Antara Taqlid dan Ijtihad

Bismillahirrahmaanirrahiim.

Kalau mendengar kata “taqlid”, bayangan kita segera teringat orang-orang tertentu yang sangat fanatik, yang mengikuti apa saja dan bagaimana saja pendapat guru (syaikh) mereka; tidak peduli apakah pendapat itu selaras Kitabullah dan Sunnah, atau tidak. Tentu kita seperti jengkel atau tidak suka dengan orang-orang taqlid itu.

Perbedaan Pendapat Ilmiah Seperti Pelangi. Jangan Saling Menafikan.

Perbedaan Pendapat Ilmiah Seperti Pelangi. Jangan Saling Menafikan.

Tetapi, ketika kita membayangkan lawan dari taqlid, yaitu “ijtihad”; seketika terbayang imam-imam ahli fiqih yang sangat mumpuni di masa Salaf dulu. Membayangkan diri kita dengan mereka, dari sisi ilmu, pemahaman, ketakwaan, dan perjuangan; tentu saja sangat jauh. Jika berbicara tentang isu ijtihad ini, rata-rata kita merasa minder, karena tingginya maqam mujtahid tersebut.

Berikut ini sebuah dialog tentang “taqlid vs ijtihad” yang dimuat di Islampos.com. Dialog ini antara Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah dengan Syaikh Muhammad Said Ramadhan Al Buthi. Kami turunkan dialog ini apa adanya, seperti dalam situs di atas. Selamat menyimak.

ADA sebuah perdebatan yang menarik tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, seorang ulama Ahlussunnah wal Jama’ah di Syria, bersama Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, seorang tokoh Wahhabi dari Yordania.

Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara Anda memahami hukum-hukum Allah, apakah Anda mengambilnya secara langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau melalui hasil ijtihad para imam-imam mujtahid?”

Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan antara pendapat semua imam mujtahid serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan Sunnah.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda simpan selama enam bulan. Kemudian uang itu Anda belikan barang untuk diperdagangkan, maka sejak kapan barang itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah setelah enam bulan berikutnya, atau menunggu setahun lagi?”

Al-Albani menjawab: “Maksud pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa harta dagang itu ada zakatnya?”

Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya bertanya. Yang saya inginkan, Anda menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan fiqih, silahkan Anda telaah.”

Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini masalah agama. Bukan persoalan mudah yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami datang ke sini untuk membahas masalah lain”.

Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik kalau memang begitu. Sekarang saya bertanya, apakah setiap Muslim harus atau wajib membandingkan dan meneliti dalil-dalil para imam mujtahid, kemudian mengambil pendapat yang paling sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah?”

Al-Albani menjawab: “Ya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban Anda, semua orang memiliki kemampuan berijtihad seperti yang dimiliki oleh para imam madzhab? Bahkan kemampuan semua orang lebih sempurna dan melebihi kemampuan ijtihad para imam madzhab. Karena secara logika, seseorang yang mampu menghakimi pendapat-pendapat para imam madzhab dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah, jelas ia lebih alim dari mereka.”

Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid (orang yang taklid), muttabi’ (orang yang mengikuti) dan mujtahid. Orang yang mampu membandingkan madzhab-madzhab yang ada dan memilih yang lebih dekat pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid dan ijtihad.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban muqallid?”

Al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti para mujtahid yang bisa diikutinya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apakah ia berdosa kalau seumpama mengikuti seorang mujtahid saja dan tidak pernah berpindah ke mujtahid lain?”

Al-Albani menjawab: “Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang mengharamkannya?”

Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang tidak diwajibkan Allah padanya.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ahnya siapa di antara qira’ah yang tujuh?”

Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”

Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-beda?”

Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja.”

Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja, padahal Allah subhanahu wata’ala tidak mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh. Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an sesuai riwayat yang dating dari Nabi Saw. secara mutawatir.”

Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain. Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan selain qira’ah Hafsh.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang mempelajari fiqih madzhab asy-Syafi’i, juga tidak sempat mempelajari madzhab-madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah memahami hukum-hukum agamanya kecuali mempelajari fiqihnya Imam asy-Syafi’i. Apabila Anda mengharuskannya mengetahui semua ijtihad para imam, maka Anda sendiri harus pula mempelajari semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau Anda beralasan tidak mampu melakukannya, maka Anda harus menerima alasan ketidakmampuan muqallid dalam masalah ini. Bagaimanapun, kami sekarang bertanya kepada Anda, dari mana Anda berpendapat bahwa seorang muqallid harus berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab lain, padahal Allah tidak mewajibkannya. Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib menetap pada satu madzhab saja, ia juga tidak wajib berpindah-pindah terus dari satu madzhab ke madzhab lain?”

Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang diharamkan bagi muqallid itu menetapi satu madzhab dengan keyakinan bahwa Allah memerintahkan demikian.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini persoalan lain. Dan memang benar demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya, apakah seorang muqallid itu berdosa jika menetapi satu mujtahid saja, padahal ia tahu bahwa Allah tidak mewajibkan demikian?”

Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”

Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang Anda katakan. Dalam buku tersebut disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu hukumnya haram. Bahkan dalam bagian lain buku tersebut, orang yang menetapi satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”

Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani kebingungan menjawabnya.

Demikianlah dialog panjang antara Syaikh al-Buthi dengan al-Albani, yang didokumentasikan dalam kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid asy-Syari’at al-Islamiyyah. Tentu saja mengikuti madzhab para ulama salaf, lebih menenteramkan bagi kaum Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan keshalehan ulama salaf jelas diyakini melebihi orang-orang sesudah mereka.

KOMENTAR:

Kalau kita membaca perbandingan pendapat fikih, sebenarnya mayoritas ummat Islam bersepakat atas pokok-pokok Syariat Islam. Maksudnya, madzhab-madzhab fikih Ahlus Sunnah banyak bersepakat dalam pokok-pokok Syariat Islam yang memiliki nash-nash sangat jelas (qath’iyyah).

Jika ada perbedaan, biasanya dalam masalah-masalah cabang, dalam hal-hal tertentu yang sifatnya detail. Hal ini biasanya bisa dicarikan solusinya melalui beberapa cara:

[a]. Melakukan studi vaiditas terhadap riwayat-riwayat yang dijadikan patokan, sehingga dapat diketahui mana yang shahih dan mana yang lemah. Syaikh Al Albani rahimahullah banyak terlibat dalam urusan ini.

[b]. Melakukan studi validitas terhadap riwayat-riwayat yang memuat pendapat para Shahabat Ra atau para Imam Madzhab. Kadang di antara riwayat-riwayat itu ada yang dikuatkan, ada yang dilemahkan. Seperti pendapat Ibnu Abbas Ra tentang “kufrun duna kufrin”, ada sebagian orang yang melemahkan riwayat itu.

[c]. Menempuh metode thariqul jam’i, mengumpulkan sekian banyak dalil Syar’i, lalu mengeluarkan kesimpulan terkuat dari dalil-dalil itu. Kadang metode ini juga dikenal sebagai manhaj tarjih. Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah dalam Fiqhus Sunnah menempuh metode ini.

[d]. Cara yang bagus ditempuh oleh Ibnu Taimiyyah rahimahullah, ketika satu sisi beliau mengikuti madzhab Hanbali, tetapi di sisi lain beliau mencari pendapat terkuat jika dalam madzhab Hanbali ada pendapat-pendapat yang lemah. Dan sikap Ibnu Taimiyyah ini banyak diikuti oleh ulama-ulama di zaman modern.

Singkat kata, pendapat Al Buthi ada benarnya, ketika kaum Muslimin dianjurkan mengikuti salah satu pendapat Imam Madzhab (Ahlus Sunnah). Hal ini seperti Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim rahimahumallah yang konsisten dengan madzhab Hanbali; juga seperti Ibnu Katsir rahimahullah yang konsisten dengan madzhab Syafi’i.

Tetapi, pendapat Al Albani rahimahullah juga ada benarnya, yaitu bersikap kritis dalam mengambil pendapat, termasuk kepada madzhab yang diikuti. Hal itu seperti yang dilakukan imam-imam besar seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Rusyd, Dawud Az Zhahiri, Ibnu Hazm, dan lain-lain rahimahumullah.

Dialog di atas tidak mesti dibawa ke ranah “siapa menang, siapa kalah”. Itu kesimpulan yang tidak bagus. Biasalah, dalam lingkup perdebatan ilmiah ada perbedaan pendapat.  Janganlah kita mengatakan, Imam Al Albani kebingungan. Itu tidak bagus. Karena para ulama yang berilmu (mampu berijtihad), tidak boleh saling menafikan.

Semoga bermanfaat. Amin.

(Abisyakir).

10 Responses to Antara Taqlid dan Ijtihad

  1. abu haitsam berkata:

    Sumber cerita dialog di atas hanya sepihak; dari buku Al-Buthi yang sesat dan munafiq (sbgmn kata As-Shobuni yg tautannya ditampilkan dlm blog ini). Bgmn mungkin kita merujuk kepada riwayat yang disampaikan oleh orang sesat dan munafik??
    Coba baca link ini:
    http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/01/ahmad-sarwat-al-buuthiy-dan-al-albaaniy.html
    dan

    Jawaban Bagi Pencela Syaikh al-Albani 2

  2. Hamba Allah berkata:

    assalamualaikum pak ustad.. Mohon maaf sblm nya apabila komentar saya diluar konteks.. saya hanya orang awam yang tinggal di kota hujan yg selalu ingin mendalami agama yg saya yakini yaitu islam.. dari semenjak masih SMA saya ikut pengajian dari satu pengajian ke pengajian yg lain..dari satu majlis ke majlis lain tetapi selalu kecewa karena dalam pengajian tersebut tidak pernah lepas dari yang namanya kebathinan,karomah, bisa melihat mahluk ghoib dsb yg bertentangan dengan aqal dan hati nurani saya, yang pada akhirnya saya meninggalkan pengajian2 trsbt..

    Sampai usia saya skrng 37thn masih mencari dan mencari.. dari buku2, sumber dan internet..distulah saya mengenal salafy salah satu nya buku2 karangan dr.yusuf qordawi dsb..selain itu mencari2 juga buku2 sejarah asal muasal manusia mencari mengenal agama..salah satu nya saya dapatkan dari buku ” Parasit aqidah”, selintas perkembangan dan sisa sisa agama kultur yg di tulis oleh A. D. El Marzdedeq..dari buku inilah saya dapat keterangan asal muasal takhayul,jampi, yg memang sudah ada sebelum agama hindu dan budha ada dan sekarang masih banyak dipercayai oleh kebanyakan orang indonesia yg mengaku beragama islam baik tingkkatan awam smp guru2 ngaji..
    saya juga membaca buku sejarah nabi Muhammad saw karya Martin Lings ( Abu Bakr Siraj Ad-Din ) seorang mualaff, ( andai sahabat -sahabat seiman saya yang selalu membangga2kan kesaktian para wali atau tokoh agama mau membaca buku ini bisa terbuka pemikiran nya. mudah2an )

    ketika saya berdialog dengan sahabat-sahabat tentang wawasan yg saya dapat, saya sangat kecewa,malah di tuduh pengikut “wahabi”..padahal saya hanya ingin mengatakan saya ingin mengamalkan aqidah islam secara murni tanpa tercampur adukan budaya2 agama lain..

    ketika bertemu orang yang sedikit sepaham dengan saya, mereka menuduh saya,melihat dari penampilan saya yang katanya masih senang dengan budaya kafir..masih seneng pake celana jeans dan kaos oblong dan masih senang dengar musik2 jazz… ” saya jawab ” eh..masalah pakaian masalah estetika ( keindahan ) selama tidak sombong ,tidak pamer pakaian mahal..menurut gue itu masih islami, gue bukan orang arab jadi gak berpakian kayak orang arab..gue orang sunda yg kebetulan punya ibu berdarah eropa,,tapi masalah aqidah..gak ad aqidah nya orang arab, gak ada aqidah orang jawa.. nama nya aqidah cuman satu aqidah islam bukan suku atau bangsa..

    yang jadi pertanyaan saya pak ustad, harus bagaimanakah saya bersikap ketika di ajak berdialog dengan teman? apakah diam menyebunyikan ilmu pengetahuan yg saya dapat?.. soalnya saya bingung , kasih pendapat salah,,diam juga miris punya temen rajin sholat, pintar ngaji ko masih percaya karomah, khodam dsn..

    assalamualikum, mohon maaf sebelum nya apabila saya salah menulis di kolom komentar.. terima kasih

  3. abisyakir berkata:

    @ Hamba Allah…

    Ahlan wa sahlan Akhi, kami menyambut baik partisipasi Anda di media ini, alhamdulillah.

    Ketika saya berdialog dengan sahabat-sahabat tentang wawasan yg saya dapat, saya sangat kecewa, malah di tuduh pengikut “wahabi”..padahal saya hanya ingin mengatakan saya ingin mengamalkan aqidah islam secara murni tanpa tercampur adukan budaya2 agama lain..

    Apa yang Antum alami mirip seperti yang dialami Ustadz “Jualiib” yang semula seorang sarjana Hindu Bali yang masuk Islam itu. Ketika dia jelaskan, bahwa banyak ritual2 yang dilakukan ummat Islam di Indonesia bersumber dari ajaran Hindu; banyak orang tidak mau terima, menuduh dia macam-macam, dan seterusnya; malah dia katanya pernah hendak dilaporkan ke aparat. Padahal ajaran2 sesat itu satu sama lain saling berhubungan. Anehnya akidah aneh-aneh itu dicarikan justifikasi melalui dalil2 agama, didukung pendapat ulama2 lagi. Masya Allah.

    Saran saya, Antum amalkan apa yang diajarkan Nabi Saw yaitu: “Qul amantu billahi tsumma istaqim” (katakanlah, aku beriman kepada Allah, lalu istiqamah-lah). Sejauh Antum mencintai akidah tauhid yang murni, itu adalah fitrah, jangan takut dan ragu menghadapi “laumata laa-im” (celaan orang2 yang suka mencela).

    ketika bertemu orang yang sedikit sepaham dengan saya, mereka menuduh saya,melihat dari penampilan saya yang katanya masih senang dengan budaya kafir..masih seneng pake celana jeans dan kaos oblong dan masih senang dengar musik2 jazz… ” saya jawab ” eh..masalah pakaian masalah estetika ( keindahan ) selama tidak sombong ,tidak pamer pakaian mahal..menurut gue itu masih islami, gue bukan orang arab jadi gak berpakian kayak orang arab..gue orang sunda yg kebetulan punya ibu berdarah eropa,,tapi masalah aqidah..gak ad aqidah nya orang arab, gak ada aqidah orang jawa.. nama nya aqidah cuman satu aqidah islam bukan suku atau bangsa..

    Model ini adalah “sisi ekstrim” lainnya. Ini adalah model orang yang tidak jauh beda dengan kalangan pertama dari sisi pengertian; hanya bedanya adalah substansi yang mereka yakini. Kalau golongan pertama bermudah-mudah mengadopsi ritual atau akidah kesyirikan; maka yang kedua ini bermudah-mudah dalam memvonis manusia dan menghilangkan hak-hak kebaikan baginya. Ini juga golongan yang keliru. Hanya saja, kesalahan golongan pertama pada keyakinan, pemikiran, persepsi; maka kesalahan golongan kedua umumnya pada kedangkalan pemahaman, kepribadian, dan sikap sosial.

    Tetapi tidak mengapa pula kita kembangkan kebudayaan Islami; seperti berpakaian pantas, sopan, menutup aurat, tidak terbawa oleh budaya “gak jelas” dari Barat. Tetapi untuk kesana memang harus berproses, perlahan-lahan, penuh pengertian dan rasa bijaksana; sehingga nanti dihasilkan kebudayaan yang mencerminkan sikap Islami dan komitmen akidah yang lurus.

    Dan tentu saja, kita mesti bersabar juga menyikapi sikap-sikap insan tersebut. Barakallah fik.

    Admin.

  4. Bagus berkata:

    Aslmkmwrwb, bagaimana kabar ustadz sekeluarga? mengenai dialog diatas, saya telah membaca bukunya, alhamdulillah, walau mungkin sebagian temen sudah alergi duluan sebelum membacanya..:), ada yang menarik dalam pembahasan buku tersebut, namun inti dari dialog yang ada, saya dapati pelajaran bahwa.” dalam hal ijtihadiyah,bisa jadi kebenaran ada dipihak orang lain, manakala kita sendiri merasa yakin telah berpegang pada kebenaran”.

  5. abisyakir berkata:

    @ Bagus…

    Wa’alaikumsalam warahmatullah wabarakaatuh. Alhamdulillah, baik Akhi. Semoga Antum dan keluarga juga senantiasa baik, lahir batin, dalam urusan dunia, agama, dan akhirat. Amin ya Karim.

    Dalam hal ijtihadiyah,bisa jadi kebenaran ada dipihak orang lain, manakala kita sendiri merasa yakin telah berpegang pada kebenaran.

    Ya, untuk bersikap demikian dibutuhkan kelapangan dada, keikhlasan hati, dan siap menerima pendapat orang lain, jika ia lebih benar.

    Admin.

  6. Hamba Allah berkata:

    assalmualaikum pak ustad.. terimakasih atas penjelasan nya, saya sudah paham dengan penjelasan pak ustad, assalamualaikum juga pak bagus, bagaimana kabar nya? salam kenal ya pak, perkataan pak bagus alhamdulilah sudah mengingatkan saya.. mungkin emang lebih baik jalan yg saya ambil menjadi muslim awam, hanya berusaha mendirikan dan melaksanakan ke 5 perintah dalam rukun islam dgn sebaik mungkin sesuai fiqih imam sya’fii.. dan menjalankan sunnah Nabi,sayidina Muhammad S.A.w seperti puasa sunnah dan sholat sunnah serta dzikir dan shalawat sesuai tuntunan..semakin saya bnyk baca, semakin saya mencari semakin bingung.. lebih baik saya memilih bukan nu, bukan muhammadiyah bukan wahabi.. saya hanya seorang awam yang berusaha menjadi muslim sebenarnya..insyallah mudah2an Allah Swt memberikan hidayah kedalam bathin saya..

  7. abisyakir berkata:

    @ Hamba Allah…

    Ya sama-sama, jangan lelah dan lemah untuk mencari kebenaran dan hidup di atasnya. Itu jalan mencari ilmu. Siapa yang konsisten mencari ilmu, akan Allah mudahkan jalan menuju surga. Sebuah ayat untuk menyemangati: “Wa laa tahinuu wa laa tahzanuu, wa antum a’launa in kuntum mu’miniin” (jangan merasa hina, jangan merasa sedih, kalian itu yang paling tinggi, JIKA kalian beriman). Terus semangat ya!

    Admin.

  8. Hamba Allah berkata:

    insyallah pak ustad, terima kasih atas nasehat nya, saya akan mencoba trs mencari ilmu pengetahuan dan memperdalam wawasan tentang ajaran islam yang murni yg belom terkontiminasi Tahayul, bid’ah dan khurafat , karena ilmu yg jauh dari ketiga hal tersebut yang saya bisa terima oleh nalar dan bathin saya, saya menunggu artikel-artikel pak ustad yg terbaru,.. assalmualaikum

  9. emprit gepeng berkata:

    Hamba Allah…antum sudah mendapatkan hidayah Allah.SWT…dengan masuk ke blog ini antum akan banyak mendapat pelajaran yang bijak dalam mengenal Islam…. tetap semangat Akhi…… barakahllahu fiik

  10. Yus wono berkata:

    amin, hidayah Allah sangat amatlah luasnya…bahkan saking terangnya mata kita tidak bisa melihat dgn baik, karena kemampuan mata kita sangatlah terbatas.hidayah itu menghampiri siapa saja yg mencari dan yg menggunakan akalnya.

    bagaimana mungkin seorang gampang sekali mengklaim dirinya bermanhaj salaf sementara belajar hanya dgn seorang yang hidup dijaman sekarang atau tidak mempunyai sekian bukti dan dalil yg membuktikan bahwa salaf itu seperti itu dgn ditunjang beberapa fakta sejarah yang tak terbantahkan???

    ini PR kita bersama, jangan merasa bisa tapi bisalah merasa…kita itu apa dan siapa?

Tinggalkan komentar