah dan Rasul-Nya). Kalau tidak ada ketaatan Ulil Amri kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak ada hak ketaatan kepadanya.

    Dalilnya:

    [a]. Bagaimana mungkin Allah menyuruh manusia taat kepada-Nya dan Rasul-Nya, sementara juga menyuruh taat kepada Ulil Amri yang tidak taat kepada-Nya dan Rasul-Nya? Hal demikian sangat tidak bisa dinalar oleh akal.

    [b]. Dalam ayat di atas kata Ulil Amri didahului oleh “alif-lam” ma’rifat. Hal ini menandakan bahwa sifat Ulil Amri itu bukan bersifat umum, tetapi bersifat khusus dengan ciri-ciri tertentu, yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.

    [c]. Nabi Saw bersabda, “Innamat tha’atu fil ma’ruf” (sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam hal-hal yang baik saja).

    [d]. Para ulama menyepakati sebuah kaidah, “Laa tha’ata lil makhluqi li ma’shiyatil khaliq” (tidak ada hak ketaatan kepada makhluk, dalam rangka maksiat kepada Allah).

    Singkat kata, Ulil Amri yang kita diwajibkan taat dan patuh kepadanya, ialah Ulil Amri yang memimpin negara dalam rangka mentaati Allah dan Rasul-Nya. Kalau ada “ulil amri” tidak seperti itu, ya Anda sudah tahu bagaimana cara menyikapinya.

    Jazakumullah khairan.

    Admin.

  11. Abu Fawwaz berkata:

    Assalamu alaikum wr wb.
    Ustadz, mau tanya pendapat mengenai hadits di bawah ini:

    “Akan ada setelahku para pemimpin yang mengambil petunjuk selain petunjukku dan mengambil sunah selain sunahku, dan akan ada pada mereka orang-orang yang hatinya hati setan dalam tubuh manusia.”

    Hudzaifah berkata, “Apa yang harus saya lakukan wahai Rasulullah jika aku mendapati masa itu?”

    Beliau menjawab, “Dengar dan taat (dalam kebaikan) kepada pemimpin walaupun punggungmu dipukul dan hartamu diambil tetaplah engkau mendengar dan taat.” (HR Muslim)

    Hadits ini menjadi sumber hukum utama bagi saudara-saudara kita yang meyakini bahwa haram hukumnya memberontak kepada penguasa muslim, walau bagaimanapun zalimnya pemimpin tersebut.
    Saya khawatir bahwa hadits ini akan disalahgunakan oleh pemimpin2 kita yang zalim, sewaktu ada ulama yang menasehati untuk kembali kepada AlQur’an dan hadits (seperti tuntutan Allah SWT di ayat 59 surat Al Maidah). Bisa-bisa pemimpin tersebut menjawab dengan hadits ini dan ulama yang menasehati tersebut menjadi bungkam seribu bahasa, tidak jadi melanjutkan nasehatnya.

  12. abuerzha berkata:

    Abbu Fawwas :
    utk bahan bacaan mengenai ketaatan thp pemerintah yg tidak berhukum dgn hukum Alloh Ta’ala.antum bisa mampir ke link berikut ;
    http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/menyikapi-penguasa-yang-dhalim-tanya.html
    atau
    http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/08/memerangi-penguasa-yang-fasiq-atau.html

  13. abisyakir berkata:

    @ Abu Fawwaz…

    Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakaatuh.

    Syukran jazakumullah khair Akhi atas apresiasi yang diberikan. Terkait hadits riwayat Muslim tsb ada yang memahaminya, bahwa itu adalah semodel pemimpin yang tidak melaksanakan Syariat Islam (mengambil petunjuk selain petunjukku, dan mengambil sunnah selain sunnahku). Sehingga disimpulkan, bahwa pemimpin SEKULER (non Islami) pun boleh ditaati seperti halnya mentaati Amirul Mukminin. Ini adalah khas pandangan kawan-kawan Salafi. Sehingga kita dapati kawan-kawan itu sangat mengingkari sistem demokrasi, tetapi bersedia menaati siapapun pemimpin yang lahir dari sistem demokrasi tersebut. Sistemnya diingkari, hasilnya di-maqbul-kan. Padahal syarat diterimanya amalan ialah: lurus niatnya dan benar caranya. Meskipun pemimpin itu Muslim, setiap hari shalat, puasa, qiayamul lail, dan seterusnya, kalau dia berdiri di atas sistem non Islami; dia tidak boleh diperlakukan seperti kita memperlakukan Amirul Mukminin. Sebab dalam Syariat Nabi Saw, juga dalam kehidupan kaum Muslimin di era para Sultan/Khalifah/Malik selama ribuan tahun, disana tidak hanya disyaratkan adanya sosok pemimpin Muslim, tetapi juga sistemnya harus berdiri di atas Syariat Islam. Jika sistem Islami dilenyapkan (atau lenyap), maka setiap pemimpin yang berada di atas sistem itu, sekalipun dia ulama; tidak boleh dianggap seperti Amirul Mukminin.

    Ada satu analogi sederhana. Bagaimana hukumnya orang yang menjalankan shalat secara ikhlas? Tentu kita akan katakan, bahwa orang itu sangat baik, sangat mulia, dan hal itu yang diutamakan. Tetapi bagaimana jika kaifiyah (tata-cara) shalat orang itu memakai kaifiyah shalat yang disusun oleh seorang pendeta Nasrani, berdasarkan ajaran Injil dan Taurat? Maka otomatis amal shalat itu menjadi batal dan tidak berguna. Karena lagi-lagi, yang menjadi syarat diterimanya amalan adalah: lurus niatnya dan benar caranya. Seorang pemimpin yang adil, bijaksana, pandai, retorika bagus, rajin shalat jamaah, hafal Al Qur’an, dan seterusnya; kalau dia memimpin di atas aturan bukan Syariat Islam; kedudukan dia bukan seperti Ulil Amri/Wulatul Amri yang kita diperintahkan mentaatinya. Sebaliknya, jika ada pemimpin yang zhalim atau kejam, tetapi dia masih menjaga aturan Islam, dan menjadikan aturan itu sebagai pemutus segala urusan di negerinya; maka kita diperintahkan untuk taat kepadanya.

    Terkait hadits di atas…pemimpin yang tidak mengambil petunjuk Nabi dan tidak memimpin berdasarkan Sunnah beliau…hal itu jangan ditafsirkan sebagai pemimpin yang tidak menerapkan Syariat Islam. Penafsiran demikian salah. Alasannya, kalau ada pemimpin yang memimpin bukan di atas Syariat Islam, berarti dia memimpin di atas sistem jahiliyah (non Islam). Adanya sistem jahiliyah di muka bumi, termasuk di negeri-negeri kaum Muslimin harus diperbaiki, harus diislamkan, harus ditransformasikan ke dalam sistem Islami. Itu pasti. Dalilnya, “Man ra’a minkumul munkaran fal yughaiyiru bi yadihi…bi lisanihi…bi qalbihi…” Satu kemunkaran saja harus diubah, apalagi kalau kemunkaran itu sudah melembaga, menjadi sistem, menjadi aturan kehidupan.

    Hadits tadi bukan maksudnya kepada pemimpin-pemimpin di atas sistem non Syariat Islam; seperti yang umumnya diyakini kawan-kawan Salafi. Hadits tadi mengarahnya ke sistem kerajaan Islam. Singkat kata, Syariat Islam masih bisa menerima kedudukan sistem kerajaan Islam. Hadits-hadits yang serupa itu maknanya kesana. Disana ada kerajaan yang dipimpin atau dikelola oleh sebuah keluarga bangsawan Muslim, dan mereka tetap merujuk kepada Syariat Islam. Sistem kerajaan itu tidak sesuai petunjuk Nabi, karena Nabi tidak menunjuk secara langsung pemimpin penggantinya; dan tidak sesuai Sunnah, karena yang sesuai Sunnah adalah pemimpin Khalifah yang dipilih oleh kaum Muslimin, bukan berdasarkan garis keturunan.

    Kalau tidak percaya, hadits itu dijelaskan dengan baik melalui riwayat Irbath bin Sariyah Ra. Disana Nabi Saw bersabda: “‘Alaikum bis sunnati wa sunnah khulafa’ur rasyidina al mahdiyina min b’adi wa ‘adh-dhu ‘alaiha bin nawajid, wa iyyakum minal muhdatsatil umur fa inna kulla muhdatsatin bid’ah wa kulla bid’atin dhalalah” (hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat pimpinan sesudahku, gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian; dan hendaklah kalian berhati-hati dengan segala urusan yang diada-adakan, karena hal itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat).

    Menurut Ibnu Taimiyah rahimahullah, asal mula hukum Khilafah Nubuwwah (khilafah di atas petunjuk Kenabian) adalah wajib, dan dilarang mengadakan sistem yang lain. Akan tetapi jika kaum Muslimin tidak mampu mewujudkan hal itu karena kurangnya ilmu dan kekuatan; maka sistem kerajaan diperbolehkan. Tetapi asalnya tidak boleh; karena dharurat maka diperbolehkan.

    Sedangkan sistem sekuler, yang mematikan Syariat, menyingkirkan Syariat, mengembangkan kehidupan sekuler, hedonis, westernis, mengikuti sunnah Yahudi dan Nasrani, mengikuti ajaran manusia-manusia atheis; maka yang demikian ini termasuk JAHILIYAH; kaum Muslimin tidak boleh memberi apresiasi terhadap sistem seperti itu, karena ia sama saja dengan mendukung sistem jahiliyah. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.

    Semoga bisa dipahami, walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

    Admin.

  14. abisyakir berkata:

    @ Abuerzha…

    Tulisan Abu Al Jauza’ itu keliru, ia salah dalam memahami hakikat ini. Saya juga baru semalam mendengar ceramah Abu Qatadah di sebuah tempat di Jawa Tengah (dengan difasilitasi Ustadz Wujud). Isi ceramahnya senafas dengan tulisan Abu Al Jauza itu. Dan rata-rata para ustadz Salafi seperti itu sikapnya. Inti sikap mereka adalah: Memberikan hak-hak kepemimpinan sesuai Syariat dan Sunnah Nabi kepada siapapun pemimpin, asalkan dia dikenal sebagai seorang Muslim; terlepas sistem dan aturan yang dijalankannya bukan sistem/aturan Islam.

    Nanti dalilnya, sikap Imam Ahmad yang menahan diri, tidak melakukan pemberontakan meskipun sang pemimpin (sultan) sudah jatuh dalam bid’ah besar (meyakini Al Qur’an sebagai makhluk). Tetapi dia lupa menjelaskan, bahwa sistem dan aturan yang berlaku di negeri sultan itu masihlah aturan Islam, bukan berubah menjadi aturan kekufuran. Kalau sultan itu melakukan bid’ah, ia karena alasan syubhat; terbukti di kemudian hari setelah dilakukan perdebatan, ternyata akidah itu dinyatakan salah dan harus ditinggalkan.

    Kemudian dalam tulisannya, Abu Al Jauza menafsirkan kata al ‘atsarah secara praktis sebagai kepemimpinan tidak berdasar Syariat Islam; padahal saat yang sama dia mengartikan hal itu sebagai sikap monopoli dan mementingkan diri sendiri. Kata al atsarah disana lebih tepat dipahami sebagai = sistem kerajaan Islam. Ciri kerajaan dimana-mana selalu memonopoli kekuasaan di tangan raja dan keluarganya. Tetapi atsarah-nya mereka, belum mengeluarkan dari sistem Islami yang selalu dijaga.

    Dalam dialognya, Abu Al Jauza ditanya tentang keadaan di Indonesia yang tidak berlaku sistem Islami. Kata dia, semua itu hanya soal nama saja; bisa jadi namanya tidak Islami, tapi perilakunya Islami; atau namanya Islami tapi perilakunya tidak Islami. Wah, kalau begini caranya berarti kita telah mengikari kedudukan lafazh dalam kehidupan ini. Masya Allah. Apa gunanya Allah menyebut dirinya memiliki Nama-nama dan Sifat yang indah? Apa gunanya para ulama -begitu juga Abul Jauza’- selalu memulai pembahasan dengan definisi-definisi (ta’rifat)? Ya jelas ada perbedaan di balik nama-nama itu.

    Negara yang berdasarkan Islam, jelas berbeda dengan negara yang berdasarkan SEKULARISME atau NASIONALISME. Itu sangat berbeda. Soal nanti ada penyimpangan dalam pengamalan, nah disana terbuka peluang nasehat, ishlah, dan dakwah. Jadi bukan membenarkan kondisi sekuler yang ada, lalu mencari-cari dalih untuk menerima hal itu. Wallahi, dalam hal seperti ini ustadz-ustadz Salafi itu sedang menghadapi masalah besar; yang kelak pasti akan ditanyakan oleh Allah Ta’ala. Berhati-hatilah dari meengajarkan sesuatu yang menyesatkan Ummat!

    Admin.

  15. @..abisyakir..

    masuk pa… bagaimana dgn pernyataan ini ::

    “wajib mendengar dan taat kpd pemimpin/penguasa, selama dia masih muslim.”

    apakah benar pernyataan tersebut.?
    jika benar atau tidak, maka apa alasan valid’nya?

  16. abisyakir berkata:

    @ Zaenal…

    Batasan kemusliman seorang pemimpin, sehingga kita wajib ikut shalat berjamaah di belakangnya, ikut shalat Idul Fithri di belakangnya, ikut Jihad fi Sabilillah di belakangnya; meskipun kepemimpinan dia zhalim; adalah jika sistem/aturan yang berlaku di negeri itu merujuk Syariat Islam. Bukan sembarang pemimpin, bukan sembarang sistem. Hal demikian yang SERING KALI, SERING, TERLALU SERING kawan-kawan Salafi salah kaprah. Semua pendapat ulama Salaf yang mereka rujuk itu berkaitan dengan sistem negara/kekhalifahan/kesultanan/kerajaan Islam (berdasarkan Syariat Islam). Disini ada hakikat kebohongan pemahaman yang amat sangat fatal.

    Ukuran seseorang disebut Muslim itu apa sih….

    Apakah karena seseorang Shalat, Zakat, Puasa Ramadhan, Haji, lalu disebut Muslim?

    Jika begitu, mengapa Khalifah Abu Bakar Ra memerangi orang-orang yang menolak membayar Zakat, dan menyebut mereka sudah murtad? Mengapa Khalifah Ali Ra memerangi Khawarij, padahal mereka sangat getol shalat, puasa, qiyamul lail, bahkan mereka tidak berbuat maksiyat (karena di mata mereka maksiyat menggugurkan iman)? Mengapa para Khalifah memerangi Syiah Rafidhah sepanjang zaman, padahal mereka juga melakukan shalat, puasa, membayar harta (meskipun akidah dan Syariatnya berbeda)?

    Jadi ukuran kemusliman seseorang itu ialah ketika dia tunduk kepada Syariat Allah dan Rasul-Nya, menerima kedaulatan Syariat itu dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara. Dalilnya apa?

    Maka demi Tuhanmu, pada hakikatnya mereka itu tidak beriman sebelum menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak mendapati sesuatu keberatan pun di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, lalu mereka menerima sepenuhnya.” (QS. An-Nisa’: 65).

    Dalam ayat ini dikatakan: “Laa yu’minuna hatta yuhakkimuka fi maa syhara bainahum” (mereka tidak beriman, sampai menjadikan engkau -Muhammad Saw- sebagai hakim pemutus perselisihan di antara mereka). Ayat ini sangat kuat, karena didahului oleh sumpah dengan Nama Allah.

    Kalau ada pemimpin identitas atau KTP-nya Muslim, sedangkan akidah dan perilaku politiknya sekuler, laa dinniyyah, anti Islam, phobia dengan Islam; orang seperti itu tidak boleh begitu saja disebut Muslim (meskipun untuk mengkafirkan dirinya secara terbuka, kita juga harus hati-hati dan melihat kondisi sekitar).

    Pemimpin hari ini, meskipun identitasnya Muslim, tetapi umumnya akidah, ideologi, politik mereka sekuler. Kalau yang semodel itu diberikan ketaatan seperti kaum Muslimin diperintahkan taat kepada Allah dan Rasul-Nya, pasti hancur urusan agama ini.

    Admin.

  17. Deedeen berkata:

    Jika dikatakan bahwa yang menentukan status suatu negara (sebagai Daarul-Islaam) adalah keberadaan atau realitas hukum Islam yang berlaku di negara tersebut; maka perlu ditanyakan : Hukum Islaam yang seperti apakah yang dimaksudkan ?.

    Jika dikatakan adalah hukum Islaam secara keseluruhan, maka itu mengkonsekuensikan bahwa negara-negara Islam pasce era Al-Khulafaaur-Raasyiduun bukanlah negara Islam karena ada beberapa hukum Islam yang gugur dalam penerapannya. Pun termasuk Turki Ustmaniy yang sering disebut-sebut sebagai kekhilafahan terkhir dalam Islam, dimana dalam beberapa hal, mereka mengadopsi pemikiran barat dalam Undang-Undang mereka.

    Dan ingat, ketika kekhilafahan ‘Abbaasiyyah mendakwakan ‘aqiidah Jahmiyyah (yang itu adalah ‘aqiidah kafir) dan kemudian menjadikannya asas negara, para ulama (setahu saya) tidak mengatakan status negara adalah Daarul-Kufr. ‘Aqiidah Jahmiyyah (dari segi kekufurannya) itu tidaklah lebih rendah dari ‘aqiidah Syi’ah Raafidlah, Ahmadiyyah, sekuler, dan yang semisal.

    Lantas batasan hukum yang dimaksud itu seperti apa ?. Yang benar – wallahu a’lam – batasannya adalah hukum-hukum dhaahir yang berlaku di negara itu, yaitu keberadaan Jum’ah, ‘Ied, shalat lima waktu, masjid, dan adzan tanpa ada tekanan dan intimidasi. Eksistensi hukum-hukum dhahir ini dalam satu negara ini bisa disebabkan karena mayoritas penduduknya adalah muslim atau kaum muslimin memegang kekuatan dan persenjataan dalam negara tersebut.

    Wallaahu a’lam.

    Komentar di situs abu jauza.com…

    Afwan, sepertinya berbeda dengan pemahaman antum… mohon penjelasan…

  18. aryan berkata:

    Bismillah,

    Afwan pak ustadz, saya ini mengakui manhaj salafi, jd sangat mungkin pendapat saya sangat subjektif.

    Saya pernah baca bahwa di piagam Jakarta dulu, hampir ditulis kaum muslimin berhak untuk menjalankan syariat Islam, kemudian ada ancaman beberapa wilayah Indonesia akan berlepas diri dari Indonesia bila itu tidak dicabut.

    Sejarah negara Indonesia ini memang seperti halnya negara2 arab dulu, bukan berdasarkan syariat Islam. Dan untuk meraih itu, tidak bisa serta merta, bisa jadi harus dibayar dengan darah seperti di Cechnya. Apakah kita sudah sanggup seperti itu?

    Dalam tulisan pak Ustadz, “Dalam kondisi kaum Muslim tidak memiliki wilayah kedaulatan Islam, maka berlaku hukum USAHA/PERJUANGAN dalam rangka menegakkan Syariat Islam atau hukum Islam. Hal itu seperti yang dilakukan Nabi Saw saat masih di Makkah.”, menurut ana itulah yang dilakukan para ustadz salafiyun saat ini, seperti halnya Rasulullah pada zaman itu. Menaati pemerintah maksudnya dalam hal aturan2 pokok bernegara dan kemaslahatan umum, sambil berdakwah pentingnya syariat Islam (terlebih di negara yang mayoritas Muslim), namun tetap menjaga diri dari bermaksiat kepada Allah secara personal.

    Ana ingin membalikan analogi pak Ustadz “Bagaimana hukumnya orang yang menjalankan shalat secara ikhlas? Tentu kita akan katakan, bahwa orang itu sangat baik, sangat mulia, dan hal itu yang diutamakan. Tetapi bagaimana jika kaifiyah (tata-cara) shalat orang itu memakai kaifiyah shalat yang disusun oleh seorang pendeta Nasrani,”. Bagaimana dengan bila pemimpin kafir yang menjalankan syariat Islam, apakah wajib diikuti? Hehehe

  19. abisyakir berkata:

    @ Deedeen…

    Jazakumullah khair atas komen koreksinya. Berikut diberikan tanggapan…

    [1]. Apa sih tolok ukur Daarul Islam itu? Tolok ukur yang paling tepat, adalah apa yang dijalankan oleh Rasulullah Saw ketika beliau memimpin Daulah Islam di Madinah. Aspek-aspek apa saja yang membedakan Madinah Al Munawarah dengan wilayah lain yang masih berstatus wilayah non Islami, disana akan tampak ciri-ciri Daarul Islam. Inilah pendapat yang shahih. Sesuai kaidah Al Qur’an, kalau ada perselisihan, harus dipulangkan kepada Allah dan Rasul-Nya (An Nisaa’ 59). Juga sabda Nabi ketika menjelaskan makna Al Jamaah, yaitu: Maa ana ‘alaihil yauma wa ashabiy (sesuai dengan apa yang aku dan para Sahabatku amalkan di hari ini).

    Ciri Daarul Islam sesuai pengamalan Nabi Saw dan Shahabat:

    = Nama wilayah itu nama yang baik dan mengandung keselamatan.
    = Pemimpin yang memimpin di negeri itu adalah imam yang mukmin dan shalih.
    = Adanya kesepakatan orang-orang beriman untuk menunjuk seorang pemimpin dan membaiatnya.
    = UU yang berlaku di negeri itu adalah UU Islam (Syariat Islam), baik dalam aspek pidana, perdata, muamalah, sosial, dan lainnya.
    = Adanya sistem peradilan Islami, kompilasi hukum Islam, qadhi-qadhi Syariat, dan praktik pengadilan Islami.
    = Syiar sosial yang berlaku adalah syiar Islam, seperti shalat berjamaah, kumandang adzan, shalat Jum’at, shalat Idain, busana Muslimah bagi kaum wanita, dll.
    = Berlaku kewajiban jihad bagi warga negara, yaitu ketika negara membutuhkan bantuan, baik untuk keperluan perang bertahan, maupun perang menyerang.
    = Bahasa resmi yang dijalankan ialah bahasa Arab.
    = Negara melakukan perjanjian, kesepakatan, interaksi dengan negara-negara lain, dalam batas-batas Syariat Islam.
    = Negara berkewajiban melaksanakan dakwah Islam, khususnya ke negara-negara non Islam.
    = Dan seterusnya.

    [2]. Para ulama memudahkan kita dalam menjelaskan prinsip-prinsip Syariat Islam. Mereka menyebutkan kaidah “Al Maqashidus Syariah”, yaitu bahwa Syariat Islam ditujukan untuk: menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga akal, menjaga keturunan kaum Muslimin. Jika merujuk kepada kaidah ini, maka suatu negara disebut Daarul Islam, jika missi negara itu berisi 5 perkara tersebut.

    Mungkin saja, ciri-ciri negara itu tidak mirip benar dengan negara Madinah yang dibangun oleh Nabi dan para Khulafaur Rasyidin. Tetapi jika suatu negara benar-benar konsisten dalam menjaga agama kaum Muslimin, menjaga jiwa mereka, menjaga harta benda mereka, menjaga akal, menjaga keturunan mereka; maka ia adalah negara Islami. Negara seperti itu pasti akan menjadikan Syariat Islam sebagai konstitusi dan rujukan hukumnya.

    Lalu pertanyaannya, apakah negara-negara sekuler yang diklaim punya “Ulil Amri” itu, mereka menjalankan missi melindungi agama, jiwa, harta, akal, keturunan (kehormatan, keluarga, kehidupan) kaum Muslimin??????????????? Kenyataannya, di negara sekuler itu kehidupan orang-orang Mukmin tersisih, laksana para ghuroba (orang-orang terasing).

    [3]. Jika negara-negara setelah era Khulafaur Rasyidin tidak lagi seideal zaman di masa Nabi dan Shahabatnya, bukan berarti disana tidak ada lagi Negara Islam. Mereka tetap diakui sebagai negara Islam, selama rujukan hukum yang berlaku di negeri itu adalah hukum Islam (Syariat Islam). Selama Syariat Islam dijadikan standar hukum, selama misi menjaga 5 perkara darurat ummat, masih ditegakkan; maka itu adalah negara Islam. Adanya kekurangan tidak membatalkan status keislaman negara itu; sebab jika dibatalkan konsekuensinya sangat berat, yaitu terbuka lebarnya pintu-pintu kekafiran. Dalam hukum jihad, negara yang tidak Islami boleh diserang, agar mereka menerima Islam.

    [4]. Khalifah Abbassiyah tetaplah sebagai negara Islam, meskipun pemimpinnya di kala itu ada yang berakidah sesat. Ibnul Qayyim menjelaskan dua sebab kesesatan: syubhat dan syahwat. Dan akidah sebagian sultan Abbassiyah kesesatan mereka adalah karena syubhat (pemikiran yang membuat syak atau ragu-ragu). Terbukti di kemudian hari mereka rujuk kepada kebenaran, dan kembali kepada akidah Islam. Tetapi secara umum, standar hukum negara dan sosial di negara itu adalah Syariat Islam. Mereka tidak pernah bergeser dari Syariat, lalu diganti hukum lain.

    [5]. Pemerintah Utsmani ada yang mengadopsi hukum Barat. Dalam hal apa adopsi itu? Dalam hal prinsip menyangkut agama, darah, jiwa, harta, keselamatan hidup kaum Muslimin? Atau dalam urusan-urusan administrasi duniawi? Bukankah Khalifah Umar juga mengambil manfaat dari tata-cara administrasi orang Persia? Jika dalam urusan yang bersifat duniawi, dan itu tidak melanggar prinsip2 Syariat Islam, tidak mengapa mengadopsi. Dalam perang Khandaq Nabi Saw mengadopsi perang parit ala Persia.

    Mungkin saja ada sebagian elemen-elemen hukum Turki Utsmani yang mengadopsi tata-nilai jahiliyah Barat. Mungkin saja ada seperti itu, atau anggaplah ada demikian. Maka hal ini berangkat dari sikap tidak istiqamah-nya para pemimpin itu; berbeda dengan sultan-sultan Utsmani lain yang konsisten dengan Syariat Islam. Perbuatan kaum yang lemah, tidak menjadi dalil untuk menafikan perbuatan orang-orang yang istiqamah. Adanya orang-orang munafik di Madinah di era Nabi, tidak membuat kota suci itu disebut sebagai “kota munafik”. Wal ‘iyadzubillah.

    [6]. Apakah tanda-tanda zhahir suatu kaum sudah mencukupi untuk menyebut kaum itu sebagai Daarul Islam? Memang ada pendapat ulama demikian, tetapi ini bukan pendapat yang benar. Acuan Daarul Islam ialah seperti pengamalan Nabi Saw dan para Khalifah Rasyidah itu. Jika ada kekurangan-kekurangan masih bisa ditoleransi, sebagaimana yang dianut oleh mayoritas ulama, jika di negara itu standar hukum yang berlaku adalah Syariat Islam. Selagi urusan agama, jiwa, harta, akal, keturunan kaum Muslimin menjadi prioritas dan dapat dijaga sebaik-baiknya; berarti disana tegak negara Islam, sekalipun namanya bukan Daarul Islam.

    Pertanyaannya: apakah adzan, shalat berjamaah, shalat Jum’at, shalat Iid, bisa menjalankan fungsi melindungi kehidupan kaum Muslimin, sehingga hidup mereka SELAMAT DI DUNIA, SELAMAT DI ALAM KUBUR, DAN SELAMAT DI AKHIRAT NANTI? Jawabnya, lihatlah kondisi di Indonesia selama ini. Itu cukup sebagai jawaban, Pak!

    Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.

    Admin.

  20. abuerzha berkata:

    berikut tanggapan Ust.Abul Jauzaa (lihat dikolom komentar):

    http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/06/menyikapi-penguasa-yang-dhalim-tanya.html

  21. abisyakir berkata:

    @ Abuerzha…

    (A). Abu Al Jauza:
    Tentang perkataan saudara Waskito saat mengomentari ketaatan Imam Ahmad terhadap ulil-amri di masanya, ”Tetapi dia lupa menjelaskan, bahwa sistem dan aturan yang berlaku di negeri sultan itu masihlah aturan Islam, bukan berubah menjadi aturan kekufuran. Kalau sultan itu melakukan bid’ah, ia karena alasan syubhat; terbukti di kemudian hari setelah dilakukan perdebatan, ternyata akidah itu dinyatakan salah dan harus ditinggalkan.” [selesai kutipan].

    Ini adalah perkataan yang lucu, terlalu memaksakan diri dalam berapologi, dan menggambarkan ketidakpahamannya atas waqi’ yang terjadi di masa Imam Ahmad. Ia melalaikan (atau memang benar-benar tidak tahu) beberapa hal, di antaranya :

    Pertama, ketaatan Imam Ahmad itu bukan hanya pada satu orang imam saja, tapi tiga periode kepemimpinan sekaligus, yaitu Al-Ma’muun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiiq.
    Kedua, ‘aqidah Jahmiyyah Mu’tazillah yang dijalankan oleh tiga khalifah tersebut merupakan ‘aqidah kufur. Mereka menjadikannya sebagai salah satu asas bagi negara. Mereka menguji, menyiksa, memenjara, dan membunuh orang yang tidak sepakat dengannya. Mereka tidak mengangkat pejabat kecuali yang mengatakan perkataan kufur mereka.

    Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Dan bersamaan itu, para penguasa berkata dengan perkataan Jahmiyyah (yaitu) : Al-Qur’an adalah makhluk, Allah tidak dapat dilihat kelak di akhirat, dan yang lainnya; mengajak manusia pada pemahaman/perkataan tersebut, menguji dan menyiksa mereka apabila tidak menyambut seruannya, mengkafirkan orang yang menyelisihinya, hingga orang-orang yang dijebloskan ke penjara tidak akan dilepas sampai mereka mengatakan perkataan Jahmiyyah : ‘Al-Qur’an adalah makhluk’, dan yang lainnya. Mereka (para penguasa) tidak mengangkat pejabat dan tidak memberikan santunan dari Baitul-Maal kecuali pada orang yang mengatakan perkataan Jahmiyyah tersebut. Bersamaan dengan itu, Al-Imaam Ahmad – rahimahullahu ta’ala – tetap mendoakan rahmat kepada mereka dan mendoakan agar mereka mendapatkan ampunan (dari Allah) karena ia mengetahui bahwa belum nampak pada diri mereka adanya pendustaan terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan pengingkaran terhadap apa yang beliau bawa. Akan tetapi mereka melakukan ta’wil lalu keliru, dan bertaqlid kepada orang-orang yang mengatakan hal itu pada mereka” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 23/348-349].
    Apakah aturan yang diterapkan oleh ketiga khailfah Bani ‘Abbasiyyah menurut anggapan saudara Waskito bukan aturan kekufuran (yang melembaga) ? Saya sarankan kepada saudara Waskito untuk membaca lebih banyak manaqib Imam Ahmad, banyak diterangkan di situ.

    Ketiga, seandainya kita memaafkan ketiga khalifah Bani ‘Abbaasiyyah itu dengan alasan tertimpa syubhat, apakah menjadi hal yang musykil bagi kita untuk memaafkan orang yang lebih rendah keilmuannya dari ketiga orang tersebut dengan alasan kebodohan (sehingga tertimpa syubhat) ?. Apakah saudara Waskito itu menyangka – misalnya – pemimpin yang ada sekarang ini lebih pandai daripada Al-Ma’muun sehingga alasan ketidaktahuannya tidak dimaafkan ?

    KOMENTAR:
    Bismillahi walhamdulillah, laa haula wa laa quwwata illa billah. Mula-mula saya mohon maaf kepada Abu Al Jauza jika ada kata-kata atau komentar sebelum yang tidak berkenan di hati. Mohon ampunkan khilaf dan kesalahan saya.
    Para ulama ahli tarikh islami sepakat menyebut Daulah Abbassiyah sebagai era Kekhalifahan Islam, seperti As Suyuthi membahas posisi Abbassiyah ini dalam Tarikh Al Khulafa’. Artinya, ia tetap diposisikan sebagai Daulah Islamiyah, sekalipun di dalamnya pernah terjadi penyimpangan akidah. Penyimpangan itu sifatnya beberapa lama, sebelum akhirnya akidah mereka rujuk kepada Ahlus Sunnah. Rujuknya mereka kepada kebenaran, lalu memperbaiki sikap akidahnya itu, ia menjadi alasan untuk tetap menerima Khilafah Abbassiyah sebagai bagian dari sejarah Islam. Kalau mereka terus-menerus begitu, dan tidak mau rujuk, maka sifat mereka akan disamakan seperti Daulah Fathimiyah yang bercorak Syiah Rafidhah di Mesir; yang di kemudian hari diberantas oleh Nuruddin Zanki dan Shalahuddin Al Ayyubi rahimahumallah.
    Hal ini ditegaskan pula oleh perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullah yang dikutip oleh Abu Al Jauza itu: “Bersamaan dengan itu, Al-Imaam Ahmad – rahimahullahu ta’ala – tetap mendoakan rahmat kepada mereka dan mendoakan agar mereka mendapatkan ampunan (dari Allah) karena ia mengetahui bahwa belum nampak pada diri mereka adanya pendustaan terhadap Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan pengingkaran terhadap apa yang beliau bawa. Akan tetapi mereka melakukan ta’wil lalu keliru, dan bertaqlid kepada orang-orang yang mengatakan hal itu pada mereka.”
    Sikap Ibnu Taimiyah terhadap sebagian pemuka Asy’ariyah, beliau cenderung lunak dan mencarikan udzur; dengan prasangka bahwa kekeliruan mereka lantaran takwil, bukan karena akidahnya demikian. Hal ini pula yang dilakukan terhadap pendapat ulama seperti Ibnu Hajar, An Nawawi, dan lainnya dalam perkara Shifat Allah. Mereka dianggap menakwil, bukan karena I’tiqad-nya dianggap menyimpang.
    Fakta yang tidak diragukan dalam era beberapa sultan Abbassiyah yang menyimpang akidahnya itu, bahwa penyimpangan mereka ada yang mengingkarinya, yaitu Imam Ahmad rahimahullah dan murid-murid pendukungnya. Hal ini yang kerap dilupakan. Jadi penyimpangan mereka tidak “dibiarkan secara gratis” tetapi terus diingkari. Ada upaya nahyul munkar dan dakwatul haq disana. Lagi-lagi, hal ini semakin memperkuat asumsi, bahwa kesalahan para sultan itu karena masalah takwilan, bukan karena mereka kufur kepada Allah, Rasul-Nya, Nabi Saw, dan Syariat Islam. Apalagi kemudian Khilafah Abbassiyah rujuk kepada kebenaran.

    (B). Abu Al Jauza (mula-mula mengutip perkataan saya):
    ”Kemudian dalam tulisannya, Abu Al Jauza menafsirkan kata al ‘atsarah secara praktis sebagai kepemimpinan tidak berdasar Syariat Islam; padahal saat yang sama dia mengartikan hal itu sebagai sikap monopoli dan mementingkan diri sendiri. Kata al atsarah disana lebih tepat dipahami sebagai = sistem kerajaan Islam. Ciri kerajaan dimana-mana selalu memonopoli kekuasaan di tangan raja dan keluarganya. Tetapi atsarah-nya mereka, belum mengeluarkan dari sistem Islami yang selalu dijaga” [selesai].

    Pertama, saya menjelaskan makna atsarah dalam artikel di atas adalah: “Al-Atsarah sebagaimana yang terdapat dalam hadits itu merupakan gambaran penguasa dhalim yang menyia-nyiakan amanah kepemimpinan yang diberikan Allah untuk ditunaikan kepada rakyatnya. Ia adalah tipe penguasa yang sewenang-wenang. Dalam realitas kehidupan kita, maka al-atsarah tergambar pada diri seorang pemimpin yang melakukan korupsi, kolusi, nepotisme, dan perbuatan maksiat lainnya. Pendek kata, ia merupakan tipe penguasa yang menjalankan kepemimpinannya dengan tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah (pada beberapa permasalahan)” [selesai].
    Dan yang lainnya yang mengerucut pada makna yang telah saya tuliskan di atas. Mengapa di akhir perkataan saya katakan bahwa ia tipe pemimpin yang menjalankan kepemimpinannya tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah ? Jawab: Karena saya sedang membahas pemimpin yang tidak berhukum dengan hukum Allah. Tentu saja, atsarah ini adalah tipe-tipe pemimpin yang tidak menjalankan hukum Allah dalam kepemimpinannya.

    Saya sudah berusaha mencari penjelasan ulama tentang atsarah yang bermakna sistem kerajaan seperti yang diomongkan saudara Waskito ini, namun saya mengalami kegagalan. Dari sisi bahasa saja sudah keliru jika diartikan demikian. Kalau boleh tahu, darimana saudara Waskito mendapatkan makna atsarah sebagai “sistem kerajaan” ? Tolong diberikan referensi valid agar orang tidak menuduh Anda sebagai orang yang berhalusinasi.

    KOMENTAR:
    Abu Al Jauza tampaknya keberatan ketika saya terjemahkan makna al atsarah itu sebagai sistem kerajaan. Lalu beliau menanya, apa dalilnya hal itu dimaknakan sebagai kerajaan, padahal dari sisi bahasa saja al atsarah dan al mamlakah sudah terlalu jauh beda?
    Begini ustadz dalilnya: Yang dimaksud al atsarah itu sudah pasti bukan era kepemimpinan Khalifah Rasyidah (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali Radhiyallahu ‘Anhum). Sebab mereka ini disepakati sebagai kepemimpinan dengan istilah “Khulafaur Rasyidinal Mahdiyina min ba’diy”. Sedangkan para ulama sepakat, bahwa Khilafah Rasyidah berhenti di era Ali bin Abi Thalib Ra. Tidak mungkin kita simpulkan bahwa al atsarah itu kembali kepada Khilafah Rasyidah tersebut. Berarti kembalinya kemana? Jelas kepada para pemimpin Islam setelah era Khulafaur Rasyidin. Sementara, apa yang mereka bangun dalam sistem tata-negaranya, selama ribuan tahun, ialah sistem kerajaan Islam. Kalau al atsarah itu tidak dipalingkan ke arah para raja-raja/sultan itu, lalu hendak dipalingkan kemana? Andaikan ia dipalingkan ke pemimpin-pemimpin sekuler zaman modern, lalu kita sebut apa sejarah kerajaan Islam yang usianya lebih dari 1000 tahun itu; sementara pemimpin-pemimpin sekuler modern sejarahnya baru 100 tahun terakhir?
    Jadi saya menjelaskan makna al atsarah itu berdasarkan FAKTA SEJARAH. Dan mayoritas ulama memandang bahwa sejarah Kekhalifahan Islam itu adalah sejarah Islam, meskipun tidak seideal Khulafaur Rasyidin. Hal ini banyak dibahas dalam buku-buku sejarah kaum Muslimin.
    Kalau Anda katakan, bahwa al atsarah adalah tipe pemimpin yang tidak menjalankan hukum Allah dalam kepemimpinannya; pertanyaannya, tidak sesuai dengan hukum Allah dalam seluruh masalah kepemimpinan, atau sebagian saja? Kalau maksiyat dalam sebagian masalah, hal itu tidak otomatis mengeluarkan mereka dari status pemimpin Islami. Bukankah Anda dan kawan-kawan Salafi ini sangat terkenal dalam memegang prinsip: Shalat berjamaah di belakang sultan, shalat Id di belakang sultan, dan berjihad di belakang sultan, baik mereka adil atau fajir? Kalau Anda keluarkan para pemimpin kerajaan/kesultanan Islam itu dari lingkaran kepemimpinan Islam, maka hal ini akan berkonsekuensi takfir atas mereka; bahkan takfir atas fakta sejarah.
    Lagi pula, wahai Ustadz Abu Al Jauza, ada perbedaan prinsipil antara kerajaan Islam dan kerajaan non Islam. Dalam kerajaan Islam, sejahat-jahatnya raja/sultan, mereka tetap menjadikan Syariat Islam sebagai rujukan utamanya. Sementara kerajaan non Islam, sumber UU diambil dari pikiran dan kepentingan raja beserta nenek-moyangnya.

    (C). Abu Al Jauza (mula-mula mengutip perkataan saya):
    ”Dalam dialognya, Abu Al Jauza ditanya tentang keadaan di Indonesia yang tidak berlaku sistem Islami. Kata dia, semua itu hanya soal nama saja; bisa jadi namanya tidak Islami, tapi perilakunya Islami; atau namanya Islami tapi perilakunya tidak Islami. Wah, kalau begini caranya berarti kita telah mengikari kedudukan lafazh dalam kehidupan ini. Masya Allah. Apa gunanya Allah menyebut dirinya memiliki Nama-nama dan Sifat yang indah? Apa gunanya para ulama -begitu juga Abul Jauza’- selalu memulai pembahasan dengan definisi-definisi (ta’rifat)? Ya jelas ada perbedaan di balik nama-nama itu”

    Yang saya katakan adalah :

    “Yang menentukan status hukum adalah hakekatnya, bukan sekedar namanya. Antum pasti tahu, bahwa seandainya seorang muslim melakukan amalan kekfuran (akbar), maka ia pun terancam akan kekufuran akbar. Begitu juga dengan sebuah negara. Meskipun satu negara mencantumkan asas Islam sebagai dasar negaranya, namun jika kenyataannya malah banyak mengadopsi undang-undang kafir, bisa jadi negara tersebut bukan negara Islam. Status negara Islam bukanlah sekedar pencatuman asas, namun realitas hukum dan syi’ar-syi’arnya yang utama yang berlaku dalam negara tersebut” [selesai].

    Dia mengomentari apa yang tidak saya katakan. Belajar memperhatikan perkataan adalah salah satu modal utama dalam berkomentar. Yang menjadi point penting dalam perkataan saya di atas adalah kalimat yang saya cetak tebal. Ini adalah kaedah ushul yang penting bahwasannya ibrah (dalam hukum) hanyalah diambil pada hakekat dan maknanya, bukan sekedar penamaannya saja. Apakah saudara Waskito benar-benar asing dengan bahasan ini ?. Jika iya, tidaklah terlalu mengherankan bagi saya.
    Terkait dengan hal tersebut, maka jika ada orang yang menyatakan satu negara itu berhukum dengan hukum Islam, sebagai orang yang dibekali pengetahuan tentu tidak begitu saja mengaminkan perkataan tersebut tanpa berusaha mencari tahu hakekat ‘hukum Islam’ yang dimaksudkan. Contoh kecilnya,…. jika negara Raafidlah Iran mengklaim mereka berhukum dengan hukum Islam, apakah itu akan kita aminkan begitu saja ?. Saya tidak pernah mengatakan bahwa hukum di Indonesia ini adalah hukum yang berdasarkan syari’at Islam. Namun yang pernah saya katakan adalah, hukum yang ada di Indonesia bercampur antara hukum Allah dan bukan hukum Allah. Sama seperti hukum yang diterapkan oleh Al-Ma’muun di eranya…. tercampur hukum Allah dan bukan hukum Allah.

    Saya sama sekali tidak mengingkari kedudukan lafadh seperti angan-angannya. Dan justru, secara tidak langsung saya menekankan pentingnya pengertian lafadh-lafadh syari’at dalam menghukumi sesuatu hal, karena ia akan dikembalikan pada terminologi isthilahiy-nya. Jika kita telah paham terminologi ishthilahiy-nya, maka dengan berubahnya lafadh/nama dari suatu hal, kita tetap dapat menghukumi dengan berpegang pada definisi ishthilahi-nya tersebut.
    Terakhir, saya berdoa agar Allah menambahkan ilmu kepada saudara Waskito dan menghilangkan sifat isti’jal-nya pada permasalahan yang tidak ia ketahui.

    KOMENTAR: Amin Allahumma amin, syukran jazakumullah khair Ustadz atas doanya. Semoga Allah juga menambahkan ilmu yang haq kepada Antum, sehingga bisa menjadi pendukung terdepan prinsip akidah Daulah Islamiyah di pentas dunia. Amin.
    Sekarang begini saja, karena kita bicara dalam konteks Indonesia. Bagaimana pendapat Antum tentang sikap pemerintah Indonesia yang pada tahun 1949-1962 lalu memerangi ide sebagian pejuang Islam yang meminta hak otonomi untuk menegakkan Daarul Islam? Itu sajalah sebagai tafsiran atas perkataan yang Antum sampaikan itu. Apakah negara yang memerangi keinginan sebagian rakyatnya untuk hidup secara Islami, hal itu layak disebut sebagai Daulah Islamiyah? Mohon pencerahan.

    (D). Abu Al Jauza (mula-mula mengutip perkataan saya):

    ”Terkait hadits di atas…pemimpin yang tidak mengambil petunjuk Nabi dan tidak memimpin berdasarkan Sunnah beliau…hal itu jangan ditafsirkan sebagai pemimpin yang tidak menerapkan Syariat Islam. Penafsiran demikian salah. Alasannya, kalau ada pemimpin yang memimpin bukan di atas Syariat Islam, berarti dia memimpin di atas sistem jahiliyah (non Islam)……”
    ”Hadits tadi bukan maksudnya kepada pemimpin-pemimpin di atas sistem non Syariat Islam; seperti yang umumnya diyakini kawan-kawan Salafi. Hadits tadi mengarahnya ke sistem kerajaan Islam. Singkat kata, Syariat Islam masih bisa menerima kedudukan sistem kerajaan Islam. Hadits-hadits yang serupa itu maknanya kesana. [selesai kutipan].

    Komentar saudara Waskito ini memang menyedihkan, dan – maaf – : ‘sok tahu’. Berikut hadits yang dimaksud :
    ”…. Tidak mengambil petunjuk dengan petunjukku” ; adalah dalam hal ’ilmu. ”Tidak mengambil sunnah dengan sunnahku” ; adalah dalam hal amal. Maknanya adalah bahwa pemimpin-pemimpin tersebut tidak mengambil Al-Qur’an dan As-Sunnah (dalam menjalankan kekuasannya)” [Mirqatul-Mafaatih Syarh Misykaatil-Mashaabih juz 5 hal. 113; Maktabah Al-Misykah].

    Adalah sangat memaksakan diri jika saudara Waskito mengatakan bahwa para pemimpin yang tidak mengambil petunjukku, dan tidak mengambil sunnah dengan sunnahku maknanya adalah pemimpin berpegang dengan syari’at Islam. Ini sangat bertentangan dengan dhahir hadits. Sebuah fallacy! Orang yang tidak mengambil petunjuk dan sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentu saja dinamakan orang yang tidak berhukum dengan syari’at Allah.

    Hanya saja perintah mendengar dan taat dalam hadits di atas ditaqyid dalam hadits lain, yaitu selama pemimpin tersebut tidak terjatuh dalam kekafiran dan/atau masih menegakkan shalat. Jelas sebenarnya….

    Kalau memang saudara Waskito itu merasa benar dengan penafsirannya atas hadits tersebut, saya boleh minta tolong agar dibawakan lafadh perkataan ulama yang menjelaskannya dengan lafadh Arabic-nya (agar bisa di-cross check) dan di kitab apa.

    KOMENTAR:
    Jangan terburu berprasangka, wahai Ustadz Abu Al Jauza. Bukankah kita sudah sepakat, bahwa seseorang yang berbuat bid’ah, tidak boleh langsung dituduh sebagai ahli bid’ah; bahwa orang yang berbuat kekufuran, tidak boleh langsung divonis kufur; bahwa seseorang yang berbuat syirik, tidak boleh langsung disebut musyrik? Bukankah hal ini termasuk salah satu manhaj akidah Ahlus Sunnah?
    Kalau ada amir/sultan/malik yang melanggar aturan Islam pada hal-hal tertentu, dan tetap menjalankan aturan Islam pada MAYORITAS masalah yang ada; mereka tidak boleh disebut sebagai amir/sultan/malik yang jahiliyah atau kufur. Kita cukup mengatakannya, mereka pemimpin yang bermaksiat. Kecuali, kalau mereka telah mengubah hukum Allah, lalu diganti hukum yang lain, maka para ulama menyebut hal ini sebagai kufur. Contoh, Syaikh Ibnu Baz menyebut tidak berhukum kepada hukum Allah sebagai salah satu pintu pembatal iman. Ulama-ulama lain juga berkata begitu.
    Para sultan dalam mayoritas sejarah Islam, kita sepakat bahwa kepemimpinan mereka tidak ideal; karena berbeda dengan apa yang dijalankan oleh Khulafaur Rasyidin. Tetapi mereka tetap imam-imam kaum Muslimin, mereka bagian dari sejarah kita, bukan sejarah kekufuran. Sikap pelanggaran mereka atas Syariat Islam, akan menjadi tanggung-jawab mereka sendiri di hadapan Allah. Tetapi kaum Muslimin tidak pernah menuduh mereka sebagai pemimpin kufur yang mengingkari Syariat Nabi Saw. Tidak demikian. Kecuali pada kaum Khawarij yang sering mengkafir-kafirkan.
    Bukti mudah, bahwa para raja-raja Muslim itu sudah “tidak mengambil petunjukku” dan “tidak mengambil sunnahku”. Menurut petunjuk Nabi, beliau tidak menunjuk pemimpin pengganti beliau, sehingga hal itu dikuasakan kepada kaum Muslimin sendiri untuk memilih pemimpin mereka. Kemudian, Nabi tidak mewariskan kekuasaan kepada anak keturunannya. Dua hal ini (menunjuk pemimpin pengganti dan mewariskan kekuasaan) tidak sesuai dengan Syariat Nabi Saw.
    Perhatikan perkataan Abu Al Jauza ini: “Orang yang tidak mengambil petunjuk dan sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentu saja dinamakan orang yang tidak berhukum dengan syari’at Allah.”
    Sekali lagi, tidak mengambil petunjuk dan Sunnah Nabi itu, dalam seluruh masalah yang ada, atau hanya dalam masalah-masalah tertentu saja? Itu kan persoalannya. Kalau mereka ingkar terhadap Syariat Nabi dalam keseluruhan masalah, jelas mereka adalah pemimpin kafir. Tetapi kalau mereka masih menjalankan sebagian besar amanat Syariat, dan melakukan pelanggaran pada masalah-masalah tertentu (sifat minoritas); mereka tetap diaku sebagai pemimpin Islami. Kita wajib berimam kepadanya dalam shalat berjamaah dan shalat Id, dan berimam kepadanya dalam Jihad; tidak peduli apakah mereka adil atau fajir.
    Nah, keyakinan demikian inilah sebenarnya yang kerap disebut Al Jamaah, yaitu bersatunya kaum Muslimin di atas Al Haq (Syariat Islam) seperti perkataan populer dari Ibnu Mas’ud Ra itu. Meskipun pemimpin zhalim, selagi dia masih menjalankan mayoritas amanat Syariat Islam, maka tidak boleh menyebutnya sebagai pemimpin kafir.
    Demikian yang bisa saya sampaikan. Mohon maaf atas salah dan kekurangan. Khushusan untuk Abu Al Jauza, mohon maaf bila ada kata-kata yang tidak berkenan di hati. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.
    (AMW).

  22. abisyakir berkata:

    @ Aryan…

    Alhamdulillah Akhi kalau keadaannya misalnya begitu. Alhamdulillah. Tetapi kan faktanya, mereka sangat ngeyel dalam mencarikan pembenaran atas “bolehnya meng-ulil amri-kan pemimpin sekuler”. Ini jelas melanggar Syariat. Kalau memang hanya soal strategi, jangan mendakwahkan kebathilan dong!

    Dalilnya: “Wahai Rasul, hendaklah engkau sampaikan apa yang diturunkan dari Rabb-mu kepadamu; jika engkau tidak mengerjakan hal itu, berarti engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maa’idah: 67).

    Jazakumullah khair.

    Admin.

  23. Deedeen berkata:

    Jazakallah ustad….

  24. Abu Rafsya berkata:

    Hadits Yang Menjadi Dalil Salafi Yang Mewajibkan Taat kepada Ulil Amri ala Salafi

    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    «يكون بعدي أئمة: لا يهتدون بهداي، ولا يستنون بسنتي، وسيقوم فيهم رجال قلوبهم قلوب الشياطين في جثمان إنس!»، قال: قلت: (كيف أصنع يا رسول الله إن أدركت ذلك؟!)، قال: «تسمع وتطيع للأمير، وإن ضرب ظهرك، وأخذ مالك فاسمع وأطع».
    “Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang tidak menjalankan petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku, dan akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya seperti hati setan di dalam tubuh manusia. Hudzaifah berkata: ‘Aku katakan: Apa yang harus kulakukan ya Rasulullah jika aku mengalami hal itu?’ beliau bersabda: ‘Engkau mendengar dan menta’ati kepada pemimpin, walaupun punggungmu dipukul dan hartamu diambil, dengar dan ta’atilah’.” (Riwayat Imam Muslim)

    Namun hadits ini batil, tidak shahih. Dalam sanadnya ada inqitha’ (terputus) antara Abu Salam Mamthur Al-A’raj dengan Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu. Matannya juga mungkar karena bertentangan dengan matan hadits dalam riwayat-riwayat yang shahih, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan yang lain.

    Zhahirnya, Abu Salam Mamthur Al-A’raj Al-Aswad adalah perawi yang tsiqah, namun ia banyak memursalkan hadits karena itu merupakan kebiasaan orang-orang Syam. Ia mendengar hadits tersebut dari sebagian dhu’afa (orang-orang lemah hafalannya) yang sebagian mereka hafalannya banyak salahnya, sebagian mereka meriwayatkannya hanya maknanya saja, dan memasukkan hadits-hadits lain dalam hadits ini. Sehingga tersusunlah matan yang mungkar ini.

    Adapun apa yang disebutkan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah bahwa sanadnya maushul dalam kitab Al-Ausath karya Ath-Thabrani pada dari jalur Umar bin Rasyid Al-Yamamiy, dari Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Salam, dari bapaknya (yakni: Abu Salam Mamthur), dari kakekknya; demikian juga yang diriwayatkan As-Suyuthi dengan redaksi yang lebih lengkap daripada riwayat Ath-Thabrani dari riwayat Ibnu ‘Asakir, hadits tersebut tidak berfaidah apa-apa karena bapaknya Mamthur –kakekknya Salam- namanya tidak dikenal, demikian juga kondisinya. Maka ada tidaknya ia dalam isnad sama saja, tidak bermanfaat apa-apa!

    Yang menjadi pertanyaan adalah: mengapa Al-Albani meninggalkan kebiasaannya dalam meneliti sanad-sanad hadits dengan cermat dan teliti ketika membahas hadits batil ini ?!

    Jawabannya, wallahu A’lam, karena hadits tersebut menyebutkan ungkapan: “Akan ada setelahku nanti para pemimpin yang tidak menjalankan petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku, dan akan ada di tengah-tengah mereka orang-orang yang hatinya seperti hati setan di dalam tubuh manusia.” Yang diikuti dengan perintah untuk mendengar dan taat kepada mereka! Dari ungkapan ini dapat dipahami bahwa para pemimpin tersebut melakukan penyimpangan terhadap sunnah pada tingkatan yang paling mungkar dan para pejabat negara di sekelilingnya adalah syetan-syetan berbentuk manusia –yang sebenarnya mereka adalah orang-orang kafir karena syetan adalah kafir- namun meski demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menaati mereka !

    Hati para ulama penguasa –semoga Allah menghinakan mereka- pasti menari-nari kegirangan seandainya hadits ini shahih. Kalau tidak shahih pun mereka akan memaksakan untuk menshahihkannya, meski dengan menipu atau mengaburkan pemahaman masyarakat!

    Kami tegaskan bahwa hadits ini batil. Seandainya pun shahih –meski ini mustahil- hadits tidak memberikan faidah apa pun buat mereka karena ia tidak bisa dipahami dengan mutlak, tetapi ia dibatasi dengan nash-nash yang lain yang berkaitan dengan masalah ini, sebagaimana kami jelaskan secara rinci dalam kitab kami “Taat Ulil Amri” dan “Muhasabatul Hukkam” (Mengoreksi Penguasa). Mereka tidak akan bisa berkilah lagi kecuali dengan kekafiran yang nyata dan itu tidak aneh bagi mereka. Betapa banyak orang yang beriman kepada sebagian Al-Qur’an dan kafir kepada sebagian Al-Qur’an !

  25. Abu Rafsya berkata:

    Hadits shahih dalam hal ini adalah hadits dengan redaksi berikut:

    عن حذيفة بن اليمان قال: (كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير، وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني، فقلت: يا رسول الله! إنا كنا في جاهلية وشر، فجاءنا الله بهذا الخير، فهل بعد هذا الخير من شر؟!)، قال: «نعم»، قلت: (وهل بعد ذلك الشر من خير؟!)، قال: «نعم، وفيه دخن!»، قلت: (وما دخنه؟!)، قال: «قوم يهدون بغير هديي، تعرف منهم وتنكر»، قلت: (فهل بعد ذلك الخير من شر؟)، قال: «نعم، دعاة إلى أبواب جهنم، من أجابهم إليها قذفوه فيها!»، قلت: (يا رسول الله! صفهم لنا!)، فقال: «هم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا!»، قلت: (فما تأمرني إن أدركني ذلك؟!)، قال: «تلزم جماعة المسلمين وإمامهم، [وإن ضرب ظهرك، وأخذ مالك]!»، قلت: (فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام؟!)، قال: «فاعتزل تلك الفرق كلها! ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك»).

    “Dari sahabat Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu ia menuturkan: Dahulu orang-orang senantiasa bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, dan aku bertanya kepadanya tentang kejelekan karena khawatir akan menimpaku. Aku bertanya kepada beliau: Wahai Rasulullah, dahulu kami berada dalam jahiliyah dan kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini (agama islam), maka apakah setelah kebaikan ini akan ada kejelekan?! Beliau menjawab: Ya. Aku pun bertanya kembali: Apakah setelah datangnya kejelekan tersebut akan ada kebaikan?! Beliau menjawab: Ya, dan padanya terdapat kekeruhan. Akupun bertanya: Apakah kekeruhannya tersebut? Beliau menjawab: Sekelompok orang yang mengamalkan petunjuk selain petunjukku, sehingga engkau dapatkan pada mereka amalan baik dan juga kemungkaran. Aku kembali bertanya: Apakah setelah kebaikan tersebut akan ada kejelekan? Beliau menjawab: Ya, para da’i (penyeru) kepada pintu-pintu Jahannam, barang siapa memenuhi seruan mereka niscaya akan mereka campakkan ke dalamnya!. Aku pun kembali bertanya: Ya Rasulullah, sebutkanlah kriteria mereka kepada kami. Beliau menjawab: Mereka itu dari bangsa kita, dan berbicara dengan bahasa kita. Aku pun kembali bertanya: Apakah yang engkau perintahkan kepadaku bila aku mengalami keadaan itu? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah engkau dengan jama’atul muslimin dan pemimpin (imam/khalifah) mereka [sekalipun ia memukul punggungmu dan mengambil hartamu]”. Aku pun bertanya: Seandainya kaum muslimin tidak memiliki jama’ah, juga tidak memiliki pemimpin (imam/khalifah)? Beliau pun menjawab: Tinggalkanlah seluruh kelompok-kelompok tersebut, walaupun engkau harus menggigit akar pohon, hingga datang ajalmu, dan engkau dalam keadaan demikian itu.” (Muttafaqun ‘Alaih)

    (Dari kitab Taat Ulil Amri: Batasan-batasannya dan Syarat-syaratnya karya Syaikh Dr. Muhammad Al-Mas’ariy)

  26. Abu Rafsya berkata:

    Maka dari itu kita tidak diperbolehkan untuk memahami ilmu syar’i secara teori tanpa melihat realita/waqi. karena tanpa hal itu kt tidak bisa menyimpulkan sesuatu hukum spt yang dikatakan Ibnul Qoyyim. Sebagai contoh ketika ana diskusi dg Ust. Abul Jauzaa di blog dg tema “Salah paham makna thogut”. Disana ana bertanya begini :

    “Dari SISI TAUHID, sah-kah penguasa yg disumpah dg menggunakan kitabulloh yg suci tp ISI SUMPAHNYA untuk menjalankan, melestarikan, dan menjaga hukum kufur buatan orang belanda ? dan tidak skdr itu tapi jg menghukum siapa saja yang tidak mau tunduk terhadap hukum tsb ?”

    “Dan bagaimana jika ISI SUMPAH tsb untuk menjlnkan, melestarikan, menjaga syariat/hukum nabi musa atau isa?. Bukankah syariat tersebut merupakan WAHYU ALLOH?”.

    Sampai saat ini Ust Abul jauza tidak bisa menjawab pertanyaan ana ini. kalopun dijawab justru tidak menjawab substansi pertanyaan ana, karena ana cuma minta kpd beliau jawaban Sah, dalilnya seperti ini dan tidak sah dalilnya seperti ini..Allohumusta’an

  27. Supriyanto berkata:

    Ustad kok jarang memakai qaul ulama ? kayaknya semua ustad fahami sendiri ? gimana ustad ?

  28. abisyakir berkata:

    @ Supriyanto…

    Ya baik, saya coba jawab sesuai pengetahuan. Ibnu Taimiyyah tahimahullah pernah berkata tentang “khalqul qur’an”, kata beliau: “Kalau saya yang mengatakan seperti itu, maka kafirlah saya.” Maksudnya, kalau beliau membenarkan “khalqul qur’an” itu maka jatuh hukum kafir kepadanya; karena beliau sudah dianggap mumpuni ilmunya. Imam Ahmad rahimahullah menolak “khalqul qur’an” hingga beliau dipenjara, disiksa, dsb. Ini sudah masyhur.

    Hikmahnya, sekedar meyakini Al Qur’an sebagai makhluk saja, bisa jatuh hukum kekafiran pada seseorang. Lalu bagaimana kalau ada manusia (masyarakat) yang menolak hukum Al Qur’an secara keseluruhan?

    Ibnu Taimiyyah memiliki pendapat tentang penguasa keturunan Mongol yang menjadi Muslim, tapi melaksanakan hukum Ilyasiq (dari khazanah hukum Jengis Khan). Beliau mengkafirkan penguasa itu dan menyerukan Jihad melawannya. Ibnu Taimiyyah termasuk ulama mujahid yang ikut berperang melawan penguasa Tatar (Mongol). Pendapat beliau ini diperkuat oleh Ibnu Katsir rahimahullah yang membatalkan hukum buatan manusia sebagai ganti hukum Allah.

    Pendapat Ibnu Katsir disetujui oleh penyusun Fiqhus Sunnah, Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah. Beliau menentang keras hukum selain Syariat Islam, dan ikut menetapkan kafir bagi pelakunya. Sikap Sayyid Sabiq ini membuatnya dijuluki sebagai “ulama darah” oleh penguasa sekuler Mesir. Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah, seorang muhaddits besar era modern, juga mendukung pendapat ini. Hal itu dipertegas oleh pendapat Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi rahimahullah.

    Singkat kata, Syaikh Muhammad Ibnu Wahhab rahimahullah menyebutkan beberapa jenis thaghut. Salah satunya, adalah pembuat hukum selain hukum Islam. Syaikh Bin Baz rahimahullah dalam kitabnya, Aqidah Shahihah Wa Nawaqidhuha, menyebutkan salah satu pembatal keimanan, adalah berhukum dengan selain hukum Allah Ta’ala.

    Perkataan-perkataan ini banyak, sumbernya juga beragam. Maka dapat disimpulkan, pemerintahan yang tidak berlandaskan Syariat Islam, adalah pemerintahan yang tidak sah (menurut Syariat Islam). Otomatis semua perangkat yang berdiri di bawah pemerintahan seperti itu juga tidak sah (menurut Syariat Islam). Maka itu ulama-ulama seperti Al Mawardi, Al Ghazali, atau Ibnu Taimiyyah rahimahumullah, mereka tidak membahas tata-laksana pemerintahan di bawah hukum non Islam. Konsep pemerintahan mereka sepenuhnya di atas hukum Islam.

    Demikian, semoga bermanfaat. Amin ya Rahiim.

    Admin.

  29. padma berkata:

    sepertinya LDII sudah menjalankan ini…..tidak ada keraguan….

  30. abisyakir berkata:

    @ Padma…

    Ya konsep “ulil amri”-nya LDII kan seperti konsep orang bingung. Mereka bikin struktur kepemimpinan dari tingkat presiden sampai lurah/kades. LDII itu semacam “negara di atas negara”. Mereka punya struktur pemerintahan sendiri. Sikap mereka ke pemerintah sekuler yang ada, ya sifatnya basa-basi saja, atau kamuflase. Kalau pun ada kepemimpinan Islam yang sah, LDII pasti akan masuk barisan Khawarij semua, karena mereka mengkafirkan orang di luar kelompoknya, dan memisahkan diri dari Jama’atul Muslimin. Sikap taat LDII itu di atas kesesatan, bukan di jalan lurus.

    Admin.

  31. ikhwan berkata:

    bermanfaat kali ilmu nya ustad
    terima kasih bnyak ustad.

    ustad,
    nama akun facebook ustad, joko waskito ya?
    saya udh cari cari, tp gk ketemu ketemu
    soalnya ada bnyak nama yg sama sperti ustad

  32. millah7ibrahim berkata:

    بسم الله الرحمن الرحيم
    Jazakallah atas uraiannya.
    Saya ingin melengkapi bahwa yang dimaksud dengan kata الامر pada surah an nisa adalah
    امر الله. Sehingga kata اولي الامر artinya اولي امر الله. Ini berdasarkan ayat-ayat alquran di bawah ini:

    Ath-Thalaaq:5

    ذَٰلِكَ أَمْرُ اللَّهِ أَنْزَلَهُ إِلَيْكُمْ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يُكَفِّرْ عَنْهُ سَيِّئَاتِهِ وَيُعْظِمْ لَهُ أَجْرًا

    Itulah perintah Allah yang diturunkan-Nya kepada kamu, dan barangsiapa yang takut kepada Allah, niscaya Dia akan menghapus kesalahan-kesalahannya dan akan melipat gandakan pahala baginya.

    Al-Anbiyaa’:73

    وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ ۖ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ
    Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, merekamengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang menunaikan zaka, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah

    As-Sajdah:24

    وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا ۖ وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ

    Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.

    Jadi ulil amri artinya
    أَئِمَّةًيَهْدُونَ بامر الله

    Penjelasan lebih detil silakan baca postingan saya tentang ulil amri

  33. widi berkata:

    assalamu’alaikum,, terimakasih sebelumnya atas artikel yang saudara uraikan diatas sungguh sangat bermanfaat bagi saya pribadi, adapun hal yang saya ingin tanyakan adalah setelah runtuhnya kekhalifahan di turki maka kepemimpinan umat islam juga telah hilang dan runtuh, jadi disaat sekarang ini dimana umat muslim telah terpecah belah, kepada kepemimpinan siapakah umat muslim harus taat dan patuh sementara belum ada satupun negara yang menggunakan syriat islam sebagai dasar negaranya. dan pemimpin seperti apakah yang berhak untuk ditaati saat ini,?? dan bagaimana status umat muslim sebagai warga negara dipemerintahan sekarang ini, musyrik kah/ mukmin??

    trmksh smg dpt mmbntu utk memberikan penjelasannya,,
    wassalam

  34. Tutututuut berkata:

    ISIS detected…JAT detected

Tinggalkan komentar