Antara Kekuasaan dan Al Haq

Mei 26, 2011

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Ada riwayat yang mengatakan, “Qulil haqqa wa lau kaana murran” (katakanlah yang haq, walaupun pahit resikonya). Ada yang menyebut riwayat ini dari Nabi Saw. Tetapi saya tidak tahu sejauhmana. Para ahli riwayat lebih berhak menelisik validitas riwayat ini. Namun kalimat ini memiliki makna yang dalam dan layak direnungkan.

Mengatakan kebenaran di jaman seperti saat ini, adalah sesuatu yang sulit. Di jaman kejayaan nilai-nilai Islam, manusia berlomba-lomba mengucapkan, menyebarkan, sekaligus melaksanakan kebenaran (al haq). Namun di jaman seperti kita ini, ketika nilai-nilai jahiliyyah merajalela dimana-mana (sejak dari istana negara sampai ke kamar-kamar pribadi di rumah), mengatakan kebenaran adalah sesuatu yang sangat sulit. Resikonya banyak.

Dan lebih besar lagi resikonya bagi siapa saja yang sedang menjadi penguasa urusan masyarakat. Misalnya, pejabat Presiden, Wakil Presiden, menteri-menteri, Ketua dan Anggota DPR, Ketua dan Anggota MPR, para Senator, para Gubernur, para Walikota, para Bupati, dan seterusnya. Para pejabat ini lebih “sariawan” lagi untuk mengucap tentang al haq.

Baru-baru ini muncul peristiwa menarik di Cirebon. Singkat kata, isteri Gubernur Jawa Barat Ahmad Heriyawan, yaitu Hj. Netty, beliau menghadiri roadshow “Gerakan Membaca” di Gedung Korpri, Cirebon. Saat acara itu, dipentaskan seni tradisional Cirebon, yaitu Sintren Kathir. Dalam seni itu ada tarian seorang perempuan, ada beberapa laki-laki dengan memakai kostum hitam-hitam di sekitarnya, ada peran dukun dan membakar kemenyan. Tentu saja diiringi musik tradisional Cirebon.

Membela Al Haq: Seperti Mengunyah Cabe Tanpa Apapun

Konon, ketika akan berlangsung acara saweran (melempar uang ke penari), terlontar ucapan Ny. Netty (isteri Gubernur Jawa Barat), bahwa seni sintren itu musyrik. Ucapan ini segera menyebar ke media-media. Pikiran Rakyat memberitakan kasus ini beberapa hari berturut-turut. Bupati Cirebon sangat marah dengan ucapan Ny. Netty itu. Ucapan itu dianggap melecehkan seni tradisional Cirebon. Dan sangat konyolnya, Bupati Cirebon Dedi Supardi sampai mengatakan: “Kalau tidak mau meminta maaf, kami akan berjuang memisahkan diri dari Jawa Barat, dan hal ini berarti peristiwa Kasultanan Cirebon memisahkan diri dari Kerajaan Padjajaran pada tahun 529 tahun lalu.” Itu diucapkan dengan nada gemetar. (Sumber: Masyarakat Cirebon Tuntut Isteri Gubernur Jabar Minta Maaf).

Namun kemudian, Ny. Netty mengklarifikasi ucapannya. Katanya, selama acara itu dia tidak mengucapkan kata-kata “musyrik” sama sekali. Bahkan kemudian diperlihatkan video acara itu, bahwa Ny. Netty mengikuti acara itu dengan tertib sampai selesai. (Sumber: Ny. Netty Bantah Mengatakan Sintren Musyrik).

Selanjutnya mari kita melihat masalah ini secara jujur dan obyektif. Tentu saja mari kita lihat dengan perspektif seorang Muslim. Bukan perspektif manusia-manusia jahiliyyah.

PERTAMA, harus dibedakan antara sebutan “musyrik” dan “syirik”. Syirik adalah perbuatan yang mengandung kemusyrikan (menyekutukan Allah dengan makhluk-Nya), baik sedikit atau banyak. Sedangkan musyrik adalah orang-orang yang menjadi kafir karena meyakini, melakukan, atau biasa melaksanakan perbuatan syirik.

Harus dicatat dengan baik, tidak setiap pelaku perbuatan syirik, lalu divonis musyrik. Musyrik itu vonis kekafiran. Ia diberikan kepada orang-orang kafir di luar Islam, atau orang beridentitas Islam tetapi keyakinan dan perbuatannya telah keluar dari akidah Islam. Nabi Saw menyebut perbuatan riya’ sebagai syirkul asghar (syirik kecil). Nah, kalau setiap pelaku perbuatan syirik (misalnya melakukan riya’) lalu disebut musyrik, wah bisa hancur lebur urusan agama ini. Wal ‘iyadzubillah.

Masyarakat selama ini sering salah dalam membedakan kata “musyrik” dan “syirik”. Perbuatan syirik, mereka sebut musyrik; sedangkan pelaku kemusyrikan yang telah keluar dari Islam disebut syirik. Ada kerancuan dalam pemakaian kata ini.

KEDUA, seni Sintren yang di dalamnya ada dukun, ada pembakaran kemenyan, ada keyakinan-keyakinan syirik yang tidak sesuai dengan Syariat Islam, ya tidak ragu lagi untuk disebut sebagai seni syirik. Tidak usah ragu lagi. Sama juga seperti tradisi larung, memuja ratu pantai selatan, memuja dewi sri, memuja senjata keramat, dll. Semua itu juga perbuatan syirik. Di antara perbuatan itu ada yang bisa mengeluarkan manusia dari Islam. Ada juga yang sifatnya kabair, dosa besar.

Ya, kita jangan ragu-ragu untuk menyebut seni yang menyalahi prinsip-prinsip tauhid sebagai SYIRIK. Tetapi jangan pula langsung menyebut MUSYRIK. Sebab sebutan musyrik itu konsekuensinya keluar dari Islam. Dalam buku-buku akidah sering disebutkan, bahwa perbuatan syirik merupakan pembatal keimanan nomer satu.

Tidak usah takut dengan ancaman siapapun, dalam rangka membela kebenaran. Andai kita kehilangan kekuasaan karena membela kebenaran, kita tetap di atas jalan Allah. Sedangkan pembela-pembela kemusyrikan itu, mereka di atas kebathilan. Dalam kaitan ini, sangat layak diucapkan kalimat di atas, “Qulil haqqa walau kaana murran!

KETIGA, adalah suatu perbuatan manusia tidak bermoral, ketika seorang pemimpin diingatkan tentang perbuatan syirik, dia malah mengancam akan memisahkan diri dari saudaranya. Apakah sedemikian hebat “jihad” pemimpin seperti itu dalam mendukung, melaksanakan, dan melestarikan nilai-nilai kesyirikan? Na’udzubillah min dzalik.

Semoga pemimpin arogan seperti Bupati Cirebon itu segera sadar diri. Kalau memang dia ksatria, dia bisa menampilkan kesenian lain yang lebih baik, lebih luhur, dan tidak mengundang aneka kontroversi. Apakah Kota Cirebon tak memiliki lagi warisan budaya-budaya yang baik? Toh, sejujurnya batik asal Cirebon telah dikagumi banyak kalangan. Begitu pula kuliner khas Cirebon, seperti Empal Genthong dan lainnya. Budaya seperti itu lebih layak ditonjolkan daripada seni-seni aneh yang mematikan hati nurani.

KEEMPAT, seruan bagi para ulama, ustadz, dai, muballigh, juga organisasi Islam. Hayo angkat suara kalian! Jangan diam saja! Katakan dengan jelas dan lugas, bahwa seni semacam Sintren itu mengandung perbuatan syirik yang dilarang dalam Islam. Hayo angkat suara kalian, wahai orang-orang yang paham Islam! Gunakan mimbar dan majlis kalian untuk membela Tauhid, dan menginakan kesyirikan. Demi Allah, amal seperti ini tidak akan merugikan, bahkan akan memuliakan hidup Ummat!

Wahai tokoh dan organisasi Islam, khususnya di kalangan Jawa Barat, angkat suara kalian! Jangan diam saja! Tunaikan amar makruf nahi munkar, sebagai amanah Allah Ta’ala yang harus ditunaikan. Ingatlah selalu pesan Allah Ta’ala: “Ya aiyuhal ladzina amana laa takhunullaha wa Rasula wa takhunu amanatikum wa antum ta’lamuun” (Wahai orang-orang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya, dan mengkhianati amanah yang ditugaskan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui. Al Anfaal, 27).

KELIMA, andaikan isteri Gubernur Jabar, Ny. Netty, menyebut seni Sintren mengandung kesyirikan, itu adalah perkataan yang benar dan layak didukung. Betapa tidak, dalam seni itu ada dukun, bakar kemenyan, serta keyakinan-keyakinan bathil yang tidak sesuai dengan akidah Islamiyyah. Tetapi, andaikan beliau kemudian mengklarifikasi bahwa dirinya tak pernah mengucapkan kata-kata “syirik” terhadap seni Sintren; ya apa hendak dikata. Hal itu bisa menggambarkan sikap konsistensi yang bersangkutan kepada nilai-nilai akidah Islam.

Inilah salah satu contoh, betapa tidak mudah membela al haq di atas sebuah fasilitas kekuasaan. Kalau kita konsisten, maka banyak pihak (elit politik atau pendukungnya) akan menyerang konsistensi kita. Paling buruknya, kekuasaan yang kita pegang akan jatuh. Jika kekuasaan hilang, mantan pejabat itu tentu akan dicaci-maki oleh partai pendukungnya. “Kenapa Lu hilangkan kekuasaan kita disana? Kenapa Lu terlalu bodoh ngurusi masalah-masalah kecil begituan? Kenapa Lu berlagak sok alim dengan pura-pura membela Tauhid? Tauhid itu apa sih? Cuma produk politik kan? Tujuan hakiki kita, ya kekuasaan itu sendiri.”

Inilah beda tegas antara Politik Islami dengan politik jahiliyyah. Politik Islami berorientasi menuju penghambaan kepada Allah Ta’ala; sedangkan politik jahiliyyah berorientasi kepada kekuasaan. Beda konsep akidahnya, tentu beda pula hasilnya. Di atas politik Islami banyak berkahnya, sedang di atas politik jahiliyyah banyak musibahnya (seperti yang selama ini sering melanda kehidupan masyarakat Jawa Barat, dari pusat kota Bandung sampai ke pinggir-pinggir pantai di pelosok sana).

Wallahu A’lam bisshawaab.

AM. Waskito.